Hasan al-Bashri adalah salah seorang tokoh sufi awal baik dalam arti umum
atau pun dalam arti harfiahnya, karena ia selalu mengenakan jubah dari bulu
domba (shûf) sepanjang hidupnya. Sebagai putra dari perempuan yang dimerdekakan
(dari Ummu Salamah, isteri Nabi saw.) dan laki-laki yang dimerdekakan (dari
Zaid Ibn Tsabit, putra angkat Nabi saw.), Imam Besar dari Bashrah ini adalah
seorang pemimpin para wali dan ulama pada masanya. Beliau sangat dikenal luas
karena pengejawantahannya yang menyeluruh dan ketat terhadap sunah Nabi saw..
Beliau juga terkenal karena pengetahuannya yang luas, kesederhanaan dan
kezuhudannya, protesnya yang berani terhadap penguasa, dan daya tariknya baik
dalam perkataan atau penampilannya.
Ibnu al-Jauzi menulis sebuah buku setebal seratus halaman
tentang kehidupan dan kebiasaannya dengan judul Adab al-Syaikh al-Hasan Ibn
Abil-Hasan al-Bashri. Ia menyebutkan sebuah riwayat bahwa, tatkala wafat,
al-Hasan meninggalkan sebuah jubah wol putih yang telah ia pakai sendiri selama
dua puluh tahun, baik di musim dingin atau di musim panas. Jubah tersebut masih
dalam keadaan bagus, bersih, rapi dan tak ada kotoran.
Dalam sebuah buku yang khusus mencatat perbuatan-perbuatan
kaum sufi, Ibn Qayyîm meriwayatkan:
Sekelompok perempuan keluar pada hari `id dan berusaha
melihat orang-orang. Mereka ditanyai, “Siapakah orang paling elok yang kalian lihat pada hari
ini?” Mereka menjawab, “Itu syekh yang mengenakan turban hitam.” Yang mereka
maksudkan adalah Hasan al-Bashri.
Hafiz hadis Abu Nuaim al-Isfahani (w. 430H) menyebutkan
bahwa murid al-Hasan, yaitu Abdul Wahid Ibn Zaid (w. 177H), adalah orang
pertama yang membangun khâniqa sufi, atau rumah singgah sekaligus tempat
belajar di Abadan di perbatasan Iran dan Iraq di masa sekarang.
Atas dasar kemasyhuran Hasan al-Bashri dan murid-muridnya
sebagai sufi, Ibn Taimiyyah menyatakan, “Tempat asal mula tasawuf adalah
Bashrah.” Pernyataan tersebut tidaklah tepat. Lebih tepatnya, Bashrah menonjol
di antara kemasyhuran tempat-tempat perkembangan formal mazhab-mazhab penyucian
diri yang kemudian dikenal sebagai tasawuf, dan yang prinsip-prinsipnya tidak
lain bersumber dari Alquran dan Sunah, sebagaimana telah ditunjukkan secara
panjang lebar sebelumnya.
Al-Ghazâlî meriwayatkan kata-kata dari al-Hasan tentang
Jihâd al-nafs bahwa Hasan al-Bashri mengatakan:
Dua fikiran berkecamuk di dalam jiwa, satu dari Allah dan
satu dari musuh. Allah menunjukkan rahmatnya kepada seorang hamba yang tetap
dengan fikiran yang datang dari-Nya. Ia memelihara fikiran yang datang dari
Allah, seraya berjuang melawan fikiran yang datang dari musuh. Untuk
menggambarkan tarik-menarik antara dua kekuatan ini di dalam hati, Nabi saw.
bersabda, “Hati seorang mukmin berada di antara dua jari Yang Maha Pengasih
(al-Rahmân)”.
Kedua jari tangan tersebut membiarkan gejolak dan
ketidakpastian di dalam hati . . .
Apabila seseorang mengikuti dorongan kemarahan dan
kesenangan, dominasi setan muncul di dalam dirinya melalui nafsu rendahnya dan
hatinya menjadi tempat bersarang dan bersemayamnya setan, yang terus menerus
memasok tuntutan hawa nafsunya. Apabila ia berjuang melawan hawa nafsunya dan
tidak membiarkan mereka menguasai diri (nafs)-nya, maka berarti ia sedang
meniru sifat-sifat malaikat. Pada saat ini, hatinya menjadi tempat yang
menyenangkan bagi para malaikat dan mereka akan berhamburan datang ke sana.
Gambaran mengenai betapa tingginya ketakwaan dan
kewarakkan Hasan al-Bashri disampaikan oleh pernyataannya berikut, yang juga
dikutip oleh al-Ghazâlî:
Kelalaian dan harapan adalah dua berkah Allah yang
diberikan kepada anak-cucu Adam; akan tetapi untuk keduanya kaum Muslim tidak
akan berjalan di jalan raya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan
sila tulis ulasan anda sesuai dengan taraf ilmu anda, dan terbuka kepada sesiapa ingin memberi ulasan mereka.