Dalam
untaian Hikam-36 ini Syaikh Ibn Athaillah as-Sakandari menjelaskan,
“Sinar mata hati menjadikan
dirimu menyaksikan kedekatan (ilmu) Allah darimu, pandangan mata hati
menjadikan dirimu menyaksikan ketiadaanmu karena wujud-Nya, sedangkan hakikat
mata hati menjadikan dirimu menyaksikan wujud Allah saja, tidak pada
ketiadaanmu maupun kewujudanmu.”
Dalam kitab
Syarh al-Hikam (36) secara tegas Ibn ‘Abbad an-Nafazi ar-Randi menjelaskan
maksud ketajaman mata hati yang disinggung as-Sakandari, bahwa maksud istilah
‘sinar mata hati’ adalah cahaya akal; maksud ‘pandangan mata hati’ adalah
cahaya ilmu; sedangkan maksud ‘hakikat mata hati’ adalah cahaya Allah subhanahu
wata’ala.
Selebihnya ia
menerangkan:
“Karenanya, orang-orang berakal dengan cahaya
akalnya menyaksikan eksistensi diri mereka sendiri serta kedekatan pengetahuan
serta pengawasan Allah kepadanya; para ulama dengan cahaya ilmunya menyaksikan
diri mereka tenggelam (menjadi tidak ada) dalam wujud Tuhannya; sedangkan para
ahli hakikat dengan perantara cahaya Allah subhanahu wata’ala hanya menyaksikan
Allah dan tidak menyaksikan wujud selain-Nya.”
Karena itu,
para ahli hakikat dengan ketajaman mata hati sangat menyadari pamungkas untaian
Hikam-36 dari Syaikh Ibn ‘Athaillah:
“Allah sudah ada
(sejak dahulu tanpa permulaan) dalam kondisi tidak ada sesuatupun yang
menyertai-Nya; dan sekarang pun Allah tetap pada kondisi-Nya semula.”
Seiring firman
Allah subhanahu wata’ala.
“Semua orang di muka bumi
hakikatnya adalah sirna; dan Zat Allah yang maha agung dan maha mulia yang akan
tetap abadi.” (QS. ar-Rahman: 26-27)
Lalu bagaimana
orang awam seperti kita pada umumnya? Dalam hal ini Ibn ‘Ajaibah (Iqadh
al-Himam, ) menjelaskan, sebenarnya pada umumnya orang awam juga punya mata
hati, namun tertutup karena penyakit hati yang melemahkan pandangannya. Ia ada
dalam pancaran cahaya-cahaya ilahiah akan tetapi ketajaman mata hati dirinya
tidak menyaksikan pengetahuan dan pengawasan Allah, tidak menyaksikan apakah ia
dekat dengan ridha-Nya atau justru sangat jauh darinya.
Hikmah Utama
Dari sini
menjadi jelas, bahwa pada hakikatnya yang ada hanya Allah semata. Wujud manusia
hanya merupakan anugerah-Nya. Tidak ada yang pantas dibangga-banggakan. Ilmu,
kekayaan, kekuasaan dan bahkan wujudnya sekalipun, hakikatnya akan segera
sirna. Bila demikian adanya, seberapa tumpul
mata hati kita sehingga masih sering menyombongkannya?
Tiada ulasan:
Catat Ulasan
sila tulis ulasan anda sesuai dengan taraf ilmu anda, dan terbuka kepada sesiapa ingin memberi ulasan mereka.