Isnin, 5 Mei 2025

PERTANYAAN KEENAM BELAS PASAL (17) : HADIS-HADIS TERSEBUT DI ATAS YAITU SEBUAH HADIS YANG TERKANDUNG IKHTILAF

PASAL : Berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa hadis-hadis tersebut di atas yaitu sebuah hadis yang terkandung ikhtilaf dalam sanadnya.


Maka sebenarnya pernyataan kalian itu merupakan pernyataan ceroboh yang tidak boleh untuk diterima karena hadis-hadis itu statusnya sahih, sabit dan disepakati kesahihannya. Hadis-hadis itu diriwayatkan oleh kedua penulis kitab Sahih (yaitu Imam Bukhari dan Imam Muslim Penj.) dan tidak ada ikhtilaf dalam periwayatannya.

 

Ibnu ‘Abdul Barr menyatakan, “Telah tsabit (sahih) diriwayatkan dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, “Barang siapa yang meninggal dunia dengan menanggung puasa, hendaklah walinya berpuasa atas namanya”.

 

Hadis-hadis ini dinyatakan sahih oleh Imam Ahmad dan menjadi pendapat mazhabnya. Imam Syafi’i juga memberi komentar bahwa hadis-hadis ini sahih. Dia menyatakan, “Telah diriwayatkan dari Rasulullah saw. sebuah riwayat tentang puasa atas nama orang yang sudah mati. Apabila hadis-hadis itu tsabit, hendaklah dilakukan puasa atas nama orang mati yang bersangkutan sebagaimana halnya haji boleh dilakukan atas namanya (si orang mati).” Dan ternyata hadis-hadis itu statusnya tsabit (sahih) tanpa ada keraguan dan itu pun menjadi mazhab Imam Syafi’i. Begitu pula yang dinyatakan oleh banyak imam dari kalangan pengikut Mazhab Syafi’i.

 

Imam Baihaqi menuturkan setelah dia menyampaikan riwayat ini dengan mengutip dari Imam Syafi’i, “Telah tsabit (sahih) bahwa dibolehkan qada atas nama orang yang sudah mati berdasarkan riwayat dari Said bin Jubair, Mujahid, ‘Atha’ dan Ikrimah, dari Ibnu Abbas ra. Dan dalam riwayat sebagian besar dari mereka dinyatakan bahwa yang bertanya seorang perempuan sehingga tampaknya riwayat mereka berbeda dari kisah Umm Sa‘d. Dalam riwayat sebagian dari mereka dikatakan, “Berpuasalah engkau atas nama ibumu!”.

 

Pada bagian mendatang akan dipaparkan mengenai hal ini dalam penjelasan tentang pernyataan Imam Baihaqi rahimahullah. Berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa hadis-hadis tersebut di atas bertentangan dengan nas al-Quran, yaitu firman Allah swt., “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakan. nya.” (QS. an-Najm [53]: 39)

 

Maka itu merupakan bentuk ketidaksopanan (su’ul adab) dalam pernyataan dan sekaligus merupakan kesalahan yang besar dalam pengertian.

 

Allah swt. dan Rasulullah saw. telah melindungi dari kemung. kinan terjadinya pertentangan antara sunah Rasulullah saw. dengan nas al-Quran. Alih-alih bertentangan dengan nas al-Quran, sunah Rasulullah saw. justru memperkuat dan menegaskan nas-nas al-Quran, Demi Allah, tidak ada lagi gunanya fanatisme dan taklid!

 

Pada bagian terdahulu kami telah menyampaikan penjelasan tentang ayat tersebut (maksudnya, QS. an-Najm [53]: 39) yang kami anggap sudah cukup memadai. Kami juga sudah menjelaskan bahwa tidak ada pertentangan sedikit pun antara ayat tersebut dengan sunah Rasulullah saw. Dugaan akan adanya pertentangan itu muncul semata-mata akibat jeleknya pemahaman.

 

Sungguh adalah sebuah jalan yang buruk dan hina, ketika jalan tersebut menolak sunah-sunnah yang tsabit (sahih) dengan menggunakan pemahaman atas pengertian lahiriah ayat-ayat al-Quran. Ilmu yang tertinggi adalah sunah yang menjelaskan tentang al-Quran, sebab sunah bersumber dari al-Quran dan sunah juga diambil dari sosok manusia yang al-Quran itu diturunkan kepadanya (yaitu Rasulullah saw—Penj). sunah merupakan penjelasan bagi al-Quran, bukan sebagai penentang bagi al-Quran.

 

Berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa hadis-hadis tersebut di atas bertentangan dengan hadis-hadis riwayat Nasa’i yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak boleh seseorang melakukan shalat atas nama orang lain. Tidak boleh seseorang melakukan puasa atas nama orang lain. Tetapi hendaklah diberikan makanan atas namanya setiap hari satu mud berupa gandum hinthah”; ini merupakan sebuah kesalahan yang buruk.

 

Yang benar, yaitu Nasa’i meriwayatkan riwayat ini sebagai berikut:

 

Muhammad bin “Abdul A’la mengabari kami, Yazid bin Zurai’ menuturkan kepada kami, Hajjaj al-Ahwal menuturkan kepada kami, Ayyub bin Musa menuturkan kepada kami, dari Atha’ bin Abu Rabah, dari Ibnu ‘Abbas ra., dia berkata, “Tidak boleh seseorang melakukan shalat atas nama orang lain. Tidak boleh seseorang melakukan puasa atas nama orang lain. Tetapi hendaklah diberikan makanan atas namanya untuk setiap satu hari satu mud berupa gandum hinthah.” Demikianlah itu yang diriwayatkan oleh Nasa‘i dan itu merupakan ucapan Ibnu ‘Abbas ra., bukan sabda Rasulullah saw. Jadi bagaimana mungkin sabda Rasulullah saw. dipertentangkan dengan ucapan Ibnu Abbas ra., lalu ucapan Ibnu ‘Abbas ra. itu yang lebih diunggulkan daripada sabda beliau, padahal telah diketahui dengan pasti adanya khilaf dari Ibnu ‘Abbas ra.?

 

Rasulullah saw. sama sekali tidak pernah bersabda seperti itu. Bagaimana mungkin beliau bersabda seperti itu, sementara telah tsabit (sahih) diriwayatkan dari beliau dalam dua kitab Sahih, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang meninggal dunia dan dia menanggung puasa, walinya harus berpuasa atas namanya”?

 

Bagaimana mungkin Rasulullah saw. bersabda seperti itu, sementara beliau telah bersabda dalam sebuah hadis dari Buraidah yang diriwayatkan oleh Muslim dalam ash-Shahih bahwa suatu ketika seorang perempuan berkata kepada Rasulullah saw., “Ibuku meninggal dunia dan dia menanggung puasa satu bulan”. Rasulullah saw. lalu berkata, “Berpuasalah atas nama ibumu?”

 

Berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa hadis-hadis tersebut di atas bertentangan dengan hadis-hadis dari Ibnu ‘Umar ra., “Barang siapa yang meninggal dengan menanggung puasa Ramadhan, hendaklah diberikan makanan atas namanya”; maka itu juga sebuah kekeliruan yang sama seperti sebelumnya karena itu bukanlah hadis-hadis dari Rasulullah saw.

 

Baihaqi menyatakan bahwa hadis-hadis Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Abu Laila, dari Nafi‘, dari Ibnu ‘Umar ra., dari Nabi saw., “Barang siapa yang meninggal dengan menanggung puasa Ramadhan, hendaklah diberikan makanan atas namanya”, statusnya tidak sahih karena Muhammad bin ‘Abdurrahman merupakan Sosok perawi yang sering mengira-ngira. Riwayat ini kemudian diriwayatkan oleh para sahabat Nafi’ dari Nafi’, dari Ibnu “Umar ra., dari ucapannya,

 

Berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa hadis-hadis tersebut di atas bertentangan dengan kiyas jaliy yang dilakukan terhadap shalat, pernyataan keislaman dan tobat karena tidak boleh ada seorang pun yang melakukan hal-hal seperti itu dengan diatasnamakan pada orang lain; maka demi Allah, sungguh itu adalah sebuah kiyas jaliy yang jelas kebatilan dan kerusakannya karena kiyas tersebut telah membantah sunah Rasulullah saw. yang sahih dan jelas, yang justru menjadi saksi atas kebatilan kiyas seperti itu.

 

Kami telah menjelaskan tentang perbedaan antara tindakan mene. rima keislaman seorang kafir setelah orang kafir itu meninggal dunia, dengan diperolehnya manfaat oleh orang muslim dari apa yang dihadiahkan kepadanya oleh saudaranya sesama muslim dalam bentuk pahala puasa, sedekah atau shalat. Demi Allah, perbedaan antara kedua hal tersebut amatlah jelas sehingga tidak dapat disamarkan sedikit pun.

 

Apakah ada kiyas yang lebih jelek daripada kiyas yang dilakukan dengan menyamakan antara manfaat yang diperoleh orang muslim setelah kematiannya dari hadiah yang diberikan oleh saudaranya sesama muslim dalam bentuk pahala, dengan tindakan menerima keislaman seorang kafir setelah orang kafir itu mati? Atau dengan tindakan menerima tobat yang dilakukan atas nama seorang durjana setelah penjahat itu mati?


Tiada ulasan:

Catat Ulasan

sila tulis ulasan anda sesuai dengan taraf ilmu anda, dan terbuka kepada sesiapa ingin memberi ulasan mereka.