Oleh Syekh Muhammad Ibrahim ‘Gazur-i-Illahi’ (Sufi Syatariyyah)
1. “Dan barangsiapa yang buta di dunia ini, maka ia akan buta di akhirat dan lebih tersesat dari jalannya.” [Surah Bani Israil : 72]
Barangsiapa yang belum menjalankan tajalliyat (Pembukaan pengalaman kerohanian) di dunia ini, maka ia tidak mungkin menjalankannya di akhirat nanti. Dunia ini adalah ladang untuk akhirat,
2. ‘Aziz Musaffi berkata bahwa hakikat surga adalah apa yang menguntungkan kita; dan hakikat neraka adalah apa yang tidak menguntungkan; yang satu adalah kebahagiaan dan yang lainnya adalah kecelakaan.
Ada beberapa pintu menuju surga dan neraka. Semua tindakan dan perkataan yang terpuji adalah pintu menuju surga, dan semua tindakan yang tidak terpuji adalah pintu menuju neraka; karena kebahagiaan diperoleh dalam satu kes, dan ketidakbahagiaan dalam kes yang lain.
Ini adalah sumber-sumber ‘kebangkitan kembali perumpamaan-perumpamaan’ di akhirat nanti.
Hal-hal baik seperti tawakal dan ketakwaan terbentuk; dan hal-hal jahat seperti kekufuran dan dosa juga terbentuk.
3. “Masuk ke dalam kekufuran sejati dan keluar dari Islam metaforis.”
Islam metaforis adalah syirik-i-khafi. Berhala yang paling agung yang disembah adalah ‘ke-aku-an’ anda, yang dianggap sebagai wujud anda.
Nafs adalah berhala yang paling besar, dan kewujudannya adalah syirik zat.
Kekufuran sejati adalah pembubaran ‘ke-aku-an’ dalam ‘ke-aku-an’ Tuhan, ‘Kufur’ secara harfiah berarti ‘menutupi’. Sebagaimana petani menutupi benih dengan tanah, maka ia adalah seorang kafir.
Proses kekufuran ini disebut ‘Fad-filiah’, meskipun dalam syara’ merupakan proses bekerja melawan ketetapan dan hukum.
4, Ada dua kelompok sufi iaitu Malamati dan Salamati.
Yang pertama secara lahiriah adalah orang-orang kufur, tetapi di dalam hati, mereka adalah Muslimin dan taat beribadah.
Sementara kekufuran secara harfiah berarti menyembunyikan benih di bawah tanah; di sini berarti fana atau penghapusan jati diri salik, di bawah bayang-bayang keberadaan Tuhan yang menutupi segalanya.
Manakala Salamati dikuasai oleh ketaatan lahiriah, Hazrat Ghawth berkata:
‘‘ Orang-orang berdosa terlibat dalam dosa mereka dan orang-orang yang taat dibayang-bayangi oleh ketaatan mereka, para pencinta Allah terbebas dari keduanya.””
Oleh karena itu Abu ‘Ali Sina menulis kepada Aba Sa‘id Abul-Khair:
“Keluar dari Islam metaforis dan masuk ke dalam kekufuran sejati.”
Jika Anda menginginkan Kebenaran, tinggalkan adat istiadat. Bahkan jika Anda makan sepuluh pounds anggur, anda tidak akan pernah mabuk.
Ketika daging buahnya matang, kulitnya tidak ada gunanya.
5. Syaikh Yahya Munir menulis bahwa cara-cara awliya tidak seragam.
Yang satu makan dengan lahap, dan tidur nyenyak; yang lain kelaparan dan berjaga malam.
Yang satu bergaul dengan orang-orang, dan yang lain menyendiri.
Yang satu berpakaian compang-camping, dan yang lain berpakaian sutra dan linen halus;
dan yang satu diam dan yang lain ikut berbicara;
yang satu menyembunyikan keadaannya, yang lain mengungkapkannya.
Yang satu melayani semua orang, baik yang taat maupun yang berzina; dan yang lain tidak menjawab salam yang terakhir.
Yang satu menerima hadiah tanpa meminta; yang lain tidak menerimanya.
6. Dalam fana (binasa), pengetahuan tentang Fana tetap ada, dan seseorang mencapai di dalamnya Baqa (keabadian) bersamanya.
Dalam Fana-ul-Fana (binasa dari binasa), pengetahuan tentang Fana itu sendiri menghilang dan seseorang mencapai di dalamnya Baqa tanpa pengetahuan ini.
Dalam kes pertama, ia tidak hancur dalam Zat-nya sendiri, dan dalam kes kedua, Haqq tetap abadi dengan pengetahuan tentang dirinya sendiri, Baqa (keabadian) dan Fana tentang 'ghair'-Nya; (yang lain).
'Adum (ketiadaan) tidak memiliki pengetahuan tentang 'ketiadaan'-nya,
7. Sebagian orang lebih mengutamakan ilmu daripada amal, dan sebagian lagi mengabaikan proses ini.
Yang benar adalah bahwa amal adalah ilmu dalam berbentuk.
Lampaui keduanya dan raihlah ‘hal’ (keadaan dzauq), yang merupakan puncak dari keduanya.
Para orang-orang Allah tidak menyibukkan diri mereka dengan hal lain selain pemikiran Tauhid, ilmu, amal dan Hal datang secara berurutan.
Amal yang benar muncul dari ilmu yang benar di bawah bimbingan seorang guru.
8. Dalam Fana, salik menemukan semua ta‘iyyunat (keterbatasan) sebagai tajalliyat (sinaran) Allah dan dirinya sendiri dari mereka; dan ketika mencapai tahap baqa ia menemukannya taiyyunat sebagai miliknya sendiri.
Jadi dalam fana, ilmu salik menghilang dalam ilmu Allah dan dalam yang terakhir, ilmu Allah menghilang dalam ilmu si salik.
Sekarang ia tahu bahwa ia adalah ‘yang diketahui’ sendiri dengan ilmunya sendiri, dan bukan oleh pengetahuan ‘ghayr’ karena ‘ghayr’ dengan ilmunya telah menghilang.
Pengetahuan dan keberadaan Haqq telah menghilang dalam pengetahuan dan keberadaan Diri.
Di sini ia menemukan dirinya sebagai Kebenaran, dan sisanya (dunia) sebagai keberadaan oleh pengetahuannya sendiri.
Salik dalam dualitinya menganggap dirinya ada oleh keberadaan Tuhan; ketika ghayriat (‘keberbedaan’) menghilang, ia menemukan dirinya ada dengan keberadaannya sendiri
Kemudian ia mengetahui dirinya sebagai seorang yang mengetahui dengan ilmu tentang Allah, kini ia menjadi seorang yang mengetahui dengan ilmunya sendiri,
Maulana Ma‘nawi berkata:
“Ilmu Allah menghilang dalam ilmu sufi, Bagaimana orang awam bisa percaya pada hal ini,”
Hilangnya ilmu sufi dalam ilmu Allah mengharuskan fana dan lenyapnya ilmu Allah dalam ilmu sufi mengharuskan baqa.
Ketika ilmu sufi lenyap dalam ilmu Allah, maka Ilmu sufi menjadi ilmu Allah itu sendiri.
Maka dalam kenaikan (‘uruj) sufi menemukan dirinya sebagai Haqq, karena di sini sufi dan ilmunya sama-sama fana atau musnah.
Ketika ilmu Allah lenyap dalam ilmu sufi, maka itu baqa.
Ilmunya menjadi ilmu sufi itu sendiri.
Di sana, ketika buih itu sendiri menjadi hakikat laut, maka ia tidak lagi menjadi buih.
Ketika laut menjadi hakikat buih, maka buih itu menjadi laut itu sendiri dan menemukan hakikat itu sendiri.
Sekali lagi, sufi berada di bawah keterbatasan ilmu dan wujud; ketika ia melarutkan dirinya, maka ilmunya menjadi tak terbatas. Inilah Fana.
Ketika ilmu Allah berada di bawah keterbatasan ilmu sufi, maka ilmunya menjadi ilmu yang terbatas. Inilah Baqa,—laut yang menghilang dalam buih.
Ini adalah tahap penurunan (nuzul).
Mathnawi berkata:
“Ada matahari di setiap zarrah atom,
Seekor singa yang indah di bawah kulit seekor domba.”
Pada tahap pertama, seorang sufi menemukan laut yang tak terbatas dalam batasan keberadaan; yang tak terbatas dalam batasan dirinya ; matahari di dalam atom.
Ketika ia menemukan ilmu dan keberadaan mutlak yang terbatas dalam dirinya, ia berkata:
"Ilmu Allah telah menghilang dalam ilmu sufi.”
Fana adalah binasanya sufi dan terdirinya Haqq;
Baqa adalah kebalikannya.
Karena ‘keberbedaan’ di sini menghilang; dan, dalam kondisi ini seluruh dunia ditemukan terdiri dari Tajalliyat-nya sendiri semua sebagai manifestasi dari nama-nama dan sifat=sifatnya.
Hukum-hukum syari‘at dan tariqat ditiadakan dalam tahap ini.
Fana adalah binasa diri yang tidak nyata (rumah ‘aku’ kosong, seperti yang mereka katakan) dan Baqa adalah timbulnya diri yang nyata dalam satu dan semua.
Dzikir Zat adalah dzikir ana (aku), maka mereka mengatakan ‘Aku adalah Hag’ (Ana’l-Haqq). Dalam kondisi ini ‘keberbedaan’ menghilang.
Hu (Dia) adalah kata ganti orang ketiga; tidak ada keharusan untuk ini, ketika orang tersebut hadir.
Ketika Allah berbicara sendiri, Dia mengatakan ‘Aku adalah Kebenaran’’Ana‘l- Haqq, “‘akulah yang Maha Suci” (Subhani).
Allah itu kekal dalam Zat sufi, dan ilmu tentang Allah itu kekal dalam ilmu sufi.
Ketika sang sufi turun ke tahap yang dijadikan, ia berkata: Hu-al-Haqq (Dia adalah Allah) mengacu pada tahap yang pernah dilaluinya sebelumnya.
Zikir hamba adalah ‘Dia adalah Allah”, dan memberikan kepada-Nya sifat-sifat-Nya dan wazifa atau zikir khusus berarti memberikan sifat-sifat kepada Diri-Nya sendiri.
Ketika Syah ‘Alam mengulang-ulang nama Allah, ia menjadi ‘yang dinamai’ itu sendiri, misalnya Jalali (atau agung) atau jamali (cantik).
Ketika ia mengucapkan nama Al-Jabbar atau Al-Qahar, ia akan muncul dalam bentuk seekor singa atau seekor gajah, dan para pengikutnya akan lari darinya;
ketika ia mengucapkan nama Al-Jamil, ia akan muncul seperti pemuda yang tampan.
9. “Langit tanpa tiang adalah mukjizat sang ‘ariff”
Dari sini, fahamilah apa itu ‘Ariff.
Wujud-i-Mutlak (keberadaan mutlak) adalah Zat murni dari Ariff; jabarut adalah alam sifatnya, malakut adalah alam perbuatannya; dan Nasutr adalah alam athar (akibatnya).
Sebenarnya, ‘keseluruhan’ adalah Ariff itu sendiri.
“Alhamdu lilahi Rabbil ‘alamin” (segala puji bagi Tuhan semesta alam) yang disebutkan di atas.
Seluruh ciptaan dari Aql-i-kul hingga ke bumi memohon perlindungan-Nya.
Jalan lurus (sirati’l-mustaqim) asma (nama-nama) dan para nabi ada bersamanya. Yang mengetahui (‘ariff) dan yang diketahui (ma‘riif) adalah sama.
10. Api cinta menjadi cahaya makrifat dalam jangka panjang; dan ketika hal itu terjadi, ia kehilangan kehangatannya dan mengembalikan kedamaian fikiran, kemudahan, dan kenikmatan.
Matsnawi berkata:
Pada tahap itu pencarian keempat , jangan tinggal di situ kecuali berbicara dengan Allah. Rasa tenang ahli makrifat adalah lebih tinggi derjatnya dari cinta”
Panas cinta membakar satu kali, dan panas makrifat membakar beberapa kali:
Ahli makrifat menjadi fana dan kemudia menjadi baqa setiap gerakan;
kenikmatan kekasih bergantung pada keberadaannya sendiri dan kenikmatan ahli makrifat yang fana bergantu pada Haqq.
Ia menjadi halwa (manisan) itu sendiri; dan pembedaan kenikmatan tidak ada dalam dirinya.
Jami berkata:
“Setiap orang hanya mati satu kali, dan orang miskin Jami mati beberapa kali.”
Cinta adalah tajalli milik Jalal dan makrifat adalah tajalli jamal.
Dalam yang mula, sang kekasih menjadi binasa dan menjadi fana; dan dalam yang lain, sang makrifat menjadi tetap dan baqa.
Dalam yang mula, itu adalah:
“Engkau tidak dapat melihat-Ku,” [Surah Al Araaf : 143] dan dalam yang lain,
‘Lihatlah Tuhanmu” [Surah Al Furqan : 45 ]
dan
“Segala puji bagi-Nya, yang membawa hamba-Nya pada suatu malam dari masjid haram ke masjid Aqsa.” [Surah bani Israil :1]
Dalam satu kes, sang kekasih naik atas kemauannya sendiri, dan dalam yang lain, sang makrifat dipelawa oleh Allah
Tuhan berbicara kepada Nabi Musa dari ‘semak yang menyala’, karena Musa sedang mencari api.
Jika dia menampakkan diri dalam bentuk lain, Musa pasti sudah berpaling.
Bagi manusia berpaling kepada hal yang telah menjadi niat tujuan hatinya.
Bagi sebagian orang, Allah menampakkan diri dalam bentuk ‘pemuda tanpa janggut’;
Bagi Syaikh Bahauddin Naqsbandi, Dia menampakkan diri dalam bentuk Syaikh Nizimuddin Awliya;
Bagi Fatima, putri Nabi dalam bentuk Nabi Muhammad (saw).
Tajaliyat yang terbit di benak fikiran ‘orang-orang yang berhati’ tidak memiliki bentuk.
11. (Segala puji bagi Dia yang telah melakukan perjalanan hamba-Nya di malam hari—mi‘raj).
Di sini intinya adalah bahwa hamba itu tidak pergi, tetapi disuruh pergi.
Bentuk nominatif dari kata kerja adalah ‘Dia’.
Dalam kes Nabi Musa, itu adalah (Musa datang pada waktu yang Kami tentukan); dan
dia menjawab: "Lan tara ni." (Kamu tidak dapat melihat-Ku.)
[Surah Al Araf : 143]
Adapun orang yang dipanggil, jawabannya adalah, 'Alam yalamu bi annalaha yara." (Apakah dia tidak tahu bahwa sesungguhnya Allah melihat.) [surah al alaq : 14]
'Kalimat di malam hari' juga menunjukkan bahwa mata Nabi ditutup dari 'yang lain' (yakni dunia), ketika dia dibawa ke hadirat Allah, sehingga yang melihat dan yang terlihat menjadi Haq.
“Mata (Nabi) tidak berpaling, tidak pula melampaui batas.” {Surah an Najm : 17)
Sebelumnya, Nabi adalah yang melihat dan Tuhan yang terlihat; dia adalah pendengar, dan Tuhan yang berbicara.
Sekarang keadaan telah berbalik.
Kemudian perintahnya adalah: “Qiff ya Muhammad alana Rabbika yusalla.” (Berhentilah, wahai Muhammad, Tuhan sedang mengucapkan namaz kepadamu.) “
Sebelumnya, kamu mengucapkan pujian kepada Tuhan: sekarang Dia mengucapkan pujianmu (yaitu, “Dia mengucapkan pujian kepada Nafs-Nya yang pertama.) Sebelumnya, kamu adalah yang memuji, sekarang, kamu adalah yang dipuji (Muhammad).”
Doa ada dua macam : Sederhana dan Tersusun.
Setiap objek di dunia ini berada dalam doa sederhana.
‘“Yusabbihu lahu ma fis samawati wal ard.” [‘Apa pun yang ada di langit dan di bumi memuji-Nya menyatakan keagungan-Nya.’’) [surat al hasr : 24}
Doa tersusun adalah doa para ahli ibadah dan ‘ariff.
12. Keterbatasan bukanlah ‘ghayr’ Allah, karena keterbatasan tidak memiliki wajib wujud.
Oleh karena itu ketika sālik mencapai fana, ia mencapai wujud selain Wajibul wujud Zat yaitu, ia mencapai wujud sifat.
Oleh karena itu, Mir Hasan Sa‘adat berkata dalam Tanzihatu’l-Arwah bahwa dengan usaha, ‘yang terbatas’) menjadi wali dan bukan Allah.
Jadi, ‘Ana’l-Haqq’ Mansur al Hallaj dan ‘Subhani’ (‘Aku Suci’) bagi Bayazid Bustami hanyalah keterbatasan belaka.
Ini adalah manifestasi dari sifat kalam, yang melaluinya Dia berbicara: “‘Lisanahul ladhi yutakallimu biha.” (Lidah-Nya yang Dia gunakan untuk berbicara.)
Suara dari pohon Sinai: ‘‘Inni anallahu la ilaha illa ana.’ (Aku adalah Tuhanmu; tidak ada Tuhan selain Aku) termasuk dalam kategori yang sama.
Mereka ini, yaitu, Mansur, Bayazid dan ‘Pohon-pohon menjadi pengejawantahan firman Tuhan; mereka hanyalah alat Allah dan bukan Allah itu sendiri.
Dalam Fana, kesadaran salik menghilang; kesadaran berarti ilmu tentang berbagai hal dan penegasan ghayr;
Objek-objek menjadi ada dengan sendirinya di hadapannya.
Jika keadaan ini berlangsung selamanya, ia menjadi seorang majzub atau orang yang gila dalam Allah,
Tiada ulasan:
Catat Ulasan