Oleh Syekh Muhammad Ibrahim ‘Gazur-i-Illahi’ (Sufi Syatariyyah)
1. Mukjizat terjadi ketika ‘ariff turun dari tahap Lahut; karena pada tahap itu ia diserap oleh dirinya sendiri, dan sifat-sifatnya dilenyapkan.
Jika terjadi mukjizat di sana, ia sama sekali tidak menyadarinya; itu terjadi meskipun ia tidak menginginkannya.
Mukjizat yang terjadi dalam kesadaran untuk menyebarkan kebenaran berasal dari Jabarut.
Mukjizat para anbiya dan awliya yang merupakan manifestasi khusus, berasal dari asma-i-jamali, Al-Hadi, Ar-Rashid, dan yang lain-lain, dari ini disebut Istidraj berasal dari asma-i-jalali, Al-Mudhil, dan lain-lain.
Mukjizat bagaikan pena di tangan seorang penulis, tujuannya untuk menunjukkan kekuatan dan kebijaksanaan Allah; karenanya sebab dan akibat tidak ada di sana.
Kebijaksanaan adalah manifestasi nama Allah, Al Hakim. Lakuan perbuatan Allah ditunjukkan dalm makhluk dalam perbatasan. Makhluk tidak ada kuasa,
Jika tidak ada batasan, tindakan akan terjadi dalam skala tak terbatas, dan tidak akan bergantung pada urutan sebab dan akibat.
Manfaat Riyadat dan Mujahadat adalah untuk menghilangkan kegelapan keterbatasan ini dari cermin Qalb, dan membuat jiwa menjadi bergilap; sehingga lakuan terjadi dalam skala tak terbatas.
Sifat Mutlak menjadi sifat terbatas; ketika keterbatasan dihilangkan, sifat terbatas atau terhad kembali menjadi mutlak.
Penghapusan keterbatasan ini terjadi pada salik di jabarut dan bukan di Lahut atau Malakut atau Nasut.
Al-Ghazali tidak percaya pada keberadaan sebab dan akibat dalam dua tahap pertama. Bersamanya adalah:
Lautan dalam keberadaannya memiliki gelombang dan ombak.
Syaikh Gazur-i-Ilahi dan Syaikh Muhiyyudin Ibn Arabi menelusuri sebab dan akibat hingga manifestasi nama Ilahi.
Al-Hakim yang Bijaksana, sebagaimana semua fenomena lainnya ditelusuri hingga manifestasi nama-nama Ilahi lainnya.
Artinya, mereka berpendapat bahwa segala sesuatu terjadi sesuai dengan rencana yang ditetapkan secara ilahi dalam tahap Asma.
Mukjizat dan Keramat hanya berbeda dalam hal ini, bahwa dalam mukjizat penampakannya dilakukan oleh nabi; dan dalam Keramat kerahasiaannya diperhatikan oleh para awliya.
Jika kerahasiaan itu disingkirkan, keramat menjadi mukjizat, sebagaimana wilayat menjadi kenabian, saat ia diperlihatkan.
Para nabi lebih unggul daripada waliyyat, hanya karena hal ini, dan atas perintah Ilahi untuk mengajak manusia kepada kebenaran.
Oleh karena itu, para waliyyat mengikuti para nabi, oleh karena itu:
“Barangsiapa mencari jalan yang berlawanan dengan jalan Nabi, Tidak akan pernah sampai ke tujuannya.” [Sadi]
Dikatakan: ‘Wilayat lebih baik atas kenabian” ; namun, tidak dikatakan bahwa seorang Wali lebih unggul daripada seorang nabi; karena nabi memiliki tugas tambahan untuk mengajak manusia ke jalan Allah.
2. Dalam Qurb-i-Farayad, Allah adalah aktor dan hamba adalah instrumen-Nya.
“Ketika kamu melemparkan segenggam debu (dalam perang Badar), bukan kamu yang melemparkannya, tetapi Allah sendiri.” [surah al Anfal : 17]
Pada pandangan awam, Nabi yang melontar.
Nabi Ibrahim memanggil keempat burung yang telah dicincang dan dibagi-bagikan dan ditempatkan di puncak bukit yang berbeda, untuk membuktikan hidup selepas mati (Hidup di akhirat).
Bacalah surah Al Baqarah ayat 260 tentang cerita ini.
Dalam Qurb-i-Nawafil, prosesnya terbalik, si hamba membungkus dirinya dengan sifat-sifat Allah, misalnya, membungkus dirinya dengan sifat hidup, maka yan mati itu dihidupkannya . Ini adalah tahap Wilayat dan bukan Nubuwat atau kenabian.
3. Allah meniupkan RuhNya ke dalam Adam, maka Adam pun hidup; dan Nabi Isa meniupkan nafasnya ke dalam burung dari tanah liat; dan maka burung itu pun hidup.
Yang meniupkan nafas adalah sama dalam kedua kasus tersebut.
“Kita semua adalah buluh, dan Dia adalah peniup seruling.”
Semua gerak atas perintah-Nya. Semua gerak di Dunia adalah manifestasiNya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan