Catatan Popular

Isnin, 5 Mei 2025

PERTANYAAN KEENAM BELAS PASAL (15) : HADIS “BARANG SIAPA YANG MENINGGAL DENGAN MENANGGUNG PUASA, HENDAKLAH WALINYA YANG BERPUASA ATAS NAMANYA.”

PASAL : Berkenaan dengan bantahan yang kalian sampaikan terhadap hadis-hadis Rasulullah saw. yang berbunyi,

“Barang siapa yang meninggal dengan menanggung puasa, hendaklah walinya yang berpuasa atas namanya.”

 

Dengan beberapa sisi yang kalian sampaikan; maka kami ingin membela hadis-hadis Rasulullah saw. dan menjelaskan kesesuaiannya dengan bagian yang benar dari beberapa sisi itu. Adapun untuk bagian yang bathil dari apa yang kalian sampaikan, maka kami rasa cukuplah kebatilan itu bertentangan dengan hadis-hadis sahih yang jelas yang sama sekali tidak boleh disangkal dan tidak boleh disikapi dengan cara apa pun ketika kita menerima, kecuali hanya dengan mendengar, menaati, tunduk, dan menerimanya karena kita tidak memiliki hak untuk memilih lagi setelah adanya hadis-hadis sahih. Alih-alih, pilihan yang ada hanyalah dengan menerimanya, termasuk walaupun hadis-hadis itu ditentang oleh semua orang yang ada di antara timur dan barat.

 

Adapun berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa kalian akan menolak hadis-hadis itu dengan menggunakan pendapat Imam Malik dalam al-Muwaththa yang berbunyi, “Tidak boleh ada seorang pun yang berpuasa atas nama orang lain”, maka sebenarnya orang-orang yang membantah kalian menyatakan bahwa mereka akan membantah pernyataan Imam Malik itu dengan sabda Rasulullah saw. Kalau sudah seperti itu, maka kelompok manakah yang lebih benar dan lebih bagus bantahannya?

 

Adapun berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa Imam Malik menyatakan bahwa hal itu sudah menjadi ijmak yang tidak ada perselisihan lagi di dalamnya; maka sebenarnya Imam Malik rahimahullah tidak pernah menyampaikan ijmak umat ini dari semua muslim yang ada di antara timur bumi sampai baratnya karena yang Imam Malik sampaikan, yaitu pendapat penduduk Madinah yang sampai kepadanya dan memang tidak ada bantahan atas pendapat itu yang sampai kepadanya. Apalagi posisi Imam Malik rahimahullah yang tidak mengetahui adanya perselisihan pendapat dalam hal itu tidak dapat menggugurkan hadis-hadis Rasulullah saw. Alih-alih, apabila semua penduduk Madinah berijmak atas sesuatu, maka mereka pasti akan berijmak bahwa mengambil hadis-hadis dari sosok yang maksum (yaitu Rasulullah saw.) jauh lebih utama daripada mengambil pendapat penduduk Madinah yang sama sekali tidak dijamin kemaksuman mereka dalam pendapat dan pernyataan mereka. Dan lagi, Allah swt. dan Rasulullah saw. tidak pernah menetapkan bahwa pendapat penduduk Madinah adalah hujah yang harus ditolak semua yang bertentangan dengannya. Allah swt. justru berfirman,

 

“..kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (QS. an-Nisa’ [4]: 59)

 

Apabila Imam Malik dan penduduk Madinah telah menyatakan bahwa tidak boleh ada seorang pun yang berpuasa atas nama orang lain, maka Hakam bin “Utaibah dan Salamah bin Kuhail telah meriwayatkan dari Said bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas, bahwa dia memfatwakan dalam, perkara qada’ puasa Ramadhan: Hendaklah diberikan makanan atas nama orang yang bersangkutan, sementara pada puasa nazar: Hendaklah dilakukan puasa atas nama orang yang bersangkutan. Ini menjadi mazhab Imam Ahmad dan mayoritas Ahli Hadis dan juga merupakan pendapat Abu’ Ubaid.

 

Abu Tsaur menyatakan bahwa puasa hendaklah dilakukan atas nama orang yang bersangkutan baik menyangkut puasa nazar (yang belum ditunaikan oleh orang yang terlanjur mati—Penj.) maupun puasa yang lainnya. Hasan bin Shalih menyatakan dalam perkara puasa nazar. Hendaklah walinya berpuasa atas nama orang yang bersangkutan.


Tiada ulasan: