PASAL : Apabila ada yang bertanya, Apakah disyaratkan pada sampainya pahala kepada orang mati bagi pelaku ibadah untuk menghibahkan pahalanya dengan ucapannya? Ataukah sudah cukup untuk sampainya pahala itu kepada si orang mati dengan niat si pelaku ibadah untuk menghadiahkannya kepada orang lain?
Jawaban atas pertanyaan itu yaitu sebagai berikut:
Tidak ada satu pun hadis-hadis di dalam sunah yang mensyaratkan pernyataan pemberian hadiah pahala. Alih-alih, Rasulullah saw. membiarkan tidak terikatnya suatu perbuatan yang dilakukan atas nama orang lain, semisal puasa, haji dan sedekah. Beliau tidak berkata kepada orang yang melakukan ibadah yang bersangkutan, “Ucapkanlah “Wahai Allah ini adalah atas nama fulan bin fulan”. Allah swt. tentu mengetahui niat dan maksud hamba-Nya dengan amal yang dilakukannya, Namun apabila seorang hamba melafalkan niatnya, maka itu boleh; dan apabila dia tidak melafalkannya dan merasa cukup dengan niat dan tujuannya, amal itu akan sampai kepada orang yang bersangkutan. Orang yang bersangkutan tidak perlu mengucapkan, “Wahai Allah, sesungguhnya aku berpuasa besok atas nama si fulan bin fulan.”
Atas dasar inilah-wallahu a’lam—terdapat syarat bagi orang yang mensyaratkan niat amal perbuatan atas nama orang lain untuk meniatkannya sebelum melaksanakan amal ibadah yang bersangkutan, dengan tujuan agar amalan tersebut benar-benar dilakukan atas nama si mayat.
Adapun apabila dia melakukannya untuk dirinya sendiri, lalu dia meniatkan untuk menghadiahkan pahalanya kepada orang lain, pahala amal perbuatannya itu tidak dapat berpindah begitu saja kepada orang lain yang bersangkutan hanya dengan niat, sebagaimana halnya apabila seseorang melakukan hibah, memerdekakan budak atau bersedekah, semua itu tidak akan dapat tercapai jika hanya berupa niat semata.
Di antara yang menjelaskan hal itu, yaitu bahwa apabila seseorang mendirikan suatu tempat dengan niat untuk menjadikan tempat itu sebagai masjid, madrasah, atau tempat penyimpanan air, atau lainnya, maka tempat itu menjadi wakaf dengan tindakannya yang diiringi niat tanpa perlu dilafalkan. Begitu pula halnya apabila seseorang menyerahkan suatu harta kepada seorang miskin dengan niat zakat, maka sudah gugurlah kewajiban zakat dari dirinya walaupun dia tidak melafalkan zakat.
Begitu pula halnya apabila seseorang melunasi suatu utang atas nama orang lain, baik orang si pengutang itu masih hidup maupun sudah mati, tanggungan orang itu sudah gugur walaupun ketika orang tersebut melakukan pelunasan dia tidak melafalkan, “Ini atas nama si fulan.”
Apabila ada yang bertanya, “Apakah perlu bagi pemberi hadiah pahala untuk mengucapkan “Wahai Allah, apabila Engkau menerima amalku ini, berikanlah pahalanya kepada Fulan,” ataukah tidak perlu ada ucapan seperti itu?
Jawaban atas pertanyaan itu yaitu, pernyataan seperti itu tidak diperlukan baik dalam bentuk lafal maupun dalam bentuk maksud. Bahkan tidak ada gunanya syarat seperti itu karena Allah swt. pasti akan melakukan itu baik dia menyebutkan syarat seperti itu maupun tidak. Kalau memang Allah swt. melakukan yang bukan seperti yang dimaksudkan oleh si pelaku ibadah tanpa adanya syarat, barulah syarat seperti itu ada gunanya.
Berkenaan dengan ucapan si pelaku ibadah “Wahai Allah apabila Engkau menerima amalku ini, berikanlah pahalanya kepada fulan”, maka sebenarnya hal itu dilakukan berdasarkan adanya anggapan bahwa pahala lebih dulu akan jatuh ke tangan pelaku ibadah. Setelah itu barulah pahala itu berpindah darinya kepada orang yang dia hadiahkan pahala itu kepadanya. Padahal kenyataannya tidaklah seperti itu, tetapi apabila si pelaku ibadah pada saat melakukan ibadah yang bersangkut. an meniatkan ibadahnya atas nama si Fulan, pahala amal itu lebih dulu akan jatuh ke tangan orang yang dihadiahi pahala ibadah tersebut.
Contohnya, yaitu apabila seseorang memerdekakan budak milik. nya atas nama orang lain, kami tidak menyatakan bahwa hak perwalian (wala’) budak itu jatuh ke tangan orang yang memerdekakan budak itu lebih dulu, kemudian hak itu berpindah ke tangan orang yang pemer. dekaan budak itu dilakukan atas namanya. Demikianlah hal ini adanya. Wallahul muwaffiq.
Apabila ada yang menanyakan apakah yang paling afdal dihadiahkan kepada orang yang sudah mati?
Jawabannya adalah: Yang paling afdal dihadiahkan kepada orang mati yaitu apa pun yang paling bermanfaat bagi dirinya. Pemerdekaan budak dan sedekah atas nama orang yang sudah mati jauh lebih utama daripada puasa yang dilakukan atas namanya. Adapun sedekah yang paling utama yaitu sedekah yang sesuai dengan kebutuhan pihak penerima sedekah (mutashaddaq ‘alaih) dan sedekah yang berkesinambungan berkelanjutan.
Salah satu di antara contoh sedekah seperti itu yaitu seperti yang disabdakan oleh Rasulullah saw., “Sedekah yang paling utama yaitu mengalirkan air.” Tentu saja hal ini berlaku di tempat yang mengalami kekurangan air dan banyak orang yang kehausan karena kalau kondisi yang terjadi tidak seperti itu, maka sedekah berupa penyaluran air melalui sungai-sungai dan saluran-saluran air tidak lebih utama dibandingkan pemberian makanan di tengah kelaparan.
Demikian pula halnya doa dan istigfar untuk memohonkan ampunan bagi orang yang sudah mati, apabila dilakukan dengan penuh keyakinan, keikhlasan, dan ketundukan dari orang yang melakukannya, maka ketika itu dilakukan pada tempat yang tepat itu lebih afdal davipada sedekah atas orang mati tersebut, seperti shalat jenazah dan doa di atas kuburannya.
Singkatnya, amalan yang paling utama dihadiahkan kepada orang Mati yaitu: memerdekaan budak, sedekah, istighfar, doa dan haji. Berkenaan dengan bacaan al-Quran yang pahalanya dihadiahkan kepada orang mati dan dilakukan secara suka rela tanpa upah, maka pahalanya akan sampai kepada orang mati yang bersangkutan, seperti sampainya pahala puasa dan haji.
Apabila ada yang menyatakan bahwa amalan seperti ini tidak pernah dikenal pada masa salaf dan tidak mungkin pula amalan seperti itu dinukil dari salah seorang di antara mereka dengan segala hasrat mereka dalam melakukan kebaikan. Sebagaimana Rasulullah saw. juga tidak pernah menunjukkan mereka untuk melakukan amalan itu karena beliau telah membimbing mereka untuk berdoa, beristighfar, bersedekah, berhaji dan berpuasa (yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal). Kalau memang pahala bacaan al-Quran dapat sampai kepada orang yang sudah meninggal, Rasulullah saw. pasti juga akan membimbing mereka agar melakukan hal itu dan mereka pasti akan mengamalkan amalan itu.
Jawaban atas pertanyaan seperti itu, yaitu bahwa orang yang menyampaikan pertanyaan tersebut apabila dia mengakui sampainya pahala haji, puasa, doa, dan istigfar. Hendaklah dikatakan kepadanya bahwa kekhususan seperti itu tidak dapat menghalangi sampainya pahala bacaan al-Quran (kepada orang yang sudah mati), tetapi hanya menunjukkan sampainya pahala amalan-amalan tersebut (kepada orang yang sudah mati—Penj.). Tindakan seperti itu tidak lebih dari bentuk pembedaan terhadap beberapa hal yang sebenarnya serupa!
Kalaupun tidak ada yang mengakui semua itu, kecuali hanya si orang mati yang bersangkutan, maka orang yang berpendapat seperti tersebut di atas tetap terpatahkan pendapatnya oleh Kitabullah, sunah, ijmak dan kaidah-kaidah syariat.
Adapun berkenaan dengan sebab yang membuat kalangan salaf tidak tampak pernah melakukan amalan yang satu ini (menghadiahkan pahala bacaan al-Quran kepada orang yang sudah mati—Penj.), maka sebenarnya itu terjadi karena mereka belum berada pada kondisi yang membuat mereka perlu menghadiahkan bacaan al-Quran kepada Orang yang sudah meninggal. Bahkan mereka tidak mengenal sama sekali amalan seperti itu. Mereka tidak pernah mendatangi kuburan untuk membaca al-Quran di situ seperti yang banyak dilakukan saat ini. Dan tidak pernah pula ada seorangpun di antara mereka yang didatangi oleh orang yang bersaksi bahwa pahala bacaan al-Quran dihadiahkan kepada si fulan yang sudah meninggal dunia. Bahkan tidak pula pahala sedekah atau pun puasa.
Lalu hendaklah dikatakan kepada orang yang berpendapat sepertj itu, “Apabila anda ditugaskan untuk menukil dari salah seorang di an. tara generasi salaf yang pernah mengucapkan doa “Wahai Allah pahala puasa ini untuk si fulan”, Anda tentu tidak akan bisa, karena mereka orang-orang yang sangat berusaha menyembunyikan amalan-amalan baik, sehingga mereka tidak pernah mempersaksikan pada Allah ten. tang sampainya pahala bacaan al-Quran kepada orang-orang mati.
Apabila dikatakan bahwa Rasulullah saw. telah membimbing mereka untuk melaksanakan ibadah puasa, sedekah, dan haji (untuk dihadiahkan pahalanya kepada orang yang sudah mati), tetapi beliau tidak pernah memberikan bimbingan seperti itu menyangkut bacaan al-Quran, maka jawaban atas pernyataan itu adalah sebagai berikut:
Rasulullah saw. tidak pernah mendahului menyampaikan bimbingan seperti itu kepada mereka. Tetapi selalu saja semua itu muncul dari Rasulullah saw. sebagai bentuk jawaban dari beliau kepada mereka.
Ada sahabat yang bertanya kepada beliau tentang haji yang dilakukan atas nama keluarganya yang sudah mati, maka beliau pun mengizinkan sahabat itu melakukannya. Lalu ada sahabat lain yang bertanya kepada beliau tentang puasa (yang dilakukan dengan niat pahalanya untuk orang yang sudah mati—Penj.), maka beliau pun mengizinkan sahabat itu melakukannya. Lalu ada sahabat lain yang bertanya kepada beliau tentang sedekah (yang dikeluarkan dengan niat pahalanya untuk orang yang sudah mati—Penj.), maka beliau pun mengizinkan sahabat itu melakukannya. Rasulullah saw. tidak pernah melarang para sahabat dari semua ibadah yang selain itu. Apakah ada perbedaan antara sampainya pahala puasa yang pelaksanaannya hanya dengan niat dan menahan diri dari semua hal yang membatalkan puasa, dengan sampainya pahala bacaan al-Quran?
Orang yang menyatakan bahwa tidak ada seorang pun dari kalangan salaf yang pernah melakukan amalan seperti itu tidak lain merupakan orang yang tidak memiliki ilmu tentang masalah itu. Kenyataan ini menjadi bukti yang menunjukkan penafian terhadap segala yang tidak diketahuinya.
Bagaimana mungkin dia dapat mengetahui bahwa kalangan salaf melakukan amalan seperti itu, sementara mereka tidak pernah mempersaksikan amalan seperti itu kepada orang-orang yang ada bersama mereka. Alih-alih, cukuplah bagi mereka bahwa Allah mengetahui niat dan maksud mereka. Apalagi pengucapan niat untuk menghadiahkan amalan seperti itu sama sekali tidak disyaratkan,. seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Satu hal yang tersembunyi dari masalah ini yaitu, bahwa pahala merupakan milik pelaku amal ibadah yang bersangkutan. Apabila kemudian orang tersebut memberikan atau menghadiahkan pahala itu kepada saudaranya sesama muslim, pasti Allah akan menyampaikan pahala itu kepada saudaranya. Jadi apakah kiranya yang dapat mengecualikan pahala bacaan al-Quran dari hal ini, dan apakah gerangan yang dapat menghalangi seorang hamba untuk mengirimkan pahala bacaan al-Quran-nya kepada saudaranya? Padahal ini merupakan amalan yang dilakukan oleh banyak orang sampai-sampai orang-orang mungkar pun melakukannya sepanjang masa, di mana saja tanpa ada satu pun ulama yang mengingkarinya.
Apabila ada yang bertanya tentang pendapat kami mengenai hadiah bacaan al-Quran untuk Rasulullah saw., maka jawaban atas pertanyaan itu ialah sebagai berikut:
Ada di antara para ahli fikih generasi belakangan yang menyatakan bahwa hukumnya mustahab. Namun, ada yang menyatakan bahwa hukum amalan seperti itu bukan mustahab, bahkan menganggapnya sebagai bidah. Karena para sahabat tidak pernah melakukan amalan seperti itu. Dan lagi, Rasulullah saw. sudah memiliki bagian dari semua pahala yang didapat oleh semua umat beliau dari segenap perbuatan baik yang mereka lakukan, tanpa mengurangi sedikit pun pahala mereka. Karena beliaulah yang menunjukkan umat beliau untuk melakukan berbagai bentuk kebaikan. Beliau pun yang membimbing mereka dan menyeru mereka menuju kebaikan itu. Sebab “barang siapa yang menyeru ke arah hidayah, maka dia mendapatkan bagian dari pahala seperti pahala semua orang yang mengikutinya, tanpa dikurangi sedikit pun dari pahala mereka semua itu.” Setiap hidayah dan pengetahuan yang diterima oleh umat Rasulullah saw. selalu melalui tangan beliau saw., sehingga Nabi saw. berhak memiliki pahala seperti pahala sem, orang yang mengikutinya, baik yang beliau tunjukkan kepada mereka, maupun yang tidak. Wallahu a’lam.