PASAL Adapun mengenai pernyataan orang yang berpendapat bahwa tempat ruh-ruh setelah kematian terjadi adalah di dalam tubuh-tubuh lain yang berbeda dari tubuh-tubuh mereka di dunia.
Pendapat seperti ini mengandung kebenaran, tapi juga mengandung kebatilan.
Bagian yang benar dari pendapat ini adalah bagian yang dikabarkan oleh Rasulullah ash-Shadiq al-Mashdiiq saw. mengenai ruh-ruh para syuhada; bahwasanya ruh-ruh mereka berada di dalam tembolok burung hijau yang hinggap di lentera-lentera yang tergantung di Arsy. Lentera-lentera itu bagaikan sarang bagi burung-burung tersebut. Rasulullah saw. secara gamblang menyatakan dalam sabda beliau, “Allah menempatkan ruh-ruh mereka di dalam rongga tubuh burung hijau.”
Adapun sabda Rasulullah saw. yang berbunyi, “Nyawa orang mukmin adalah burung yang makan (atau bergelantung) di pepohonan surga”, mengandung kemungkinan pengertian bahwa burung tersebut menjadi kendaraan bagi ruh sebagaimana layaknya badan baginya. Hal itu terjadi bagi sebagian dari kaum mukminin dan para syuhada. Akan tetapi, mungkin pula pengertian dari sabda Rasulullah itu, yaitu bahwa ruh menjelma dalam wujud burung. Pendapat ini dipilih oleh Abu Muhammad bin Hazm dan Abu ‘Umar bin ‘Abdul Barr.
Pernyataan Abu ‘Umar dan bantahan terhadap pendapatnya telah kami sampaikan di bagian yang lalu.
Adapun pendapat Ibnu Hazm; dia menyatakan bahwa pengertian dari sabda Rasulullah saw., “Nyawa orang mukmin adalah burung yang makan (atau bergelantung)” adalah sebagaimana pengertian lahiriahnya, bukan seperti dugaan orang-orang dungu. Rasulullah saw. mengabarkan bahwa nyawa orang mukmin adalah burung yang makan (atau bergelantung) dan itu berarti bahwa ruh orang mukmin dapat terbang di dalam surga, bukan bahwa ruh itu menjelma dalam wujud burung.
Dia (Ibnu Hazm) menyatakan bahwa apabila muncul pernyataan bahwa “nasamah” adalah kata berbentuk feminin (mu‘annats), kami akan menyatakan bahwa sebuah cerita yang sahih telah disampaikan tentang seorang Arab yang fasih berkata, “Suratku telah sampai padamu!” (atatka kitabi) dan dia menggunakan verba feminin (fi’il muannats) “atat” untuk menyebut “kitab” yang merupakan kata maskulin (ism mudzakkar).
Orang yang menjadi lawan bicara si Arab fasih itu pun balik bertanya, “Apakah engkau menjadikan feminin kata “kitab?”
Orang Arab fasih itu balik bertanya, “Bukankah surat itu isinya lembaran (shahifah)?”
Demikianlah pula halnya dengan kata “nasamah” (berbentuk feminin) yang berarti “rah” (berbentuk maskulin), sehingga kata nasamah itu pun diubah menjadi maskulin disebabkan hal itu.
Dia (Ibnu Hazm) menyatakan bahwa adanya tambahan di dalam dalil tersebut di atas yang menyebutkan bahwa ruh-ruh itu “berada di dalam tembolok burung hijau”, sebenarnya itu merupakan penjelasan tentang sifat lentera-lentera yang menjadi tempat hinggap burung-burung tersebut. Kedua hadis-hadis itu sebenarnya adalah satu Hadis-hadis tunggal.
Tentu saja, apa yang dinyatakan olehnya (Ibnu Hazm) merupakan pendapat yang sangat rusak baik dari segi lafalnya maupun pengertiannya karena sebenarnya hadis, “Nyawa orang mukmin adalah burung yang makan (atau bergelantung) di pepohonan surga” bukanlah Hadis-hadis “Ruh-ruh para syuhada berada di dalam tembolok burung hijau.”
Adapun apa yang dijelaskannya itu tampaknya berkaitan dengan hadis-hadis pertama. Adapun hadis-hadis yang kedua, sama sekali tidak ada kemungkinan pengertian seperti itu karena Rasulullah saw. mengabarkan bahwa sub-ruh mereka berada di dalam tembolok burung; atau dinyatakan pula dengan kalimat, “…berada dalam rongga tubuh burung hijau”; atau dinyatakan pula dengan kalimat, “…burung putih”. Kemudian Rasulullah saw. mengabarkan bahwa burung tersebut berhilir mudik di dalam surga, Makan dari buah-buahannya, minum dari sungai-sungainya, lalu mereka hinggap di lentera-lentera yang bergantungan di bawah Arsy, sehingga lentera-lentera itu bagaikan sarang bagi burung-burung itu.
Jadi, pernyataannya (Ibnu Hazm) bahwa tembolok burung-burung itu merupakan sifat lentera-lentera yang dihinggapinya adalah sebuah kesalahan yang parah! Karena sebenarnya lentera-lentera itu merupakan tempat hinggap burung-burung tersebut.
Sampai di sini, ada tiga perkara yang dijelaskan secara gamblang oleh hadis-hadis di atas, yaitu: 1. Arwah, 2. Burung yang ruh-ruh tersebut ada di dalam rongga tubuhnya, dan 3. Lentera-lentera yang menjadi tempat hinggap burung-burung tersebut.
Lentera-lentera yang disebutkan dalam hadis-hadis itu tetap berada di bawah Arsy dan tidak dapat berhilir mudik. Burung-burung itu dapat berhilir mudik ke sana ke mari. Sementara itu, ruh-ruh itu berada di dalam rongga tubuh burung-burung itu.
Apabila dikatakan bahwa ada kemungkinan pengertian bahwa jiwa (nafs)-lah yang menjelma menjadi wujud burung, bukan bahwa ia berada di dalam tubuh burung, berdasarkan firman Allah swt.,
“Dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.” (QS. al-Infithar [82]: 8)
Dan hal itu ditunjukkan oleh sabda Rasulullah saw. dalam lafal yang lain, “Ruh-ruh mereka seperti burung hijau”. Seperti itulah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah, Abu Mu’awiyah menuturkan kepada kami, dari A’masy, dari “Abdullah bin Murrah, dari Masruq, dari ‘Abdullah. Abu “Umar menyatakan, “Pendapat yang tepat menurutku-wallahu a’lam-adalah bahwa pernyataan orang yang berpendapat bahwa “seperti burung” (ka-thair) artinya adalah “berbentuk burung” (shuwar thair) disebabkan kecocokannya dengan hadis-hadis yang telah disebutkan, yaitu hadis-hadis dari Ka‘b bin Malik yang menuturkan tentang nyawa (nasamah) orang mukmin.
Jika ada yang menyatakan seperti itu, jawabannya yaitu hadis-hadis, tersebut memang telah diriwayatkan dengan menggunakan dua kalimat tersebut. Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam, kitab ash-Sahih, dari hadis-hadis riwayat A’masy, dari Masruq berbunyi “Ruh-ruh mereka berada di dalam rongga tubuh burung hijau”. Hadis-hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu “Abbas dan Ka’b bin Malik Hadis-hadis mereka berdua tidak berikhtilaf bahwa ruh-ruh itu berada di dalam rongga tubuh burung hijau (fi ajwaf thair khudhr).
Adapun hadis-hadis Ibnu ‘Abbas ra. berbunyi: ‘Utsman bin Aby Syaibah menyatakan, ‘Abdullah bin Idris menuturkan kepada kanji, dari Muhammad bin Ishaq, dari Isma‘il bin Umayyah, dari Abu Zubair, dari Said bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Ketika saudara-saudara kalian gugur (maksudnya dalam Perang Uhud) Allah swt. menempatkan ruh-ruh mereka di rongga tubuh burung hijau yang minum dari sungai-sungai surga dan makan dari buah-buahannya. Mereka hinggap di lentera-lentera emas yang bergan. tungan di naungan Arsy. Ketika mereka mendapati semerbak minuman dan makanan serta keindahan tempat tidur mereka, mereka pun ber. kata, “Siapakah yang dapat menyampaikan kepada saudara-saudara kami bahwa kami semua hidup di dalam surga dengan dilimpahi rezeki, agar mereka tidak lari dari peperangan dan tidak menghindari Jihad?” Allah swt. lalu berfirman, “Aku akan menyampaikan ucapan kalian itu kepada mereka.” Allah lalu menurunkan ayat,
“Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran [3]: 169)
Adapun Hadis-hadis Ka‘b bin Malik yang termaktub dalam keempat kitab Sunan dan kitab Musnad karya Imam Ahmad dengan lafal dari riwayat Tirmidzi, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya ruh-ruh para syuhada berada dalam burung hijau yang makan (atau bergelantung) di buah-buahan surga atau pepohonan surga.” Tirmidzi menyatakan bahwa status hadis-hadis ini hasan sahih.
Tidak ada mudarat apa pun dalam hal ini. Ia tidak melanggar kaidah syariat apa pun dan tidak bertentangan dengan nas mana pun dari Kitabullah ataupun sunah Rasulullah saw. Alih-alih hal ini merupakan bentuk kesempurnaan pemuliaan Allah swt. bagi para syuhada dengan mengganti tubuh-tubuh mereka yang telah dirusak oleh musuh-musuh Allah, dengan tubuh-tubuh baru yang lebih baik dari tubuh lama mereka yang tubuh-tubuh baru itu menjadi “kendaraan” bagi ruh-ruh mereka demi tercapainya kenikmatan mereka dengan tubuh-tubuh baru jtu. Kelak ketika Hari Kiamat tiba, Allah akan mengembalikan ruh-ruh mereka ke badan-badan yang dulu menjadi tempat ruh-ruh mereka ketika masih hidup di dunia.
Apabila ada yang mengatakan bahwa pendapat seperti ini menunjukkan paham reinkarnasi dan menitisnya arwah ke dalam tubuh yang bukan tubuh mereka, maka jawaban atas pernyataan itu, yaitu sebagai berikut:
Pengertian ini telah ditunjukkan oleh sunah yang jelas sebagai sebuah kebenaran yang wajib diyakini. Pengertian ini tidak dapat dianggap batil hanya karena disebut sebagai paham reinkarnasi. Hal ini sama dengan sifat-sifat Allah swt. yang telah ditunjukkan oleh dalil aqli dan dalil naqli, serta nama-nama-Nya yang disebut al-asma’ al-husna, semuanya semata-mata merupakan kebenaran yang tidak dapat dianggap batil hanya karena dituduh oleh kalangan sesat yang menyebut hal itu sebagai tarkib dan tajsim.
Kalangan sesat itu menyebut bahwa Arsy Allah tabaraka wa ta‘ala “bertempat” dan “berarah”, dengan tujuan agar dengan itu mereka dapat mencapai penafian terhadap ketinggian-Nya atas segenap makhluk-Nya dengan persemayaman-Nya di atas arsy-Nya.
Hal ini sama dengan tindakan kaum Syi’ah Rafidhah yang menyebutkan kesyi‘ahan semua sahabat Rasulullah saw. dengan kecintaan dan doa bagi mereka semua. Atau seperti tindakan aliran Qadariyah Majusiyah yang menyebut takdir sebagai pemaksaan. Padahal hakikat segala sesuatu bukan pada penyebutannya, melainkan pada hakikatnya.
Yang ingin saya sampaikan dengan penjelasan di atas yaitu untuk Menunjukkan bahwa penyebutan terhadap apa yang ditunjukkan oleh sunah yang jelas bahwa ruh-ruh para syuhada berada di dalam rongga burung hijau itu dengan istilah “‘reinkarnasi” tidak dapat menggugurka, pengertian ini karena reinkarnasi yang batil adalah seperti apa yang di nyatakan oleh musuh-musuh para rasul dari kalangan kafir dan lainnya yang semuanya mengingkari adanya akhirat; yaitu dengan menyatakan bahwa ruh-ruh manusia setelah terpisah dari badannya akan berpindah ke jasad berbagai jenis binatang, serangga dan unggas yang sesuai dan bentuknya menggambarkan ruh yang bersangkutan.
Apabila ruh-ruh manusia telah berpisah dari jasad-jasad mereka mereka akan berpindah ke tubuh-tubuh binatang itu untuk merasakan nikmat atau menerima siksa. Setelah itu, ruh-ruh tersebut akan berpisah lagi dari tubuh-tubuh binatang itu untuk berpindah lagi ke tubuh-tubuh lain yang sesuai dengan perbuatan dan akhlak ruh-ruh yang bersangkutan. Dan demikian seterusnya. Itulah “tempat kembali” bagi semua ruh menurut mereka, sebagai bentuk pemberian nikmat atau siksa bag; ruh-ruh tersebut. Tidak ada “tempat kembali” bagi ruh-ruh itu selain hanya dengan bentuk seperti itu. Inilah “reinkarnasi” yang batil dan bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh semua rasul dan nabi dari yang paling pertama sampai yang paling terakhir. Keyakinan seperti ini adalah bentuk kekufuran kepada Allah dan Hari Akhir.
Kelompok ini menyatakan bahwa tempat tinggal ruh-ruh setelah terpisah dari badan-badan mereka, berada di dalam tubuh binatang yang sesuai dengan ruh yang bersangkutan. Ini merupakan pendapat yang paling batil dan busuk.
Di bawah mereka adalah pendapat orang yang menyatakan bahwa ruh-ruh manusia akan musnah begitu saja dengan terjadinya kematian sehingga tidak ada ruh apa pun yang akan mengenyam nikmat atau merasakan azab. Alih-alih, kenikmatan dan siksa akan dirasakan oleh seluruh atau sebagian anggota tubuh; baik bagian tubuh itu adalah Tulang Ekor maupun bagian yang lain. Allah menciptakan sakit dan nikmat di dalamnya. Atau kenikmatan dan siksa akan dirasakan dengan dikembalikannya kehidupan kepadanya seperti yang dinyatakan oleh sebagian pengikut pendapat ini; atau dengan tanpa dikembalikannya kehidupan kepadanya, menurut pendapat sebagian yang lain dari mereka. Jadi, menurut mereka tidak ada azab apa pun di dAlam Barzakb kecuali hanya terhadap jasad.
Sementara itu yang menjadi tandingan mereka, yaitu orang yang menyatakan bahwa ruh tidak dikembalikan ke dalam jasad dengan cara apa pun juga dan tidak memiliki hubungan lagi dengannya. Azab dan nikmat hanya akan dirasakan oleh ruh.
Sunah yang jelas dan mutawatir telah menolak pendapat kelompok yang pertama dan kelompok yang kedua. sunah menjelaskan bahwa siksa akan ditimpakan kepada ruh dan juga jasad dalam kondisi keduanya persatu dan sendiri-sendiri.
Apabila ada yang bertanya, “Anda telah menjelaskan tentang berbagai pendapat orang-orang tentang tempat menetap dan tempat diambilnya arwah manusia. Jadi, yang manakah pendapat yang paling tepat di antara semua pendapat itu agar kami dapat mengikutinya?”’
Jawaban atas pertanyaan itu adalah sebagai berikut:
Ruh-ruh memiliki perbedaan tempat tinggal di Barzakh dengan perbedaan yang sangat beragam.
Di antara mereka ada arwah yang berada di illiyyin yang tertinggi (a’la ‘illiyyin) pada al-Mala al-A’la. Mereka adalah ruh-ruh para nabi shalawatullah wa salamuhu ‘alaihim,. Dan mereka juga berbeda-beda tempatnya seperti yang dilihat oleh Rasulullah saw. pada malam Isra’
Di antara mereka ada ruh-ruh yang berada di dalam tembolok burung hijau yang hilir mudik di dalam surga ke mana pun sekehendak mereka. Ini adalah ruh-ruh sebagian dari para syuhada, bukan mereka secara keseluruhan. Mereka adalah para syuhada yang ruhnya tertahan untuk dapat memasuki surga disebabkan adanya utang atau perkara tertentu yang masih harus ditanggungnya. Demikian yang dijelaskan dalam al-Musnad karya Imam Ahmad, dalam sebuah riwayat dari Muhammad bin ‘Abdullah bin Jahsy; bahwasanya suatu ketika seseorang mendatangi Rasulullah saw. lalu berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang kudapat seandainya aku terbunuh di jalan Allah?” Rasulullah saw. menjawab, “Surga!” Akan tetapi, ketika orang itu beranjak pergi, Rasulullah saw. berujar, “Kecuali apabila ada utang. Jibril baru saja menyampaikan kepadaku.’’
Di antara mereka ada yang tertahan di depan gerbang surga. Demikian yang dinyatakan dalam sebuah hadis lain, “Kulihat sahabat kalian tertahan di depan gerbang surga.”
Di antara mereka ada yang tertahan di kuburnya. Seperti yang disebutkan dalam Hadis-hadis tentang pencuri mantel yang mati syahid. Kala itu orang-orang berkata, “‘Berbahagialah Karena dia mendapatkan surga!” Akan tetapi, Rasulullah saw. menukas “Tidak! Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya, mantel yang dia curi itu akan menyulut api di dalam kuburnya!”
Di antara mereka ada yang tempat tinggalnya berada di gerbang surga. Seperti yang disebutkan dalam hadis-hadis dari Ibnu Abbas ra “Para syahid berada di tepi sungai di gerbang surga pada kubah, hijau. Rezeki mereka keluar menuju mereka dari surga di setiap pagi dan petang.” (HR. Ahmad). Kondisi ini berbeda dengan yang dialami oleh Ja’far bin Abu Thalib ra. yang Allah swt. telah men, beri ganti bagi kedua tangannya dengan dua sayap yang dapat ia gunakan untuk terbang di dalam surga sekehendaknya.
Di antara mereka ada yang tertahan di bumi karena ruh mereka tidak dapat naik ke al-Mala al-A’la. Itu adalah ruh-ruh rendah yang bersifat ardi (al-anfus al-ardhiyyah) karena jiwa-jiwa yang bersifat ardi tidak akan dapat berkumpul dengan jiwa-jiwa sama. wi (al-anfus as-samawiyyah). Sebagaimana ruh-ruh bersifat bumi tidak dapat berhimpun dengan ruh-ruh yang bersifat langit ketika mereka masih hidup di dunia. Jiwa yang ketika di dunia tidak pernah mengenal Rabb-nya, tidak – pernah memiliki cinta kepada-Nya, tidak pernah berzikir mengingat-Nya dan tidak pernah bermesraan dalam takarub pada-Nya adalah jiwa yang bersifat ardi dan rendah (ardhiyyah sufliyyah), sehingga tidak ada tempat baginya setelah ia terpisah dari jasadnya, kecuali hanya dij bumi yang rendah itu.
Sementara itu jiwa yang bersifat luhur (an-nafs al-ulwiyyah) yang ketika di dunia senantiasa tekun dalam mahabah kepada Allah, zikir mengingat-Nya dan bermesraan dalam takarub pada-Nya, setelah ia terpisah dari jasadnya pasti akan bergabung dengan ruh-ruh luhur (al-arwah al-ulwiyyah) yang cocok dengannya karena setiap orang akan bersama orang yang dicintainya di Barzakh dan di Hari Kiamat. Allah swt. memasangkan jiwa-jiwa manusia antara satu sama lain di Barzakh dan di Hari Kiamat. Seperti yang telah disebutkan dalam hadis, “Dan Dia menempatkan ruhnya (ruh orang mukmin) bersama jiwa-jiwa baik.” Maksudnya, bersama ruh-ruh baik yang serupa dengan ruh mukmin tersebut. Jadi, setelah terpisah dari jasadnya ruh akan bergabung dengan ruh-ruh lain yang serupa dengannya, yaitu para saudara dan orang-orang yang memiliki perbuatan yang serupa dengannya. Dia akan berada bersama mereka di sana.
Di antara mereka ada ruh-ruh yang berada di dalam tanur; yaitu para perempuan pezina dan para lelaki pezina dan ada pula ruh-ruh yang berenang dalam sungai darah sembari dilempari batu.
Jadi jelaslah bahwa ruh-ruh manusia—baik yang bahagia maupun yang sengsara—tidak memiliki satu tempat tinggal yang sama. Alih-alih, ada ruh yang tinggal di ‘Illiyyun yang tertinggi tetapi ada pula ruh ardi rendah yang sama sekali tidak dapat naik meninggalkan bumi. Apabila anda mencermati pelbagai sunah dan atsar dalam masalah ini, lalu Anda perhatian semuanya sungguh-sungguh, maka Anda akan mengetahui kebenaran pendapat saya ini.
Jangan pernah Anda menduga bahwa antara berbagai atsar yang sahih dalam masalah ini terdapat pertentangan. Semua atsar itu benar adanya dan saling membenarkan satu sama lain. Hanya saja memang ada perbedaan pada pemahaman mengenai semua itu dan pengetahuan tentang jiwa serta berbagai hukum yang melekat padanya karena jiwa memiliki kondisi yang berbeda dengan kondisi badan. Ruh dapat berada di dalam surga yang berada di langit tetapi terhubung dengan serambi kuburnya yang badannya berada di situ. Ruh adalah sesuatu yang paling cepat gerak, perpindahan, gerak naik, dan gerak turunnya.
Ruh terbagi menjadi ruh yang bebas dan ruh yang tertahan, serta ruh yang luhur dan ruh yang rendah. Setelah ruh terpisah dari badan, ia bisa merasa sehat dan sakit, serta dapat merasakan kelezatan, dan kenikmatan. Ruh dapat merasakan sakit yang lebih besar daripada yang dirasakannya ketika ia masih terhubung dengan badan. Di situ terjadi penahanan, rasa nyeri, siksa, sakit, dan nestapa. Di situ pula terjadi kelezatan, kenyamanan, kenikmatan, dan kebebasan.
Tentu saja kondisi ruh di dalam badan seperti itu mirip dengan kondisi badan ketika berada di dalam perut ibunya dan kondisi ruh setelah terpisah dari badan mirip dengan kondisi badan setelah keluar dari perut ibunya ke dunia.
Jiwa memiliki tempat tinggal, yang tiap-tiap tempat tinggal lebih besar daripada yang sebelumnya. Keempat tempat tinggal itu adalah sebagai berikut:
Tempat tinggal pertama: Perut ibu yang begitu terbatas, sempit dan menyesakkan dengan tiga lapis kegelapan.
Tempat tinggal kedua: Dunia yang di situ jiwa bertumbuh dan mengayominya. Di situlah jiwa meraih kebaikan, keburukan, dan jalan menuju kebahagiaan ataupun kesengsaraan.
Tempat tinggal ketiga: Barzakh yang lebih luas dan lebih besar daripada dunia. Bahkan perbandingannya dengan dunia ini adalah Seperti perbandingan antara dunia ini dengan perut itu.
Tempat tinggal keempat: Negeri Penentuan; yaitu surga atau neraka yang tidak ada tempat lagi Setelah itu.
Allah swt. terus memindahkan jiwa manusia pada semua tempat tinggal itu setahap demi setahap, sampai akhirnya Dia menghantarkan jiwa manusia ke tempat tinggal yang tidak dapat ditinggali oleh yang selainnya dan tidak layak bagi yang selainnya. Itulah tempat yang diciptakan sebagai tempat bagi jiwa serta disiapkan bagi amal perbuatan yang menghantarkan jiwa itu ke tempat tersebut.
Pada setiap tempat tinggal itu, jiwa manusia memiliki hukum dan kondisi tertentu yang saling berbeda di antara semua tempat tinggal itu. Mahasuci Allah yang telah menciptakan dan membentuknya, mematikan dan menghidupkannya, membuatnya bahagia serta membuatnya sengsara, yang telah menciptakan perbedaan padanya sesuai derajat-derajat kebahagiaan dan kesengsaraannya, sebagaimana Dia juga menciptakan perbedaan antar berbagai jiwa pada tingkatan-tingkatan ketinggiannya, amal perbuatannya, kekuatannya, dan akhlaknya.
Siapa pun yang mengenalnya seperti yang semestinya, pasti ia akan dapat menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan, selain Allah semata tiada sekutu bagi-Nya. Dzat yang memiliki segenap kekuasaan. Bagi-Nya segala pujian. Di tangan-Nya segala kebaikan. Kepada-Nya segala urusan akan kembali. Dialah pemilik segala kekuatan, pemilik segala kuasa, segala kemuliaan, segala hikmah, dan semua kesempurnaan mutlak secara keseluruhan.
Dengan mengenal jiwanya sendiri, manusia pasti akan membenarkan semua nabi dan rasul yang Allah utus, serta meyakini bahwa ajaran yang mereka bawa adalah kebenaran yang disaksikan pula oleh akal serta dikukuhkan oleh fitrah. Sementara apa pun yang bertentangan dengannya pasti batil.
Wabillahit taufiq.