Diriwayatkan, Syekh Abdul Qodir ditanya oleh
seorang ikhwan, "Apakah pedoman dalam pandangan hidup ber'amal?".
Beliau menjawab: "Bagiku wajib benar pantang untuk berdusta."
Diriwayatkan, pada waktu Syekh menginjak usia muda belia, berusia 18 tahun.
Pada suatu hari yaitu hari Arafah bagi kaum muslimin yang naik haji atau sehari
sebelum 'Iedul Adha, beliau pergi ke padang rumput menggembalakan seekor unta.
Ditengah perjalanan unta tersebut menoleh ke belakang dan berkata kepada beliau
: "Hei Abdul Qodir, kamu tercipta bukan sebagai penggembala
unta."
Peristiwa itu mengejutkan Syekh, dan beliau kembali pulang. Sekembali di
rumahnya, beliau naik ke atap rumahnya, dan dengan mata bathinnya beliau
melihat suatu majelis yang amat besar di Arafah. Setelah itu Syekh datang
menemui ibunya dan berkata : "Wahai Ibunda tercinta, tadi sewaktu saya
menggembala unta, si unta berkata padaku dengan bahasa manusia yang fasih ;
'Hei Abdul Qodir, kamu tercipta bukan sebagai penggembala unta', karenanya bila
bunda mengizinkan, saya ingin mesantren ke negeri Baghdad."
Seperti telah diketahui umum, pada waktu itu Baghdadlah pusat pengetahuan agama
Islam.
Ketika Ibunya mendengar permohonan puteranya, maka keluarlah air matanya,
mengingat ia sudah tua dan suaminya, yakni Ayahanda Syekh Abdul Qodir sudah
lama meninggal dunia; timbul pertanyaan di hati Sang Bunda: apakah aku akan
bertemu lagi dengan puteraku tercinta?
Akan tetapi karena Sang Ibu adalah seorang wanita yang bersih hati, maka ia
tidak menghalangi niat mulia Sang Putra.
Lalu Sang Ibu berkata: "Baiklah wahai anakku, bila memang tekadmu sudah
bulat, Ibu mengizinkanmu mesantren ke Baghdad, ini Ibu sudah mempersiapkan uang
40 dinar yang ibu jahit dalam bajumu, persis dibawah ketiak bajumu. Uang ini
adalah peninggalan Almarhum Ayahmu. Namun sebelum berpisah, Ibu ingin agar kau
berjanji pada ibu, agar jangan pernah kau berdusta dalam segala keadaan."
Syekh Abdul Qodirpun mempersembahkan janjinya pada Sang Bunda : "Saya
berjanji untuk selalu berkata benar dalam segala keadaan, wahai ibunda".
Kemudian berpisahlah ibu dan anak tersebut dengan hati yang amat berat.
Setelah beberapa hari kafilah berangkat, dan Syekh Abdul Qodir turut pula di
dalamnya berjalan dengan selamat, maka tatkala kafilah itu hampir memasuki kota
Baghdad, di suatu tempat, Hamdan namanya, tiba-tiba datang segerombolan
perampok. Enam puluh orang penyamun berkuda merampok kafilah itu habis-habisan.
Semua perampok tadi tidak ada yang memperdulikan, menganiaya atau bersikap bengis
kepada Syekh Abdul Qodir, karena beliau nampak begitu sederhana dan miskin.
Mereka berprasangka bahwa pemuda itu tidak punya apa-apa.
Kemudian ada salah seorang penyamun datang bertanya "Hei anak muda, apa
yang kau punyai?" Kemudian Syekh menjawab :" Saya punya uang 40
dinar".
"Tampang gembel gini ngaku kaya, huh,dasar!", hardik si penyamun
sambil ngeloyor pergi.
Lalu si penyamun menghadap kepala rampok sambil mengadu :" Wahai ketua ,
tadi ada pemuda miskin, ia mengaku mempunyai 40 dinar, namun tidak ada satupun
yang percaya."
"Dasar bodoh, bukannya kalian buktikan, malah dibiarkan, bawa pemuda itu
kesini!", bentak si kepala rampok pada anak buahnya. Lalu Syekh di
hadapkan kepada pimpinan rampok dan ditanya oleh ketua rampok : "Hai anak
muda, apa yang kau punyai?".
Syekh Abdul Qodir menjawab: "Sudah kubilang dari tadi, bahwa aku mempunyai
40 dinar emas, di jahit oleh ibuku di bawah ketiak bajuku, kalau kalian tidak
percaya biar kubuktikan!". Lalu Syekh membuka bajunya dan mengiris kantong
di bawah ketiak bajunya dan sekaligus menghitung uang sejumlah 40 dinar tadi.
Melihat uang sebanyak itu, sang kepala penyamun bukannya bergembira, tapi malah
diam terpesona sejenak, lalu bertanya pada Syekh : "Anak muda, orang lain
jangankan punya uang sebanyak ini, punya satu senpun kalau belum dipukul belum
mau menyerahkan, kenapa kamu yang punya uang sebanyak ini justru selalu jujur
kalau ditanya?".
Syekh menjawab dengan tenang: " Aku telah berjanji pada ibuku untuk jujur
dan tidak dusta dalam keadaan apapun. Jika aku berbohong maka tidak bermakna
upayaku menimba ilmu agama."
Mendengar jawaban itu, sang kepala penyamun tadi bercucuranlah air matanya, dan
jatuh terduduk di kaki Syekh Abdul Qodir sambil berkata : "Dalam keadaan
segawat ini, kau tidak berani melanggar janji pada ibumu, betapa hinanya kami
yang selama ini melanggar perintah Tuhan, sekarang saksikan di hadapanmu bahwa
kami bertobat dari pekerjaan hina ini."
Kemudian kepala perampok tadi dan anak buahnya mengembalikan semua
barang-barang hasil rampokan kepada kafilah, perjalanan dilanjutkan sampai ke
Baghdad. Anak buah perampok semua mengikuti jejak langkah pemimpinnya.
Kembalilah mereka kedalam masyarakat biasa mencari nafkah dengan halal dan
jujur.