Catatan Popular

Selasa, 2 Februari 2016

ABU HAFSHIN DITEGUR



Abu Hafshin menanamkan rasa hormat dan disiplin ke dalam diri sahabat-sahabatnya. Tak seorang pun di antara murid-muridnya yang berani duduk di depannya dan menatap matanya. Di depannya mereka selalu berdiri dan tidak akan duduk sebelum dipersilahkan. Abu Hafshin sendiri duduk di antara mereka bagaikan seorang sultan.
Melihat hai ini Junaid menegurnya: "Engkau mengajari sahabat-sahabatmu tingkah laku seperti menghadap sultan".
"Engkau hanya melihat apa yang terlihat, tetapi bukankah dari alamat surat saja kita dapat menduga apa yang tertulis di dalamnya?" jawab Abu Hafshin.
Setelah itu, Abu Hafshin melanjutkan: "Suruhlah sahabat-sahabatmu memasak kaldu dan halwa".
Junaid lalu menyuruh seorang muridnya memasak kaldu dan halwa. Setelah selesai, Abu Hafshin berkata:
"Panggillah seorang kuli dan letakkan makanan ini ke atas kepalanya. Kemudian suruh ia berjalan sambil membawa makanan ini sampai ia letih dan tak sanggup melanjutkan perjalanan. Di depan rumah siapa pun ia berhenti, suruh ia memanggil si empunya rumah. Dan siapa saja yang membuka pintu, ia berikan saja kaldu dan halwa ini kepadanya".
Si kuli mematuhi segala perintah ini. Ia pun berjalan sampai kelelahan dan tak sanggup lagi meneruskannya. Makanan-makanan itu diletakkannya di depan sebuah rumah, kemudian ia memanggil penghuni rumah itu. Ternyata pemilik rumah itu adalah seorang lelaki yang telah tua, ia menyahut:
"Jika engkau membawa kaldu dan halwa, barulah kubukakan pintu".
"Aku membawa kaldu dan halwa", jawab si kuli. "Masuklah", lelaki itu mempersilahkan setelah membukakan pintu.
"Aku sangat heran", belakangan si kuli mengisahkan kejadian itu. "Aku bertanya kepada lelaki tua itu, 'Apakah yang telah terjadi? Bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku membawa kaldu dan halwa?'. Orang tua itu menjawab, 'Ketika aku sedang berdoa tadi malam, teringat olehku bahwa anak-anakku sudah lama meminta kaldu dan halwa kepadaku. Aku tahu bahwa doaku tadi malam tidaklah percuma".

ABU HAFSHIN BIN AL HADDAD DAN JUNAID AL BAGHDADI



Abu Hafshin bertekad hendak ke tanah suci menunaikan ibadah haji, tapi ia tidak dapat membaca dan berbahasa Arab. Ketika sampai di kota Baghdad, murid-murid sufi saling berbisik.
"Sangatlah memaiukan apabila syeikh dari segala syeikh di Khurasan masih memerlukan juru bahasa untuk memahami bahasa-nya sendiri".
Junaid menyuruh murid-muridnya untuk menyongsong kedatangan Abu Hafshin. Abu Hafshin sendiri menyadari apa yang sedang dipikirkan oleh "para sahabat" itu dan segera ia berbicara dalam bahasa Arab sehingga orang-orang Baghdad itu kagum akan kemurnian bahasa Arabnya. Beberapa cendekiawan berkumpul di sekelilingnya dan bertanya tentang cinta yang menyebabkan seseorang rela mengorbankan diri.
"Engkau lebih pintar berbicara. Jawablah pertanyaan mereka itu", Abu Hafshin berkata kepada Junaid.Al Baghdadi.
"Menurut pendapatku", Junaid memulai, "apabila kita benar-benar mengorbankan diri sendiri, maka kita tidak beranggapan bahwa kita telah mengorbankan diri dan membanggakan segala perbuatan yang telah kita lakukan".
"Hebat sekali", seru Abu Hafshin. "Tetapi menurut pendapatku, mengorbankan diri sendiri berarti berlaku adil kepada orang lain dan tidak mengharap agar orang lain berlaku adil kepada diri kita sendiri".
"Laksanakan petuah ini, hai sahabat-sahabat", Junaid berkata kepada mereka.
"Pelaksanaan yang benar, lebih sulit dari sekedar kata-kata", Abu Hafshin menandaskan.
Ketika mendengar kata-kata Abu Hafshin ini, Junaid berseru kepada sahabat-sahabat:
"Bangkitlah sahabat-sahabat! Di dalam pengorbanan diri sendiri, Abu Hafshin melebihi Adam beserta anak cucunya".

KISAH PENGALAMAN ABU HAFSHIN DI PADANG PASIR



Kemudian Abu Hafshin berangkat mengarungi padang pasir. Inilah pengisahan mengenai pengalamannya di padang pasir itu;
Di tengah padang pasir itu, aku bertemu dengan Abu Thurab dan kami lalu berjalan bersama-sama. Sudah enam belas hari aku tak makan ketika terlihat olehku sebuah telaga. aku ingin minum dan melangkah ke arah telaga itu. Tetapi aku berhenti dan merenung.
"Apakah yang menyebabkan engkau berhenti?", Abu Thurab bertanya kepadaku.
"Aku ingin menyaksikan, mana yang akan menang di antara pengetahuan dengan kepastian, sehingga dapat kupilih yang menang di antara keduanya. Jika kemenangan diperoleh oleh pengetahuan, air telaga ini akan kuminum, tetapi jika kepastian yang menang, aku akan terus berjalan", jawabku.

KISAH MURID ABU HAFSHIN AL HADDAD



Ada seorang murid yang senantiasa melayani Abu Hafshin dengan sangat takzim. Junaid sering memperhatikan si murid karena senang melihat sikapnya. Junaid bertanya kepada Abu Hafshin:
"Sudah berapa tahunkah ia berada di bawah bimbinganmu?"
"Sepuluh tahun", jawab Abu Hafshin.
"Tingkah lakunya tiada bercela dan sikapnya sopan. Benar-benar seorang pemuda yang mengagumkan", Junaid memberi penilaian.
"Ya", jawab Abu Hafshin. "Sudah tujuh belas ribu dinar disumbangkannya untuk tujuan kita ini, kemudian dipinjamnya pula tujuh belas ribu dinar untuk keperluan yang sama. Walau demikian, ia masih belum berani juga mengajukan satu pertanyaan pun kepada kami".

BAGAIMANA ABU HAFSHIN BIN AL HADDAD BERTAUBAT



Ketika masih remaja, Abu Hafshin bin Haddad jatuh cinta kepada seorang gadis pelayan. Ia sedemikian tergila-gila sehingga tak dapat hidup dengan tenang.
"Ada seorang dukun Yahudi yang tinggal di pinggiran kota Nishapur. Ia tentu dapat menolongmu", sahabat-sahabatnya menyarankan.
Maka pergilah Abu Hafshin menemui dukun Yahudi itu dan menerangkan masalah yang sedang dihadapinya.
Si Yahudi menyarankan: "Selama empat puluh hari janganlah engkau melakukan shalat, dengan cara bagaimana pun juga janganlah kau patuhi perintah Allah, dan jangan lakukan perbuatan-perbuatan baik. Selama itu pula jangan engkau sebut-sebut nama Allah dan sama sekali jangan memikirkan hal-hal yang baik. Setelah semua ini engkau lakukan, barulah aku sanggup dengan sihirku membuat kehendakmu itu tercapai".
Selama empat puluh hari Abu Hafshin melaksanakan nasehat si dukun. Setelah itu si dukun membuatkan sebuah jimat untuknya, tetapi ternyata juga masih tak ada hasilnya.
Si Yahudi berdalih: "Sudah pasti bahwa selama ini engkau pernah melakukan perbuatan baik. Jika tidak, tentu tujuanmu itu telah tercapai".
"Tak ada pelanggaran yang pernah kulakukan", Abu Hafshin membela diri. "Satu-satunya kebajikan yang kuingat adalah menyepak sebuah batu ketika aku datang ke sini agar tak ada orang yang tersandung karenanya" .
"Janganlah menjengkelkan Allah yang perintah-perintah-Nya hendak engkau tentang selama empat puluh hari. Dia takkan menyia-nyiakan kemurahan-Nya walau untuk kebajikan kecil seperti yang telah engkau lakukan", cela si Yahudi.
Kata-kata itu mengobarkan api di dalam dada Abu Hafshin, bahkan sedemikian berkobarnya sehingga ia bertaubat melalui si Yahudi itu.
Abu Hafshin terus melakukan usahanya sebagai pandai besi, dan menyembunyikan keajaiban yang telah terjadi terhadap dirinya itu. Setiap hari ia memperoleh uang satu dinar. Dan setiap malam pula uang satu dinar itu diberikannya kepada orang-orang miskin, atau secara sembunyi dimasukkannya ke dalam kotak surat di rumah para janda. Kemudian, bila waktu Isa telah tiba, ia pun pergi mengemis dan dengan uang yang diperolehnya melalui cara ini ia berbuka puasa. Kadang ia mengumpulkan bawang atau lainnya sisa-sisa yang terdapat di kamar cuci umum, lalu dijadikannya sebagai santapannya.
Demikianlah perilaku Abu Hafshin untuk beberapa lama. Pada suatu hari seorang buta berjalan di dalam pasar sambil membaca ayat "Aku berlindung kepada Allah dari syaithan yang terkutuk. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Maka akan ditunjukkan Allah kepada mereka yang tak pernah
mereka sangka sebelumnya...... Ayat ini menyesakkan dada Abu Hafshin sehingga ia tak sadarkan diri. Sehingga, ketika itu dipertukangannya, sebagai ganti jepitan ia masukkan tangannya ke dalam tungku perapian untuk mengambil sepotong besi yang sedang membara. Besi tersebut ia taruh ke atas paron untuk dipalu anak-anak buahnya. Semua anak buah Abu Hafshin tersadar, betapa Abu Hafshin menempa besi panas itu dengan tangannya sendiri.
"Tuan, apakah yang engkau perbuat ini?" seru mereka. "Palu!" Abu Hafshin memberi perintah.
"Tuan, apakah yang harus kami palu?" tanya mereka, "besi ini telah bersih".
Barulah Abu Hafshin sadar. Dilihatnya besi yang membara di tangannya dan didengarnya seruan-seruan anak buahnya: "Besi itu telah bersih. Apakah yang harus kami palu?" Besi tersebut dilemparkannya. Bengkel itu segera ditinggalkannya dan siapa pun boleh mengurusnya.
"Sudah lama sebenarnya aku ingin meninggalkan usaha tersebut, tapi tak dapat. Akhirnya kejadian ini menimpa diriku dan secara paksa membebaskanku. Betapa pun aku mencoba meninggalkan usaha itu, namun sia-sia, akhirnya usaha itu sendiri yang meninggalkan diriku".
Sesudah itu, Abu Hafshin menjalani kehidupan dengan disiplin diri yang keras, menyepi dan bermeditasi.