Catatan Popular

Isnin, 11 Januari 2016

KITAB RAHSIA SHALAT IHYA ULUMUDDIN BAB 6 : MASALAH-MASALAH BENCANANYA



BAB  Tentang masalah-masalah yang berpisah-pisah, yang meratai bencananya dan memerlukan murid mengenalinya. Adapun masalah-masalah yang jarang terjadi, maka dapatlah kita menyelidikinya dalam kitab-kitab fiqih.


Masalah Satu:

Perbuatan yang sedikit, meskipun tidak membatalkan shalat, maka adalah makruh, kecuali diperlukan.

 Umpamanya: menolak orang lalu, membunuh kalajengking yang ditakuti dan mungkin membunuhnya dengan sekali atau dua kali pukul. Apabila tiga kali, maka telah banyak dan batallah shalat. Begitupula kutu dan kutu anjing, apabila menyakitkan badan, maka bolehlah membuangnya. Dan demikian juga, hajatnya kepada menggaruk, yang mengganggu kekhusyu’annya. Adalah Mu’az mengambil kutu dan kutu anjing dalam shalatnya. Dan Ibnu Umar membunuh kutu dalam shalat, sehingga kelihatan darah pada tangannya. Berkata An-Nakha’i: “Bahwa orang yang bershalat itu, mengambil kutu dan membuangnya dan tiada mengapa kalau membunuhnya”. Berkata Ibnul-Musayyab: “Bahwa orang yang bershalat itu mengambil kutu dan menutupkannya, kemudian membuangkannya”. Dan berkata Mujahid: “Bahwa yang lebih baik padaku ialah membiarkan kutu itu, kecuali menyakitinya, sehingga mengganggunya dari shalat, maka disingkirkan sekedar yang menyakitinya. Kemudian sesudah shalat baru dicampakkan”. Itu, adalah suatu keringanan. Kalau tidak, maka yang sempurna, ialah menjaga dari perbuatan, walaupun sedikit. Dari itu, adalah setengah mereka, tiada mengusir lalat dan berkata: “Tidak aku biasakan diriku yang demikian, nanti merusakkan shalatku. Aku mendengar bahwa orang-orang fasiq dihadapan raja-raja, sabar menahan kesakitan yang keras dan tidak bergerak”. Kalau menguap, maka tiada mengapa meletakkan tangan pada mulut. Yang begitu, adalah lebih utama. Dan kalau bersin, maka memujikan Allah di dalam hati & tidak menggerakkan lidah. Dan kalau bersendawa, maka seyogyalah tidak mengangkatkan kepala arah ke langit. Dan kalau jatuh kain penutup badan, maka tidaklah wajar memperbaiki pemakaiannya. Begitupula tepi serban. Semuanya itu makruh, kecuali kalau diperlukan.


Masalah Dua:

Bershalat dengan dua alas kaki, dibolehkan, walaupun membukanya itu mudah.

Dan tidaklah keringanan itu, pada muza (sepatu pansus), karena sukar membukanya. Bahkan najis itu, dima’afkan daripadanya. Dan disamakan dengan najis yang ada pada sepatu pansus itu, najis yang ada pada madas (semacam sandal). Nabi saw mengerjakan shalat dengan dua alas kakinya, kemudian dibukanya. Lalu orang banyakpun membuka alas kaki mereka. Maka bertanya Nabi saw: “Mengapakah kamu membuka alas kakimu?”. Mereka menjawab: “Kami lihat engkau membuka, maka kamipun membuka”. Maka menyambung Nabi saw: “Bahwa Jibril as datang kepadaku, menerangkan bahwa pada kedua alas kakiku ada najis. Apabila bermaksud seorang kamu ke masjid, maka hendaklah membalikkan kedua alas kakinya & memperhatikan pada keduanya. Kalau ia melihat najis, maka hendaklah disapunya dengan tanah & bershalatlah dengan keduanya”. Berkata setengah mereka: “Shalat dengan dua alas kaki itu, adalah lebih utama (afdhal), karena Nabi saw bersabda: “Mengapakah kamu membuka alas kakimu?”. Ini adalah berlebih-lebihan, karena Nabi saw menanyakan mereka, untuk menerangkan kepada mereka sebabnya Nabi saw membuka alas kakinya. Sebab Nabi saw mengetahui, bahwa mereka membuka alas kakinya adalah menyesuaikan perbuatannya dengan perbuatan Nabi saw diriwayatkan oleh Abdullah bin As-Saib, bahwa: “Nabi saw membuka ke2 alas kakinya”. Jadi, Nabi saw telah berbuat dengan membuka ke2 alas kakinya itu. Siapa yang membuka, maka tidaklah wajar meletakkan ke2 alas kakinya itu, pada kanannya atau pada kirinya, lalu menyempitkan tempat & memutuskan shaf. Tetapi hendaklah diletakkan dihadapannya & tidak ditinggalkan di belakang, karena membawa hati menoleh kepada alas kaki itu. Dan mungkin orang yang berpendapat bahwa bershalat dengan keduanya lebih utama, adalah menjaga maksud itu, yaitu: berpalingnya hati kepada kedua alas kaki tersebut. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda: “Apabila mengerjakan shalat seorang kamu, maka hendaklah menjadikan ke2 alas kakinya diantara ke2 kakinya”. Berkata Abu Hurairah kepada orang yang lain: “Letakkanlah keduanya diantara kedua kakimu! Janganlah engkau menyusahkan orang muslim dengan kedua alas kaki itu! Dan Rasulullah saw meletakkan keduanya di sebelah kirinya & beliau adalah imam shalat”. Jadi, imam boleh berbuat demikian, karena tiada berdiri seorangpun pada kirinya. Yang lebih utama, ialah ke2 alas kaki itu, tidak diletakkan diantara ke2 tapak kaki, karena mengganggukannya, tetapi diletakkan di muka ke2 tapak kaki. Kiranya, itulah yang dimaksud dengan hadits tadi. Berkata Jubair bin Muth-‘im: “Meletakkan ke2 alas kaki, diantara kedua tapak, adalah bid’ah”.


Masalah Tiga:

Apabila meludah dalam shalat, maka tidaklah batal shalat, karena itu adalah perbuatan yang sedikit.

Dan yang tidak mendatangkan suara, maka tidaklah dinamakan berkata-kata & tidaklah merupakan bentuk huruf dari kata-kata. Hanya meludah itu, adalah makruh. Dari itu, seyogyalah dijaga daripadanya, kecuali seperti  apa yang diizinkan oleh Nabi saw. Karena diriwayatkan setengah shahabat: “Bahwa Rasulullah saw melihat dahak pada qiblat, maka amat marahlah beliau. Lalu digosokkannya dengan gundar yang ada pada tangannya & bersabda: “Bawalah kepadaku sedikit bau-bauan!”. Lalu beliau letakkan kumkuma pada bekas dahak itu. Kemudian berpaling kepada kami & bersabda: “Siapakah diantara kamu, yang suka meludah di mukanya?”. Maka kami menjawab: “’Tiada seorangpun!”. Menyambung Nabi saw: “Sesungguhnya seorang kamu, apabila masuk dalam shalat, maka sesungguhnya Allah Ta’ala adalah diantaranya & qiblat”. Dan pada riwayat yang lain: “Dia dihadapi oleh Allah Ta’ala. Maka janganlah meludah seorang kamu, di depan mukanya & kanannya. Tetapi di kirinya atau di bawah tapak kirinya. Kalau terburu-buru, maka hendaklah meludah dalam kainnya & hendaklah mengatakan: “Beginilah!”. Dan digosokkan sebahagian dengan sebahagian yang lain”.


Masalah  Empat:

Berdiri ma’mum itu, ada yang sunnat dan ada yang fardlu.

Yang sunnat, ialah: berdiri ma’mum yang seorang di kanan imam, terkebelakang daripadanya sedikit. Dan ma’mum wanita yang seorang, berdiri di belakang imam. Kalau ia berdiri disamping imam, maka tidaklah membawa melarat, tetapi menyalahi sunnah. Kalau bersama ma’mum wanita, ada ma’mum laki-laki, maka ma’mum laki-laki berdiri di kanan imam dan ma’mum wanita di belakang ma’mum laki-laki tadi. Dan janganlah berdiri seorang sendirian di belakang shaf, tetapi masuklah ke dalam shaf atau menarikkan seorang dari shaf kepadanya. Kalau berdiri juga ia sendirian, maka shalatnya syah tetapi makruh. Adapun fardlu, maka yaitu: menyambung shaf. Yakni diantara ma’mum dan imam, ada ikatan yang menghimpunkan, karena keduanya, adalah dalam suatu jama’ah. Kalau keduanya dalam masjid, maka mencukupilah yang demikian itu, menghimpunkan keduanya. Karena masjid itu dibangun untuk yang demikian. Maka tidaklah memerlukan kepada sambungan shaf, tetapi mencukupilah sampai ma’mum itu mengetahui segala perbuatan imam. Abu Hurairah ra mengerjakan shalat pada bahagian atas masjid dengan mengikuti shalat imam. Apabila ma’mum berada di halaman masjid pada jalan besar atau pada lapangan luas milik perkongsian dan tak ada diantara imam dan ma’mum bermacam-macam rumah yang memisahkan, maka memadailah kedekatan, sekedar tembakan anak busur. Dan mencukupilah ikatan dengan yang demikian, karena sampai perbuatan salah seorang daripada keduanya kepada yang lain. Sesungguhnya, disyaratkan apabila ma’mum itu berdiri pada beranda rumah di kanan masjid atau dikirinya dan pintunya menempel pada masjid, maka yang disyaratkan, ialah: bahwa memanjang shaf masjid yang dalam lorongnya, tanpa putus sampai kepada beranda rumah. Kemudian syahlah shalat orang yang dalam shaf itu dan orang yang di belakangnya. Tidak syah orang dihadapannya. Begitulah hukumnya, kalau dalam rumah yang berlain-lainan. Adapun satu rumah dan satu lapangan, maka adalah seperti satu tanah lapang.


Masalah  Lima:
Masbuq (ma’mum yang terkemudian masuk ke dalam shalat), apabila mendapati akhir shalat imam, maka itulah awal shalatnya.


 Maka hendaklah ia menyesuaikan dengan shalat imam, kemudian ia meneruskan shalatnya, ketika imam telah selesai dari shalat. Dan hendaklah ia berqunut Shubuh pada akhir shalatnya sendiri, meskipun ia telah berqunut bersama imam. Kalau masbuq itu mendapati bersama imam sebahagian berdiri, maka janganlah membaca do’a iftitah. Dan hendaklah memulai dengan al-fatihah dan hendaklah meringkaskannya. Kalau imam ruku’ sebelum sempurna al-fatihahnya dan sanggup ia menghubungi imam pada i’tidalnya dari ruku’, maka hendaklah ia menyempurnakan al-fatihah. Dan kalau tidak sanggup, maka ia menyesuaikan dengan shalat imam dan terus ia ruku’. Dan al-fatihah yang dibacanya sebahagian itu, dihitung cukup dan yang tidak dibacanya menjadi gugur, disebabkan ia orang masbuq. Kalau imam ruku’ dan ia sedang membaca surat, maka hendaklah diputuskannya pembacaan itu. Kalau ia mendapati imam dalam sujud atau tasyahhud, maka ia bertakbiratul-ihram, kemudian terus duduk, tanpa takbir perpindahan (takbir intiqalat). Lain halnya, kalau ia mendapati imam pada ruku’, maka ia bertakbir intiqalat, sebagai takbir kedua sesudah takbiratul-ihram pada turunnya kepada ruku’. Karena yang demikian itu, adalah kepindahan yang dihitung baginya. Segala takbir intiqalat yang asli adalah dalam shalat, tidaklah karena hal-hal yang mendatang, disebabkan mengikut imam. Dan ma’mum masbuq itu, tiada memperoleh raka’at, selama tidak berthuma’ninah dalam ruku’ sebagai orang yang ruku’ dan imampun masih dalam keadaan orang yang ruku’. Kalau ia belum menyempurnakan thuma’ninahnya, kecuali sesudah imam keluar dari batas orang yang ruku’, maka dalam keadaan demikian ma’mum masbuq tadi, tidak mendapat raka’at itu.


Masalah  Enam:

Siapa yang luput shalat Dhuhur sampai waktu ‘Ashar, maka hendaklah ia mengerjakan shalat dhuhur dahulu, kemudian baru mengerjakan ‘Ashar.

Kalau ia memulai dengan ‘Ashar, memadai juga, tetapi telah meninggalkan yang lebih utama dan menjerumuskan diri ke dalam persoalan yang diperselisihkan. Kalau ia mendapati imam, maka hendaklah mengerjakan shalat ‘Ashar, kemudian barulah ia mengerjakan shalat Dhuhur sesudahnya. Karena berjama’ah dengan shalat ada’ (shalat dalam waktunya), adalah lebih utama. Kalau ia bershalat sendirian pada awal waktu, kemudian ia mendapati shalat jama’ah, maka bershalatlah lagi dalam jama’ah dan meniatkan shalat waktu itu. Allah Ta’ala akan menghitung mana yang dikehendaki ALLAH. Kalau ia meniatkan shalat yang tertinggal (shalat qodo’) atau meniatkan shalat sunnat, maka bolehlah yang demikian. Kalau ia telah bershalat jama’ah, kemudian memperoleh lagi jama’ah lain, maka hendaklah ia meniatkan shalat yang tertinggal (shalat qodo’) atau shalat sunnat. Karena mengulangi shalat yang sudah dilaksanakan dengan jama’ah, sekali lagi, tak ada alasan baginya. Cara berbuat demikian, adalah untuk memperoleh keutamaan berjama’ah semata-mata.
Masalah:
Siapa yang telah shalat, kemudian melihat pada kainnya najis, maka yang lebih disukai ialah mengerjakan shalat itu kembali dan tidak wajib. Kalau ia melihat najis itu sedang shalat, maka hendaklah dilemparkannya kain itu dan diteruskannya shalat. Dan yang lebih disukai, ialah mengulangi shalat itu kembali. Pokok pemahaman ini, ialah ceritera penanggalan dua alas kaki Nabi saw, ketika diterangkan oleh Jibril as kepadanya, bahwa pada kedua alas kakinya itu ada najis. Nabi saw tidak mengulangi shalatnya.

Masalah  Tujuh:

Siapa yang meninggalkan tasyahhud pertama atau qunut atau selawat kepada Nabi saw

Pada tasyahhud pertama atau berbuat suatu perbuatan karena lupa dan kalau disengaja, shalat menjadi batal, atau ia ragu, lalu tidak diketahuinya, apakah ia telah shalat tiga raka’at atau empat raka’at, maka dalam hal ini, diambil yang yakin dan sujud dua sujud sahwi (sujud karena kelupaan), sebelum salam. Kalau lupa, lalu sesudah salam, manakala ia teringat dalam waktu berdekatan. Maka jikalau ia sujud sahwi sesudah salam dan sesudah berhadats, maka batallah shalatnya. Karena tatkala ia masuk ke dalam sujud, adalah seolah-olah ia menjadikan salamnya itu terlupa, tidak pada tempatnya. Maka tidaklah berhasil tahallul (menjadi halal apa yang dilarang dengan shalat) dengan salam itu. Dan ia telah kembali kepada shalat. Dari itulah, diulangi salam sesudah sujud sahwi. Kalau ia teringat kepada sujud sahwi setelah keluar dari masjid atau setelah lama masanya, maka luputlah waktu untuk sujud sahwi itu.


Masalah  Lapan:

Was-was (bimbang hati) pada niat shalat, adalah disebabkan oleh kelemahan pikiran atau kebodohan tentang agama.

Karena menuruti perintah Allah Ta’ala, adalah seperti menuruti perintah selain ALLAH. Dan mengagungkan ALLAH adalah seperti mengagungkan selain ALLAH, tentang kasad di hati. Siapa yang datang kepadanya seorang ulama, lalu ia berdiri menghormatinya, maka kalau ia mengatakan: “Aku meniatkan berdiri, untuk menghormati kedatangan pak Zaid yang mulia, karena kemuliaannya, menyambut kedatangannya, dengan menghadapkan wajahku kepadanya”, maka perkataan itu, menunjukkan kepada kebodohan. Tetapi sebegitu melihatnya dan mengetahui kelebihannya, terus timbul pendorong untuk menghormatinya. Lalu pendorong itu membawa ia berdiri dan memuliakannya. Kecuali ia berdiri karena urusan lain atau dalam kealpaan. Pensyaratan adanya shalat itu Dhuhur, dalam waktu dan fardlu, dalam keadaannya, menuruti perintah Allah, adalah seperti pensyaratan adanya berdiri yang disertai dengan masuk, serta menghadapkan muka kepada orang yang masuk itu dan tanpa penggerak lainnya, selain yang tersebut dan maksud penghormatan dengan demikian, adalah supaya menjadi penghormatan. Karena kalau ia berdiri membelakangi orang yang mau dihormati atau ia bersabar dahulu, kemudian sesudah sejenak, baru ia bangun berdiri, maka tidaklah itu penghormatan namanya. Kemudian, sifat-sifat tersebut, harus ada, harus dimaklumi dan dimaksudkan. Kemudian tidak lama datangnya pada hati dalam satu detik. Yang lama, hanyalah menyusun kata-kata yang menunjukkan kepada sifat-sifat itu. Adakalanya diucapkan dengan lisan dan adakalanya dipikirkan dengan hati. Siapa yang tidak memahami niat shalat secara ini, adalah seolah-olah ia tiada memahami niat. Sehingga tiada padanya selain daripada anda dipanggil supaya mengerjakan shalat pada suatu waktu, lalu anda terima panggilan itu dan anda tegak berdiri. Was-was itu, adalah semata-mata kebodohan. Segala maksud dan pengetahuan itu, berkumpul dalam hati pada suatu keadaan. Dan tidaklah berpisah-pisah satu dengan lainnya di dalam hati, dari segi dilihat dan diperhatikan semuanya itu oleh hati. Berbeda antara kehadiran sesuatu dalam hati dan perinciannya dengan pemikiran. Kehadiran adalah berlawanan dengan keghaiban dan kealpaan, meskipun tidak diperincikan.

 Siapa yang mengetahui suatu kejadian, umpamanya, maka ia mengetahuinya dengan suatu pengetahuan dalam suatu keadaan. Pengetahuan itu mengandung beberapa pengetahuan yang mendatang, walaupun tiada diperincikan. Siapa yang mengetahui suatu kejadian, sesungguhnya ia telah mengetahui: yang ada (maujud), yang tiada (ma’dum), yang dahulu, yang kemudian dan waktu. Dan yang dahulu itu, adalah untuk tiada dan kemudian itu, adalah untuk ada. Segala pengetahuan tadi, tersimpul di bawah pengetahuan dengan suatu kejadian itu, dengan dalil bahwa orang itu mengetahui kejadian itu, apabila ia tiada mengetahui yang lain. Kalau umpamanya ditanyakan kepadanya: “Adakah anda mengetahui yang dahulu saja atau yang kemudian atau tiada atau terdahulu tiada atau terkemudian ada atau waktu yang terbagi kepada yang  dahulu dan yang terkemudian?”, lalu ia menjawab: “Aku tiada mengetahuinya sekali-kali”, maka adalah dia itu pembohong. Dan perkataannya itu bertentangan dengan perkataannya: “Aku mengetahui kejadian itu”. Dari kebodohan dengan pengertian yang halus ini, melonjaklah ke-waswas-an itu. Orang yang waswas itu, memberatkan dirinya untuk menghadirkan ke dalam hatinya, pengertian ke Dhuhuran, dalam waktu (adaa’) dan fardlu, dalam suatu keadaan yang terperinci dengan kata-kata yang dibacanya. Yang demikian itu, adalah mustahil! Kalau ia memberatkan dirinya yang demikian, mengenai bangunnya untuk menghormati seorang ahli ilmu, niscaya amat sukarlah baginya. Dengan pengetahuan tersebut, tertolaklah waswas itu. Yaitu, ia mengetahui bahwa menuruti perintah Allah Ta’ala dalam niat, adalah seperti menuruti perintah selain ALLAH. Kemudian, aku tambahkan untuk lebih memudahkan dan menjelaskan, bahwa kalau orang yang waswas itu tidak memahami niat, kecuali dengan menghadirkan segala keadaan itu dengan terperinci dan tidak tergambar dalam hatinya dengan sekaligus, mengikuti perintah Allah dan ia menghadirkaan secara keseluruhan yang demikian itu, waktu sedang bertakbir, dari permulaannya sampai kepada penghabisannya, dimana ia tiada selesai daripada takbir itu, melainkan telah berhasillah niat tadi, niscaya memadailah yang demikian. Kita tidak memberatkan orang yang waswas itu, bahwa menyertakan semua tadi, dengan awal takbir atau dengan akhir takbir. Karena yang demikian adalah amat memberatkan. Dan kalau itu disuruh, tentu telah menimbulkan pertanyaan bagi orang-orang dahulu. Dan tentulah mendatangkan waswas bagi seseorang daripada shahabat tentang niat. Maka tidak terjadinya yang demikian itu, adalah menjadi dalil bahwa hal itu dipermudahkan (tidak dipersulitkan). Maka bagaimanakah niat itu menjadi mudah bagi orang waswas, selayaknyalah dicukupkan dengan itu. Sehingga ia terbiasa yang demikian dan ia terpisah daripada sifat waswas. Dan tidak memaksakan dirinya dengan meyakinkan yang demikian itu. Karena untuk meyakinkan itu, menambahkan kewaswasan. Telah kami sebutkan dalam “Al-Fatawa”, cara-cara yang meyakinkan, untuk mendatangkan keyakinan bagi segala pengetahuan dan maksud-maksud yang berhubungan dengan niat, di mana para ulama memerlukan untuk mengetahuinya. Adapun orang awwam, mungkin membawa kemelaratan mendengarnya dan membangkitkan was-was kepada mereka. Dari itu, kami tinggalkan menerangkannya!.

Masalah  Sembilan:

Seyogyalah ma’mum tidak mendahului imam pada ruku’, sujud, pada bangkit daripada keduanya dan pada perbuatan-perbuatan yang lain.

Dan tidak seyogyalah ma’mum menyamai imam, tetapi hendaklah ia mengikuti imam dan menuruti di belakangnya. Inilah, arti mengikuti imam. Kalau ma’mum itu menyamai imam dengan sengaja, tidaklah batal shalatnya, sebagaimana kalau ma’mum itu berdiri di samping imam, tidak terbelakang daripada iman. Kalau ma’mum itu mendahului imam, maka mengenai batal shalatnya terdapat perbedaan paham diantara para ulama. Dan tidaklah jauh daripada kebenaran, kalau dihukum dengan batalnya. Karena diserupakan dengan: kalau ma’mum itu, lebih  ke muka tempat berdirinya daripada imam. Bahkan ini lebih utama lagi, karena berjama’ah ialah mengikuti imam pada perbuatan, bukan pada tempat berdiri. Maka mengikuti pada perbuatan itu, adalah lebih penting!. Disyaratkan, tidak ke muka pada tempat berdiri, adalah untuk memudahkan bagi ma’mum mengikuti perbuatan imam dan untuk memperoleh bentuk mengikuti itu. Karena selayaknyalah bagi yang diikut, mendahului daripada yang mengikut. Tak adalah cara bagi ma’mum mendahului perbuatan imam, kecuali ia terlupa. Karena itulah Rasulullah saw sangat menantangnya, dengan sabdanya: “Apakah tidak takut orang yang mengangkatkan kepalanya sebelum imam, bahwa diputar oleh Allah kepalanya itu, menjadi kepala keledai?”. Adapun terkemudian daripada imam dengan satu rukun, tidaklah membatalkan shalat. Yang demikian itu, umpamanya: imam i’tidal dari ruku’, sedang ma’mum belum lagi ruku’. Tetapi terkemudian sampai batas ini adalah makruh. Kalau imam telah meletakkan dahinya ke lantai, sedang ma’mum belum lagi sampai kepada batas ruku’, niscaya batallah shalat ma’mum itu. Begitu pula kalau imam telah meletakkan dahinya untuk sujud kedua, sedang ma’mum belum lagi sujud pertama.




Masalah  Sepuluh:

Berhaklah orang yang menghadiri shalat, apabila melihat orang lain berbuat salah pada shalatnya, menegur dengan memperbaiki dan menantang.

 Kalau kesalahan itu timbul pada orang  bodoh, maka hendaklah orang bodoh itu dikawani dan diajari. Diantara yang tersebut itu, ialah menyuruh menyamakan shaf, melarang sendirian berdiri di luar shaf dan menegur orang yang mengangkatkan kepalanya sebelum imam dan lain-lain sebagainya. Bersabda Nabi saw: “Neraka wailun bagi orang berilmu, daripada orang bodoh, yang tidak diajarinya”. Berkata Ibnu Mas’ud ra: “Siapa yang melihat orang berbuat salah dalam shalatnya dan tidak ditegurnya, maka dia adalah sekutu orang itu dalam kedosaan”. Dari Bilal bin Sa’ad, bahwa ia berkata: “Kesalahan apabila disembunyikan, maka tidak mendatangkan melarat, kecuali atas orang yang berbuat kesalahan itu. Apabila kesalahan itu telah lahir dan tidak diadakan perobahan, maka adalah memberi melarat kepada orang awwam”. Pada hadits tersebut: “Bahwa Bilal meratakan shaf-shaf shalat dan memukul ujung betis mereka dengan cambuk”. Dari Umar ra, bahwa ia berkata: periksalah saudara-saudaramu yang tidak hadir pada shalat! Apabila kami dapati, mereka tidak menghadiri shalat, kalau mereka sakit, maka hendaklah kamu kunjungi mereka. Dan kalau mereka sehat, maka hendakah kamu menentang mereka. Menentang itu ialah, membantah tehadap orang yang meninggalkan jama’ah. Tidak layaklah mempermudah-mudahkan shalat jama’ah. Orang-orang dahulu, bersangatan benar padanya, sampai sebahagian mereka membawa jenazah  kepada sebahagian orang yang meninggalkan shalat jama’ah, sebagai pertanda bahwa orang matilah yang meninggalkan jama’ah. Tidak orang yang hidup. Siapa yang masuk masjid, hendaklah menuju kebahagian kanan shaf. Dari itulah, berdesak-desak manusia kejurusan itu pada masa Rasulullah saw, sampai orang mengatakan kepada Nabi saw: Telah kosonglah bahagian kiri shaf. Maka menjawab Nabi saw: “Siapa yang meramaikan bahagian kiri masjid, adalah baginya 2 kali pahala”. Manakala dijumpai seorang budak dalam shaf dan ia sendiri tidak memperoleh tempat, maka bolehlah ia mengeluarkan budak itu ke shaf belakang dan ia masuk ke tempat tadi. Ini maksudnya, kalau budak itu belum dewasa. Inilah yang kami maksudkan menyebutnya mengenai masalah-masalah yang meratai bencananya! Dan akan datang hukum beberapa shalat yang bercerai-berai dalam “Kitab Wirid”. Insya Allah Ta’ala!.

KITAB RAHSIA SHALAT IHYA ULUMUDDIN BAB 5 : KELEBIHAN SHALAT JUMA’AT



Tentang kelebihan Jum’at, adabnya, sunnatnya dan syarat-syaratnya KEUTAMAAN JUM’AT (JUMU’AH):

Ketahuilah! Bahwa hari ini (hari Jum’at), adalah hari besar. Dibesarkan oleh Allah agama Islam dengan sebab hari ini dan dikhususkan ALLAH kaum muslimin dengan hari ini! Berfirman Allah Ta’ala: “Apabila ada panggilan untuk mengerjakan shalat di hari jum’at, maka segeralah kamu mengingati Tuhan dan tinggalkanlah jual-beli!”. S 62 Al Jumu’ah ayat 9. Diharamkan mengurus urusan duniawi dan tiap-tiap perbuatan yang menghalangi daripada pergi ke jum’at. Bersabda Nabi saw: “Bahwa Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkan atasmu shalat Jum’at pada hariku ini, pada tempatku ini”. Bersabda Nabi saw: “Siapa yang meninggalkan Jum’at 3 X tanpa halangan, niscaya dicapkan oleh Allah pada hatinya”. Dan pada riwayat lain, berbunyi: “Sesungguhnya ia telah melemparkan Islam kebelakangnya”. Datang seorang laki-laki kepada Ibnu Abbas, menanyakan tentang orang yang mati tidak menghadiri Jum’at dan shalat jama’ah. Maka menjawab Ibnu Abbas: “Dalam neraka!”. Maka bulak-baliklah orang itu kepada Ibnu Abbas sebulan lamanya, menanyakan yang demikian. Tetapi Ibnu Abbas tetap menjawab: “Dalam neraka!”. Pada hadits tersebut: “Bahwa ahli dua kitab itu (orang Yahudi dan Nasrani), diberikan kepada mereka hari Jum’at, maka bertengkarlah mereka, lalu berpaling daripadanya. Dan diberi petunjuk kita oleh Allah Ta’ala untuk menerima hari Jum’at itu dan dikemudiankan oleh Allah memberi kannya kepada ummat ini dan dijadikannya menjadi hari raya bagi mereka. Maka adalah umat ini menjadi manusia yang lebih utama didahulukan dan ahli kedua kitab itu menjadi pengikutnya”. Dan pada hadits yang diriwayatkan Anas daripada Nabi saw bahwa Nabi saw bersabda: “Datang kepadaku Jibril as dan pada tangannya sebuah cermin putih, seraya berkata: “Inilah Jum’at, yang diwajibkan atas engkau oleh Tuhan engkau, untuk menjadi hari raya bagi engkau dan ummat engkau sesudah engkau”. Lalu aku menjawab: “Apakah yang ada untuk kami pada hari Jum’at itu?”. Menjawab Jibril: “Engkau mempunyai waktu yang baik. Barangsiapa berdo’a padanya kebajikan, niscaya dianugerahkan oleh Allah akan dia. Atau dia tiada memperoleh bahagian, maka disimpankan oleh Allah baginya, yang lebih besar. Atau berlindung ia daripada kejahatan yang telah dituliskan kepadanya, niscaya dilindungi Allah yang lebih besar daripada kejahatan itu. Hari Jum’at adalah penghulu segala hari pada kita. Kita bermohon kepada Allah, pada hari akhirat, akan menjadi hari kelebihan!”. Lalu aku bertanya: “Mengapa demikian?”. Maka menjawab Jibril as: “Sesungguhnya Tuhan engkau ‘Azza wa Jalla telah menjadikan dalam sorga sebuah lembah yang luas, dari kesturi putih. Maka apabila datang hari Jum’at, niscaya turunlah Ia dari sorga yang tinggi di atas kursi ALLAH. Lalu jelaslah Ia kepada mereka, sehingga mereka memandang kepada wajah ALLAH yang mulia”. Bersabda Nabi saw: “Sebaik-baik hari yang terbit padanya matahari, ialah hari Jum’at.

Pada hari Jum’at, dijadikan Adam as pada hari Jum’at, ia dimasukkan ke dalam sorga, diturunkan ke bumi, diterima tobatnya, pada hari itu ia meninggal dan pada hari Jum’at itu, berdirinya qiamat. Adalah hari Jum’at pada sisi Allah itu, hari kelebihan. Begitulah hari Jum’at dinamakan oleh para malaikat di langit, yaitu: hari memandang kepada Allah Ta’ala dalam sorga”. Pada hadits, tersebut: “Bahwa pada tiap-tiap hari Jum’at, Allah ‘Azza wa Jalla mempunyai 600.000 orang yang dimerdekakan dari api neraka”. Pada hadits yang diriwayatkan Anas ra, bahwa Nabi saw bersabda: “Apabila selamatlah hari Jum’at niscaya selamatlah segala hari”. Bersabda Nabi saw: “Bahwa neraka Jahim itu menggelegak pada tiap-tiap hari sebelum tergelincir matahari pada tengah hari di puncak langit. Maka janganlah kamu mengerjakan shalat pada saat itu, selain hari Jum’at. Maka hari Jum’at itu, adalah shalat seluruhnya dan neraka Jahannam tiada menggelegak padanya”. Berkata Ka’ab: “Bahwa Allah ‘Azza wa Jalla melebihkan Makkah dari segala negeri, Ramadhan dari segala bulan, Jum’at dari segala hari dan Lailatul-qadar dari segala malam. Dan dikatakan bahwa burung dan hewan yang berjumpa satu sama lain pada hari Jum’at mengucapkan: “Selamat, selamat, hari yang baik!”. Bersabda Nabi saw: “Siapa yang meninggal pada hari Jum’at atau malamnya, niscaya dituliskan oleh Allah baginya, pahala syahid dan dipeliharakan oleh Allah daripada fitnah kubur”.


FASAL 1 PENJELASAN Syarat-syarat Jumu’at.

Ketahuilah! Bahwa shalat Jumu’at itu, menyamai dengan segala shalat yang lain, tentang syarat-syaratnya.

Dan berbeda Shalat Junu’at dari shalat-shalat yang lain itu, dengan 6 macam syarat:

Pertama: waktu. Maka kalau jatuhlah salam imam pada waktu ‘Ashar, niscaya luputlah Jum’at. Dan haruslah menyempur nakan Jum’at itu, menjadi Dhuhur dengan 4 raka’at. Dan orang masbuq (orang yang terkemudian masuknya ke dalam shalat Jum’at) apabila jatuh pada raka’atnya yang terakhir, di luar waktu, maka terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama.
Kedua: tempat. Maka tidak syah shalat Jum’at di padang pasir sahara, di tanah-tanah tandus yang tak berpenghuni dan diantara kemah-kemah. Tetapi haruslah pada tempat yang terdapat padanya rumah-rumah, yang tidak dipindahkan, yang mengumpulkan sejumlah 40 orang, yang wajib bershalat jum’at. Dan kampung adalah seperti negeri. Dan tidak disyaratkan akan kedatangan dan keizinan sultan (penguasa) pada shalat Jum’at itu. Tetapi adalah lebih baik dengan keizinannya.
Ketiga: bilangan. Maka tidak syah Jum’at dengan bilangan yang kurang daripada 40 orang laki-laki, mukallaf (yang telah dipikulkan kewajiban agama, tegasnya: yang telah baligh dan berakal), yang merdeka dan yang bertempat tinggal, dimana mereka tiada berpindah pada musim dingin dan musim panas dari tempat tersebut. Jikalau mereka meninggalkan tempat shalat, sehingga kuranglah bilangan itu, baik waktu sedang khutbah atau di dalam shalat, maka tidaklah syah Jum’at itu. Tetapi, haruslah bilangan tersebut dari permulaan sampai kepada penghabisan shalat.
Keempat: jama’ah. Kalau bershalat orang yang 40 itu, di kampung atau di negeri dengan berpisah-pisah, niscaya tidak syah Jum’at mereka. Tapi bagi orang masbuq, apabila mendapati raka’at kedua, maka bolehlah ia bershalat sendirian pada raka’atnya yang kedua. Dan kalau orang masbuq itu tiada mendapat ruku’ raka’at kedua, maka ia mengikut imam serta meniatkan shalat Dhuhur. Dan apabila imam memberi salam, maka ia menyempurnakan shalat Dhuhurnya.
Kelima: bahwa tidaklah Jum’at itu, didahului oleh shalat Jum’at yang lain dalam negeri itu. Maka kalau sukar berkumpul pada satu tempat shalat Jum’at, niscaya bolehlah pada dua, tiga dan empat, menurut yang diperlukan. Dan jikalau tidak perlu, maka yang syah ialah shalat Jum’at, yang pertama-tama takbiratul-ihramnya. Apabila ternyata perlunya lebih dari satu  Jum’at, maka yang lebih utama, ialah shalat di belakang yang lebih utama daripada dua imam, yang mengimami shalat Jum’at itu. Kalau keduanya sama, maka masjid yang lebih lama, yang lebih utama. Kalau keduanya sama juga, maka yang lebih dekat. Dan mengenai banyaknya orang, juga mempunyai keutamaan yang harus diperhatikan.
Keenam: dua khutbah. Kedua khutbah itu, adalah fardlu. Dan berdiri waktu membaca kedua khutbah itu dan duduk diantara keduanya, adalah fardlu juga. Pada khutbah pertama, terdapat 4 fardlu:
1. Memuji Allah sekurang-kurangnya: “Alhamdulillah” (Segala pujian bagi Allah).
2. Selawat kepada Nabi saw
3. Wasiat (nasehat) dengan bertaqwa kepada Allah Ta’ala.
4. Membaca suatu ayat dari Al-Qur’an.

Begitu pula, yang fardlu pada khutbah kedua, adalah 4 juga, kecuali wajib berdo’a pada khutbah kedua itu, sebagai ganti daripada pembacaan Al-Qur’an pada khutbah pertama. Mendengar kedua khutbah, adalah wajib kepada orang yang 40 itu.

Adapun sunnat: yaitu, apabila telah tergelincir matahari, muadzin telah melakukan adzan dan imam telah duduk di atas mimbar, maka putuslah (tidak boleh lagi) shalat, selain dari shalat tahiyah masjid. Dan berkata-kata tidaklah terputus, kecuali dengan dimulai khutbah. Khatib memberi salam kepada orang banyak, apabila telah berhadapan muka dengan mereka. Dan orang banyak itu, membalas salamnya. Apabila telah siap muadzin daripada adzan, maka bangunlah khatib itu menghadapkan muka kepada orang banyak, tiada berpaling ke kanan dan ke kiri. Ia memegang tangkai pedang atau tangkai kampak dan mimbar dengan kedua tangannya. Supaya ia tidak bermain-main dengan kedua tangan itu atau meletakkan tangan yang satu ke atas lainnya. Khatib itu berkhutbah dua khutbah, diantara keduanya duduk sebentar. Dan tidaklah memakai bahasa yang ganjil-ganjil, berhias dengan irama dan tidak bernyanyi bergurindam. Dan adalah khutbah itu pendek, padat dan berisi. Disunnatkan khatib itu, membaca juga ayat pada khutbah kedua. Dan tidaklah orang yang masuk di dalam masjid, memberi salam, ketika khatib sedang membaca khutbah. Kalau diberinya juga salam, maka tiada berhak dijawab. Dan diisyaratkan dengan penjawaban, adalah lebih baik. Dan tidak juga ber-tasymit kepada orang-orang bersin (membalas pembacaan “Alhamdulillah” dari orang yang bersin, dengan mengucapkan “Yarhamukallah”). Inilah syarat-syarat syahnya Jum’at.

Adapun syarat-syarat wajibnya. Maka Jum’at itu, tiada wajib, selain atas: laki-laki, baligh, berakal, muslim, merdeka dan bertempat tinggal pada suatu desa, yang mencukupi 40 orang yang mempunyai sifat-sifat yang tersebut tadi. Atau pada suatu desa dari pinggir negeri, yang sampai kepadanya seruan adzan dari negeri yang menghubungi kampung itu. Pada saat keadaan tenang dan suara muadzin itu keras meninggi. Karena firman Allah Ta’ala: “Apabila ada panggilan untuk mengerjakan shalat di hari Jum’at, maka bersegeralah kamu mengingati Tuhan dan tinggalkanlah jual-beli”. S 62 Al Jumu’ah ayat 9. Diberi keringan untuk meninggalkan Jum’at, karena berhalangan: hujan, lumpur, takut, sakit dan menjaga orang sakit, apabila orang sakit itu tiada mempunyai penjaga yang lain. Kemudian, disunnatkan kepada mereka yang berhalangan dengan halangan-halangan yang tersebut tadi, supaya mengemudiankan shalat Dhuhurnya, sampai selesai orang banyak dari shalat Jum’at. Kalau orang sakit atau orang dalam berpergian jauh (orang musafir) atau budak atau wanita, menghadiri shalat Jum’at, maka syahlah Jum’at mereka dan mencukupilah, tanpa mengerjakan Dhuhur lagi. Wallahu A’lam! Allah Yang Maha Tahu!.


FASAL 2  PENJELASAN Adab shalat jum’at menurut tertib kebiasaan. iaitu 10 bahagian.

Pertama: bahwa bersedialah sejak hari Kamis untuk shalat Jum’at,

dengan cita-cita dan menghadapkan segala pikiran, untuk menyambut keutamaan Jum’at itu. Maka berbuatlah ibadah dengan: berdo’a, membaca istighfar (memohonkan ampunan Tuhan) dan bertasbih, sesudah ‘Ashar hari Kamis. Karena saat itu adalah saat yang disamakan, dengan saat yang tidak dapat dipastikan waktunya (sebagai saat mustajabah) pada hari Jum’at. Berkata setengah salaf, bahwa Allah Ta’ala mempunyai kurnia, selain daripada rezeki yang diberikan ALLAH kepada segala hamba ALLAH. Dan kurnia itu, tidak dianugerahi ALLAH, selain kepada siapa yang memintanya pada petang Kamis dan hari jum’at. Orang itu pada hari ini, menyucikan kainnya, memutihkannya, menyediakan bau-bauan kalau belum ada padanya. Menyelesaikan hatinya dari segala yang membimbangkan, yang mencegahkan daripada berpagi-pagi ke Jum’at (masjid) dan meniatkan pada malam ini (malam Jum’at) akan puasa hari Jum’at. Berpuasa itu ada kelebihannya. Dan hendaklah puasa itu dikumpulkan dengan hari Kamis atau dengan hari Sabtu, tidak hari Jum’at saja, karena demikian itu makruh hukumnya. Dan bekerja menghidupkan malam Jum’at itu dengan shalat dan mengkhatamkan Al-Qur’an, karena malam itu mempunyai banyak kelebihan. Dan ditarikkan kepada malam Jum’at itu akan kelebihan siangnya. Dan disetubuhinya orang rumahnya pada malam Jum’at atau pada siangnya. Disunnatkan demikian oleh segolongan ulama, yang membawa maksud sabda Nabi saw yang berikut ini, kepada yang demikian, yaitu: “Diberi rahmat oleh Allah kepada orang yang bersegera dan berpagi-pagi, kepada orang yang memandikan (menyucikan) dan yang mandi”. Yaitu: membawa keluarga (orang rumah) kepada mandi. Ada yang mengatakan, bahwa maksudnya: menyucikan kain, lalu diriwayatkan, bahwa perkataan Arabnya, dibacakan dengan tidak bertasydid (yaitu dibacakan: ghasala, tidak: ghassala) dan membersihkan badannya dengan mandi. Dengan ini, sempurnalah adab menyambut kedatangan hari Jum’at. Dan keluarlah dari golongan orang-orang yang alpa, mereka yang bertanya pada pagi-pagi hari Jum’at: “Hari apakah sekarang?”. Berkata setengah salaf: “Manusia yang lebih sempurna nasibnya hari Jum’at, ialah orang yang menunggu hari Jum’at dan menjaganya sejak kemarin. Dan orang yang paling ringan nasibnya, ialah orang yang berkata pada pagi-paginya: “Hari apakah sekarang?”. Sebahagian mereka, bermalam pada malam Jum’at di masjid, karena lantaran Jum’at itu.

Kedua: apabila sudah pagi Jum’at, maka mulailah mandi setelah terbit fajar.

Kalau tidak akan berpagi-pagi ke masjid, maka mendekatkan mandi kepada waktu sesudah gelincir matahari, adalah lebih baik, sebab lebih mendekatkan masanya dengan kebersihan. Mandi itu sangat disunnatkan. Setengah ulama, berpendapat wajib. Bersabda Nabi saw: “Mandi Jum’at itu wajib atas tiap-tiap orang yang dewasa”. Yang termahsyur ialah hadits yang diriwayatkan Nafi’ dari Ibnu Umar ra: “Siapa yang datang ke Jum’at, maka hendaklah mandi”. Bersabda Nabi saw: “Siapa yang hadir ke Jum’at, baik laki-laki atau wanita, maka hendaklah mandi”. Adalah penduduk Madinah, apabila memaki-maki diantara dua orang, maka berkata yang seorang kepada lainnya: “Sungguh, engkau lebih jahat daripada orang yang tidak mandi pada hari Jum’at”. Berkata Umar kepada Usman ra tatkala ia masuk ke dalam masjid, sedang Umar membaca khutbah: “Bukankah saat ini dilarang meninggalkan berpagi-pagi?”. Maka berkata Usman ra: “Setelah aku mendengar adzan, tidak lain daripada aku berwudlu dan terus pergi”. Menyambung Umar ra: “Dan wudlu juga! Bukankah engkau ketahui, bahwa Rasulullah saw  menyuruh kita mandi?”. Dan dapatlah diketahui dengan wudlu Usman ra itu, boleh meninggalkan mandi. Dan dengan apa yang diriwayatkan, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang berwudlu pada hari Jum’at, maka baiklah Jum’atnya dan siapa yang mandi, maka mandi itu adalah lebih baik”. Siapa yang mandi karena berjunub (janabah), maka hendaklah menyiramkan air kepada badannya, satu kali lagi dengan niat mandi Jum’at. Kalau dicukupkannya dengan suatu mandi saja, maka mencukupilah. Dan memperoleh kelebihan (pahala) apabila ia berniat keduanya (mandi janabah dan mandi Jum’at). Dan masuklah mandi Jum’at itu, ke dalam mandi janabah. Telah datang sebahagian shahabat kepada anaknya yang sudah mandi. Lalu bertanya: “Apakah mandimu itu untuk Jum’at?”. Maka menjawab anak dari shahabat yang bertanya itu: “Tidak, tetapi untuk janabah!”. Lalu menyambung shahabat tadi: “Ulangilah mandi yang kedua!”. Dan ia meriwayatkan hadits tentang mandi Jum’at atas tiap-tiap orang yang dewasa. Dan sesungguhnya disuruh demikian, karena belum diniatkan mandi Jum’at itu. Dan tidaklah jauh daripada yang sebenarnya, bahwa dikatakan: yang dimaksudkan ialah: kebersihan. Dan kebersihan itu telah berhasil tanpa niat. Tetapi ini terisi juga dengan wudlu. Mandi itu pada agama adalah merupakan pendekatan diri kepada Tuhan. Dari itu, maka seharusnyalah dicari kelebihan (pahalanya). Orang yang telah mandi, kemudian berhadats, niscaya mengambil wudlu. Dan tidaklah batal mandinya. Yang lebih baik, hendaklah ia menjaga diri daripada berhadats itu.

Ketiga: berhias. Iaitu: disunnatkan pada hari ini (hari Jum’at).

 Iaitu: tiga perkara: pakaian, kebersihan dan bau-bauan. Adapun kebersihan, adalah dengan bersugi, mencukur rambut, mengerat kuku, menggunting kumis dan lainnya daripada apa yang telah diterangkan dahulu pada: kitab bersuci. Berkata Ibnu Mas’ud: “Siapa yang mengeratkan kukunya pada hari Jum’at, niscaya dikeluarkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla daripadanya penyakit dan dimasukkan ALLAH  kepadanya obat”. Kalau sudah masuk hammam pada hari Kamis atau hari Rabu, maka telah berhasillah yang dimaksud. Lalu hendaklah pada hari Jum’at itu, memakai bau-bauan yang terbaik yang ada padanya, supaya hilanglah segala bau yang tidak menyenangkan. Dan sampailah bau-bauan yang harum itu kepada penciuman orang yang datang ke masjid, yang duduk di kelilingnya. “Bau-bauan yang terbaik bagi laki-laki, ialah yang keras baunya dan tiada terang warnanya. Dan yang terbaik bagi wanita, ialah yang terang warnanya dan tidak keras baunya”. Ucapan ini, diriwayatkan dari perkataan shahabat Nabi saw (atsar). Berkata Asy Syafi’i ra: “Siapa yang bersih kainnya, niscaya kuranglah kesusahannya dan siapa yang baik baunya, niscaya bertambahlah akalnya”. Adapun pakaian, maka yang lebih baik adalah pakaian putih, karena pakaian yang lebih disukai Allah Ta’ala ialah yang putih. Dan tidak dipakai, apa yang padanya kemahsyuran. Pakaian hitam, tidaklah dari sunnah Nabi saw dan tak ada padanya kelebihan (pahala). Tetapi segolongan ulama berpendapat, makruh memandang kepada pakaian hitam, karena bid’ah yang diada-adakan sesudah Rasulullah saw serban adalah disunnatkan pada hari Jum’at. Diriwayatkan Watsilah bin Al-Asqa’, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Bahwa Allah dan para malaikat ALLAH berdo’a kepada orang-orang yang memakai serban pada hari Jum’at”. Kalau menyukarkan baginya oleh karena panas, maka tidak mengapa dibuka sebelum shalat dan sesudahnya. Tetapi tidaklah dibuka, waktu berjalan dari rumah ke Jum’at, waktu mengerjakan shalat, waktu imam naik ke atas mimbar dan waktu sedang khutbah.

Keempat: berpagi-pagi ke masjid (masjid jami’).

Dan disunnatkan menuju ke masjid Jami’ yang terletak dua atau tiga farsakh jaraknya (satu farsakh adalah kira-kira 8 km). Dan hendaklah berpagi-pagi benar ke tempat shalat Jum’at. Dan waktu berpagi-pagi itu, masuk terbit fajar. Keutamaan berpagi-pagi itu besar sekali. Dan seyogyanya berjalan ke Jum’at itu dengan khusyu’, merendahkan diri, meniatkan i’tikaf di dalam masjid sampai kepada waktu shalat, bermaksud menyegerakan menyahut seruan Allah ‘Azza wa Jalla kepadanya dengan Jum’at, bersegera kepada pengampunan dan kerelaan ALLAH. Bersabda Nabi saw: “Siapa yang pergi ke Jum’at pada jam pertama, maka seakan-akan ia menyembelih kurban seekor unta. Siapa yang pergi pada jam kedua, maka seakan-akan ia menyembelih kurban seekor sapi. Siapa yang pergi pada jam ketiga, maka seakan-akan ia menyembelih kurban seekor kibasy (biri-biri) yang bertanduk. Siapa yang pergi pada jam keempat, maka seakan-akan ia menghadiahkan seekor ayam. Dan siapa yang pergi pada jam kelima, maka seakan-akan ia menghadiahkan sebutir telur.

Apabila imam telah ke tempat shalat, maka tertutuplah segala buku tempat dituliskan amalan, terangkatlah segala pena dan segala malaikat berkumpul pada mimbar, mendengar dzikir. Siapa yang datang sesudah itu, maka sesungguhnya ia datang untuk shalat semata-mata dan tak ada baginya sesuatu daripada kelebihan”. Jam pertama, adalah sampai terbit matahari. Jam kedua, adalah sampai kepada meninggi matahari. Jam ketiga, adalah sampai kepada meluas sinar matahari, ketika sudah panas tempat tapak berpijak. Jam keempat dan kelima, adalah sesudah waktu dluha meninggi, sampai kepada waktu tergelincir matahari. Kelebihan jam keempat dan kelima adalah sedikit. Dan waktu tergelincir (zawal) itu, adalah waktu untuk shalat, maka tak ada kelebihan padanya. Bersabda Nabi saw: “Tiga perkara, kalau tahulah manusia apa yang ada padanya, niscaya mereka mengendarai unta mencarikannya, yaitu: adzan, shaf pertama dan berpagi-pagi ke Jum’at”. Berkata Ahmad bin Hanbal ra: “Yang lebih utama dari yang tiga tadi, ialah berpagi-pagi ke Jum’at”. Pada hadits, tersebut: “Apabila datang hari Jum’at, maka duduklah para malaikat di pintu-pintu masjid. Pada tangannya, kertas daripada perak dan pena daripada emas. Dituliskannya siapa yang lebih dahulu ke masjid, satu persatu menurut urutannya”. Dan tersebut pada hadits: “Bahwa para malaikat itu mencari orang yang terkemudian daripada waktunya pada hari Jum’at. Maka bertanyalah para malaikat itu sesamanya, tentang orang itu: “Apakah yang dikerjakan si anu? Apakah kiranya yang menyebabkan si anu itu terlambat daripada waktunya?”. Maka berdo’alah para malaikat: “Ya Allah, ya Tuhanku! Kalau kiranya orang itu terkemudian karena miskin, maka kayakanlah dia! Kalau karena sakit, maka sembuhkanlah dia! Kalau karena sibuk, maka berikanlah kepadanya kelapangan waktu beribadah kepadaMU!. Dan kalau bermain-main, maka hadapkanlah hatinya untuk menta’atiMU!”. Adalah pada abad pertama, mulai waktu sahur atau setelah terbit fajar, jalan-jalan sudah penuh dengan manusia yang pergi dengan kendaraan dan berdesak-desak ke masjid Jami’, seperti pada hari-hari raya. Sehingga lenyaplah yang demikian itu, lalu dikatakan: “Bahwa bid’ah pertama yang datang dalam Islam, ialah meninggalkan berpagi-pagi ke masjid Jami’. Mengapakah tidak malu kaum muslimin, dengan orang Yahudi dan Nasrani dan berpagi-pagi benar sudah kekelenteng dan gereja, pada hari Sabtu dan Ahad? Penuntut-penuntut dunia, betapa kiranya mereka berpagi-pagi benar ke halaman toko untuk berjual-beli dan mencari keuntungan, maka mengapakah tiada berlomba-lomba dengan mereka, para penuntut akhirat? Ada yang mengatakan, bahwa manusia itu pada kedekatannya ketika memandang kepada wajah Allah Ta’ala, adalah menurut kadar pagi-paginya ke Jum’at. Adalah Ibnu Mas’ud datang pagi-pagi ke suatu masjid Jami’, maka dilihatnya tiga orang telah mendahuluinya dengan berpagi-pagi benar ke masjid Jami’ itu. Maka susahlah hatinya karena itu, lalu mengatakan kepada dirinya dengan perasaan menyesal: “Keempat dari empat dan tidaklah yang keempat dari empat itu, berjauhan daripada pagi-pagi”.

Kelima: tentang cara masuk, seyogyalah tiada melangkahi leher orang dan tiada melalui dihadapan mereka.

Dan berpagi-pagi itu, memudahkan kepadanya yang demikian itu. Telah datang janji azab yang berat, pada melangkahi leher orang, yaitu orang yang berbuat demikian, akan dijadikan jembatan pada hari kiamat, yang akan dilangkahi oleh manusia. Diriwayatkan Ibnu Juraij suatu hadits mursal yaitu: “Bahwa Rasulullah saw ketika sedang membaca khutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba melihat seorang laki-laki melangkahi leher orang, sehingga laki-laki itu sampai ke depan, lalu duduk. Tatkala Nabi saw telah selesai daripada shalat, maka beliau mencari laki-laki itu, sampai berjumpa, lalu bertanya: “Hai Anu! Apakah yang menghalangi engkau, untuk berjum’at hari ini bersama kami?”. Menyahut laki-laki itu: “Wahai Nabi Allah! aku telah berjum’at bersama engkau”. Menyambung Nabi saw: “Bukankah kami telah melihat engkau melangkahi leher manusia?”. Maka dengan ucapan Nabi saw itu menunjukkan kepada batalnya amalan dengan melangkahi leher orang. Pada hadits musnad, Nabi saw bersabda: “Apakah yang menghalangi engkau bershalat bersama kami?”. Maka menjawab laki-laki itu: “Apakah tidak engkau melihat aku, wahai Rasulullah?”. Nabi saw menjawab: “Aku melihat engkau terkemudian dan menyusahkan orang”. Artinya: terkemudian dari berpagi-pagi dan menyusah kan orang yang telah datang lebih dahulu. Kalau shaf (barisan) pertama itu, tertinggal kosong, maka bolehlah melangkahi leher orang, karena mereka telah menyia-nyiakan haknya dan meninggalkan tempat yang lebih utama. Berkata Al-Hasan: “Langkahilah leher mereka yang duduk pada pintu masjid di hari Jum’at, karena tak ada kehormatan bagi mereka”. Apabila tidak ada di dalam masjid, selain daripada orang yang mengerjakan shalat, maka seyogyalah tidak memberi salam, karena memberatkan penjawaban salam yang tidak pada tempatnya.

Keenam: tiada melalui dihadapan orang dan duduklah pada tempat yang mendekati tiang atau dinding, sehingga orang ramai tiada melalui dihadapannya.

Yakni: dihadapan orang yang sedang mengerjakan shalat. Melalui dihadapan orang yang sedang shalat, tidaklah memutuskan shalat, tetapi dilarang. Bersabda Nabi saw: “Tegak berdiri 40 tahun, adalah lebih baik daripada melalui dihadapan orang yang sedang shalat”. Bersabda Nabi saw: “Sampai menjadikan orang itu debu yang halus yang diterbangkan angin adalah lebih baik baginya daripada melalui dihadapan orang shalat”. Diriwayatkan pada hadits lain, tentang orang yang lalu dan orang yang mengerjakan shalat, dimana orang itu bershalat atas jalan besar atau tak sanggup menghalangi orang lalu dihadapannya , yaitu: “kalaulah tahu orang yang melalui dihadapan orang yang bershalat dan orang yang bershalat tahu pula, akan apa yang menimpa ke atas keduanya, maka sesungguhnya tegak berdiri 40 tahun, adalah lebih  baik baginya, daripada melalui dihadapan orang yang sedang mengerjakan shalat itu”. Tiang, dinding dan tikar mushalla yang terbentang, adalah menjadi batas bagi orang yang bershalat. Maka orang yang melintasi batas ini, seyogyalah ditolaknya. Bersabda Nabi saw: “Hendaklah ditolaknya! Kalau orang itu tidak memperdulikan, maka hendaklah ditolaknya lagi! Kalau tidak juga orang itu memperdulikan, maka hendaklah dibunuh saja karena dia itu setan!”. Adalah Abu Sa’id Al-Khudri ra menolak orang yang melalui dihadapannya, sehingga orang itu terjatuh ke lantai. Mungkin orang itu bergantung pada Abu Sa’id. Kemudian ia mengadu kepada Marwan. Maka Marwan menerangkan kepadanya, bahwa Nabi saw menyuruh yang demikian. Kalau tidak diperoleh tiang, maka hendaklah ia menegakkan sesuatu dihadapannya, yang panjangnya kira-kira sehasta, supaya menjadi tanda untuk batas.

Ketujuh: dicari shaf pertama, karena banyak kelebihannya, sebagaimana yang telah kami riwayatkan dahulu.

Dan pada hadits tersebut: “Siapa yang mencucikan dan mandi, bersegera dan berpagi-pagi, mendekati imam dan mendengar, niscaya adalah yang demikian itu, menjadi kafarat (penutup dosa) baginya diantara dua Jum’at dan tambah tiga hari lagi”. Pada riwayat lain, berbunyi: “niscaya diampunkan Allah baginya, sampai kepada Jum’at yang lain”. Dan pada setengah riwayat, disyaratkan: “dia tidak melangkahi leher orang”. Dan hendaklah tidak dilupakan, pada mencari shaf pertama itu, daripada tiga perkara:
1.  Apabila ia melihat perbuatan munkar dekat khatib, yang tak sanggup ia mencegahnya, seperti pakaian sutera pada imam (kepala pemerintahan) atau pada orang lain atau orang itu mengerjakan shalat dengan memakai banyak senjata yang berat yang mengganggu atau senjata yang beremas ataupun yang lain, yang merupakan perbuatan yang wajib ditantang, maka dalam hal ini mundur ke belakang, adalah lebih menyelamatkan baginya dan lebih memusatkan perhatian kepada shalat. Dan telah dikerjakan yang demikian, oleh segolongan ulama yang mencari keselamatan. Ditanyakan kepada Bisyr bin Al-Harts: “Kami melihat engkau berpagi-pagi ke tempat shalat dan engkau mengerjakan shalat pada penghabisan shaf”. Menjawab Bisyr: “Yang dimaksud, ialah berdekatan hati, tidak berdekatan tubuh”. Diisyaratkan oleh Bisyr dengan perkataannya itu, bahwa yang demikian, adalah lebih mendekatkan untuk keselamatann hatinya. Sufyan Ats-Tsuri memandang kepada Syu’aib bin Harb di sisi mimbar, yang memperhatikan khutbah Abi Ja’far Al-Manshur. Tatkala selesai dari shalat, berkata Sufyan: “Terganggu hatiku oleh berdekatanmu dengan Abi Ja’far itu. Apakah engkau merasa aman mendengar perkataan yang harus engkau tantang, lantas engkau tiada bangun menantangnya?”. Lalu Sufyan menyebutkan, apa yang diperbuat mereka, seperti memakai pakaian hitam. Maka jawab Syu’aib: “’Hai Abu Abdillah! Bukankah tersebut pada hadits: “Dekatilah dan perhatikanlah!”. Menjawab Sufyan: “Benar, itu terhadap khulafa’-rasyidin yang memperoleh petunjuk! Adapun mereka ini, semakin jauh engkau daripada mereka dan tidak memandang mereka, maka adalah lebih mendekatkan engkau kepada Allah ‘Azza wa Jalla”. Berkata Sa’id bin ‘Amir: “Aku mengerjakan shalat disamping Abid Darda’. Dia mengambil shaf yang terakhir, sehingga kami berada pada akhir shaf. Tatkala telah siap daripada shalat, lalu aku bertanya kepadanya: “Bukankah dikatakan bahwa shaf yang terbaik, ialah shaf pertama?”. Menjawab Abid Darda: “Benar, tetapi umat ini dirahmati, lagi dipandang kepadanya dari antara umat-umat lain. Sesungguhnya Allah Ta’ala apabila memandang kepada seorang hamba di dalam shalatnya, maka Ia mengampunkan dosa hamba itu dan dosa orang lain yang dibelakangnya. Dari itu, aku mengambil di belakang, dengan harapan kiranya aku diampunkan dengan sebab seseorang daripada mereka, yang dipandang Allah kepadanya”. Diriwayatkan oleh setengah perawi hadits, yang mengatakan: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda demikian. Maka siapa yang mengambil tempat di belakang atas niat itu, karena memilih dan melahirkan kebaikan budi-pekerti, maka tidak mengapa. Dan ketika itu, maka dikatakan: “Segala amal perbuatan itu dengan niat”.
2. Kalau tidak ada di samping khatib, sebahagian tempat yang dikhususkan kepada sultan-sultan, maka shaf pertama itu disunnatkan. Kalau ada, maka sebahagian ulama memandang makruh masuk ke tempat yang dikhususkan itu. Al-Hasan dan Bakr Al-Mazani tidak mengerjakan shalat di tempat yang dikhususkan itu. Dan keduanya, berpendapat, bahwa tempat itu ditentukan untuk sultan-sultan. Dan itu adalah bid’ah yang diada-adakan di dalam masjid-masjid sesudah Rasulullah saw. Padahal masjid itu, adalah diuntukkan kepada sekalian manusia. Dan dengan dikhususkan itu, telah menyalahi dasar tersebut. Anas bin Malik dan ‘Imran bin Hushain mengerjakan shalat, di tempat yang dikhususkan itu dan tidak memandang makruh, karena mencari kedekatan. Mungkin kemakruhan itu tertentu kepada keadaan pengkhususan dan pelarangan orang lain. Kalau semata-mata pengkhususan, tanpa ada pelarangan, maka tidaklah mengharuskan adanya kemakruhan itu.
3. Bahwa mimbar memutuskan sebahagian shaf. Dari itu, shaf pertama satu-satunya, ialah yang bersambung dihadapan mimbar. Dan yang terletak di kedua tepi mimbar, adalah shaf yang terputus. Sufyan Ats-Tsuri berkata, bahwa shaf pertama, ialah yang keluar dihadapan mimbar. Yaitu yang menghadap kepada mimbar, karena dia bersambung dan karena orang yang duduk pada shaf itu, menghadap khatib dan mendengar daripadanya. Dan tidaklah jauh daripada kebenaran, kalau dikatakan, bahwa yang terdekat kepada qiblat, ialah shaf pertama. Dan pengertian ini, tiada begitu diperhatikan orang. Dimakruhkan shalat di pasar-pasar & di beranda-beranda luar dari masjid. Dan sebahagian shahabat, memukul orang & membangunkannya dari beranda-beranda itu.

Kedelapan: bahwa dihabiskan shalat, ketika imam keluar ke tempat shalat dan juga dihabiskan berkata-kata.

Dan waktu itu, dipakai untuk menjawab adzan dari muadzin, kemudian mendengar khutbah. Telah berlaku kebiasaan sebahagian orang awwam, dengan melakukan sujud ketika bangun muadzin untuk adzan. Yang demikian itu, tidaklah berdasarkan kepada atsar dan hadits. Tetapi kalau kebetulan bertepatan dengan sujud tilawah/sujud biasa (sujud ini dilakukan setelah selesai sholat), maka tiada mengapa untuk do’a, karena itu adalah waktu yang baik. Dan tidak dihukum dengan haramnya sujud ini, karena tiada sebab untuk mengharamkannya. Diriwayatkan dari Ali ra dan Usman ra bahwa keduanya berkata: “Siapa yang mendengar dan memperhatikan, maka baginya dua pahala. Siapa yang tidak mendengar, tetapi memperhatikan, maka baginya satu pahala. Siapa yang mendengar dan menyia-nyiakan, maka atasnya dua dosa. Dan siapa yang tidak mendengar dan menyia-nyiakan, maka atasnya satu dosa”. Bersabda Nabi saw: “Siapa yang mengatakan kepada temannya, ketika imam berkhutbah: “Perhatikan!” atau “Jangan berbicara!”, maka ia telah berbuat yang sia-sia. Siapa yang berbuat sia-sia, dan imam berkhutbah, maka tak adalah Jum’at baginya”. Ini menunjukkan, bahwa menyuruh diam teman itu, seyogyalah dengan isyarat atau dengan melemparkan batu kecil saja kepadanya, tidak dengan kata-kata. Pada hadits dari Abi Dzar, bahwa Abi Dzar bertanya kepada Ubai, ketika Nabi saw sedang membaca khutbah: “Bilakah diturunkan surat ini?” Ubai berisyarat kepadanya, supaya diam. Tatkala Rasulullah saw turun dari mimbar, maka berkata Ubai kepada Abi Dzar: “Pergilah! Tak ada Jum’at bagimu!”. Lalu Abi Dzar mengadukannya kepada Nabi saw, maka bersabda Nabi: “Benar Ubai!”. Kalau berjauhan dari imam, maka tiada seyogyalah berkata-kata mengenai ilmu dan lainnya. Tetapi diam, karena yang demikian itu tali-bertali dan membawa kepada suara yang halus, sehingga sampai kepada para pendengar khutbah. Dan janganlah duduk dalam lingkungan orang yang berkata-kata!. Siapa yang tidak dapat mendengar karena jauh, maka hendaklah memperhatikan saja. Dan itu adalah sunnat. Apabila shalat dimakruhkan pada waktu imam berkhutbah, maka berkata-kata, adalah lebih utama lagi dimakruhkan. Berkata Ali ra: “Dimakruhkan shalat pada empat waktu: sesudah fajar (sesudah Shubuh), sesudah ‘Ashar, waktu tengah hari dan bershalat ketika imam berkhutbah”.

Kesembilan: bahwa diperhatikan pada mengikuti imam shalat jum’at, apa yang telah kami sebutkan dahulu pada tempat lain.

Apabila mendengar bacaan imam, maka ma’mum itu tiada membaca, selain dari al-fatihah. Apabila telah selesai dari shalat Jum’at, maka dibacakan: “Alhamdulillah” 7 X, sebelum berkata-kata dan “Qul-huwallaahu ahad” dan “Muawwadzatain” (yaitu:”Qul-A’uudzu birabbil-falaq” dan “Qul a’uudzu birabbinnas”). Tujuh-tujuh kali. Diriwayatkan oleh setengah salaf bahwa siapa mengerjakan yang tersebut tadi, niscaya ia terpelihara dari Jum’at ke Jum’at. Dan adalah penjaga baginya daripada gangguan setan. Disunnatkan membaca sesudah shalat Jum’at: “Ya Allah, ya Tuhanku! ya Yang Maha Kaya, ya Yang Maha Terpuji, ya Yang Maha Pencipta, ya Yang Maha Mengembalikan, ya Yang Maha Penyayang, ya Yang Maha Pengasih! Cukupkanlah aku dengan yang halal daripadaMU, daripada yang haram dan dengan kurniaMU daripada yang lain!”. Dikatakan, bahwa siapa yang berkekalan membaca do’a ini, niscaya ia dikayakan Allah daripada makhluk ALLAH, dan diberikan Allah rezeki, dari yang tidak di duga-duga. Kemudian, sesudah Jum’at. Lalu bershalat 6 raka’at. Telah diriwayatkan Ibnu Umar ra bahwa: “Nabi saw mengerjakan shalat dua raka’at sesudah Jum’at”. Dan diriwwayatkan Abu Hurairah “empat raka’at” dan diriwayatkan Ali dan Abdullah bin Abbas ra “enam raka’at”. Semuanya itu benar dalam berbagai macam keadaan. Dan yang lebih sempurna, adalah lebih utama.

Kesepuluh: bahwa meneruskan tinggal di masjid, sampai shalat Ashar.

Kalau diteruskan sampai kepada Maghrib, maka adalah lebih utama. Dikatakan, bahwa siapa yang bershalat ‘Ashar di masjid Jami’, maka adalah baginya pahala hajji. Dan siapa yang bershalat Maghrib, maka baginya pahala hajji dan ‘umrah. Kalau tidak merasa aman dari sifat berbuat-buat dan dari datangnya bahaya kepadanya, dengan pandangan orang banyak kepada i’tikafnya (diamnya di dalam masjid dengan ibadah) atau ia takut terjerumus pada yang tidak perlu, maka yang lebih utama, ialah kembali ia ke rumahnya, dengan berdzikir kepada Allah, memikirkan tentang segala nikmat ALLAH, mensyukuri atas taufiq ALLAH, takut dari keteledorannya, mengawasi akan hari dan lidahnya sampai kepada terbenam matahari. Sehingga ia tidak tertinggal oleh saat yang mulia itu. Dan tidaklah wajar bercakap-cakap dalam masjid jami’ dan masjid-masjid lainnya, dengan percakapan duniawi. Bersabda Nabi saw: “Akan datang kepada manusia suatu zaman, yang pembicaraan mereka dalam masjid-masjid, adalah urusan duniawi. Tak adalah bagi Allah hajat pada mereka. Dari itu, janganlah kamu duduk-duduk bersama mereka!”.


FASAL 3  PENJELASAN Adab dan sunnat yang di luar daripada susunan yang lalu, yang meratai seluruh hari.

Iaitu: 7 perkara:

Pertama: mengunjungi mejelis ilmu pengetahuan pada pagi hari atau sesudah ‘Ashar.

Dan tidaklah mengunjungi majelis tukang-tukang ceritera, karena tak adalah kebajikan pada perkataan mereka. Dan tak wajarlah bagi seorang murid (yang menuntut jalan akhirat), mengosongkan seluruh hari Jum’at itu, dari amal kebajikan dan do’a-do’a, sehingga saat yang mulia itu dapatlah diperolehnya. Dan dia dalam kebajikan. Tidaklah wajar menghadiri tempat pelajaran ilmu, sebelum shalat Jum’at. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar: “bahwa Nabi saw melarang, menghadiri tempat pelajaran ilmu pada hari Jum’at, sebelum shalat”. Kecuali ia ulama pada jalan Allah, mengingati segala hari Allah, memahami agama Allah, berbicara pada masjid jami’ pada pagi hari. Lalu ia duduk di situ, maka adalah ia menghimpunkan diantara berpagi-pagi dan mendengar ilmu. Mendengar ilmu yang bermanfa’at pada jalan akhirat, adalah lebih utama, daripada mengerjakan amalan sunnat. Diriwayatkan oleh Abu Dzar: “Bahwa menghadiri majelis ilmu, adalah lebih utama daripada shalat 1000 raka’at”. Berkata Anas bin Malik, tentang firman Allah Ta’ala: “Dan apabila selesai mengerjakan shalat, kamu boleh bertebaran di muka bumi dan carilah kurnia Allah”. S 62 Al Jumu’ah ayat 10, bahwa yang dimaksud bukanlah mencari dunia, tetapi mengunjungi orang sakit, bertukam/mengunjungi pada orang meninggal, mempelajari ilmu pengetahuan dan menziarahi saudara pada jalan Allah ‘Azza wa Jalla (fillahi Ta’ala). Allah ‘Azza wa Jalla menamakan “ilmu” itu “kurnia” pada beberapa tempat di dalam Al-Qur’an. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan Allah mengajarkan apa yang belum engkau ketahui, kurnia Allah kepada engkau sangat besarnya”. S 4 An-Nisaa’ ayat 113. Dan Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Kami berikan kepada Daud kurnia dari Kami sendiri”. S 34 As Sabak ayat 10, yakni ilmu. Mempelajari ilmu pengetahuan dan mengajarkannya pada hari ini, adalah pengorbanan yang lebih utama. Dan shalat adalah lebih utama daripada majelis tukang-tukang ceritera. Karena mereka memandang perbuatan tukang ceritera itu bid’ah. Dan mereka mengeluarkan tukang-tukang ceritera itu dari masjid jami’. Ibnu Umar ra datang pagi-pagi ke tempatnya dalam masjid jami’, tiba-tiba di situ seorang tukang ceritera berceritera pada tempatnya. Berkata Ibnu Umar: “Bangunlah dari tempatku!”. Menjawab tukang ceritera itu: “Aku tidak mau. Aku telah duduk di sini dan aku telah lebih dahulu daripada engkau!”. Maka Ibnu Umar meminta bantuan polisi. Lalu datanglah polisi membangunkan orang itu. Kalau adalah yang demikian itu, termasuk sunnah, tentulah tidak boleh membangunkannya. Bersabda Nabi saw: “Janganlah dibangunkan seorang kamu akan saudaranya dari tempat duduknya, kemudian ia duduk padanya. Tetapi berlapang-lapanglah dan berluas-luaslah!”. Dan ketika laki-laki tukang ceritera itu, telah bangun dari tempat Ibnu Umar, maka Ibnu Umar tidak duduk disitu, sehingga kembalilah laki-laki itu ke tempat tadi. Diriwayatkan, bahwa seorang tukang ceritera duduk di halaman kamar ‘Aisyah, maka beliau mengirimkan kabar kepada Ibnu Umar, dengan kata-kata: “Bahwa orang itu, telah menyakitkan aku dengan ceriteranya dan mengganggukan aku dari pembacaan tasbihku”. Maka orang itu dipukul oleh Ibnu Umar sampai pecah tongkatnya pada punggung orang itu, kemudian diusirnya.


Kedua: bahwa adalah muraqabah yang sebaik-baiknya pada saat mulia itu.

Dan hadits mahsyur, tersebut: “Sesungguhnya pada hari Jum’at ada suatu saat, kalau kebetulan seorang hamba muslim, meminta sesuatu kepada Allah ‘Azza wa Jalla pada saat itu, niscaya diberikannya”. Pada hadits lain: “Tidak dijumpai saat itu oleh hamba yang bershalat”. Berbeda pendapat tentang saat itu. Ada yang mengatakan, ketika terbit matahari, ada yang mengatakan ketika gelincir matahari, ada yang mengatakan beserta adzan, ada yang mengatakan apabila imam naik ke mimbar dan berkhutbah, ada yang mengatakan apabila manusia berdiri kepada shalat, ada yang mengatakan pada akhir waktu ‘ashar, yakni waktu ikhtiar (waktu yang dipilih untuk shalat) dan ada yang mengatakan sebelum terbenam matahari. Dan fatimah ra menjaga waktu itu dan menyuruh pembantunya melihat matahari, untuk diberitahukan kepadanya matahari itu sudah jatuh ke tepi langit. Maka masuklah ia ke dalam do’a dan istighfar, sampai kepada terbenam matahari. Ia menceriterakan, bahwa saat itu, adalah saat yang ditunggu-tunggu. Dan ia terima berita itu daripada ayahandanya Rasulullah saw. Berkata setengah ulama, bahwa saat mulia itu tidak jelas pada seluruh hari Jum’at, seperti Lailatul-Qadar, sehingga hendaknya sempurnalah segala cara mengintipnya. Ada yang mengatakan, bahwa saat mulia itu berpindah-pindah dalam segala saat hari Jum’at seperti berpindahnya Lailatul-Qadar. Inilah yang lebih sesuai. Dan mempunyai rahasia, yang tidak layak diterangkan pada ilmu mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan). Tetapi seyogyalah membenarkan apa yang dikatakan Nabi saw: “Sesungguhnya Tuhanmu mempunyai wangi-wangian dalam hari-hari masamu. Dari itu, datangilah kepada wangi-wangian itu”. Dan hari Jum’at, termasuk diantara hari-hari itu. Maka seyogyalah hamba itu pada seluruh harinya. Mencari saat mulia itu, dengan menghadirkan hati, membiasakan berdzikir dan mencabutkan diri dari segala gangguan dunia. Semoga ia memperoleh sedikit dari wangi-wangian yang harum itu!. Berkata Ka’b Al-Ahbar, bahwa saat mulia itu, adalah pada saat terakhir, daripada hari Jum’at, yaitu: ketika terbenam matahari. Lalu berkata Abu Hurairah: “Bagaimana adanya saat mulia itu, pada saat terakhir, padahal aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Tidak dijumpai saat itu oleh hamba yang bershalat. Dan tidaklah ketika shalat”. Maka menjawab Ka’b: “Tidakkah Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang duduk menunggu shalat, maka adalah dia di dalam shalat?”. Menjawab Abu Hurairah: “Ya, benar!”. Menyambung Ka’b: “Maka yang demikian itu shalat!”. Maka Abu Hurairah diam. Dan Ka’b condong kepada saat mulia itu, adalah rahmat dari Allah Ta’ala kepada mereka yang tegak berdiri menunaikan hak hari Jum’at. Dan waktu turunnya saat itu, adalah ketika selesai daripada menyempurnakan amal perbuatan. Kesimpulan, itu adalah waktu mulia, bersamaan dengan waktu naiknya imam ke mimbar. Maka perbanyakkanlah do’a pada kedua waktu itu!
Ketiga: disunnatkan berbanyak selawat kepada Rasulullah saw pada hari Jum’at.

Bersabda Nabi saw: “Siapa yang berselawat kepadaku pada hari Jum’at, 80 kali, niscaya diampunkan Allah dosanya 80 tahun”. Maka bertanya shahabat: “Bagaimanakah berselawat kepada engkau?”. Menjawab Nabi saw: “Engkau bacakan: “Ya Allah, ya Tuhan kami! Berilah rahmat kepada Muhammad hambaMU, nabiMU, dan rasulMU, nabi yang ummi (tidak pandai tulis baca)”. Dan ini, engkau kirakan satu kali. Dan kalau engkau bacakan: “Ya Allah, ya Tuhan kami! Berikanlah rahmat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, rahmat yang menjadi kerelaanMU dan iringilah tunainya rahmat itu. Anugerahilah dia jalan dan berikanlah kepadanya tempat terpuji yang Engkau janjikan. Dan berikanlah kepadanya balasan daripada kami, akan apa yang menjadi haknya dan berikanlah kepadanya sebaik-baik apa yang Engkau berikan balasan kepada seorang nabi daripada umatnya. Berikanlah rahmat kepadanya dan kepada segala saudaranya dari nabi-nabi dan orang-orang shalih, wahai yang amat penyayang dari segala yang penyayang”. Engkau bacakan ini, 7 kali. Ada yang mengatakan bahwa siapa yang membacanya pada 7 Jum’at dan pada tiap-tiap Jum’at 7 kali, niscaya wajiblah baginya syafa’at Nabi saw. Dan kalau bermaksud menambahkan lagi, maka bacakan selawat yang berasal dari atsar, yang artinya sebagai berikut: “Ya Allah, ya Tuhanku! Jadikanlah segala rahmatMU yang utama, berkatMU yang bertambah-tambah, kesucianMU yang mulia, kasih sayangMU, rahmatMU dan ucapan selamatMU kepada Muhammad, penghulu segala rasul, imam segala orang yang bertaqwa, kesudahan segala nabi dan rasul Tuhan seru sekalian alam, panglima kebajikan, pembuka kebaikan, nabi rahmat dan penghulu ummat! Ya Allah, ya Tuhanku! Berikanlah kepadanya tempat terpuji yang bertambah dekat kehampirannya dengan tempat itu, dan Engkau tetapkan matanya, yang digemari oleh orang-orang dahulu dan orang-orang kemudian! Ya Allah, ya Tuhanku! Berikanlah kepadanya kelebihan dan keutamaan, kemuliaan, jalan, derajat tinggi dan tempat agung mulia! Ya Allah, ya Tuhanku! Berikanlah kepada Muhammad permintaannya, sampaikanlah cita-citanya, jadikanlah dia yang pertama memberi syafa’at dan yang pertama yang diterima syafa’atnya! Ya Allah, ya Tuhanku! Agungkanlah dalil kebenarannya, beratkanlah timbangannya, tegaskanlah alasannya dan tinggikanlah derajatnya pada tempat tertinggi dari orang-orang muqarrabin! Ya Allah, ya Tuhanku! Kumpulkanlah kami dalam rombongannya, jadikanlah kami dari orang yang memperoleh syafa’atnya, hidupkanlah kami di atas sunnahnya, matikanlah kami di atas agamanya, bawakanlah kami ke kolamnya dan anugerahilah kami minuman dengan gelasnya, tiada merugi, menyesal, ragu-ragu, bertukar-tukar, berbuat fitnah dan mendapat fitnah! Terimalah doa’ku, wahai Tuhan seru sekalian alam!”. Kesimpulannya, tiap-tiap yang dibacakan dari kata-kata selawat, walaupun kalimat yang terkenal pada do’a tasyahhud, adalah ia telah berselawat kepada Nabi saw. Seyogyalah ditambahkan kepada pembacaan selawat itu, istighfar. Itupun disunnatkan juga pada hari Jum’at.


Keempat: membaca Al-Qur’an.

Maka hendaklah membanyakkan pembacaan itu dan hendaklah membacakan surat Al-Kahfi khususnya. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah ra: “Bahwa siapa membaca surat Al-Kahfi pada malam Jum’at atau siangnya, niscaya dianugerahkan kepadanya nur, dimana dibacanya sunnat itu, sampai ke Makkah dan diampunkan dosanya sampai kepada hari Jum’at yang lain serta dilebihkan lagi tiga hari. Dan berdo’a kepadanya 70 ribu malaikat, sampai kepada pagi hari. Dan disembuhkan dia daripada penyakit biasa, penyakit dalam, sesak nafas, supak, kusta dan fitnah dajjal”. Disunnatkan khatam (menamatkan) Al-Qur’an pada hari Jum’at dan malamnya, kalau sanggup. Dan hendaklah penamatan Al-Qur’an itu, pada kedua rak’aat shalat Shubuh, kalau dibacanya pada malam atau pada kedua rak’aat Maghrib atau diantara adzan dan qamat bagi shalat Jum’at. Menamatkan pembacaan Al-Qur’an itu, mempunyai kelebihan besar. Dan adalah orang-orang ‘abid (yang banyak beribadah), menyunatkan pembacaan “Qil-huwallaahu ahad” 1000 X pada hari Jum’at. Dan dikatakan, bahwa siapa yang membaca nya pada 10 raka’at atau 20, maka itu adalah lebih utama daripada penamatan Al-Qur’an. Dan mereka berselawat kepada Nabi saw 1000 X dan membaca “Subhaanallah, wal-hamdu lillaah wa laa ilaaha illallaah wallaahu akbar” 1000 Xi. Kalau dibacakan 6 surat dari 7 surat yang panjang di dalam Al-Qur’an, pada hari Jum’at atau pada malamnya, maka adalah baik. Dan tiadalah diriwayatkan, bahwa Nabi saw ada membacakan beberapa surat tertentu, selain pada hari Jum’at dan malamnya, dimana beliau membaca pada shalat Maghrib dari malam Jum’at, surat “Qul yaa ayyuhal kafiruun” dan “Qul huwallaahu ahad”’. Dan beliau membaca pada shalat ‘Isya, surat “Al-Jumuah” dan “Al-Munafiquun”. Diriwayatkan, bahwa Nabi saw membaca kedua surat tadi, pada kedua raka’at Jum’at. Dan beliau membaca pada shalat Shubuh hari Jum’at, surat “As-Sajadah” dan surat “Hal ataa ‘alal-insaan”.


Kelima: shalat-shalat.

Disunnatkan apabila memasuki masjid jami’, tidak duduk sebelum bershalat empat raka’at, yang dibacakan pada raka’at itu “Qul huwallaahu ahad” 200 kali, pada masing-masing raka’atnya 50 kali. Dinukilkan daripada Rasulullah saw bahwa: “Siapa yang berbuat demikian, niscaya ia tidak mati, sehingga dilihatnya tempatnya di dalam sorga”. Atau diperlihatkan kepadanya. Dan tidak ditinggalkan dua raka’at shalat tahiyyah masjid, meskipun imam berkhutbah. Tetapi hendaklah diringankan shalat itu. Disuruh oleh Rasulullah saw dengan demikian. Dan pada suatu hadits gharib (hadits yang tidak terkenal), tersebut: “Bahwa Nabi saw diam daripada meneruskan khutbah, untuk orang yang masuk sampai ia menyelesaikan shalat dua raka’at tahiyyah masjid”. Berkata ulama-ulama Kufah: “Kalau imam diam untuk orang yang masuk itu, maka orang yang masuk itu mengerjakan shalat tahiyyah masjid dua raka’at”. Disunnatkan pada hari Jum’at atau pada malamnya bershalat empat raka’at, dengan empat surat, yaitu: surat Al-An’am, Al-Kahfi, Tho Ha dan Ya-Sin, Kalau tidak dihafalnya surat-surat tersebut, maka dibaca: surat Ya-sin, surat As-sajadah, surat Ad-Dukhan dan surat Al-Mulk. Dan tidak ditinggalkan membaca surat-surat yang empat ini pada malam Jum’at, karena padanya banyak kelebihan. Dan orang yang tidak menghafal Al-Qur’an, maka dibaca apa yang dihafalnya. Bacaan itu, adalah berkedudukan pengkhataman Al-Qur’an baginya. Dan diperbanyakkan membaca surat “Al-Ikhlash”. Dan disunnatkan mengerjakan shalat tasbih, sebagaimana akan diterangkan caranya pada “Bab Amalan Sunat”, karena Nabi saw mengatakan kepada pamannya Al-Abbas: “Kerjakanlah shalat tasbih itu, pada tiap-tiap Jum’at”. Dan adalah Ibnu Abbas ra tidak meninggalkan shalat ini pada hari Jum’at, sesudah tergelincir matahari. Dan ia menerangkan tentang besar kelebihannya. Yang lebih baik, menggunakan waktu sampai kepada tergelincir matahari, untuk shalat. Dan sesudah Jum’at sampai kepada waktu ‘Ashar, untuk mendengar ilmu pengetahuan. Dan sesudah ‘Ashar sampai kepada waktu Maghrib, untuk bertasbih dan beristighfar.


Keenam: disunnatkan bersedekah pada hari Jum’at khususnya, karena berganda-ganda pahalanya.

Kecuali kepada orang yang meminta-minta, sedang imam membaca khutbah dan ia berbicara pada waktu imam sedang berkhutbah itu. Maka dimakruhkan bersedekah. Berkata saleh bin Muhammad: “Seorang miskin meminta-minta pada hari Jum’at dan imam sedang membaca khutbah dan orang yang meminta-minta itu menuju ke samping ayahku. Lalu seorang laki-laki menyerahkan sepotong barang kepada ayahku, untuk diberikannya kepada orang yang meminta-minta itu. Ayahku tiada mau mengambilnya”. Berkata Ibnu Mas’ud: “Apabila seorang meminta-minta dalam masjid, maka mustahaklah tidak diberikan. Dan apabila ia meminta-minta atas pembacaan Al-Qur’an, maka janganlah engkau berikan!”. Sebahagian ulama berpendapat, makruh bersedekah atas permintaan dalam masjid jami’, dimana mereka meminta-minta itu, melangkahi leher orang. Kecuali ia meminta-minta dengan berdiri atau duduk pada tempatnya, tanpa melangkahi leher orang. Berkata Ka’b Al-Ahbar: “Siapa yang menghadiri Jum’at, kemudian pulang, lalu bersedekah dengan dua benda yang berlainan, kemudian kembali lagi, lalu mengerjakan shalat dua raka’at, dengan menyempurnakan ruku’, sujud dan khusyu’ pada kedua raka’at itu, kemudian ia membaca: “Ya Allah, ya Tuhanku! Bahwasanya aku bermohon akan Engkau dengan nama Engkau, dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan dengan nama Engkau, yang tiada disembah selain Allah, yang hidup, yang berdiri sendiri, yang tidak didatangi kelupaan dan ketiduran”, maka tidaklah orang itu, meminta sesuatu pada Allah Ta’ala melainkan diberinya”. Dan berkata setengah salaf: “Siapa memberikan makanan kepada orang miskin pada hari Jum’at, kemudian ia berpagi-pagi dan bersegera dan tidak menyusahkan seseorang, kemudian membaca, ketika imam memberi salam. “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang hidup, lagi yang berdiri sendiri. Aku bermohon akan Engkau, kiranya mengampuni akan aku, mengrahmati akan aku dan memeliharakan aku daripada neraka”. Kemudian berdo’a dengan apa yang ada padanya, niscaya dimakbulkan do’anya.


Ketujuh: bahwa dijadikan hari Jum’at itu untuk akhirat.

Maka mencegah diri pada hari itu, daripada segala pekerjaan duniawi dan memperbanyak kan bermacam-macam wirid. Dan tidaklah dimulai bermusafir (berjalan jauh) pada hari Jum’at. Diriwayatkan: “Bahwa siapa yang bermusafir pada malam Jum’at, niscaya berdo’a yang merugikan kepadanya oleh dua malaikat nya”. Bermusafir setelah terbit fajar, adalah haram, kecuali ada keperluan penting yang akan lenyap. Dimakruhkan oleh setengah salaf, membeli air dalam masjid dari pembawa air minum, untuk diminumnya sendiri atau untuk disedekahkan kepada orang. Sehingga tidak adalah barang yang diperjual-belikan dalam masjid. Karena berjual-beli dalam masjid, adalah makruh hukumnya. Mereka mengatakan, tidak mengapa kalau diberikan kepadanya sepotong barang di luar masjid. Kemudian ia minum atau bersedekah barang itu dalam masjid. Kesimpulannya, seyogyalah ditambahkan pada hari Jum’at dengan bermacam-macam wirid dan kebajikan. Karena Allah Ta’ala apabila mengasihi seorang hamba, niscaya dipakaikan ALLAH hamba ALLAH itu pada waktu yang baik dengan amal perbuatan yang baik. Dan apabila membencinya, niscaya dipakaikan ALLAH pada waktu yang baik dengan perbuatan yang jahat. Supaya adalah yang demikian itu lebih menyakitkan pada cacian ALLAH dan lebih memberatkan pada kutukan ALLAH, karena diharamkan ALLAH keberkatan waktu dan dibinasakan ALLAH kehormatan waktu. Disunnatkan pada hari Jum’at bemacam-macam do’a dan akan datang penjelasannya pada “Kitab do’a-do’a”, insya Allah Ta’ala!”. Dan rahmat Allah kepada tiap-tiap hamba ALLAH yang pilihan!.