Tidak ada lagi dipermukaan bumi ini orang yang lebih
benar ucapannya dari Abu Dzar.” (Sabda Rasulullah saw)
Di lembah Waddan yang menghubungkan Makkah dengan dunia luar, tinggal kabilah Ghiffar. Mereka hidup sangat berkekurangan dan tergantung pada pemberian kafilah saudagar Quraisy yang pulang pergi ke Syam. Tidak jarang pula mereka merampok kafilah-kafilah yang lewat di situ, apabila permintaan mereka tidak dipenuhi.
Jundub bin Junadah alias Abu Dzar adalah pemuda Ghifar yang lain dari yang lain, baik segi keberaniannya, maupun kecerdasannya dan jangkauan pemikirannya. Dia pemberani, berpikiran cemerlang dan berpandangan jauh ke depan.
Dia menilai kaumnya sangat bodoh, karena mereka menyembah berhala, tidak menyembah Allah. Dan dia tidak mengindahkan agama orang Arab yang dinilainya sebagai agama sesat dan kepercayaan (iktikad) yang kosong. Dia berpendapat, kedatangan seorang Nabilah yang dapat menunjuki akal dan hati nurani manusia, serta mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya yang terang.
Pada suatu hari, ketika Abu Dzar berada di kampungnya, dia mendengar berita tentang seorang Nabi yang baru muncul di Mekkah. Maka disuruhnya saudaranya, Anis, mencek kebenaran berita itu.
Kata Abu Dzar, “Pergilah engkau ke Makkah, selidiki sampai dimana kebenaran berita mengenai seorang yang mengatakan mendapat wahyu dari langit. Simak segala ucapannya dengan teliti, kemudian laporkan kepada saya.”
Anis pergi ke Makkah dan bertemu dengan Rasulullah SAW. Dia mendengarkan ucapan-ucapan beliau, kemudian kembali ke desanya menemui Abu Dzar yang menanti penuh harap. Abu Dzar langsung menanyakan berita tentang Nabi yang baru itu dengan penuh keinginan.
Kata Anis, ”Demi Allah! Aku telah melihat orang itu. Dia mengajak orang supaya berakhlak mulia, dan kata-katanya jelas, bukan sya’ir.”
Tanya Abu Dzar, “Bagaimana pendapat orang banyak mengenai pribadinya?”
Jawab Anis,”Mereka mengatakan dia tukang sihir, tukang tenung dan penya’ir.”
Kata Abu Dzar, ”Demi Allah! Laporanmu tidak memuaskanku karena tidak memenuhi apa yang saya inginkan. Maukah engkau menjaga keluargaku, biar aku pergi kesana meneliti kegiatannya?”
Jawab Anis, ”Boleh! Tetapi hati-hati engkau menjaga diri terhadap tindakan penduduk Makkah".
Abu Dzar menyiapkan perbekalan untuk dibawanya. Besok pagi dia berangkat ke Makkah hendak menemui Nabi dan mencari berita tentang pribadi beliau. Abu Dzar tiba di Makkah dengan menyamar sebagai musafir untuk menghindari tindakan penduduk Makkah. Dia pernah mendengar berita tentang kemarahan kaum Qurasiy karena Tuhan mereka disepelekan, mereka menyiksa setiap orang yang mengatakan menjadi pengikut Nabi Muhammad. Karena itu Abu Dzar enggan bertanya-tanya kepada siapapun juga tentang Nabi yang baru dibangkitkan itu. Sebab dia tidak tahu apakah orang yang akan ditanya itu pembela Muhammad atau musuhnya.
Setelah malam dia tidur di Masjid, kebetulan Ali bin Abi Thalib lewat di dekatnya. Ali tahu Abu Dzar seorang asing. Kata Ali, ”Marilah ikut kami, hai orang asing!”
Abu Dzar pergi bersama Ali dan bermalam dirumahnya, Pagi-pagi Abu Dzar kembali ke masjid membawa kantong perbekalannya, tanpa bertanya-bertanya dengan Ali terhadap urusan masing-masing.
Hari kedua dilalui Abu Dzar seperti hari pertama. Dia masih belum mengenal yang namanya Nabi yang dicarinya itu. Petang hari dia tidur di masjid dan Ali lewat pula didekatnya. Kata Ali, ”Apakah anda belum tahu tempat anda menginap?”
Ali mengajak Abu Dzar bermalam di rumahnya. Malam kedua itu mereka masih diam, masing-masing tidak bertanya satu sama lain.
Malam ketiga barulah Ali berkata kepada tamunya, ”Mudah-mudahan anda tidak keberatan mengabarkan kepada saya maksud kedatangan anda ke Makkah.”
Jawab Abu Dzar, ”Jika anda bersedia berjanji untuk membantuku, akan saya jelaskan kepada Anda tujuanku datang ke sini.” Ali menyatakan kesediannya dan berjanji akan membantunya.
Kata Abu Dzar, ”Saya datang kesini dari jauh, sengaja hendak bertemu dengan Nabi yang baru dibangkitkan dan ingin mendengar apa yang dikatakannya.”
Di wajah Ali terpancar tanda kegembiraan, katanya, “Demi Allah! Memang sesungguhnya dia Rasulullah!” Selanjutnya Ali menceritakan kepada Abu Dzar bukti-bukti kerasulan Muhammad dan dakwah yang dibawa beliau.
Kata Ali selanjutnya, ”Besok pagi kita pergi dengan sembunyi-sembunyi. Jika aku melihat sesuatu yang membahayakan anda, aku akan berhenti dan pura-pura menumpahkan air. Bila aku terus, ikutilah aku sampai ke sebuah tempat. Bila aku masuk, masuk pulalah anda!”
Abu Dzar tidak dapat memejamkan mata semalaman, karena sangat rindu hendak bertemu dengan Rasulullah dan mendengar wahyu yang diwahyukan kepadanya. Pagi-pagi Ali pergi dengan tamunya ke rumah Rasulullah yang mulia. Abu Dzar mengikuti Ali dari belakang tanpa menoleh kemana-mana.
Tiba di rumah Rasulullah Abu Dzar memberi Assalamu’alaikum, “Assalamu ‘alaika, ya Rasulullah!”
Jawab Rasulullah, “Wa’alaika salamullahi wa rahmatuhu wa barakatuh.”
Dalam sejarah Islam tercatat, Abu Dzar adalah orang yang pertama memberi Assalamu’alaikum kepada Rasulullah dengan Assalamu’alaikum penghormatan secara Islam, sesudah itu Assalamu’alaikum tersebar luas dan merata dikalangan umat Islam.
Rasulullah mengajak Abu Dzar masuk Islam, dan membacakan ayat-ayat Al Qur’an kepadanya. Abu Dzar mengucapkan kalimat syahadah di hadapan beliau. Dia masuk Islam sebelum agama yang baru itu dianutnya itu sampai ke negrinya. Dia orang keempat atau orang kelima yang masuk Islam.
Marilah kita dengarkan Abu Dzar mengisahkan cerita selanjutnya mengenai dirinya, katanya; “Aku tinggal di Makkah bersama Rasulullah, beliau mengajarkan Islam dan membacakan ayat-ayat Al-qur’an kepadaku.
Kemudian beliau menasehatiku, ”Jangan diceritakan kepada siapapun dari penduduk Makkah, bahwa engkau sudah masuk Islam, saya kuatir kalau-kalau mereka membunuhmu.”
Jawabku, “Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya! Aku tidak akan meninggalkan Makkah sebelum aku datang ke masjid meneriakkan kalimah yang hak di tengah-tengah kaum Quraisy.” Rasulullah diam saja mendengar jawabanku.
Kemudian aku datang ke masjid ketika orang-orang Quraisy duduk bercakap-cakap. Aku datang ke tengah-tengah mereka, lalu aku berseru dengan suara keras, “Hai, kaum Quraisy! Aku mengaku sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah.” Kalimat-kalimatku menyentuh telinga mereka, mereka terkejut dan melompat dari duduknya.
Kata mereka, “tangkap! Dia meninggalkan agama nenek moyangnya!”
Aku dikeroyok hendak dibunuh mereka. Untunglah Abbas bin Abdul Mutthalib, paman Nabi datang melindungiku. Kata Abbas, “celaka kalian! Mengapa kalian hendak membunuh orang Ghifar. Padahal Ghifar tempat kafilah kalian lewat.”
Mereka berhenti mengeroyokku, sesudah itu aku pergi menemui Rasulullah, setelah beliau melihatku babak belur, beliau berkata, “bukankah aku sudah melarangmu mengatakan kepada mereka bahwa kamu telah Islam?”
Jawabku, “Aku penasaran sebelum tekadku kulaksanakan.”
Kata Rasulullah, “Sekarang sebaiknya engkau pulang kepada kaummu. Beritakanlah kepada mereka apa yang engkau lihat dan apa yang engkau dengar. Ajaklah kaummu kepada agama Allah. Semoga ajakanmu bermanfaat bagi mereka, dan engkau mendapat pahala karena mengajak mereka. Bila engkau mendengar berita bahwa aku telah berdakwah secara terang-terangan atau terbuka, datanglah kembali kepadaku.”
Aku pulang ke kampungku. Sampai di kampung, saudara-saudaraku bertanya, “Apa yang telah kau lakukan?”
Jawabku, “Aku sudah Islam dan mengakui kebenaran agama itu.”
Tidak berapa lama kemudian Allah melapangkan dada Anis, Dia berkata kepadaku, “Tidak ada alasan bagiku membenci agamamu. Karena itu aku masuk Islam dan mengakui pula kebenarannya.”
Kemudian kami datangi ibu kami, lalu kami ajak ibu masuk Islam. Kata ibu, “Saya sungguh tertarik kepada agama kalian.“ Lalu ibu masuk Islam pula. Maka sejak hari itu keluarga mu’min itu berdakwah di kampung Ghifar tanpa merasa lelah dan jemu. Banyak penduduk Ghifar masuk Islam. Rasulullah berkata mengenai mereka, “Semoga Allah mengampuni penduduk Ghifar dan menyelamatkan penduduk Islam.”
Rasulullah sangat terkesan kepada Abu Dzar dan memuliakannya, setiap beliau bertemu dengan Abu Dzar, beliau berjabat tangan dengannya dan wajah beliau terlukis seulas senyum tanda gembira.
Sejak Rasulullah berpulang ke rahmatullah, Abu Dzar tidak betah tinggal di Madinah. Kota itu terasa kosong baginya ditinggal Rasulullah. Dia pergi ke negeri Syam dan menetap tinggal di sana selama pemerintahan Abu Bakar Shiddiq dan Umar r.a
Zaman pemerintahan Utsman, Abu Dzar tinggal di Damascus. Dia melihat kaum muslimin sudah bermewah-mewah dengan kehidupan dunia. Abu Dzar bergerak membasmi gejala buruk yang membahayakan kaum muslimin itu. Karena itu khalifah Utsman memanggilnya ke Madinah.
Beliau begitu lama tinggal di Madinah mengingatkan masyarakat/ para pembesar supaya kembali kepada hidup sederhana seperti dicontohkan Rasulullah, Khalifah Utsman memerintahkannya pindah ke Rabzah, sebuah kampung kecil dekat kota Madinah. Abu Dzar tinggal di kampung itu terjauh dari masyarakat ramai. Dia menjauhkan diri dari kecenderungan hidup mewah dengan harta dunia, dan mempertahankan hidup sederhana seperti dicontohkan Rasulullah dan dua orang sahabat beliau, Abu Bakar dan Umar. Dia lebih mengutamakan kehidupan akherat daripada kehidupan dunia.
Pada suatu hari seorang laki-laki datang ke rumah Abu Dzar. Orang itu melayangkan pandangannya ke setiap pojok rumah Abu Dzar. Dia tidak melihat apa-apa dalam rumah itu. Karena itu orang tersebut bertanya kepada Abu Dzar, “Hai Abu Dzar! Dimana barang-barangmu?” Jawab Abu Dzar, “Kami mempunyai rumah yang lain (di akherat). Barang-barang kami yang bagus telah kami kirimkan kesana.”
Orang tersebut rupanya mengerti maksud Abu Dzar. Lalu dia berkata pula, ”Tetapi bukankah kamu memerlukan juga barang-barang itu di rumah ini (di dunia)?” Jawab Abu Dzar, ”Tetapi yang punya rumah (Allah) tidak membolehkan kami tinggal disini selama-lamanya.
Pada suatu ketika, Wali Kota Syam mengirimnya uang 300 dinar. Katanya, “Manfaatkanlah uang ini untuk memenuhi kebutuhan Anda!”
Abu Dzar mengembalikan uang itu seraya berkata, “Apakah Wali Kota tidak melihat lagi seorang hamba Allah yang lebih memerlukan bantuannya selain saya?”
Tahun ke 32 Hijriah Allah Yang Maha Pemberi berkenan memanggil hamba-Nya yang zuhud ini, dan yang telah mendapat pujian dari Rasulullah dengan sabdanya, ”Tidak akan diperoleh di dunia ini orang yang lebih konsekuen dari Abu Dzar.”
Di lembah Waddan yang menghubungkan Makkah dengan dunia luar, tinggal kabilah Ghiffar. Mereka hidup sangat berkekurangan dan tergantung pada pemberian kafilah saudagar Quraisy yang pulang pergi ke Syam. Tidak jarang pula mereka merampok kafilah-kafilah yang lewat di situ, apabila permintaan mereka tidak dipenuhi.
Jundub bin Junadah alias Abu Dzar adalah pemuda Ghifar yang lain dari yang lain, baik segi keberaniannya, maupun kecerdasannya dan jangkauan pemikirannya. Dia pemberani, berpikiran cemerlang dan berpandangan jauh ke depan.
Dia menilai kaumnya sangat bodoh, karena mereka menyembah berhala, tidak menyembah Allah. Dan dia tidak mengindahkan agama orang Arab yang dinilainya sebagai agama sesat dan kepercayaan (iktikad) yang kosong. Dia berpendapat, kedatangan seorang Nabilah yang dapat menunjuki akal dan hati nurani manusia, serta mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya yang terang.
Pada suatu hari, ketika Abu Dzar berada di kampungnya, dia mendengar berita tentang seorang Nabi yang baru muncul di Mekkah. Maka disuruhnya saudaranya, Anis, mencek kebenaran berita itu.
Kata Abu Dzar, “Pergilah engkau ke Makkah, selidiki sampai dimana kebenaran berita mengenai seorang yang mengatakan mendapat wahyu dari langit. Simak segala ucapannya dengan teliti, kemudian laporkan kepada saya.”
Anis pergi ke Makkah dan bertemu dengan Rasulullah SAW. Dia mendengarkan ucapan-ucapan beliau, kemudian kembali ke desanya menemui Abu Dzar yang menanti penuh harap. Abu Dzar langsung menanyakan berita tentang Nabi yang baru itu dengan penuh keinginan.
Kata Anis, ”Demi Allah! Aku telah melihat orang itu. Dia mengajak orang supaya berakhlak mulia, dan kata-katanya jelas, bukan sya’ir.”
Tanya Abu Dzar, “Bagaimana pendapat orang banyak mengenai pribadinya?”
Jawab Anis,”Mereka mengatakan dia tukang sihir, tukang tenung dan penya’ir.”
Kata Abu Dzar, ”Demi Allah! Laporanmu tidak memuaskanku karena tidak memenuhi apa yang saya inginkan. Maukah engkau menjaga keluargaku, biar aku pergi kesana meneliti kegiatannya?”
Jawab Anis, ”Boleh! Tetapi hati-hati engkau menjaga diri terhadap tindakan penduduk Makkah".
Abu Dzar menyiapkan perbekalan untuk dibawanya. Besok pagi dia berangkat ke Makkah hendak menemui Nabi dan mencari berita tentang pribadi beliau. Abu Dzar tiba di Makkah dengan menyamar sebagai musafir untuk menghindari tindakan penduduk Makkah. Dia pernah mendengar berita tentang kemarahan kaum Qurasiy karena Tuhan mereka disepelekan, mereka menyiksa setiap orang yang mengatakan menjadi pengikut Nabi Muhammad. Karena itu Abu Dzar enggan bertanya-tanya kepada siapapun juga tentang Nabi yang baru dibangkitkan itu. Sebab dia tidak tahu apakah orang yang akan ditanya itu pembela Muhammad atau musuhnya.
Setelah malam dia tidur di Masjid, kebetulan Ali bin Abi Thalib lewat di dekatnya. Ali tahu Abu Dzar seorang asing. Kata Ali, ”Marilah ikut kami, hai orang asing!”
Abu Dzar pergi bersama Ali dan bermalam dirumahnya, Pagi-pagi Abu Dzar kembali ke masjid membawa kantong perbekalannya, tanpa bertanya-bertanya dengan Ali terhadap urusan masing-masing.
Hari kedua dilalui Abu Dzar seperti hari pertama. Dia masih belum mengenal yang namanya Nabi yang dicarinya itu. Petang hari dia tidur di masjid dan Ali lewat pula didekatnya. Kata Ali, ”Apakah anda belum tahu tempat anda menginap?”
Ali mengajak Abu Dzar bermalam di rumahnya. Malam kedua itu mereka masih diam, masing-masing tidak bertanya satu sama lain.
Malam ketiga barulah Ali berkata kepada tamunya, ”Mudah-mudahan anda tidak keberatan mengabarkan kepada saya maksud kedatangan anda ke Makkah.”
Jawab Abu Dzar, ”Jika anda bersedia berjanji untuk membantuku, akan saya jelaskan kepada Anda tujuanku datang ke sini.” Ali menyatakan kesediannya dan berjanji akan membantunya.
Kata Abu Dzar, ”Saya datang kesini dari jauh, sengaja hendak bertemu dengan Nabi yang baru dibangkitkan dan ingin mendengar apa yang dikatakannya.”
Di wajah Ali terpancar tanda kegembiraan, katanya, “Demi Allah! Memang sesungguhnya dia Rasulullah!” Selanjutnya Ali menceritakan kepada Abu Dzar bukti-bukti kerasulan Muhammad dan dakwah yang dibawa beliau.
Kata Ali selanjutnya, ”Besok pagi kita pergi dengan sembunyi-sembunyi. Jika aku melihat sesuatu yang membahayakan anda, aku akan berhenti dan pura-pura menumpahkan air. Bila aku terus, ikutilah aku sampai ke sebuah tempat. Bila aku masuk, masuk pulalah anda!”
Abu Dzar tidak dapat memejamkan mata semalaman, karena sangat rindu hendak bertemu dengan Rasulullah dan mendengar wahyu yang diwahyukan kepadanya. Pagi-pagi Ali pergi dengan tamunya ke rumah Rasulullah yang mulia. Abu Dzar mengikuti Ali dari belakang tanpa menoleh kemana-mana.
Tiba di rumah Rasulullah Abu Dzar memberi Assalamu’alaikum, “Assalamu ‘alaika, ya Rasulullah!”
Jawab Rasulullah, “Wa’alaika salamullahi wa rahmatuhu wa barakatuh.”
Dalam sejarah Islam tercatat, Abu Dzar adalah orang yang pertama memberi Assalamu’alaikum kepada Rasulullah dengan Assalamu’alaikum penghormatan secara Islam, sesudah itu Assalamu’alaikum tersebar luas dan merata dikalangan umat Islam.
Rasulullah mengajak Abu Dzar masuk Islam, dan membacakan ayat-ayat Al Qur’an kepadanya. Abu Dzar mengucapkan kalimat syahadah di hadapan beliau. Dia masuk Islam sebelum agama yang baru itu dianutnya itu sampai ke negrinya. Dia orang keempat atau orang kelima yang masuk Islam.
Marilah kita dengarkan Abu Dzar mengisahkan cerita selanjutnya mengenai dirinya, katanya; “Aku tinggal di Makkah bersama Rasulullah, beliau mengajarkan Islam dan membacakan ayat-ayat Al-qur’an kepadaku.
Kemudian beliau menasehatiku, ”Jangan diceritakan kepada siapapun dari penduduk Makkah, bahwa engkau sudah masuk Islam, saya kuatir kalau-kalau mereka membunuhmu.”
Jawabku, “Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya! Aku tidak akan meninggalkan Makkah sebelum aku datang ke masjid meneriakkan kalimah yang hak di tengah-tengah kaum Quraisy.” Rasulullah diam saja mendengar jawabanku.
Kemudian aku datang ke masjid ketika orang-orang Quraisy duduk bercakap-cakap. Aku datang ke tengah-tengah mereka, lalu aku berseru dengan suara keras, “Hai, kaum Quraisy! Aku mengaku sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah.” Kalimat-kalimatku menyentuh telinga mereka, mereka terkejut dan melompat dari duduknya.
Kata mereka, “tangkap! Dia meninggalkan agama nenek moyangnya!”
Aku dikeroyok hendak dibunuh mereka. Untunglah Abbas bin Abdul Mutthalib, paman Nabi datang melindungiku. Kata Abbas, “celaka kalian! Mengapa kalian hendak membunuh orang Ghifar. Padahal Ghifar tempat kafilah kalian lewat.”
Mereka berhenti mengeroyokku, sesudah itu aku pergi menemui Rasulullah, setelah beliau melihatku babak belur, beliau berkata, “bukankah aku sudah melarangmu mengatakan kepada mereka bahwa kamu telah Islam?”
Jawabku, “Aku penasaran sebelum tekadku kulaksanakan.”
Kata Rasulullah, “Sekarang sebaiknya engkau pulang kepada kaummu. Beritakanlah kepada mereka apa yang engkau lihat dan apa yang engkau dengar. Ajaklah kaummu kepada agama Allah. Semoga ajakanmu bermanfaat bagi mereka, dan engkau mendapat pahala karena mengajak mereka. Bila engkau mendengar berita bahwa aku telah berdakwah secara terang-terangan atau terbuka, datanglah kembali kepadaku.”
Aku pulang ke kampungku. Sampai di kampung, saudara-saudaraku bertanya, “Apa yang telah kau lakukan?”
Jawabku, “Aku sudah Islam dan mengakui kebenaran agama itu.”
Tidak berapa lama kemudian Allah melapangkan dada Anis, Dia berkata kepadaku, “Tidak ada alasan bagiku membenci agamamu. Karena itu aku masuk Islam dan mengakui pula kebenarannya.”
Kemudian kami datangi ibu kami, lalu kami ajak ibu masuk Islam. Kata ibu, “Saya sungguh tertarik kepada agama kalian.“ Lalu ibu masuk Islam pula. Maka sejak hari itu keluarga mu’min itu berdakwah di kampung Ghifar tanpa merasa lelah dan jemu. Banyak penduduk Ghifar masuk Islam. Rasulullah berkata mengenai mereka, “Semoga Allah mengampuni penduduk Ghifar dan menyelamatkan penduduk Islam.”
Rasulullah sangat terkesan kepada Abu Dzar dan memuliakannya, setiap beliau bertemu dengan Abu Dzar, beliau berjabat tangan dengannya dan wajah beliau terlukis seulas senyum tanda gembira.
Sejak Rasulullah berpulang ke rahmatullah, Abu Dzar tidak betah tinggal di Madinah. Kota itu terasa kosong baginya ditinggal Rasulullah. Dia pergi ke negeri Syam dan menetap tinggal di sana selama pemerintahan Abu Bakar Shiddiq dan Umar r.a
Zaman pemerintahan Utsman, Abu Dzar tinggal di Damascus. Dia melihat kaum muslimin sudah bermewah-mewah dengan kehidupan dunia. Abu Dzar bergerak membasmi gejala buruk yang membahayakan kaum muslimin itu. Karena itu khalifah Utsman memanggilnya ke Madinah.
Beliau begitu lama tinggal di Madinah mengingatkan masyarakat/ para pembesar supaya kembali kepada hidup sederhana seperti dicontohkan Rasulullah, Khalifah Utsman memerintahkannya pindah ke Rabzah, sebuah kampung kecil dekat kota Madinah. Abu Dzar tinggal di kampung itu terjauh dari masyarakat ramai. Dia menjauhkan diri dari kecenderungan hidup mewah dengan harta dunia, dan mempertahankan hidup sederhana seperti dicontohkan Rasulullah dan dua orang sahabat beliau, Abu Bakar dan Umar. Dia lebih mengutamakan kehidupan akherat daripada kehidupan dunia.
Pada suatu hari seorang laki-laki datang ke rumah Abu Dzar. Orang itu melayangkan pandangannya ke setiap pojok rumah Abu Dzar. Dia tidak melihat apa-apa dalam rumah itu. Karena itu orang tersebut bertanya kepada Abu Dzar, “Hai Abu Dzar! Dimana barang-barangmu?” Jawab Abu Dzar, “Kami mempunyai rumah yang lain (di akherat). Barang-barang kami yang bagus telah kami kirimkan kesana.”
Orang tersebut rupanya mengerti maksud Abu Dzar. Lalu dia berkata pula, ”Tetapi bukankah kamu memerlukan juga barang-barang itu di rumah ini (di dunia)?” Jawab Abu Dzar, ”Tetapi yang punya rumah (Allah) tidak membolehkan kami tinggal disini selama-lamanya.
Pada suatu ketika, Wali Kota Syam mengirimnya uang 300 dinar. Katanya, “Manfaatkanlah uang ini untuk memenuhi kebutuhan Anda!”
Abu Dzar mengembalikan uang itu seraya berkata, “Apakah Wali Kota tidak melihat lagi seorang hamba Allah yang lebih memerlukan bantuannya selain saya?”
Tahun ke 32 Hijriah Allah Yang Maha Pemberi berkenan memanggil hamba-Nya yang zuhud ini, dan yang telah mendapat pujian dari Rasulullah dengan sabdanya, ”Tidak akan diperoleh di dunia ini orang yang lebih konsekuen dari Abu Dzar.”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan