Emir Hasan,
seorang Raja Ngeara Algeria, suatu
ketika memerintahkan rakyatnya untuk tidak menyalakan lentera ataupun perapian
untuk satu malam
Emir Hasan,
seorang Pangeran Aljazair, suatu ketika memerintahkan rakyatnya untuk tidak
menyalakan lentera ataupun perapian untuk satu malam.
Rakyat yang
tidak berani membantah mengikuti saja titah sang pangeran. Seketika, daerah
kekuasaan Emir Hasan menjadi gelap gulita dan hanya disinari sinar rembulan.
Namun, Emir
Hasan melihat pijar temaram dari sebuah rumah di kejauhan. Merasa heran dan
marah karena perintahnya tak dituruti, Emir Hasan mengajak sang pengawal
mendatangi rumah tersebut dengan menyamar.
Emir Hasan
mengganti jubah kebesarannya dengan baju khas musafir.
Dengan
hati-hati, ia menyusuri jalanan desa menuju rumah yang masih menyalakan lentera
tersebut. Tak berapa lama, ia dan pengawalnya sampai di depan rumah tersebut.
Emir Hasan
segera mengetuk pintu rumah itu.
Seorang
perempuan tua kemudian membukakan pintu. Demi melihat tamunya itu, ia
menggeleng pelan.
"Bukannya
aku tak mau menerimamu di sini, wahai musafir. Tetapi, aku adalah seorang
wanita yang berkekurangan." Wanita ini mengira tamunya adalah seorang
musafir yang meminta pertolongan.
"Aku dan
kawanku sudah kemalaman. Izinkanlah kami menginap di sini barang semalam saja.
Sebelum Subuh, kami segera pergi melanjutkan peijalanan." Emir Hasan
memaksa si nyonya rumah.
"Terserah
dirimu sajalah. Masuklah."
"Terima
kasih."
Masuklah Emir
Hasan ke dalam rumah wanita tersebut. Alangkah terkejutnya ia mendapati keadaan
rumah tersebut. Rumah itu hampir tak ada perabotan, layaknya sebuah rumah.
Hanya tampak sehelai selimut tipis untuk alas tidur keempat putranya.
Melihat sang
tamu yang keheranan, wanita tadi menjelaskan keadaannya, "Aku adalah
seorang janda dengan keempat putra.
Malam ini, Raja
menyuruh kami mematikan semua sumber cahaya. Namun, aku bersikeras menyalakan
perapian ini.
Setidaknya,
cahaya ini dapat menghangatkan anak-anakku yang sedang meringkuk
kelaparan."
Tampak oleh
Emir Hasan bahwa keempat lelaki kecil itu tengah menangis sambil memegangi
perutnya.
"Sudah
berapa lama mereka seperti ini?" tanya sang Raja.
"Sudah
empat hari, Tuan."
Emir Hasan
bukan main terkejutnya. Ia tak menyangka masih ada rakyatnya yang hidup
kekurangan.
Ketika Subuh
menjelang, ia segera berpamitan dan diam-diam kembali menuju istananya. Ia
mengutus perdana menteri untuk membawa berkantong-kantong gandum dan pakaian
untuk diberikan kepada si janda miskin dan keempat anaknya. Tak lupa, ia juga
berpesan untuk menyembunyikan identitinya sebagai Raja.
Sijandayang
terheran heran menerima bantuan yang demikian banyaknya, mengucap syukur dan
mendoakan si dermawan.
"Sebaiknya,
saat memberi sedekah, hanya kita dan Allah jualah yang mengetahuinya agar tidak
menimbulkan ria"
Tiada ulasan:
Catat Ulasan