Al-Qairuni berkata, “Seorang syaikh yang termasuk
orang-¬orang yang utama mengabarkan kepada saya, dia berkata, ‘Abu Al-Hasan
Al-Mathlabi (Imam Masjid Nabawi) mengabarkan kepadaku, dia berkata, ‘Suatu hari
ketika saya di Madinah melihat suatu keajaiban, ada seorang laki-laki mencaci
Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu ‘Anhum. Kemudian, pada hari lainnya ketika kami
selesai shalat subuh, tiba-tiba kami bertemu seorang lelaki yang air matanya
mengalir deras membasahi kedua pipinya, lalu kami tanyakan bagaimana ceritanya
sehingga ia bernasib seperti itu?
Lelaki itu menjawab, ‘Tadi malam aku bermimpi bertemu
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, sedang di depan beliau ada Ali bersama
Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu ‘Anhuma. Lalu Abu Bakar dan Umar berkata kepada
Rasulullah, ‘Inilah orangnya yang menyakiti dan mencaci kami wahai Rasulullah!
Kemudian, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya kepadaku, ‘Siapa
yang menyuruhmu berbuat seperti ini wahai Abu Qais?’ Aku menjawab, ‘Ali’, dan
aku pun menunjuk kepadanya’.
Kemudian, Ali mengarahkan wajah dan tangannya
kepadaku dengan mengepalkan jari-jarinya dan mengisyaratkan dia menampar
mataku, lalu berkata, Jika kamu berdusta, semoga Allah membutakan matamu.
Kemudian, Ali mencolok jarinya ke mataku, lalu aku terbangun dari tidurku dan
aku dapati diriku seperti ini. Kemudian, lelaki itu menangis dan memberitahukan
kepada masyarakat, lalu bertaubat di hadapan mereka.”
Diriwayatkan dari Abu Hatim Ar-Razi dari Muhammad bin
Ali, dia berkata, “Ketika kami berada di Makkah dan duduk¬-duduk di Masjidil
Haram, ada seorang lelaki dengan wajah separuh hitam dan separuhnya putih, lalu
dia berkata, ‘Wahai segenap manusia, ambillah i’tibar dari diriku, aku pernah
berbuat buruk dan mencaci dua orang shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam. Kemudian pada suatu malam, ketika aku tidur, tiba-tiba ada seseorang
yang mengangkat tangan lalu menampar wajahku sambil berkata kepadaku, ‘Wahai
musuh Allah, wahai orang yang fasik, bukankah kamu yang selama ini mencela Abu
Bakar dan Umar, kemudian menjadi seperti inilah keadaanku.”
Seorang syaikh dari suku Quraisy berkata, “Di Syam
(Syiria) aku melihat seorang lelaki yang setengah wajahnya hitam dan ditutupi
tangannya. Aku menanyakan kenapa dia menutupinya seperti itu? Lelaki itu
menjawab, ‘Aku telah bersumpah kepada Allah siapa yang menanyakan sebab sikapku
seperti ini, maka pasti akan aku jawab. Ketika itu aku sangat memusuhi Ali bin
Abu Thalib Radhiyallahu ‘Anhu. Pada suatu malam ketika aku lelap tidur, ada
seorang lelaki mendatangiku lalu berkata, ‘Kamukah orangnya yang selalu
memusuhi aku?’ Kemudian, ia menampar sebelah pipiku sehingga menjadi seperti
inilah wajahku, hitam sebelah sebagaimana kamu lihat’.”
Diriwayatkan dari Muhammad bin Sirin Rahimahullah,
dia berkata, “Ketika itu aku sedang melakukan thawaf di Ka’bah. Tiba-tiba aku
berpapasan dengan seorang lelaki yang memanjatkan doa seperti ini, ‘Ya Allah
ampunilah aku, dan aku tidak yakin Engkau akan mengampuniku!’ Seketika itu aku sangkal,
‘Wahai Abdullah, selama ini aku tidak pernah mendengar sese¬orang berdoa
sebagaimana yang kamu panjatkan!’ Lelaki itu men¬jawab, ‘Ketika itu aku pernah
berjanji, sekiranya aku dapat me¬nampar wajah Utsman, pasti aku lakukan’.
Kemudian, ketika Utsman Radhiyallahu ‘Anhu terbunuh dan diletakkan di atas
tempat tidurnya di dalam rumah, sementara orang-orang berda¬tangan untuk
menyalatkan jenazahnya, aku pun masuk ruangan itu lalu berpura-pura ikut
menyalatkan jenazahnya. Ketika itu sedang sepi, maka aku tarik pakaianku untuk
menutupi wajah dan jenggot Utsman, lalu aku berhasil menamparnya. Setelah
kejadian itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan tanganku kering dan kaku seperti kayu yang tidak
dapat digerakkan’ .”
Ibnu Sirin berkata, “Benar, aku telah melihat
tangannya kering.”
Utsman Radhiyallahu ‘Anhu adalah seorang shahabat
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang mendapat gelar Dzun Nuraini;
khalifah ke-3. Dia mendapat perlakuan zalim dan menyerahkan urusannya kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah menurunkan hukumannya yang berlaku atas
orang yang menzaliminya sebagai ibrah. Sungguh Allah adalah Maha mulia dan
Mendendam.
Diriwayatkan dari Amir bin Sa’ad Radhiyallahu ‘Anhu,
dia berkata, “Ketika Sa’ad berjalan, tiba-tiba ia berjumpa dengan seorang
lelaki yang sedang mencaci Ali, Thalhah, dan Zubair Radhiyallahu Anhuma. Sa’ad
berkata kepada lelaki itu, ‘Sungguh, baru saja kamu mencaci suatu kaum yang
telah berhasil mendahului dalam kebaikan dari yang selainnya. Kamu akan
berhenti mencaci mereka atau aku doakan kamu supaya Allah menurunkan musibah
untukmu!’
Lelaki itu menantang, ‘Kenapa kamu menakut-nakuti
aku, seolah-olah kamu seorang nabi?’
Sa’ad menjawab, ‘Ya Allah, sesungguhnya orang itu
men¬caci sejumlah shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang lebih
dahulu berbuat kebaikan daripada orang lain, maka turunkan siksa untuk orang
itu?!’
Tiba-tiba datang seekor unta betina, orang-orang
membiarkan unta tersebut berjalan dan mencederai lelaki itu.
Aku sendiri menyaksikan orang-orang menyusul Sa’ad
sambil berkata, ‘Wahai Abu Ishaq, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan doamu’
.” (Diriwayatkan Thabrani)
Diriwayatkan dari Qais, dia berkata, “Seorang
laki-laki mencaci Ali Radhiyallahu ‘Anhu, kemudian Sa’ad berkata, ‘Ya Allah,
sesungguhnya laki-laki ini mencaci salah seorang wali¬Mu, maka jangan bubarkan
pertemuan ini” sehingga Engkau memperlihatkan kekuasaan-Mu’.
Demi Allah, kami tidak meninggalkan pertemuan kami
itu sehingga lelaki tersebut terpelanting dan pingsan dari ken¬daraan yang
dinaikinya dan kepalanya terbentur bebatuan sehingga gegar otak dan mati.”
(Diriwayatkan Al-Hakim),Ada seseorang yang mencaci shahabat Rasulullah
Sha¬lallahu Alaihi wa Sallam yang tergolong masyhur, dan tidaklah mungkin ada
seseorang yang berani mencaci shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
selain orang-orang zindik ekstrim, yang di dalam hatinya diliputi rasa iri dan
dendam kepada para shahabat. Telah cukup kita jadikan pelajaran ucapan seorang
tabiin yang bernama Abu Zur’ah Rahimahullah, ‘jika kamu melihat ada seseorang
yang berani mencaci salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, tentulah ia zindik.”
Orang-orang yang berani mencaci para shahabat
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang Allah telah ridha kepada mereka,
tentu Allah akan menurunkan laknat, menjauh¬kan rahmat-Nya, dan tidak
dimasukkan ke dalam surga serta hidup di dunia penuh dengan kehinaan sebelum
merasakan siksa¬an di akhirat.
Apakah pantas seseorang mencaci para shahabat yang
kepada mereka pula diturunkan Al-Qur’an. Bahkan, mereka memperoleh pujian
langsung dari Allah?!
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“‘Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang
yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang¬-orang kafir, tetapi
berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari”
karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka
dan” bekas sujud Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat
mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka
tunas itu menjadikan tanaman itu kuat, lalu menjadi besarlah dia dan tegak
lurus di alas pokoknya; tanaman itu menyenang¬kan hati penanam-penanamnya
karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan
orang-orang Mukmin). “(Al-Fath: 29)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Barangsiapa mencaci para shahabatku, maka baginya laknat Allah, para malaikat,
dan seluruh manusia. (Diriwayatkan Thabrani).
Tiada ulasan:
Catat Ulasan