Diriwayatkan dari
Muhammad bin al-Munkadir, sesungguhnya ia memiliki kain, sebagian berharga lima
(dirham), sebagian lainnya sepuluh (dirham). Ketika ia tidak ada, budaknya
menjual kain seharga lima (dirham) dengan harga sepuluh (dirham). Setelah
mengetahuinya, sepanjang siang ia terus mencari-cari orang Badui yang
membelinya, sampai berhasil menemukannya.
Ibnu al-Munkadir
berkata padanya: “Sesungguhnya budak(ku) telah berbuat salah, ia menjual padamu
barang yang harganya lima (dirham) dengan harga sepuluh (dirham).” Pembelinya
(Badui) berkata: “Aku rela.”
Ibnu al-Munkadir
berkata: “Jikapun kau rela, kami yang tidak rela atas (kerugian)mu, kecuali
(dengan syarat yang) membuat kami rela untuk diri kami sendiri. Maka, pilihlah
satu dari tiga hal ini, (pertama), silakan ambil (tukar) kain yang
seharga sepuluh (dirham), (kedua), kami kembalikan uang lima (dirham)
padamu, dan (ketiga), kau kembalikan kain (yang kau beli) dan silakan
ambil uangmu (kembali).”
Pembeli itu berkata:
“Kembalikan saja uang lima (dirhamku).” Ibnu al-Munkadir mengembalikannya pada
orang Badui itu, lalu ia pulang. Si Badui pun (penasaran) dan bertanya-tanya:
“Siapakah orang tua itu?” Kemudian seseorang menjawabnya: “Ia adalah Muhammad
bin al-Munkadir.” Orang Badui itu berujar: “(Pantas saja), tidak ada tuhan
selain Allah. Dialah orang yang mengalirkan air di sumur-sumur ketika kami
kekeringan.” (Imam Abû Hâmid al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Beirut:
Darul Ma’rifah, tt, juz 2, h. 80)
****
Imam Muhammad bin
al-Munkadir (w. 747 M) adalah seorang tabi’in. Ia meriwayatkan hadits dari
banyak sahabat Nabi seperti Sayyidah Aisyah, Sayyidina Abu Hurairah, Sayyidina
Abdullah bin Umar, Sayyidina Abdullah bin Abbas, Sayyidina Anas bin Malik dan
masih banyak lainnya. Hampir semua imam besar hadits mengambil riwayat darinya,
sebut saja Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Ibnu Majah, Imam
al-Tirmidzi, dan lain sebagainya. Di kalangan ulama, Imam Ibnu al-Munkadir
memiliki kedudukan yang tinggi. Imam Malik bin Anas mengatakan:
“Muhammad (bin
al-Munkadir) adalah tuannya para pembaca al-Qur’an yang hampir tidak ada
seorang pun yang menanyakan hadits padanya kecuali berlinangan air mata (hampir
menangis).” (Imam Ibnu ‘Asâkir, Târîkh Madînah Dimasyq, Beirut: Dar
al-Fikr, 1997, juz 56, h. 42)
Kisah di atas adalah
bukti keluhuran pekerti dan kejujuran lakunya. Demi keberkahan, Imam Ibnu
al-Munkadir rela menghabiskan waktunya untuk mencari orang yang membeli
kainnya, padahal orang yang dicarinya sudah rela dengan harga yang dibayarkan,
tapi Imam Ibnu al-Munkadir bersikukuh. Katanya: “Jikapun kau rela, kami yang
tidak rela atas (kerugian)mu.” Sungguh menarik, bukan? Mari kita kaji lebih
dalam.
Apa yang dilakukan
Imam Ibnu al-Munkadir harus kita pahami sebagai “usaha mengamalkan agama
setepat mungkin.” Banyak orang mengamalkan agama sekadarnya saja, atau bahasa
kerennya “yang penting ngerjain.” Imam Ibnu al-Munkadir melampaui
itu, ia berusaha sekuat tenaga untuk mengamalkan agamanya setepat mungkin.
Artinya, ia berusaha mengamalkan semua aspek yang melingkupi agama.
Kita bisa skemakan
seperti ini, sekadar contoh ya: pertama, ketika ia mengetahui
kesalahan budaknya, ia mengamalkan “malu” kepada Allah. Kedua,
ketika sepanjang hari mencari orang Badui yang membeli barangnya, ia
mengamalkan “sabar”. Ketiga, ketika sudah bertemu dengan orang
Badui yang dicarinya, ia mengamalkan “jujur”. Keempat, ketika orang
Badui menyatakan kerelaannya, ia mengamalkan “adil”, dan seterusnya. Ini baru
gambaran kecil dari pengamalan agama “setepat mungkin”, karena aspek yang
melingkupinya masih lebih banyak dari contoh di atas. Masih ada “takut” (khauf),
masih ada “raja’” (mengharap), dan lain sebagainya.
Misalnya, apa yang
dilakukan Imam Ibnu al-Munkadir bisa juga dipahami sebagai pengamalan “khauf”
(takut) atas hilangnya berkah karena menjual barang tidak sesuai harganya, dan
“raja” (mengharap) kembali berkah dengan perjuangannya mencari pembeli yang
dirugikan itu. Belum lagi pengamalan paling maksimal dan ideal dari setiap
aspeknya, misalnya “adil”, “sabar”, “malu”, dan “jujur” dalam level terbaiknya.
Begitu pun sebaliknya,
“pengamalan agama setepat mungkin” harus didampingi dengan “penghindaran dosa
setepat mungkin”, yang semuanya berakar pada ketakutan. Jika menggunakan skema
yang sama seperti di atas; pertama, takut bermaksiat kepada Allah; kedua, takut
kehilangan rasa syukur; ketiga, takut menjadi pembohong; keempat, takut
dikuasai kezaliman, dan seterusnya. Karena pada dasarnya, menabrak larangan itu
lebih berbahaya daripada melanggar perintah.
Kembali pada
pembahasan, di akhir kisah, setelah mengetahui identitas Ibnu al-Munkadir,
orang Badui tersebut berkata: “Dialah orang yang mengalirkan air di sumur-sumur
ketika kami kekeringan”. Artinya, terlepas dari semuanya, Imam Ibnu al-Munkadir
adalah orang yang penuh kasih sayang. Dengan kata lain, “pengamalan agama
setepat mungkin” dalam tataran tertingginya adalah kasih sayang dan cinta.
Karena itu, pengamalan agama tidak memiliki batas, seperti halnya kasih sayang
dan cinta. Sebanyak apapun amal yang kita lakukan, yakinlah masih banyak amal
yang belum kita lakukan. Ini masih perbincangan dalam wilayah kuantitas, belum
wilayah kualitas, yang mana tujuannya tidak sekadar sah atau tidaknya sebuah laku
ibadah.
Maka dari itu, kita
sebagai manusia harus mulai berbenah, memeluk pengamalan agama sebagai nikmat
Tuhan. Orientasi ibadah kita yang mulanya berkutat di wilayah kuantitas,
perlahan-lahan harus digeser memasuki wilayah kualitas, tentunya dengan tanpa
mengurangi kuntitasnya, agar kita mulai memahami dunia dengan perspektif
berbeda.
Kita sering melihat,
banyak orang yang rela mengeluarkan biaya besar untuk membantu masjid, tapi
jarang sekali kita melihat orang yang membantu sesamanya. Sekarang lihatlah
Imam Ibnu al-Munkadir, ia membantu daerah-daerah yang kekeringan dengan memberi
mereka air. Dan ingat, mendapatkan air di zaman itu tidak semudah sekarang. Ia
harus mengeluarkan dana besar untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Dengan merenungi kisah
Imam Ibnu al-Munkadir, kita jadi tahu bahwa, selama ini kesalehan telah
tereduksi maknanya, sebatas rajin shalat, puasa dan ibadah ritual lainnya.
Padahal, untuk mencapai predikat saleh, seorang hamba harus melengkapi
pengamalan agamanya, dan menaikkan level kualitasnya seperti Imam Ibnu
al-Munkadir. Contoh sederhananya begini, shalat kita harus menambah kasih
sayang di hati kita; puasa kita harus bisa meningkatkan kesabaran kita; zikir
kita harus membuat kita lebih mawas diri, dan seterusnya. Memang tidak mudah,
tapi apa salahnya mencoba.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan