Menurut Kalam Hikmah ke 37
: Al-Arifbillah
Syeikh Ahmad Ibnu Athaillah As kandary:
"Allah ada, dan tiada
sesuatu besertaNya. Dia kini adalah tetap sebagaimana adanya"
Ada dua bagian yang ingin dipertegas dalam hikmah ini,
a) "Allah ada, dan tiada sesuatu besertaNya.
b) "Dia kini tetap sebagaimana adanya".
Bagian [a] merupakan kutipan Hadis Nabi sinergi dengan 2 Hadis lain yaitu:
1" كان الله تبارك وتعالى قبل كل شيء" "Allah ada
sebelum segala sesuatu ada"
2"كان الله ولم يكن شيء قبله" "Allah ada dan segala
sesuatu tidak ada sebelum Allah ada"
Jadi jika mindset "Allah ada dan tiada sesuatu selainNya" telah
terpatri di hati kita, berarti tak ada segala sesuatu sebelum Allah ada.
Kemudian bagian [a] hikmah ini tak lain adalah perpanjangan makna QS
(Ar-Ro'du):16 dan (Az-Zumar):62 "Allah menciptakan segala sesuatu".
Katakanlah: "Siapakah Tuhan langit dan bumi?" Jawabnya:
"Allah". Katakanlah: "Maka patutkah kamu mengambil
pelindung-pelindungmu dari selain Allah, padahal mereka tidak menguasai
kemanfaatan dan tidak (pula) kemudharatan bagi diri mereka sendiri?".
Katakanlah: "Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah
gelap gulita dan terang benderang; apakah mereka menjadikan beberapa sekutu
bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan
itu serupa menurut pandangan mereka?" Katakanlah: "Allah adalah
Pencipta segala sesuatu dan Dialah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa". QS Ar-Ra’d :16
Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. QS Az-Zumar :62
Para pakar teologi Islam telah memberikan bukti ilmiah bahwa segala sesuatu
selain Allah adalah baru dan pasti ada yang menciptakan. Sehingga bisa
dipastikan bagian [a] hikmah ini adalah pengukuhan sekaligus penyegaran
pokok-pokok akidah Islam yang telah kita ketahui bersama. Maka, rasanya tak
perlu panjang lebar menjelaskan hal itu, karena Al-Buthi telah membukukan dalam
karya lain berjudul كبرى اليقينيات. Sedang
pada bagian [b] "Dia kini adalah tetap sebagaimana adanya", merupakan
preface/pembuka dari bagian [a]. Yaitu, sebagaimana sejak zaman dahulu tiada
sesuatu yang menyertai Allah, maka begitu juga kini dan esok hari tidak ada sesuatu selainNya.
Bagaimana bisa sesuatu selain Allah dikatakan tidak ada, padahal kita
menyaksikan dengan mata telanjang pada bumi, langit dan segala panorama? Maka
sekali-kali kita jangan terjebak dalam pertanyaan dangkal semacam itu, sebab
hal ini bagian kejahilan yang nyata dalam beragama. Namun menanggapi pertanyaan
tersebut tidak boleh dengan menjahil-jahilkan orang yang bertanya, apalagi
sampai mengkafir-kafirkan. No! Sebab yang diharapkan adalah terjalin
kesepahaman yang integral tanpa bertujuan mengorang lain kan (othering)
kelompok lain yang tidak sepaham. Bahwa langit dsb. bisa dikatakan ada bersama
Allah, jika kepada balita yang untuk berdiri butuh memegang erat tangan
ayahnya, anda berkata: "Anak tersebut berada dalam sifat berdiri yang sama
dengan sifat berdiri ayahnya.", padahal masih membutuhkan pegangan erat
sang ayah.
Demikian ini perlu direnungi ulang sebelum kita menarik suatu kesimpulan;
"wujud alam semesta menyertai wujud Allah." Begitulah alam
semesta (baca: selain Allah), wujudnya tidak lepas dari otoritas Allah, yang
ketika diwujudkan, kapan saja bisa dimusnahkan. Allah menganugerahi alam untuk
wujud dan senantiasa bersama anugerah tersebut, sepanjang wujudnya. Jika
anugerah ini hilang, hilanglah alam. Sifat butuh (dependen) pada anugerah inilah
yang menyebabkan alam beserta isinya tidak bisa dibilang wujud sejajar dan
menyertai Allah. Ini sesuai dengan apresiasi Rasulullah atas gubahan syair
Labid, Penyair Muslim di periode awal Islam, Bahwa segala sesuatu selain Allah
dianggap dan tidak ada. Hal ini bisa nyata ketika Allah melepas genggaman
(tidak menahan) alam semesta sesuai QS. Al-Fathir: 41. Sesungguhnya Allah
menahan langit dan bumi supaya jgn
lenyap;" Jika Allah melepas, apakah
keduanya tidak lenyap?
Kemudian adakah nilai-nilai tarbiyah yang ingin diselipkan oleh Al-Buthi
dalam hikmah 37 ini? Ruh pendidikan yang ingin dihembuskan kepada setiap muslim
adalah meletakkan sifat ketuhanan dalam ruang pribadi hanya milik Allah.
Sehingga kita tidak berharap kebaikan apapun melainkan hanya kepada Allah,
serta tidak khawatir pada bahaya apapun selain datangnya dari Allah. Nilai
tarbiyah selanjutnya adalah agar kita tidak menjadikan semesta alam penghalang
dan yang menyita kesibukan diri untuk intim bersamaNya.
Maka keesaan Allah tidak melebur ke dalam relung hati setiap muslim,
kecuali bila ia memahami apa yang dinaksudkan Al-Buthi dalam hikmah ini. Bahwa
tidak satupun yang menyertai Allah dalam wujud baik kini, kemarin atau esok
hari. Kemudian ia mengamalkan nilai-nilai tarbiyah di hikmah ini. Tentu berbeda
antara wujud menyertai Allah sebagai hal yang maustahil dengan wujud karena
Allah yang sesuai dengan hakikat alam semesta. Demikian Hikmah 37, semoga makin
memperkuat dinding keimanan dalam mentauhidkan Allah.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan