Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda
“Allah ada dan tidak ada
sesuatu apapun selain Allah.” (HR Bukhari)
Imam Sayyidina Ali bin Abi
Thalib berkata “Allah ada dan belum ada tempat dan Dia sekarang (setelah
menciptakan tempat) tetap seperti semula ada tanpa tempat”
Menurut Kalam Hikmah ke 37 Al-Arifbillah Syeikh
Ahmad Ibnu Athaillah As kandary berkata:
“Allah ada, dan tiada sesuatu
besertaNya. Dia kini adalah tetap sebagaimana adanya”
Rasulullah bersabda
“Allah ada tanpa sesuatu apapun
yang menyertaiNya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada
sesuatu”.
Ahmad bin Mani’ berkata,
bahwa Yazid bin Harun berkata, maksud hadits tersebut (istilah Ama` adalah),
(Allah ada) tanpa sesuatu apapun yang menyertaiNya (termasuk tempat)
Al-Tirmidzi berkata: “hadits
ini bernilai hasan”. (Sunan al-Tirmidzi,)
Al-Imam al Baihaqi (w 458 H)
dalam kitabnya al-Asma Wa ash-Shifat, hlm. 506, berkata :
“Sebagian sahabat kami dalam
menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu
‘alaihi wasallam
“Ya Allah, Engkaulah,
Azh-Zhahir, tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu, dan Engkau al-Bathin, tidak
ada sesuatu apapun di bawah-Mu (HR. Muslim dan lainnya)
Rasulullah bersabda:
“Allah ada pada azal
(keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (HR. al
Bukhari, al Baihaqi dan Ibn al Jarud)
Dalam al-Fiqh al-Absath,
al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang
berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa
tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan
sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan
Dia adalah Pencipta segala sesuatu”
Imam asy-Syafi’i berkata:
“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada
tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada
sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh
pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada
sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki
arah bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan,
dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha
Suci dari pada itu semua. (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Berdasarkan riwayat dan
penjelasan para ulama terdahulu di atas maka dapat kita simpulkan bahwa
“Allah Ta’ala ada tanpa
sesuatu apapun yang bersamaNya (menyertaiNya) dan Allah Ta’ala sekarang adalah
tetap sebagaimana adanya atau seperti semula (ada tanpa tempat)”
Kesimpulan tersebut sesuai
dengan firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dialah Yang Awal dan Yang
Akhir” (QS Al Hadiid [57]:3)
Jadi Allah Ta’ala tidak
berubah !!! dan mustahil disifatkan berubah (huduts)
Allah Ta’ala ada sebagaimana
awalnya dan sebagaimana akhirnya.
Allah Ta’ala ada sebagaimana
sebelum diciptakan ciptaanNya, sebagaimana setelah diciptakan ciptaanNya.
Allah Ta’ala ada sebagaimana
sebelum diciptakan ‘Arsy , sebagaimana setelah diciptakan ’Arsy
Imam asy-Syafi’i rahimahullah
berkata :“Sesungguhnya Allah Ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka Dia
menciptakan tempat, sementara Dia tetap atas sifat azali-Nya (sifat qadim),
sebagaimana Dia ada sebelum Dia menciptakan tempat, tidak boleh atas-Nya
berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”. [Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin
–Jilid 2].
Al-Imam al-Qurthubi
menuliskan: “Allah yang Maha Agung tidak boleh disifati dengan perubahan atau
berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dan mustahil Dia disifati
dengan sifat berubah atau berpindah. Karena Dia ada tanpa tempat dan tanpa
arah, dan tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Karena sesuatu yang terikat
oleh waktu itu adalah sesuatu yang lemah dan makhluk” (al-Jami’ Li Ahkam
al-Qur’an,)
Imam Abu Hanifah dalam kitab
Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan dengan
sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya ,
sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh
yang kecil (seperti mata dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam
arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk
(diliputi oleh arah)
Oleh karenanya para ulama
terdahulu mengatakan bahwa
Allah
Ta’ala maujud bilaa makan (Allah ada tanpa tempat dan arah).
Allah Ta’ala suci dari enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang). Allah Ta’ala dekat tidak bersentuh dan jauh tidak berjarak.
Allah Ta’ala suci dari enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang). Allah Ta’ala dekat tidak bersentuh dan jauh tidak berjarak.
Dalam perkara aqidah atau
i’tiqad mereka ngeyel atau keukeuh (bersikukuh) menempatkan Tuhan mereka di
langit atau di atas arsy , salah satunya akibat mereka berpegang pada hadits
riwayat Imam Muslim dari Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami.
Hadits yang diriwayatkan oleh
Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami adalah hadits panjang yang terdiri dari
beberapa bagian.
Imam Muslim tidak meletakkan
hadits tersebut pada bab aqidah atau keimanan karena hal pokok yang shahih dan
tidak diperselisihkan adalah pada bagian sabda Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam yang artinya, “Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di
dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan
membaca al-Qur’an.”
Sedangkan pada bagian kisah
budak Jariyah, Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami meriwayatkan pertanyaan
Rasulullah adalah “di mana Allah” namun jalur yang lain meriwayatkan pertanyaan
Rasulullah adalah “Siapakah Tuhanmu” lalu kemudian budak perempuan tersebut
berisyarat dengan telunjuknya ke arah langit dan sebagaimana yang dikatakan
oleh hujjatul Islam Abu Hamid Al Ghazali bahwa budak itu adalah seorang yang
bisu dan ia tidak memiliki cara lain untuk menunjukkan ketinggian Allah Yang
Maha Kamal kecuali dengan menggunakan bahasa isyarat menunjuk langit.
Muawiyah bin al-Hakam
as-Sulami meriwayatkan hadits tidak dengan matan (redaksi) asli sabda Nabi
shallallahu alaihi wasallam, ia meriwayatkannya dengan ma’nan (hanya kandungan
maknanya saja).
Jadi
pertanyaan “di mana Allah” adalah matan (redaksi) dari Muawiyah bin al-Hakam
as-Sulami secara pribadi berdasarkan penyaksiannya terhadap percakapan secara
isyarat sehingga ia terjatuh dalam kesalahan yang dapat pula dipengaruhi oleh
keadaannya yang baru masuk Islam sebagaimana yang disampaikan
Hal ini dapat diketahui dari
pernyataan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami, “Wahai Rasul shallallahu alaihi
wasallam sesungguhnya aku adalah seorang yang baru saja berada di dalam
kejahiliyahan kemudian datang Islam”
Ahli hadits seperti Imam
Muslim pada umumnya menerima dan menghafal hadits dari ahli hadits sebelumnya
kemudian mengumpulkan, meneliti dan menyampaikan dalam kitab-kitab hadits atau
menyusunnya berdasarkan nama perawi sehingga menjadi kitab-kitab musnad atau
menyusunnya berdasarkan klasifikasi masalah sehingga menjadi kitab-kitab sunan.
Sedangkan yang berhak
menganalisa, menilai dan memaknai matan (redaksi) hadits adalah para fuqaha
(ahli fiqih)
Para fuqaha (ahli fiqih)
berpendapat bahwa matan (redaksi) hadits yang diriwayatkan oleh Muawiyah bin
al-Hakam as-Sulami khususnya pada bagian kisah budak Jariyah adalah hadits
mudhtharib, hadits kacau (guncang) matan (redaksinya) dan salah satu alasannya
adalah bahwa pertanyaan “Di mana” tidak boleh ditujukan kepada Allah Ta’ala.
Imam sayyidina Ali bin Abi
Thalib berkata,
“Sesungguhnya yang
menciptakan aina (tempat) tidak boleh dikatakan baginya di mana (pertanyaan
tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh
dikatakan baginya bagaimana” (diriwayatkan oleh Abu Muzhaffar al Asfarayini
dalam kitabnya at-Tabshir fi ad-Din)
Ibnu Hajar al Asqallani dalam
Fathu al Bari-nya:“Karena sesungguhnya jangkauan akal terhadap rahasia-rahasia
ketuhanan itu terlampau pendek untuk menggapainya, maka tidak boleh dialamatkan
kepada ketetapan-Nya: Mengapa dan bagaimana begini? Sebagaimana tidak boleh
juga mengalamatkan kepada keberadaan Dzat-Nya: Di mana?.”
Al Imam Fakhruddin ibn
‘Asakir (W. 620 H) dalam risalah aqidahnya mengatakan: “Allah ada sebelum
ciptaan, tidak ada bagi-Nya sebelum dan sesudah, atas dan bawah, kanan dan
kiri, depan dan belakang, keseluruhan dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan
“Kapan ada-Nya ?”, “Di mana Dia ?” atau “Bagaimana Dia ?”, Dia ada tanpa tempat”.
Begitupula pertanyaan “Di
mana Allah” melanggar larangan Rasulullah untuk memikirkan atau menanyakan Dzat
Allah
Rasulullah bersabda, ”
Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berpikir
tentang Dzat Allah“.
Jadi berdasarkan hadits
tersebut dapat kita ketahui bahwa sunnah Rasulullah untuk meyakini keberadaan
Allah adalah dengan memikirkan nikmat-nikmat yang telah diberikanNya atau
dengan memikirkan tanda-tanda (kekuasaan) Allah Azza wa Jalla.
Oleh karenanya
ungkapan-ungkapan seperti,
“Allah wujud (ada) di mana
mana”
atau
“apa yang terlihat di mana
mana adalah wujud (keberadaan) Allah” bukan berarti Allah Ta’ala bertempat di
mana mana namun maknanya adalah bahwa kita bisa mengetahui dan meyakini
keberadaan dan kebesaran Allah Ta’ala serta mengenal Allah (makrifatullah)
adalah dengan memperhatikan alam dan isinya atau semua yang terlihat oleh mata
yang merupakan tanda-tanda kekuasaanNya atau disebut juga ayat-ayat kauniyah,
ayat-ayat yang meliputi segala macam ciptaan Allah,baik itu yang kecil
(mikrokosmos) ataupun yang besar (makrokosmos).
Firman Allah Ta’ala yang
artinya
“Kami akan memperlihatkan
kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka
sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan
apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan
segala sesuatu?“ (QS. Fush Shilat [41]:53)
“Katakanlah: “Perhatikanlah
apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah
dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman“.
(QS Yunus [10] : 101).
Para fuqaha (ahli) fiqih
telah sepakat bahwa budak Jariyah berisyarat menunjuk langit adalah untuk
tujuan mengagungkan
Ibn Al Jawzi berkata “Aku
(Ibnul Jawzi) berkata: “Para ulama (Ahlussunnah Wal Jama’ah) telah menetapkan
bahwa Allah tidak diliputi oleh langit dan bumi serta tidak diselimuti oleh
segala arah. Adapun bahwa budak perempuan tersebut berisyarat dengan mengatakan
di arah langit adalah untuk tujuan mengagungkan.
Imam Syafi’i rahimahullah
tentang hadits Jariyah berkata : “Dan telah terjadi khilaf pada sanad dan matan
nya (hadits jariyah), dan seandainya shahih Hadits tersebut, maka adalah Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepada hamba tersebut menurut kadar
pemahaman nya, karena bahwa dia (hamba) dan kawan- kawannya sebelum Islam,
mereka meyakini bahwa berhala adalah Tuhan yang ada di bumi, maka Nabi ingin
mengetahui keimanannya,maka Nabi bertanya : “Dimana Allah ?” sehingga apabila
ia menunjuk kepada berhala, Nabi mengetahui bahwa ia bukan Islam, maka manakala
ia menjawab : “Di atas langit” Nabi mengetahui bahwa ia terlepas dari berhala
dan bahwa ia adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu Tuhan di langit dan
Tuhan di bumi, atau Nabi mengisyarah dan ia mengisyarah kepada dhohir yang
datang dalam Al-Quran”.
Begitupula Imam Nawawi (w.
676 H/1277 M) dalam Syarah Shahih Muslim (Juz. 5 Hal. 24-25) maka ia
mentakwilnya agar tidak menyalahi Hadis Mutawatir dan sesuai dengan ushulus
syariah. Yakni pertanyaan ‘Aina Allah? diartikan sebagai pertanyaan tentang
kedudukan Allah bukan tempat Allah, karena aina dalam bahasa Arab bisa
digunakan untuk menanyakan tempat dan juga bisa digunakan untuk menanyakan
kedudukan atau derajat. Jadi maknanya; “Seberapa besar pengagunganmu kepada
Allah?”. Sedangkan jawaban Fis Sama’ diartikan dengan uluwul kodri jiddan
(derajat Allah sangat tinggi).
Mereka
yang merasa atau mengaku mengikuti Salaf namun pada kenyataannya mereka adalah
penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah sebagaimana yang telah disampaikan dalam
tulisan sebelumnya
Adz Dzahabi (w 748 H) maupun
Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah (W 728H)
atau pengikut Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung.
Sedangkan pengikut Ibnu
Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah
(menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad
bin Abdul Wahhab (W 1206 H) dan Al Albani (w 1420H)
Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah
sebelum bertaubat maupun kitab Adz Dzahabi seperti Al ‘Uluw maupun ringkasan
kitab al ‘Uluw yakni Mukhtashar al ‘Uluw karya al Albani menjadi pegangan bagi
para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah.
Muhammad Khalil Harras adalah
salah satu penulis penjelasan (syarah) kitab Aqidah Wasithiyah yang merupakan
pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad
bin Abdul Wahhab.
Kitab syarah tersebut dicetak
oleh Universitas Islam Madinah dalam 176 halaman. Kemudian dicetak lagi dengan
pembenahan dan komentar dari Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al-Amaah
liidaratil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman
pada tahun 1403 H.
Selain
Muhammad Khalil Harras penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah
masih ada penulis-penulis lain seperti Abdurrahman As-Sa’di, Ibnul Utsaimin,
Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani (lebih dari 15
penulis)
Berikut
kutipan tulisan ulama panutan mereka, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dari
tulisannya berjudul “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah” (kitab karya
Ibnu Taimiyyah) sebagaimana contoh yang termuat
****
awal kutipan ****
Ibnu Taimyah berkata dalam Risalah al ‘Arsiyyah : “ Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG, karena dalil yang menunjukkan istiwa’-Nya Allah di atas ‘arsy adalah dalil yang muhkam (dalil yang umum dan sudah jelas maknanya) , demikian pula hadist tentang turun-Nya Allah juga muhkam, dan sifat Allah tidaklah sama dengan sifat makhluk, maka wajib bagi kita membiarkan dalil istiwa’ dalam keumumannya dan dalil nuzul dalam keumumannya, dan kita katakan Allah istiwa’ di atas ‘ars-Nya dan Allah turun ke langit dunia. Allah lebih tahu tentang kaifiyah tersebut sementara akal kita terbatas untuk melliputi ilmu Allah Ta’ala”
**** akhir kutipan ****
Pemahaman “tidak menjadikan
‘arsy-Nya KOSONG” tentu bukanlah pemahaman para Sahabat atau Salafush Sholeh
namun pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat ketika beliau membaca dan
menjelaskan hadits shahih berikut
“Rabb Tabaraka wa Ta’la turun
ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam terakhir seraya
berfirman, ‘Siapa yang berdo’a kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan dan siapa
yang meminta kepadaKu niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun
kepadaKu, niscaya akan Aku ampuni.” (HR Muslim 1261)
Berdasarkan
pemahaman Ibnu Taimiyyah tersebut, mereka mengatakan bahwa walaupun Tuhan
mereka berada atau bertempat atau menetap tinggi atau bahkan melayang tinggi di
atas ‘Arsy (karena menafikan menempel di atas ‘Arsy) dan setiap sepertiga malam
terakhir turun ke langit dunia namun ‘Arsy tidak kosong sebagaimana yang telah
disampaikan
Tidak ada satupun ulama yang
mengaitkan hadits nuzul dengan syubhat tempat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala
Jumhur ulama telah sepakat
bahwa hadits nuzul dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan mengabulkan
segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya pada saat itu. Oleh karenanya,
waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk meminta
kepada Allah.
Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh
keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan kitab aqidahnya
Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian
diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan.
Habib
Rizieq Shihab ketika menjelaskan tentang firqah syiah dan wahabi bahwa selain
kebanyakan Wahabi bersikap Naashibah, banyak pula kalangan Wahabi saat ini yang
bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua
umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka seperti menganggap
madzhab Asy’ari adalah bukan Aswaja bahkan firqah sesat dan menyesatkan karena
mereka berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat
sebagaimana yang dipubllikasikan
Berikut kutipannya
*****
awal kutipan *****
Sikap berlebihan Ibnu Taimiyyah pada akhirnya mengantarkannya ke penjara pada tahun 726 H hingga wafat di tahun 728 H. Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakannya di salah satu menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab Aswaja, yaitu :
1. Mufti Hanafi Qodhi
Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.
2. Mufti Maliki Qodhi
Muhammad bin Abi Bakar rhm.
3. Mufti Syafi’i Qodhi
Muhammad bin Ibrahim rhm.
4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad
bin Umar Al-Maqdisi rhm.
Bahkan Syeikhul Islam Imam
Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2 halaman 210
menegaskan :
“Dia
(Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”
***** akhir kutipan ******
Selain qodhi empat mazhab di
atas, berikut adalah nama-nama para ulama yang hidupnya semasa dengan Ibnu
Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan
membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan
Ibnu Taimiyyah.
Mereka adalah para ulama dari
empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:
1. Syekh Shalih ibn Abdillah
al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian menetap di
Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak
pendapat Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri
dalam karyanya Raudlah an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al
Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan biografi Syekh Shalih ini dalam
ad-Durar al Kaminah.
2. Syekh Kamal ad-Din
Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al
Arwah wa Fattah al Arbah. Beliau ini semasa dengan Ibnu Taimiyah.
3. Qadli al Qudlah (Hakim
Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam
I’tiraadlat ‘Ala Ibn Taimiyah fi ‘Ilm al Kalam.
4. Qadli al Qudlah (Hakim
Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata:
“Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini
telah kafir dan wajib dibunuh”.
5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn
Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau mendatanginya
dan mengingkari pendapat-pendapatnya
6. Al Faqih Syams ad-Din
Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu Taimiyah
berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah
berbicara (berfirman) dengan huruf dan suara”.
7. Al Muhaddits al Mufassir
al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal dengan Ibn
al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.
8. Syekh Ahmad ibn Yahya al
Kullabi al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H). Beliau semasa
dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul
Risalah fi Nafyi al Jihah, yakni menafikan Jihah (arah) bagi Allah.
9. Al Qadli Kamal ad-Din ibn
az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan menyerangnya dengan
menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam
Rasulullah.
Fawq
dalam pengertian ketinggian derajat dan kedudukan.
Contoh, bila dikatakan dalam
bahasa Arab: “al-Khalifah Fawq as-Sulthan wa as-Sulthan Fawq al-Amir”, maka artinya:
“Khalifah lebih tinggi kedudukannya di atas raja, dan raja lebih tinggi
kedudukannya di atas panglima”, atau bila dikatakan: “Jalasa Fulan Fawq Fulan”,
maka artinya: “Si fulan yang pertama kedudukannya di atas si fulan yang kedua”,
atau bila dikatakan: “al-‘Ilmu Fawq al-‘Amal” maka artinya: “Ilmu kedudukannya
di atas amal”.
Contoh makna ini dalam firman
Allah: “Wa Rafa’na Ba’dlahum Fawqa Ba’dlin Darajat” (QS. Az-Zukhruf: 32),
artinya Allah meninggikan derajat dan kedudukan sebagian makhluk-Nya atas sebagian
yang lain. Makna ayat ini sama sekali bukan dalam pengertian Allah menjadikan
sebagian makhluk-Nya berada di atas pundak sebagian yang lain.
Contoh lainnya firman Allah
tentang perkataan para pengikut Fir’aun: “Wa Inna Fawqahum Qahirun” (QS. Al-A’raf:
127).
Yang dimaksud ayat ini adalah
bahwa para pengikut yang setia kepada Fir’aun -merasa- menguasai dan lebih
tinggi kedudukannya di atas Bani Isra’il. Makna ayat ini sama sekali bukan
berarti para pengikut Fir’aun tersebut berada di atas pundak-pundak atau di
atas punggung-punggung Bani Isra’il”
Al-Imam Badruddin ibn Jama’ah
berkata “فوق ” , “fawq” bukanlah dalam pengertian tempat karena adanya
tempat dan arah bagi Allah adalah sesuatu yang batil, maka pemaknaan fawq pada
hak Allah pasti dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan-Nya, Maha
Menguasai dan Maha Menundukkan para hambaNya seperti dalam firman Allah Ta’ala
, wa huwa al-qaahiru fawqa ‘ibaadihi
Jika yang dimaksud fawq dalam
pengertian tempat dan arah maka sama sekali tidak memberikan indikasi kemuliaan
dan keistimewaan karena sangat banyak pembantu atau hamba sahaya yang bertempat
tinggal di atas atau lebih tinggi dari tempat tuannya – Apakah itu menunjukan
bahwa pembantu dan hamba sahaya tersebut lebih mulia dari majikannya sendiri ?
Mereka bukanlah Hanabila atau
bukanlah pengikut Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana yang disangkakan oleh orang
awam karena ulama Hanbali Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi membuat kitab khusus
berjudul Daf’u syubah at-tasybih bi-akaff at-tanzih untuk membersihkan atau
meluruskan dan menjelaskan kesesatan tiga ulama yang semula bermazhab dengan
Imam Ahmad bin Hambal yang kemudian menjadi imam firqah atau kaum mujassimah
akibat pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Dalam kitab tersebut, Al-Imam
al-Hafizh Ibn al Jawzi dalam penjelasan firman Allah: “Wa Huwa al-Qahiru Fawqa
‘Ibadih” (QS. Al-An’am: 18), menuliskan sebagai berikut:
Mereka lupa bahwa pengertian “fawq”, “فوق ” dalam makna indrawi (makna dzahir) hanya berlaku bagi setiap jawhar dan benda saja.
Mereka meninggalkan makna
“fawq” dalam pengertian “Uluww al-Martabah”, “علوّ المرتبة ”; “derajat yang tinggi”.
Padahal
dalam bahasa Arab biasa dipakai ungkapan: “فلان فوق فلان ”; artinya; “derajat si fulan (A) lebih tinggi dibanding si
fulan (B)”, ungkapan ini bukan bermaksud bahwa si fulan (A) berada di atas
pundak si fulan (B).
Jumhur ulama terdahulu telah
mengingatkan bahwa istawa (bersemayam), fiis samaa-i (di langit), al-‘uluw
(tinggi) , ‘ala (tinggi) , fawq (di atas) jangan dimaknai dengan makna dzahir
dalam pengertian arah atau tempat namun dimaknai dalam pengertian ketinggian
kekuasaan, derajat, keagungan dan kemuliaan-Nya.
Dalam kitab-kitab terjemahan
Al Qur’an, para mufassir (ahli tafsir) menterjemahkan arti kata Istawa adalah
bersemayam bukanlah kekeliruan karena kata bersemayam mempunyai dua makna yakni
makna dzahir dan makna majaz (makna kiasan).
Kita harus dapat membedakan
antara arti dengan makna.
Makna yang mendekati kata
Istawa adalah makna kata bersemayam dalam makna majaz (makna kiasan) atau makna
yang tersirat (makna di balik yang tertulis) terkait dengan hati yakni
menguasai hati.
Contohnya “sudah lama dendam
itu bersemayam di hatinya” atau “cinta bersemayam di hatinya”.
”Bersemayam di hatinya” dapat
dimaknai dengan “menguasai hatinya”
Jika hal buruk bersemayam di
hati atau menguasai hati maka akan buruk pula tingkah lakunya sebaliknya jika
hal baik bersemayam di hati atau menguasai hati maka akan baik pula tingkah
lakunya.
Hati adalah inti dan pusat
kendali seluruh gerak dan aktivitas . Bersih dan kotornya hati seseorang akan
segera berdampak pada perilaku dan perbuatannya
Rasulullah bersabda
“Ketahuilah kamu di dalam badan manusia terdapat segumpal darah. Apabila baik
maka baiklah keseluruhan segala perbuatannya dan apabila buruk maka buruklah
keseluruhan tingkah lakunya. Ketahuilah kamu bahwa ia adalah hati”.
Al-Qushayri dalam Lata’if
al-Isharat, telah menyebutkan : Adapun mengenai singgasana Qalbu, “Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan” . telah disimpulkan pula bahwasanya : “Dia
(Allah) Yang Maha Rahman menetapkan Dirinya sendiri atasnya (`alayhi istawa);
sedang mengenai arsy di hati: Yang Maha Rahman menguasainya (`alayhi istawla).
Arsy di langit adalah kiblat bagi doa seluruh makhluk, sedang arsy di hati
adalah tempat melihat Al-Haq, Yang Maha Tinggi. Sehingga, ada ada perbedaan
besar antara kedua arsy itu” (Lata’if al-Isharat jilid 4 hal:118)”
Para ulama terdahulu
membolehkan memaknai istawa dengan makna majaz (makna kiasan) seperti istawla
(menguasai) karena tidak mensifati Allah dengan sesuatu yang tidak boleh.
Contohnya Imam al-Hafizh
al-Lughawiy Muhammad Murtadla az-Zabidi al Hanafi (w 1205 H) dalam kitabnya,
Ithaf as-Sadah al-Muttaqîn menyebutkan bahwa seorang yang menafsirkan Istawa
dengan Istawla tidak berbuat kesalahan apapun dan tidak mensifati Allah dengan
sesuatu yang tidak boleh. Menurut Imam az-Zabidi penafsiran semacam ini dapat
dibenarkan karena sesuai dengan keagungan Allah.
Ibn Battal mengatakan,
“pengartian pengaturan dan kekuasaan”, “menguasai” dan “penaklukan” tidak
dianggap berlawanan dengan Sang Pencipta (Al-Khalik) sebagaimana “Zahir”,
“Qahhar”, “ghalib”atau “Qahir”, tidak dianggap berlawanan atas bagian zat
lainnya. Hal ini diperkuat oleh ayat, “Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan
tertinggi (Al-Qahir) atas semua hamba-Nya” (6:18, 6:61) dan “ Allah berkuasa
(Al-Ghalib) terhadap urusan-Nya” (12:21).
Dalam Shubah al-Tashbih
hal:23 , Ibn al Jawzi juga membolehkan menafsirkan istiwa sebagai “al-qahr”,
menguasai.
Para ulama terdahulu telah
melarang jika kata istawa yang artinya bersemayam dimaknai dengan makna dzahir
seperti istaqarra yakni berada, bertempat, menetap tinggi karena pemaknaan
seperti itu sama dengan menghina atau durhaka kepada Allah.
Contohnya Imam Ibnu Hajar
al-Haitami dalam Hasyiyah al-‘Allaamah Ibn Hajar al-Haitami ‘alaa Syarh
al-Idhah fii Manasik al-Hajj menuliskan:
“Jangan tertipu dengan pengingkaran Ibnu Taimiyah terhadap kesunnahan ziarah ke makam Rasulullah, karena sesungguhnya dia adalah manusia yang telah disesatkan oleh Allah.
Penghinaan Ibnu Taimiyah
terhadap Rasulullah ini bukan sesuatu yang aneh.
Oleh karena terhadap Allah
saja dia telah melakukan penghinaan.
Kepada Allah; Ibnu Taimiyah
ini telah menetapkan arah, tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya dari
keburukan-keburukan yang sangat keji.
Ibn
Taimiyah ini telah dikafirkan oleh banyak ulama, –semoga Allah membalas segala
perbuatan dia dengan keadilanNya dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya;
yaitu mereka yang membela segala apa yang dipalsukan oleh Ibn Taimiyah atas
syari’at yang suci ini.”
Oleh karenanya para ulama terdahulu telah melarang untuk membaca kitab-kitab Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya sebagaimana yang telah disampaikan
Oleh karenanya para ulama terdahulu telah melarang untuk membaca kitab-kitab Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya sebagaimana yang telah disampaikan
Contohnya Syaikh Ibnu Hajar
Al-Haitami berkata, ” Maka berhati-hatilah kamu, jangan kamu dengarkan apa yang
ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain
keduanya dari orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya
dan Allah telah menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan
menjadikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu memberi
petunjuk atas orang yang telah Allah jauhkan?”. (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah :
203)
Imam Ibn Hajar Al-Haitami
menyampaikan dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu Taimiyyah yang
menyalahi kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat)
bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama
Allah. Ia telah menyandarkan alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan
dengan perbuatan Allah secara ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan
yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga berkeyakinan adanya jisim pada Allah
Subhanahu wa Ta’ala arah dan perpindahan. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah
tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas
kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata (Al-Fatawa
Al-Hadithiyyah halaman 116)
Kontrofersi
pemahaman Ibnu Taimiyyah lainnya dapat dibaca dalam tulisan yang kami arsip
Begitupula
pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asyari telah mengingatkan kita
untuk menghindari meneruskan kebid’ahan Muhammad bin Abdul Wahab al-Najdi,
pendiri firqah Wahabi dan penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat
serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim Al Jauziah dan Abdul Hadi, sebagaimana yang
termuat dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah halaman 5-6 selengkapnya
Diantara mereka (sekte yang
muncul pada kisaran tahun 1330 H.), terdapat juga kelompok yang mengikuti
pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Mereka melaksanakan kebid’ahan
Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad bin Taimiyah serta kedua muridnya,
Ibnul Qoyyim dan Abdul Hadi.
Al-‘Allamah Syaikh Muhammad
Bakhit al-Hanafi al-Muth’i menyatakan dalam kitabnya Thathhir al-Fuad min Danas
al-I’tiqad (Pembersihan Hati dari Kotoran Keyakinan) bahwa: “Kelompok ini
sungguh menjadi cobaan berat bagi umat Muslim, baik salaf maupun khalaf. Mereka
adalah duri dalam daging (musuh dalam selimut) yang hanya merusak keutuhan
Islam.”
Maka wajib
menanggalkan/menjauhi (penyebaran) ajaran mereka agar yang lain tidak tertular.
Mereka laksana penyandang lepra yang mesti dijauhi. Mereka adalah kelompok yang
mempermainkan agama mereka. Hanya bisa menghina para ulama, baik salaf maupun
khalaf
Mereka menyatakan: “Para
ulama bukanlah orang-orang yang terbebas dari dosa, maka tidaklah layak
mengikuti mereka, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal.” Mereka
menyebarkan (pandangan/asumsi) ini pada orang-orang bodoh agar tidak dapat
mendeteksi kebodohan mereka
Maksud
dari propaganda ini adalah munculnya permusuhan dan kericuhan. Dengan
penguasaan atas jaringan teknologi, mereka membuat kerusakan di muka bumi.
Mereka menyebarkan kebohongan mengenai Allah, padahal mereka menyadari
kebohongan tersebut. Menganggap dirinya melaksanakan amar makruf nahi munkar,
merecoki masyarakat dengan mengajak untuk mengikuti ajaran-ajaran syariat dan
menjauhi kebid’ahan. Padahal Allah Maha Mengetahui, bahwa mereka berbohong.
Begitupula
Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia menegaskan bahwa pengharaman penyebarluasan
ajaran Wahabi (wahabiyyah) yang dipelopori oleh Majlis Agama Islam Negeri
Sembilan tidak akan menjejaskan (mempengaruhi) hubungan negara dengan Arab
Saudi sebagaimana kabar yang telah diarsip
Dalam kabar tersebut
Pengerusi Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan, Prof Emeritus Tan Sri Dr Abdul Shukor
Husin menyampaikan
“Hak mengeluarkan fatwa adalah hak negeri masing-masing. Contoh seperti apa dilakukan Majlis Agama Islam Negeri Sembilan yang mengeluarkan fatwa mengharamkan penyebaran Wahabi di negeri itu, sememangnya ia tidak bertentangan.
“Saya fikir, negeri tersebut
mengharamkan Wahabi kerana tidak mahu berlaku kacau bilau dalam masyarakat
Islam negeri itu,” katanya.
Dalam pada itu, Abdul Shukor
berkata, tindakan negeri tersebut juga tidak akan menjejaskan hubungan negara
dan Arab Saudi kerana sememangnya itu hak negeri tersebut.
“Jika perkara itu akan
menjejaskan hubungan, maknanya tiada hak kepada negeri untuk membuat keputusan
sendiri.
“Malahan
Jakim dan Majlis Fatwa Kebangsaan telah membincangkan perkara tersebut lebih
awal sebelum isu ini kembali disensasikan,” katanya.
Sejak
tahun 2012, mufti Negeri Perak Darul Ridzuan telah memelopori mengeluarkan
fatwa pelarangan ajaran (paham) Wahabisme sebagaimana informasi pada
Berikut daftar link arsip
fatwa para fuqaha dari negara tetanga terhadap paham Wahabisme yang
disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi
Fatwa
Pehin Datu Seri Maharaja Dato Seri Utama Dr Ustaz Awang Haji Ismail bin Omar
Abdul Aziz , Mufti Kerajaan Brunei Darussalam silahkan baca
Fatwa Pehin Datu Seri Maharaja Dato Seri Utama Dr Ustaz Awang Haji Ismail bin Omar Abdul Aziz , Mufti Kerajaan Brunei Darussalam yang dibukukan dan diterbitkan oleh Pusat Da’wah Islamiah, Kementerian Hal Ehwal Ugama, Negara Brunei Darussalam
Fatwa Pehin Datu Seri Maharaja Dato Seri Utama Dr Ustaz Awang Haji Ismail bin Omar Abdul Aziz , Mufti Kerajaan Brunei Darussalam yang dibukukan dan diterbitkan oleh Pusat Da’wah Islamiah, Kementerian Hal Ehwal Ugama, Negara Brunei Darussalam
Dalam mukasurat 155-156 di
mana Pehin Mufti menulis:-
Adalah mazhab as-Salafiyah
yang dihidupkan oleh al-Allamah Ibnu Taimiyah dan yang dipakai serta diamalkan
oleh al-Wahhabiyah itu bukan mazhab Ahli Sunnah Wal Jamaah dan ia keluar dari
mazhab yang empat. Mazhab as-Salafiyah berdasarkan Allah berjisim dan
menyerupai makhluk.
Fikiran
Ibnu Taimiyah dan mazhab as-Salafiyah yang dibawanya itu dan yang diamalkan
sekarang oleh al-Wahhabiyah di tanah Arab, telah diperangi oleh ulama Islam
pada kurun keempat Hijriah, dan dilawan oleh ulama Islam sepanjang kurun
Islam…………..
Mufti
Haji Said bin Haji Ibrahim, mantan mufti Sabah silahkan baca
Berhubung dengan fahaman Ibnu
Taimiyyah, beliau menulis mengenai penyelewengannya secara khusus dalam Fasal
ke-18, Fasal ke -19 dan Fasal ke-20. Mufti Haji Said adalah antara ulama yang
tegas dalam pernyataannya bahawa fahaman Ibnu Taimiyyah adalah menyeleweng
daripada Ahlus Sunnah wal Jama`ah.
Wasiat
ulama Kelantan, Syaikh ‘Utsman Jalaluddin bin Muhammad bin ‘Abdus Shamad
al-Kelantani atau lebih dikenali sebagai Syaikh Utsman Jalaluddin Penanti
silahkan baca pada
Berikut kutipan Syaikh
Abdullah bin Ibrahim yang terkenal dengan gelaran Syaikh Abdullah Fahim
merupakan ulama terkenal Tanah Melayu dan mufti pertama Pulau Pinang memasukkan
mazhab atau pemahaman Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya yang bertemu langsung
seperti Ibnu Qoyyim Al Jauziyah maupun yang tidak bertemu langsung seperti
Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai mazhab khawarij artinya mazhab yang menyempal
keluar (kharaja) dari mazhab Imam Mazhab yang empat.
*****
awal kutipan *****
Supaya jangan berpecah belah oleh bangsa Melayu sendiri.Sekarang sudah ada timbul di Malaya mazhab Khawarij yakni mazhab yang keluardari mazhab 4 mazhab Ahlis Sunnah wal Jama`ah. Maksud mereka itu hendak mengelirukan faham awam yang sebati dan hendak merobohkan pakatan bangsa Melayuyang jati. Dan menyalahkan kebanyakan bangsa Melayu.
Hukum-hukum
mereka itu diambil daripada kitab Hadyur-Rasulyang mukhtasar daripada kitab
Hadyul-’Ibad dikarang akan dia oleh Ibnul Qayyim al-Khariji, maka Ibnul Qayyim
dan segala kitabnya ditolak oleh ulama AhlisSunnah wal Jama`ah.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan