Abu Hanifah bin Nu’man bin Tsabit adalah teladan sejarah dalam memiliki karakter dan yang berlandaskan pada agama. Dilahirkan di Kufah tahun 80 H. dan wafat di Baghdad tahun 150 H, dikenal sebagai tokoh Ahlul Ra’yi (aliran rasionalitas).
Pernah
dua kali ditunjuk menjadi qadhi, pertama pada masa Bani Umayyah dan yang kedua,
masa Abbasiyah. Namun keduanya ditolak. Sikap tegasnya pada khalifah Al-Manshur
sangat masyhur. Semuanya mencerminkan karakter Abu Hanifah yang tidak mudah
tunduk kepada tirani.
Takdir
berbicara, bagaimana Abu Hanifah mendapat ujian akibat politik kezhaliman. Api
pemberontakan terhadap penguasa Umawiyah yang sadis dan tiran berkobar di
seantero negeri yang berakhir dengan pembantaian missal yang mengerikan. Dalam
situasi kacau dan memprihatinkan itu, Imam Abu Hanifah didatangi utusan
penguasa Irak yang durjana, Yazid bin Hubairah yang menawarkan jabatan qadhi
bersama sejumlah ulama lainnya.
Sebagai
seorang yang berilmu dan berfikiran tajam, Abu Hanifah sadar bahwa penguasa
durjana dan para pemimpinnya yang biadab itu hanya bertujuan menjadikan dirinya
dan para ulama lain sebagai justifikasi bagi perbuatan jahat mereka.
Justifikasi para ulama ini akan dimanfaatkan para penguasa untuk mengelabui
masyarakat, bahwa kebiadaban mereka sah dan didukung penguasa zhalim.
Dengan
tegas Abu Hanifah mengumumkan penawan itu secara terbuka. Ia berkata bahwa,
demi Allah, jika Ibnu Hurairah membuka pintu-pintu kota Wasith bagiku, aku akan
menolak untuk memasukinya, maka bagaimana mungkin aku menerimanya, padahal ia
hendak membunuh seorang laki-laki mukmin? Demi Allah, aku menolak selamanya.
Penolakan
ini membuat pemimpin tirani berang. Ia menjebloskan Abu Hanifah ke penjara
selama dua minggu dengan harapan, berubah fikiran. Selama dalam penjara, Abu
Hanifah dicambuk 10 kali setiap hari selama 10 hari, hingga nyaris nyawanya
terenggut.
Namun,
Allah berkata lain, dinasti Umawiyah tumbang akibat kezalimannya yang melampau.
Ketegasan sikap Abu Hanifah terhadap penguasa zhalim dinasti Umawiyah yang
tercermin pada sosok Yazid bin Hubairah, juga beliau lakukan terhadap Abu
Ja’far Al Manshur, penguasa Abbasiyah. Hal ini disadari logika pemikirannya
bahwa seorang tiran yang zhalim harus diperangi, tak peduli apakah ia Umawiyah
atau Abbasiyah.
Ketika
itu, Al-Manshur menawarkan jabatan yang dulu pernah ditawarkan Dinasti
Umawiyah, tetapi Abu Hanifah bersikukuh menolaknya. Keduanya sama-sama ngotot.
Al-Manshur ngototmenawarkan agar Abu Hanifah menerima jabatan itu,
bahkan ia bersumpah, sedang Abu Hanifah juga demikan halnya tetap menolak dan
bersumpah untuk tetap dalam pendiriannya. Rabi’ bin Yunus, menteri Al Manshur
berkata, “Tidakkah engaku lihat Khalifah bersumpah?” Abu Hanifah menjawab, “Ia
lebih mampu membayar keffarat atas sumpahnya daripada aku!” akhirnya Abu
Hanifah ditangkap lalu dipenjarakan. Namun setelah beberapa hari dia ditanya
lagi, “Bersediakah engakau?” Abu Hanifah menjawab, “Aku tidak layak menjadi
qadhi.” “Engaku dusta!”, sergah Al Manshur. “Engkau telah mengatakan aku
pendusta, berarti aku tidak patut menjadi qadhi.
Kalaupun
aku pendusta, aku tetap akan mengatakan, ‘tidak’” tukas Abu Hanifah tanpa
beban. Al Manshur berang dan memvonis hukuman cambuk pada Abu Hanifah. Hukuman
inilah akhirnya merenggut nyawanya, ia wafat setalah mendapat cambukan kali ke
130. Ruhnya yang suci melayang saat beliau sujud. Abu Hanifah wafat sebagai
syuhada, sementara Al-Mashur menjalani hari-harinya dan dinyatakan oleh sejarah
sebagai seorang penguasa zhalim dan durjana. Tepat di di tahun wafatnya 150 H,
Imam Syafi’i juga lahir, dengan itu sering dikatakan bahwa imam yang satu pergi
dan yang lain datang.
Karakter
ketabahan dan konsistansi dalam mempertahankan kebenaran (istiqamah),
melawan kezaliman yang dilakukan oleh penguasa tiran adalah sebuah karakter
yang merupakan dasar dari ajaran Islam yang tidak diperselisihkan lagi
kebenarannya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan