Sebenarnya ini bukan pelajaran soal hutang dan kemampuan membayar.
Namun pelajaran
tentang wara’ dan kejujuran yang dicontohkan oleh ulama.
Kisah ini sungguh
mengharukan dan wajar jika membuat kita menitiskan air mata, menyaksikan
keteguhan ulama memegang teguh nilai-nilai Islam yang didakwahkannya.
Ibnu Sirin (Muhammad
bin Sirin). Tabi’in ini merupakan ulama ternama di Basyrah. Ia sangat dihormati
karena kedalaman ilmunya serta dimuliakan karena kesungguhan ibadah dan pesona
akhlaknya.
Ibnu Sirin juga sangat
dihormati oleh para pemimpin muslim saat itu. Namun, ia sangat menjaga diri
dari mereka.
Ahli fikih itu tak mau
berdekat-dekat penguasa, apalagi menikmati fasilitas dari mereka.
Pernah pemimpin Ibnu
Hubairah Al Fazari memberinya hadiah 3.000 dinar, Ibnu Sirin dengan tegas
menolaknya.
Ibnu Sirin lebih
memilih jalan berdagang untuk mendapatkan rezeki yang halal.
Namun sebuah insiden
membuatnya menghadapi cobaan berat.
Suatu hari ia membeli
minyak seharga 40.000 dinar secara kredit.
Ketika memeriksa
minyak yang dikirimkan kepadanya itu, Ibnu Sirin terkejut. Ia menjumpai sesuatu
yang tak ia sukai pada minyak itu yang dapat menodainya. Ibnu Sirin khawatir
minyaknya rusak karena terkena najis.
“Jika aku menjual
minyak ini, aku berdosa. Jika aku mengembalikan minyak ini kepada pedagang,
maka ia pasti akan menjualnya kembali kepada orang-orang dan aku berdosa karena
membiarkannya sementara aku tahu minyak ini telah rusak,” kata Ibnu Sirin.
Kemudian ia menumpahkan
seluruh minyak itu dan menanggung hutang 40.000 dinar.
Tibalah waktu
membayar. Sang pemilik minyak itu marah karena Ibnu Sirin tak mampu
melunasinya. Lantas ia mengadukan Ibnu Sirin ke penguasa. Ulama kharismatik itu
pun dimasukkan penjara.
“Wahai Syaikh,” kata
seorang penjaga penjara yang mengetahui kedudukan Ibnu Sirin, “jika malam tiba
pulanglah engkau ke rumahmu dan bermalamlah di sana. Jika pagi menjelang,
kembalilah ke sini. Lakukanlah begitu hingga engkau dibebaskan.”
“Tidak!” jawab Ibnu
Sirin tegas. “Aku tidak akan melakukan hal itu. Jika kulakukan itu, berarti aku
membantumu untuk melakukan pengkhianatan.”
Suatu hari terdengar
kabar Anas bin Malik wafat.
Seseorang datang
menghadap Ibnu Hubairah Al Fazari mengabarkan hal itu seraya mengatakan bahwa
sebelum Anas wafat, ia berwasiat agar yang memandikannya adalah Muhammad bin
Sirin.
Ibnu Hubairah
memberikan izin Ibnu Sirin keluar dari penjara, namun Ibnu Sirin menolak
meskipun ia sangat ingin bertakziyah kepada sahabat Nabi itu.
“Aku tidak akan keluar
hingga mendapat izin dari pemilik minyak. Sebab aku berada di sini atas
kesalahanku padanya.”
Maka mereka pun
mendatangi pemilik minyak itu untuk meminta izin. Setelah mendapat izin dari
pemilik minyak itu, barulah Ibnu Sirin mau keluar untuk mengurus jenazah Anas
bin Malik.
Selesai urusan
jenazah, Ibnu Sirin kembali ke penjara, bahkan tak sempat mampir ke rumahnya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan