Di Jazirah Arab tersebar luas berita bahwa sakit Rasulullah SAW bertambah berat. Syetan mengambil kesempatan itu dengan membujuk Aswad al-Ansi untuk kembali murtad.
Dia memimpin kaumnya di Yaman dan
menyatakan bahwa dia adalah “Nabi” yang diutus dari sisi Allah.
Aswad al-Ansi adalah seorang lelaki yang
sangat gigih, kuat secara fizik, tapi busuk jiwanya dan selalu berbuat jahat.
Ia sangat meyakini pengaruh tenung dan pandai bermain sulap.
Lebih dari itu, ia fasih berbicara,
menarik bila menerangkan, cerdik otaknya, mampu bermain licik, dan jika
berkawan dan berbuat baik selalu mengharapkan imbalan. Ia selalu menutup
mukanya dengan kain hitam, bila tampil di hadapan umum untuk menutupi dirinya
dari kejahatan dan kekejian.
Seruan Aswad al-Ansi telah tersebar di
Yaman bagaikan menjalarnya api di kayu kering. Pengikutnya adalah dari
suku-suku Yaman. Merekalah yang paling luas pengaruhnya dan paling besar kekuatannya
dalam membantu al-Ansi menciptakan kebohongan dan penipuan.
Ia mengaku dirinya raja yang turun dari
langit dan membawa wahyu. Dia mengaku juga mampu mengabarkan hal ghaib.
Bermacam cara ia tempuh untuk meyakinkan
masyarakat.
Di antaranya dengan menyebarkan mata-mata
di setiap tempat untuk memberitahukan berbagai persoalan yang menimpa
masyarakat. Lalu mata-mata itu mencoba membuka rahasia-rahasia mereka dan
memberi kabar pada mereka.
Mata-matanya juga menyampaikan masalah
mereka, berupa harapan-harapan atau cita-cita maupun berupa keluhan-keluhan
penyakit. Pada waktu itulah, mata-matanya menipu orang-orang dan merayu agar
berlindung dan meminta pertolongan kepada Aswad al- ‘Ansi.
Jika salah seorang warga datang, al-Ansi memberitahukan padanya bahwa dia
mengetahui apa yang tersembunyi dari permasalahan yang mereka rasakan. Bahkan
dia mengetahui yang terbetik dalam jiwa mereka. Lalu dia menampakkan di hadapan
mereka hal-hal aneh dan ajaib yang dapat menyedot perhatian mereka. Ia pun
semakin populer. Pengikutnya semakin banyak.
Akhirnya, dia pindah ke Shan’a. dari
Shan’a, ia pindah ke daerah lain. Ia berhasil menguasai daerah yang letaknya di
antara Hadramaut dan Thaif, juga daerah di antara Bahrain dan ‘Adn.
Ketika Aswad al-Ansi makin kuat kedudukannya,
tampillah para Mukmin. Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh pada
Islam, dan benar-benar yakin pada Nabi-Nya, betul-betul tunduk kepada Allah dan
RasulNya. Pengikut al-Ansi mengambil tindakan kejam terhadap mereka.
Di antara orang-orang yang menentang itu,
yang paling menonjol adalah Abdullah bin Tsuwab yang kemudian lebih dikenal
dengan Abu Muslim al-Khaulani (seorang Tabi’in).
Setelah mengetahui bahwa Abu Muslim
menentangnya, Aswad al-Ansi ingin bertindak kejam pada Abu Muslim. Al-Ansi
berharap tindakannya itu dapat menimbulkan rasa takut dan gelisah dalam jiwa
para penentang ajarannya, baik yang secara sembunyi maupun terang-terangan.
Dengan begitu, ia berharap mereka berhenti menentangnya.
Dia menyuruh untuk menumpuk kayu bakar di depan
masyarakat Shan’a lalu menyalakannya. Lalu dia mengundang orang-orang untuk
menyaksikan dialog agama ahli fiqh Yaman dengan Abu Muslim al-Khaulani. Ini
dilakukan agar dia dapat mengukuhkan kenabiannya.
Pada waktu yang telah ditentukan, al-Ansi
datang di halaman yang telah dipenuhi warga. Dia didampingi oleh para algojo
dan pengikutnya dengan diapit oleh ajudan dan komandan pasukannya. Lalu dia
duduk di kursi kebesarannya yang mengahadap ke api.
Waktu itulah, Abu Muslim diseret
kedepannya, agar dapat dilihat orang banyak.
Setelah Abu Muslim berada di hadapannya,
para pengikut al-Ansi yang berbohong dan sombong melihat padanya.
Al-Ansi melihat api yang berkobar di
hadapan Abu Muslim, lalu menoleh kepadanya seraya berkata,
“Apakah engkau masih bersaksi bahwa
Muhammad adalah utusan Allah?”
“Benar,” jawab Abu Muslim, “Aku
masih tetap bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusanNya. Dan dia
juga adalah penghulu para utusan Allah dan penutup para Nabi.”
Wajah Aswad al-Ansi mengerut, merah penuh
dengan kemarahan. Dia bertanya, “Dan apakah engkau bersaksi bahwa aku adalah
utusan Allah?”
“Sesungguhnya telingaku tuli sehingga aku tidak mendengar apa yang kau
katakan,” jawab Abu Muslim.
“Kalau begitu aku akan melemparkanmu ke dalam api itu,” kata al-Ansi.
“Kalau engkau melakukannya, maka sebenarnya yang paling aku takuti adalah api
neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu-batuan, yang para penjaganya
adalah malaikat yang keras dan menakutkan. Ia tidak pernah berbuat durhaka
kepada Allah terhadap perintah-perintahNya; bukan kepada api yang bahan
bakarnya dari kayu bakar,” kata Abu Muslim.
Al-Aswad berkata, “Aku tak akan terburu-buru melemparkanmu ke dalam api itu.
Aku masih memberikan kesempatan untuk memikirkan dan menarik kembali pemikiran
itu.”
Al-Ansi kembali mengulangi pertanyaannya, “Apakah engkau masih bersaksi bahwa
Muhammad adalah utusan Allah?”
Abu Muslim tetap pada pendiriannya.
Hal itu membuat kemarahan al-Ansi
bertambah. Dia bertanya lagi, “Apakah engkau bersaksi bahwa aku adalah utusan
Allah?”
“Bukankah aku telah memberitahukan kepadamu bahwa telingaku ini tuli sehingga
tidak mendengar perkataanmu?” jawab Abu Muslim.
Meledaklah kemarahan Aswad al-Ansi karena pedasnya jawaban, tenangnya jiwa dan
tegarnya Abu Muslim. Ia pun memerintahkan agar Abu Muslim segera dilemparkan ke
dalam api yang sedang berkobar-kobar itu.
Pada waktu itulah kepala pengawalnya
datang kepada al-Ansi dan berbisik-bisik di dekat telinganya.
“Orang ini, sebagaimana yang engkau
ketahui adalah orang yang suci jiwanya dan dikabulkan doanya.
Sesungguhnya Allah sekali-kali tak akan
memberikan pertolongan kepadamu atas seorang mukmin. Dia betul-betul tak akan
membiarkan hamba-hambaNya dalam kekejaman dan penyiksaan walau, hanya satu
detik. Jika engkau telah melemparkannya ke dalam api, kemudian Allah
menyelamatkan, berarti engkau telah menghancurkan apa yang telah engkau bangun
selama ini dalam sekejap saja. Juga berarti engkau mendorong orang untuk
mengingkari kenabianmu dengan cepat. Tapi kalau api itu dapat membakarnya, maka
orang bertambah kagum kepadanya dan tambah memuliakan dan mengagungkannya.”
Al-Ansi mulai bermusyawarah dengan para pengikutnya. Hasil musyawarah itu
memutuskan untuk mengeluarkan dan mengusir Abu Muslim al-Khaulani dari daerah
itu selama-lamanya.
Abu Muslim al-Khaulani pergi ke Madinah dengan harapan dapat bertemu langsung
dengan Nabi SAW. Dia sangat gembira menjadi sahabat Rasulullah SAW. Tapi ketika
hampir sampai ujung Madinah, berita duka atas wafatnya Rasulullah SAW sampai padanya.
Sampai pula berita kepadanya bahwa Abu
Bakar ash-Shiddiq telah terpilih sebagai khalifah kaum muslimin setelah
wafatnya Rasulullah SAW.
Berita itu membuat Abu Muslim sangat
sedih. Dia merasakan kerinduan kepada Rasulullah saw yang amat dalam di hatinya.
Setelah Abu Muslim sampai ke Madinah, ia
langsung menuju ke Masjid Rasulullah SAW. Sesampainya di sana, dia pun
menambatkan untanya lalu masuk ke masjid Nabi dan mengucapkan salam kepada
Rasulullah SAW. Dia terus berdiri di salah satu tiang masjid dan mulai shalat.
Setelah selesai shalat, Umar bin Khaththab
menghampirinya dan bertanya kepadanya, “Dari manakah engkau?”
“Dari Yaman,” jawab Abu Muslim
“Bagaimana pertolongan Allah kepada
sahabat kita yang dilemparkan ke dalam api oleh musuh Allah, apakah Allah
menyelamatkannya?” tanya Umar lagi.
“Itu adalah berkat kebaikan dan nikmat
Allah yang paling baik” jawab Abu Muslim.
“Demi Allah, andakah orang itu?” tanya
Umar.
“Benar,” jawab Abu Muslim.
Umar langsung mencium dahi Abu Muslim, dan
berkata, “apakah engkau mengetahui balasan Allah terhadap musuh-Nya dan musuhmu
itu?”
“Tidak” jawab Abu Muslim. “Karena
berita-berita tentang orang itu telah lama putus dariku sejak aku meninggalkan
Yaman.”
Umar menerangkan, “Allah telah membunuhnya
melalui tangan sisa-sisa orang mukmin yang benar dan Dia telah merampas
kekuasaannya dan mengembalikan para pengikutnya pada agama Allah,”
Abu Muslim berkata, “Segala puji Allah
yang tidak mengeluarkan aku dari dunia sampai merasakan bahagia karena para
penipu dari penduduk Yaman kembali pada Islam.”
“Aku memuji Allah yang telah
mempertemukanku dengan salah satu umat Muhammad yang mengalami siksaan
seperti Khalil ar-Rahman, bapak kita Ibrahim,” kata Umar.
Umar memegang tangan Abu Muslim dan
membimbingya untuk menemui Abu Bakar. Setelah masuk, Abu Muslim mengucapkan
salam kepada sang khalifah dan membaiatnya.
Abu Bakar mempersilahkan Abu Muslim untuk
duduk di antara dia dengan Umar dan memintanya untuk menceritakan kejadian yang
menimpanya, akibat perbuatan al-Ansi.
Begitulah. Abu Muslim tinggal di Madinah
al-Munawwarah selama beberapa waktu. Selama di sana, ia mengisi waktu dengan
mendatangi masjid Rasulullah SAW.
Shalatnya selalu dilakukan di Raudhah
al-Muthahharah dengan kekhusyu’an yang mengagumkan. Dia banyak belajar
dari keluasan pengalaman para sahabat yang mulia, seperti Abu Ubaidah bin
al-Jarrah, Abu Dzar al-Ghifari, Ubadah bin Shamit, Mu’adz bin Jabal dan Auf bin
Malik al-Asyja’i.
Begitulah keteguhan dan kecintaan mereka
kepada baginda kita Muhammad SAW. Karena mereka mengetahui bagaimana hakikat
sebenarnya risalah yang dibawa oleh makhluk yang paling baik yaitu Muhammad
Rasulullah SAW.
Sehingga hati mereka terus istiqamah dalam
mengikuti sunnah dan membela beliau SAW walaupun dengan taruhan nyawa.
Itulah suri tauladan yang patut kita contoh, dikarenakan mereka adalah
manusia-manusia dari generasi terbaik umat ini.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan