Berikut ini adalah terjemahan dari riwayat tersebut sebagaimana yang disebut dalam Quut al-Quluub:
Dari Utbah bin Waqid,
dari Utsman bin Abi Sulaiman, ia menuturkan bahwa ada seorang lelaki (sebut
saja namanya Fulan) yang bekerja membantu Nabi Musa. Ia pun banyak menimba ilmu
dari Nabi Musa, hingga ia menjadi kaya dan banyak hartanya. Si Fulan lantas menghilang
sekian lama. Nabi Musa bertanya-tanya tentang keberadaannya. Beliau tidak
mengetahui kabar berita Si Fulan sedikit pun. Hingga suatu hari, seorang lelaki
datang bersama seekor babi untuk menemui Nabi Musa. Tangan lelaki itu menghela
seutas tali hitam yang terikat di leher sang babi.
Nabi Musa bertanya
kepada lelaki itu, “Apakah Anda mengenal si Fulan” Lelaki itu menjawab, “Ya,
dia adalah babi ini!” Nabi Musa lantas berdoa, “Ya Tuhan, aku memohon kepada-Mu
untuk mengembalikan babi ini kepada keadaannya semula, agar aku bisa bertanya atas
musibah yang menimpanya ini.” Allah pun menurunkan wahyu-Nya kepada Musa, “Ya,
Musa, walaupun kau berdoa kepada-Ku sebagaimana Adam berdoa, apalagi doa orang
yang lebih rendah dari padanya, Aku tidak akan mengabulkan doamu. Namun Aku
tetap memberitahukanmu mengapa Aku mengutuknya menjadi babi. Hal itu karena ia
mencari dunia dengan (menjual) agama!”
Riwayat itu disampaikan oleh Muhammad bin
Ali bin Athiyyah atau yang dikenal dengan nama Abu Thalib al-Makki.
Kisah tersebut bukanlah berasal dari sabda
Nabi yang terdapat dalam kitab-kitab hadis. Abu Thalib sendiri menyebutkan
bahwa ia mendapatkan riwayat tersebut dari Utbah bin Waqid. Namun Utbah bin
Waqid sendiri tidak ditemukan dalam kitab-kitab biografi para perawi. Memang
banyak nama Utbah ditemukan dalam kitab-kitab Rijaal al-Hadiits,
namun sejauh ini penulis tidak menemukan nama Utbah bin Waqid. Dalam biografi
Abu Thalib al-Makki sendiri, tidak ditemukan informasi bahwa ia pernah memiliki
guru bernama Utbah bin Waqid.
Sedangkan Utsman bin Abi Sulaiman memang
ditemukan dalam kitab-kitab biografi perawi. Namun ia tidak disebutkan memiliki
murid yang bernama Utbah bin Waqid. Utsman bin Abi Sulaiman sendiri disebut
sebagai perawi yang bisa dipercaya (tsiqqah) oleh para ahli hadits
sebagaimana ditegaskan oleh Abu Hatim dalam karyanya al-Jarh wa
at-Ta’dil. Dengan demikian, dilihat dari aspek sanad, riwayat tentang
kisah Nabi Musa ini memang bermasalah. Ada rantai yang terputus, baik antara
Abu Thalib al-Makki dengan Utbah bin Waqid, maupun antara Utbah bin Waqid
dengan Utsman bin Abi Sulaiman.
Kisah di atas berisi tentang peristiwa yang
diklaim dilakukan oleh Nabi Musa. Dalam kajian ilmu tafsir, sebagaimana
dijelaskan oleh Husein az-Zahabi dalam at-Tafsir wal Mufassirun,
riwayat-riwayat yang berkaitan dengan peristiwa atau konsep keagamaan pada masa
Nabi Musa dan Nabi Isa termasuk dalam kategori riwayat Israilliyat.
Riwayat Israilliyat ini merupakan tradisi lisan dalam
masyarakat Yahudi dan Nasrani yang kemudian masuk dalam khazanah peradaban
Islam. Riwayat-riwayat tersebut sulit diverifikasi kebenarannya. Meski
demikian, bukan berarti kita boleh langsung memvonisnya sebagai berita bohong.
Nabi Muhammad sendiri memberikan arahan
bagaimana sikap umat Islam terhadap riwayat Israilliyat. Dalam
sebuah hadis riwayat dari Abu Hurairah, ia berkata, “Para Ahli Kitab
membaca Kitab Taurat dengan bahasa Ibrani dan menafsirkannya dengan bahasa Arab
untuk orang-orang Islam.” Rasulullah SAW pun menimpali: “Jangan
kalian membenarkan Ahli Kitab dan jangan pula kalian mendustakan mereka.
Katakan saja kepada mereka: ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan
kepada kami’”. (Shahih Bukhari, Hadits No. 4215).
Dalam hadis lain, Nabi juga memberikan arahan bahwa boleh kita
menyampaikan kisah Israiliyyat, tapi
tidak boleh menganggap kisah itu sebagai hadis yang berasal dari beliau. Hal
itu disampaikan dalam sabda Nabi SAW, “Sampaikanlah dariku meskipun
hanya satu ayat. Ceritakanlah tentang Bani Israel. Hal itu tidaklah berdosa.
Namun barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka bersiap-siaplah ia
bertempat di neraka!” (Shahih Bukhari, Hadits No. 3274)
Menurut sejarawan Ibnu al-Qaysarani (w. 507
H) dalam al-Ansab al-Muttafaqah, Abu Thalib al-Makki adalah
seorang lelaki saleh yang tekun beribadah dan memiliki beberapa karya tulis.
Gelar nama al-Makki di belakang namanya bukanlah menunjukkan bahwa ia penduduk
Mekkah. Namun ia adalah penduduk gunung yang kemudian tumbuh besar di Mekkah.
Setelah wafat Abu al-Hasan bin Salim, seorang tokoh ulama di Bashrah, Abu
Thalib pun masuk Bashrah dan mengutip banyak pendapat Abu al-Hasan. Ia lantas
menetap di Baghdad dan mendirikan majelis taklim yang dihadiri banyak orang.
Salah satu pendapatnya yang kontroversial adalah bahwa tidak ada yang lebih
berbahaya bagi para makhluk daripada Sang Khalik. Setelah pendapat itu menyebar
di tengah masyarakat, orang-orang pun menudingnya mengajarkan bid’ah.
Masyarakat lantas mengasingkan dan melarangnya untuk berbicara di depan umum.
Sedangkan menurut al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) dalam kitab Tarikh
Baghdad, Abu Thalib menyebutkan dalam kitabnya Quut
al-Quluub beberapa hal yang mungkar terkait dengan sifat-sifat Allah.
Terlepas dari tudingan miring terhadap Abu Thalib al-Makki di atas, beliau tetaplah seorang tokoh ulama yang harus dihormati. Karya beliau Quut al-Quluub sampai hari ini merupakan salah satu rujukan awal ajaran tasawuf. Ketika menyitir riwayat tentang Nabi Musa dan babi, beliau sedang membahas tentang ajaran tasawuf mengenai pentingnya zuhud, terutama bagi para ulama. Namun, bukan berarti kita boleh menelan mentah-mentah riwayat tersebut. Karena riwayat-riwayat Israiliyyat tersebut memang sulit untuk diverifikasi kebenarannya.
Wallahu a’lam.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan