Musim panas tengah mengganas ketika Kanjeng Nabi, Abu Bakar, Amir ibnu Fuhairah, dan sang penunjuk jalan, Abdullah ibnu al-Urayqath, melintasi hamparan gurun lepas menuju Madinah.
Dari jauh tampak dua buah kemah berdiri bebas
di sebuah sisi ruas jalan.
Dua kemah itu milik Umu Ma’bad al-Khazaiyyah, seorang wanita
gurun yang menjamu para musafir yang singgah. Ya, semacam pangkalan untuk
istirahat melepas lelah.
Tiba di sana, Nabi dan rombongan berhenti. Mereka tidur sejenak
sebelum tengah hari. Mereka disambut Umu Ma’bad dengan ramah. Ia tak kenal
siapa mereka dan tak tahu sedikit pun kabar tentang mereka.
Ketika rombongan minta mau membeli kurma atau daging kepadanya,
ia bilang tidak ada. Tahun itu paceklik memang mencekik. Semua orang terancam
kesulitan memenuhi kebutuhan.
Tiba-tiba terlihat oleh Junjugan Nabi seekor kibas di samping
kemah. Tubuhnya kurus kerempeng. “Kibas ini kenapa, Umu Ma bad?” tanya nabi.
“Itu kibas kami yang ketinggalan dari kambing-kambing lain
karena kelelahan. Tubuhnya lemah tak kuat berjalan,” jawab Umu Ma’bad.
“Ada susunya?” tanya Junjungan Nabi lagi.
Umu Ma’bad terkejut mendengar pertanyaan itu. “Kalau ia beranak,
mungkin tidak akan kelelahan begitu. Kibas itu mandul jadi tak punya susu.”
la mengira lawan bicaranya tak mendengar ucapannya sehingga Junjungan
Nabi masih juga bertanya, “Boleh kuperah kibas itu, Umu Ma’bad?”
Kali ini rasa kagetnya tak dapat disembunyikan lagi. Hampir saja
ia melontarkan kata-kata yang tak patut diucapkan kepada orang asing yang sama
sekali tidak ia kenal karena dianggap tak paham perkataannya. Tetapi, mulutnya
terkunci oleh wibawa Junjungan Nabi.
Lalu dengan lidah terbata-bata ia berkata:
“Demi ayahku, engkau, dan ibuku. Kalau memang kaulihat ada
susunya, perahlah!”
Nabi lalu mengusap susunya, menyebut asma Allah dan berdoa.
Tiba-tiba kibas itu dua kakinya meregang, susunya mengencang penuh dan siap
diperah. Junjungan Nabi meminta bejana.
Diberinya beliau sebuah bejana besar. Kibas diperah, susunya
mengucur tumpah. Bejana besar itu pun penuh hingga busanya membuncah-buncah.
Ketika Junjungan Nabi menyerahkan bejana itu kepada Umu Ma bad,
ia terbengong. Ia tidak percaya pada pandangan matanya: ini mimpi atau nyata?
Diterimanya bejana itu dengan tangan gemetar, lalu diangkat ke
mulut dan diseruputnya susu lezat di dalamnya sekali, sekali lagi, lagi dan
lagi hingga puas. Rasanya, belum pernah ia minum susu selezat ini.
Bejana itu kemudian mengalir dari satu tangan ke tangan lain.
Semua minum sampai puas, dan berakhir di tangan Nabi.
Lalu Nabi memerah susu kibas itu hingga bejana tadi masih penuh
dengan susu kambing untuk ditinggalkan di penginapan Umu Ma’bad sebagai hadiah.
Setelah itu mereka berangkat meninggalkan kejadian. Sementara di belakang sana,
Umu Ma’bad terus tercengang heran.
Sore saat Abu Ma’bad pulang dengan kambingnya yang kurus-kurus,
ia kaget bukan kepalang melihat bejana penuh susu. Maka diceritakanlah oleh Umu
Ma’bad perihal rombongan yang tadi singgah di kemahnya.
Dilukiskannya paras Nabi yang bercahaya, postur tubuh beliau
yang memesona, akhlak beliau yang luhur, juga wibawa dan kedudukan beliau yang
agung.
“Oh. Itu pasti orang Quraisy,” komentar Abu Ma’bad.
Demikianlah perilaku Junjungan Nabi. Selain memiliki
keistimewaan yang di luar batas kemampuan manusia biasa. Beliau juga memiliki
akhlak yang baik. Sehingga orang yang pertama kali bertemu dengannya pun
terkesan dengan perilaku agungnya.
Kisah ini dapat dilihat dalam kitab Fii Bayti al-rasuul.
Shallahu ‘ala sayyidinaa Muhammad.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan