Riyadhus Shalihin (Taman Orang-orang Shalih)
IMAM NAWAWI
Taubat
Para alim-ulama berkata:
"Mengerjakan taubat itu hukumnya wajib dari
segala macam dosa. Jikalau
kemaksiatan itu terjadi antara seseorang hamba dan
antara Allah Ta'ala saja, yakni tidak ada
hubungannya dengan hak seseorang manusia yang lain,
maka untuk bertaubat itu harus
menetapi tiga macam syarat, yaitu: Pertama hendaklah
menghentikan sama sekali-seketika
itu juga -dari kemaksiatan yang dilakukan, kedua ialah
supaya merasa menyesal kerana telah
melakukan kemaksiatan tadi dan ketiga supaya berniat
tidak akan kembali mengulangi
perbuatan maksiat itu untuk selama-lamanya. Jikalau
salah satu dari tiga syarat tersebut di
atas itu ada yang ketinggalan maka tidak sahlah taubatnya.
Apabila kemaksiatan itu ada hubungannya dengan sesama
manusia, maka syaratsyaratnya
itu ada empat macam, yaitu tiga syarat yang tersebut
di atas dan keempatnya ialah
supaya melepas-kan tanggungan itu dari hak kawannya.
Maka jikalau tanggungan itu
berupa harta atau yang semisal dengan itu, maka
wajiblah mengembalikannya kepada yang
berhak tadi, jikalau berupa dakwaan zina atau yang
semisal dengan itu, maka hendaklah
mencabut dakwaan tadi dari orang yang didakwakan atau
meminta saja pengampunan
daripada kawannya dan jikalau merupakan pengumpatan,
maka hendaklah meminta
penghalalan yakni pemaafan dari umpatannya itu kepada
orang yang diumpat olehnya.
Seseorang itu wajiblah bertaubat dari segala macam
dosa, tetapi jikalau seseorang itu
bertaubat dari sebagian dosanya, maka taubatnya itupun
sah dari dosa yang dimaksudkan
itu, demikian pendapat para alim-ulama yang termasuk
golongan ahlulhaq, namun saja
dosa-dosa yang lain-lainnya masih tetap ada dan
tertinggal - yakni belum lagi ditaubati.
Sudah jelaslah dalil-dalil yang tercantum dalam
Kitabullah, Sunnah Rasulullah s.a.w.
serta ijma' seluruh ummat perihal wajibnya mengerjakan
taubat itu.
Allah Ta'ala berfirman:
"Dan
bertaubatlah engkau semua kepada Allah, hai sekalian orang Mu'min, supaya
engkau semua memperoleh kebahagiaan." (an-Nur: 31)
Allah Ta'ala berfirman lagi:
"Mohon
ampunlah kepada Tuhanmu semua dan bertaubatlah kepadaNya." (Hud: 3)
Dan lagi firmanNya:
"Hai
sekalian orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang
nashuha -yakni yang sebenar-benarnya." (at-Tahrim: 8)
Keterangan:
Taubat nashuha itu wajib dilakukan dengan memenuhi
tiga macam syarat
sebagaimana di bawah ini, yaitu:
(a) Semua hal-hal yang mengakibatkan diterapi siksa,
kerana berupa perbuatan
yang dosa jika dikerjakan, wajib ditinggalkan secara
sekaligus dan tidak diulangi lagi.
(b) Bertekad bulat dan teguh untuk memurnikan serta
membersihkan diri sendiri
dari semua perkara dosa tadi tanpa bimbang dan
ragu-ragu.
(c) Segala perbuatannya jangan dicampuri apa-apa yang
mungkin dapat
mengotori atau sebab-sebab yang menjurus ke arah dapat
merusakkan taubatnya itu.
13. Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Saya mendengar
Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Demi Allah, sesungguhnya saya itu niscayalah
memohonkan pengampunan kepada
Allah serta bertaubat kepadaNya dalam sehari lebih
dari tujuh puluh kali." (Riwayat Bukhari)
14. Dari Aghar bin Yasar al-Muzani r.a. katanya:
Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Hai sekalian manusia, bertaubatlah kepada Allah
dan mohonlah pengampunan
daripadaNya, kerana sesungguhnya saya ini bertaubat
dalam sehari seratus kali."
(Riwayat Muslim)
15. Dari Abu Hamzah yaitu Anas bin Malik al-Anshari
r.a., pelayan Rasulullah s.a.w.,
katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Niscayalah Allah itu lebih gembira dengan taubat
hambaNya daripada gembiranya
seseorang dari engkau semua yang jatuh di atas untanya
dan oleh Allah ia disesatkan di
suatu tanah yang luas." (Muttafaq 'alaih)
Dalam riwayat Muslim disebutkan demikian:
"Niscayalah Allah itu lebih gembira dengan taubat
hambaNya ketika ia bertaubat
kepadaNya daripada gembiranya seseorang dari engkau
semua yang berada di atas
kendaraannya - yang dimaksud ialah untanya - dan
berada di suatu tanah yang luas,
kemudian menyingkirkan kendaraannya itu dari dirinya,
sedangkan di situ ada makanan
dan minumannya. Orang tadi lalu berputus-asa. Kemudian
ia mendatangi sebuah pohon
terus tidur berbaring di bawah naungannya, sedang
hatinya sudah berputus asa sama sekali
dari kendaraannya tersebut. Tiba-tiba di kala ia
berkeadaan sebagaimana di atas itu,
kendaraannya itu tampak berdiri di sisinya, lalu ia
mengambil ikatnya. Oleh sebab sangat
gembiranya maka ia berkata: "Ya Allah, Engkau
adalah hambaku dan aku adalah TuhanMu".
Ia menjadi salah ucapannya kerana amat
gembiranya."
Keterangan:
Jadi kegembiraan Allah Ta'ala di kala mengetahui ada
hambaNya yang bertaubat itu
adalah lebih sangat dari kegembiraan orang yang
tersebut dalam ceritera di atas itu.
16. Dari Abu Musa Abdullah bin Qais al-Asy'ari r.a.,
dari Nabi s.a.w., sabdanya:
"Sesungguhnya Allah Ta'ala itu membeberkan
tanganNya - yakni kerahmatanNya -di
waktu malam untuk menerima taubatnya orang yang
berbuat kesalahan di waktu siang dan
juga membeberkan tanganNya di waktu siang untuk
menerima taubatnya orang yang
berbuat kesalahan di waktu malam. Demikian ini terus
menerus sampai terbitnya matahari
dari arah barat - yakni di saat hamper tibanya hari
kiamat, kerana setelah ini terjadi, tidak
diterima lagi taubatnya seseorang." (Riwayat
Muslim)
17. Dari Abu Hurairah r.a., katanya: Rasulullah s.a.w.
bersabda: "Barangsiapa
bertaubat sebelum matahari terbit dari arah barat,
maka Allah menerima taubatnya orang
itu." (Riwayat Muslim)
Keterangan:
Uraian dalam Hadis di atas sesuai dengan firman Allah
dalam al-Quran al-Karim,
surat Nisa', ayat 18 yang berbunyi:
"Taubat itu tidaklah diterima
bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan, sehingga di kala
salah seorang dari mereka itu telah
didatangi kematian - sudah dekat ajalnya dan ruhnya sudah dikerongkongan - tiba-tiba ia
mengatakan: "Aku sekarang bertaubat."
18. Dari Abu Abdur Rahman yaitu Abdullah bin Umar bin
al-Khaththab radhiallahu
'anhuma dari Nabi s.a.w., sabdanya:
"Sesungguhnya Allah 'Azzawajalla itu menerima
taubatnya seseorang hamba selama
ruhnya belum sampai di kerongkongannya - yakni ketika
akan meninggal dunia."
Diriwayatkan oleh Imam Termidzi dan ia mengatakan
bahwa ini adalah Hadis hasan.
19. Dari Zir bin Hubaisy, katanya: "Saya
mendatangi Shafwan bin 'Assal r.a. perlu
menanyakan soal mengusap dua buah sepatu khuf (but).
Shafwan berkata: "Apakah yang
menyebabkan engkau datang ini, hai Zir?" Saya
menjawab: "Kerana ingin mencari ilmu
pengetahuan." Ia berkata lagi: "Sesungguhnya
para malaikat itu sama meletakkan sayapsayapnya
- yakni berhenti terbang dan ingin pula mendengarkan
ilmu atau kerana tunduk
menghormat - kepada Orang yang menuntut ilmu, kerana
ridha dengan apa yang dicarinya."
Saya berkata: "Sebenarnya saya sudah tergerak
dalam hatiku akan mengusap di atas
dua buah sepatu khuf itu sehabis buang air besar atau
kecil. Engkau adalah termasuk salah
seorang sahabat Nabi s.a.w., maka dari itu saya datang
ini untuk menanyakannya kepadamu.
Apakah engkau pernah mendengar beliau s.a.w.
menyebutkan persoalan mengusap sepatu
khuf itu daripadanya?" Shafwan menjawab: "Ia
pernah. Rasulullah s.a.w. menyuruh kita
semua, jikalau kita sedang dalam bepergian,supaya kita
jangan melepaskan sepatu khuf kita
selama tiga hari dengan malamnya sekali, kecuali
jikalau kita terkena janabah, tetapi kalau
hanya kerana membuang air besar atau kecil atau kerana
sehabis tidur, bolehlah tidak usah
dilepaskan."
Saya berkata lagi: "Apakah engkau pernah
mendengar beliau s.a.w. menyebutkan
persoalan cinta?" Dia menjawab: "Ya pernah.
Pada suatu ketika kita bersama dengan
Rasulullah s.a.w. dalam bepergian. Di kala kita berada
di sisinya itu, tiba-tiba ada seorang
a'rab (orang Arab dari pegunungan) memanggil beliau
itu dengan suara yang keras sekali,
katanya: "Hai Muhammad." Rasulullah s.a.w.
menjawabnya dengan suara yang sekeras
suaranya itu pula: "Mari kemari". Saya
berkata pada orang a'rab tadi: "Celaka engkau ini,
perlahankanlah suaramu, sebab engkau ini benar-benar
ada di sisi Nabi s.a.w.,sedangkan aku
dilarang semacam ini - yakni bersuara keras-keras di
hadapannya-. "Orang a'rab itu berkata:
"Demi Allah, saya tidak akan memperlahankan
suaraku." Kemudian ia berkata kepada Nabi
s.a.w.: "Ada orang mencintai sesuatu golongan,
tetapi ia tidak dapat menyamai mereka -
dalam hal amal perbuatannya serta cara mencari
kesempurnaan kehidupan dunia dan
akhiratnya. Nabi s.a.w. menjawab: "Seseorang itu
dapat menyertai orang yang dicintai
olehnya besok pada hari kiamat." Tidak
henti-hentinya beliau memberitahukan apa saja
kepada kita, sehingga akhirnya menyebutkan bahwa di
arah barat itu ada sebuah pintu yang
perjalanan luasnya yakni sekiranya seseorang yang
berkendaraan berjalan hendak
menempuh jarak luasnya itu, maka jarak antara dua
ujung pintu tadi adalah sejauh empat
puluh atau tujuh puluh tahun."
Salah seorang yang meriwayatkan Hadis ini yaitu Sufyan
mengatakan: "Di arah Syam
pintu itu dijadikan oleh Allah Ta'ala sejak hari Dia
menciptakan semua langit dan bumi,
senantiasa terbuka untuk taubat, tidak pernah ditutup
sehingga terbitlah matahari dari
sebelah barat yakni dari dalam pintu tadi."
Diriwayatkan oleh Imam Termidzi dan lain-lainnya dan
Imam Termidzi mengatakan
bahwa Hadis ini adalah hasan shahih.
20. Dari Abu Said, yaitu Sa'ad bin Sinan al-Khudri
r.a. bahwasanya Nabiullah s.a.w.
bersabda:
"Ada seorang lelaki dari golongan ummat yang
sebelummu telah membunuh
sembilanpuluh sembilan manusia, kemudian ia menanyakan
tentang orang yang teralim dari
penduduk bumi, ialu ia ditunjukkan pada seorang
pendeta. lapun mendatanginya dan
selanjutnya berkata bahwa sesungguhnya ia telah
membunuh sembilanpuluh sembilan
manusia, apakah masih diterima untuk bertaubat.
Pendeta itu menjawab: "Tidak dapat."
Kemudian pendeta itu dibunuhnya sekali dan dengan
demikian ia telah menyempurnakan
jumlah seratus dengan ditambah seorang lagi itu. Lalu
ia bertanya lagi tentang orang
yang teralim dari penduduk bumi, kemudian ditunjukkan
pada seorang yang alim,
selanjutnya ia mengatakan bahwa sesungguhnya ia telah
membunuh seratus manusia,
apakah masi'h diterima taubatnya. Orang alim itu
menjawab: "Ya, masih dapat. Siapa yang
dapat menghalang-halangi antara dirinya dengan taubat
itu. Pergilah engkau ke tanah
begini-begini, sebab di situ ada beberapa kelompok
manusia yang sama menyembah Allah
Ta'ala, maka menyembahlah engkau kepada Allah itu
bersama-sama dengan mereka dan
janganlah engkau kembali ke tanahmu sendiri, sebab
tanahmu adalah negeri yang buruk."
Orang itu terus pergi sehingga di waktu ia telah
sampai separuh perjalanan, tiba-tiba ia
didatangi oleh kematian.
Kemudian bertengkarlah untuk mempersoalkan diri orang
tadi malaikat kerahmatan
dan malaikat siksaan - yakni yang bertugas memberikan
kerahmatan dan bertugas
memberikan siksa, malaikat kerahmatan berkata:
"Orang ini telah datang untuk bertaubat
sambil menghadapkan hatinya kepada Allah Ta'ala."
Malaikat siksaan berkata: "Bahwasanya
orang ini samasekali belum pernah melakukan kebaikan
sedikitpun."
Selanjutnya ada seorang malaikat yang mendatangi
mereka dalam bentuk seorang
manusia, lalu ia dijadikan sebagai pemisah antara
malaikat-malaikat yang berselisih tadi,
yakni dijadikan hakim pemutusnya - untuk menetapkan
mana yang benar. Ia berkata:
"Ukurlah olehmu semua antara dua tempat di bumi
itu, ke mana ia lebih dekat letaknya,
maka orang ini adalah untuknya - maksudnya jikalau
lebih dekat ke arah bumi yang dituju
untuk melaksanakan taubatnya, maka ia adalah milik
malaikat kerahmatan dan jikalau lebih
dekat dengan bumi asalnya maka ia adalah milik
malaikat siksaan." Malaikat-malaikat itu
mengukur, kemudian didapatinya bahwa orang tersebut
adalah lebih dekat kepada bumi
yang dikehendaki -yakni yang dituju untuk melaksanakan
taubatnya. Oleh sebab itu maka ia
dijemputlah oleh malaikat kerahmatan." (Muttafaq
'alaih)
Dalam sebuah riwayat yang shahih disebutkan demikian:
"Orang tersebut lebih dekat
sejauh sejengkal saja pada pedesaan yang baik itu -
yakni yang hendak didatangi, maka
dijadikanlah ia termasuk golongan penduduknya."
Dalam riwayat lain yang shahih pula disebutkan: Allah
Ta'ala lalu mewahyukan
kepada tanah yang ini - tempat asalnya - supaya engkau
menjauh dan kepada tanah yang ini
- tempat yang hendak dituju - supaya engkau mendekat -
maksudnya supaya tanah asalnya
itu memanjang sehingga kalau diukur akan menjadi jauh,
sedang tanah yang dituju itu
menyusut sehingga kalau diukur menjadi dekat jaraknya.
Kemudian firmanNya: "Ukurlah
antara keduanya." Malaikat-malaikat itu
mendapatkannya bahwa kepada yang ini -yang
dituju - adalah lebih dekat sejauh sejengkal saja
jaraknva. Maka orang itupun diampunilah
dosa-dosanya."
Dalam riwayat lain lagi disebutkan: "Orang
tersebut bergerak - amat susah payah
kerana hendak mati - dengan dadanya ke arah tempat
yang dituju itu."
Keterangan:
Uraian Hadis ini menjelaskan perihal lebih utamanya
berilmu pengetahuan dalam
selok-belok agama, apabila dibandingkan dengan terus
beribadat tanpa mengetahui
bagaimana yang semestinya dilakukan. Juga menjelaskan
perihal keutamaan 'uzlah atau
mengasingkan diri di saat keadaan zaman sudah boleh
dikatakan rusak binasa dan
kemaksiatan serta kemungkaran merajalela di mana-mana.
21. Dari Abdullah bin Ka'ab bin Malik dan ia - yakni
Abdullah -adalah pembimbing
Ka'ab r.a. dari golongan anak-anaknya ketika Ka'ab -
yakni ayahnya itu - sudah buta matanya,
katanya: "Saya mendengar Ka'ab bin Malik r.a.
menceriterakan perihal peristiwanya sendiri
ketika membelakang - artinya tidak mengikuti -
Rasulullah s.a.w. dalam peperangan Tabuk."
Ka'ab berkata: "Saya tidak pernah membelakang -
tidak mengikuti - Rasulullah s.a.w.
dalam suatu peperanganpun kecuali dalam peperangan
Tabuk. Hanya saja saya juga pernah
tidak mengikuti dalam peperangan Badar, tetapi beliau
s.a.w. tidak mengolok-olokkan
seseorangpun yang tidak mengikutinya itu - yakni
Badar. Hanyasanya Rasulullah s.a.w.
keluar bersama kaum Muslimin menghendaki kafilahnya
kaum Quraisy, sehingga Allah
Ta'ala mengumpulkan antara mereka itu dengan musuhnya
dalam waktu yang tidak
tertentukan. Saya juga ikut menyaksikan bersama
Rasulullah s.a.w. di malam 'aqabah di
waktu kita berjanji saling memperkokohkan Islam dan
saya tidak senang andaikata tidak
mengikuti malam 'aqabah itu sekalipun umpamanya saya
ikut menyaksikan peperangan
Badar dan sekalipun pula bahwa peperangan Badar itu
lebih termasyhur sebutannya di
kalangan para manusia daripada malam 'aqabah tadi.
Perihal keadaanku ketika saya tidak
mengikuti Rasulullah s.a.w. dalam peperangan Tabuk
ialah bahwa saya sama-sekali tidak
lebih kuat dan tidak pula lebih ringan dalam
perasaanku sewaktu saya tidak mengikuti
peperangan tersebut. Demi Allah saya belum pernah
mengumpulkan dua buah kendaraan
sebelum adanya peperangan Tabuk itu, sedang untuk
peperangan ini saya dapat
mengumpulkan keduanya. Tidak pula Rasulullah s.a.w.
itu menghendaki suatu peperangan,
melainkan tentu beliau berniat pula dengan peperangan
yang berikutnya sehingga sampai
terjadinya peperangan Tabuk. Rasulullah s.a.w. berangkat
dalam peperangan Tabuk itu
dalam keadaan panas yang sangat dan menghadapi suatu
perjalanan yang jauh lagi harus
menempuh daerah yang sukar memperoleh air dan tentulah
pula akan menghadapi musuh
yang jumlahnya amat besar sekali. Beliau s.a.w.
kemudian menguraikan maksudnya itu
kepada seluruh kaum Muslimin dan menjelaskan persoalan
mereka, supaya mereka dapat
bersiap untuk menyediakan perbekalan peperangan
mereka. Beliau s.a.w. memberitahukan
pada mereka dengan tujuan yang dikehendaki. Kaum
Muslimin yang menyertai Rasulullah
s.a.w. itu banyak sekali, tetapi mereka itu tidak
terdaftarkan dalam sebuah buku yang
terpelihara." Yang dimaksud oleh Ka'ab ialah
adanya buku catatan yang berisi daftar mereka
itu.
Ka'ab berkata: "Maka sedikit sekali orang yang
ingin untuk tidak menyertai
peperangan tadi, melainkan ia juga menyangka bahwa
dirinya akan tersamarkan,selama
tidak ada wahyu yang turun dari Allah Ta'ala -
maksudnya kerana banyaknya orang yang
mengikuti, maka orang yang berniat tidak mengikuti
tentu tidak akan diketahui oleh
siapapun sebab catatannyapun tidak ada.
Rasulullah s.a.w. berangkat dalam peperangan Tabuk itu
di kala buah-buahan sedang
enak-enaknya dan naungan-naungan di bawahnya sedang
nyaman-nyamannya. Saya amat
senang sekali pada buah-buahan serta naungan itu.
Rasulullah s.a.w. bersiap-siap dan
sekalian kaum Muslimin juga demikian. Saya mulai pergi
untuk ikut bersiap-siap pula
dengan beliau, tetapi saya lalu mundur lagi dan tidak
ada sesuatu urusanpun yang saya
selesaikan, hanya dalam hati saya berkata bahwa saya
dapat sewaktu-waktu berangkat
jikalau saya menginginkan. Hal yang sedemikian itu
selalu saja mengulur-ulurkan waktu
persiapanku, sehingga orang-orang giat sekali untuk
mengadakan perbekalan mereka,
sedangkan saya sendiri belum ada persiapan sedikitpun.
Kemudian saya pergi lagi lalu
kembali pula dan tidak pula ada sesuatu urusan yang
dapat saya selesaikan. Keadaan
sedemikian ini terus-menerus menyebabkan saya
mengulur-ulurkan waktu keberangkatanku,
sehingga orang-orang banyak telah bergegas-gegas dan
majulah mereka yang hendak
mengikuti peperangan itu. Saya bermaksud akan
berangkat kemudian dan selanjutnya tentu
dapat menyusul mereka yang berangkat Tebih dulu.
Alangkah baiknya sekiranya maksud itu
saya laksanakan, tetapi kiranya yang sedemikian tadi
tidak ditakdirkan untuk dapat saya
kerjakan. Dengan begitu maka setiap saya keluar
bertemu dengan orang-orang banyak
setelah berangkatnya Rasulullah s.a.w. itu, keadaan
sekelilingku itu selalu menyedihkan
hatiku, kerana saya mengetahui bahwa diriku itu
hanyalah sebagai suatu tuntunan yang
dapat dituduh melakukan kemunafikan atau hanya sebagai
seseorang yang dianggap
beruzur oleh Allah Ta'ala kerana termasuk golongan
kaum yang lemah - tidak kuasa
mengikuti peperangan.
Rasulullah s.a.w. kiranya tidak mengingat akan diriku
sehingga beliau datang di
Tabuk, maka sewaktu beliau duduk di kalangan kaumnya
di Tabuk, tiba-tiba bertanya: "Apa
yang dilakukan oleh Ka'ab bin Malik?" Seorang
dari golongan Bani Salimah menjawab: "Ya
Rasulullah, ia ditahan oleh pakaian indahnya dan oleh
keadaan sekelilingnya yang permai
pandangannya." Kemudian Mu'az bin Jabal r.a.
berkata: "Buruk sekali yang kau katakan itu.
Demi Allah ya Rasulullah, kita tidak pernah melihat
keadaan Ka'ab itu kecuali yang baik-baik
saja." Rasulullah s.a.w. berdiam diri. Ketika
beliau s.a.w. dalam keadaan seperti itu lalu
melihat ada seorang yang mengenakan pakaian serba
putih yang digerak-gerakkan oleh
fatamorgana - sesuatu yang tampak semacam air dalam keadaan
yang panas terik di padang
pasir - Rasulullah s.a.w. bersabda: "Engkaukah
Abu Khaitsamah?"Memang orang ituadalah
Abu Khaitsamah al-Anshari dan ia adalah yang pernah
bersedekah dengan sesha' kurma
ketika dicaci oleh kaum munafikin.
Ka'ab berkata selanjutnya: "Setelah ada berita
yang sampai di telingaku bahwa
Rasulullah s.a.w. telah menuju kembali dengan
kafilahnya dari Tabuk, maka datanglah
kesedihanku lalu saya mulai mengingat-ingat bagaimana
sekiranya saya berdusta - untuk
mengada-adakan alasan tidak mengikuti peperangan. Saya
berkata pada diriku, bagaimana
caranya supaya dapat terkeluar - terhindar dari
kemurkaannya besok sekiranya beliau telah
tiba. Sayapun meminta bantuan untuk menemukan jalan
keluar dari kesulitan ini dengan
setiap orang yang banyak mempunyai pendapat dari
golongan keluargaku. Setelah
diberitahukan bahwa Rasulullah s.a.w. telah tiba maka
lenyaplah kebathilan dari jiwaku -
yakni keinginan akan berdusta itu - sehingga saya
mengetahui bahwa saya tidak dapat
menyelamatkan diriku dari kemurkaannya itu dengan
sesuatu apapun untuk selamalamanya.
Oleh sebab itu saya menyatukan pendapat hendak
mengatakan secara sebenarnya
belaka.
Rasulullah s.a.w. itu apabila datang dari perjalanan,
tentu memulai dengan memasuki
masjid, kemudian bersembahyang dua rakaat, kemudian
duduk di hadapan orang banyak.
Setelah beliau melakukan yang sedemikian itu, maka
datanglah padanya orang-orang yang
membelakang - tidak mengikuti peperangan - untuk
mengemukakan alasan mereka dan
mereka pun bersumpah dalam mengemukakan
alasan-alasannya itu. Jumlah yang tidak
mengikuti itu ada delapan puluh lebih - tiga sampai
sembilan. Beliau s.a.w. menerima alasanalasan
yang mereka kemukakan secara terus terang itu, juga
membai'at - meminta janji setia -
mereka serta memohonkan pengampunan untuk mereka pula,
sedang apa yang tersimpan
dalam hati mereka bulat-bulat diserahkan kepada Allah
Ta'ala. Demikianlah sehingga
sayapun datanglah menghadap beliau s.a.w. itu. Setelah
saya mengucapkan salam padanya,
beliau tersenyum bagaikan senyumnya orang yang murka,
kemudian bersabda: "Kemarilah!"
Saya mendatanginya sambil berjalan sehingga saya duduk
di hadapannya, kemudian beliau
s.a.w. bertanya padaku: "Apakah yang menyebabkan
engkau tertinggal bukankah engkau
telah membeli unta untuk kendaraanmu?"
Ka'ab berkata: "Saya lalu menjawab: Ya
Rasulullah, sesungguhnya saya, demi Allah,
andaikata saya duduk di sisi selain Tuan dari golongan
ahli dunia, niscayalah saya
berpendapat bahwa saya akan dapat keluar dari
kemurkaannya dengan mengemukakan
suatu alasan. Sebenarnya saya telah dikaruniai
kepandaian dalam bercakap-cakap. Tetapi
saya ini, demi Allah, pasti dapat mengerti bahwa andai
kata saya memberitahukan kepada
Tuan dengan suatu ceritera bohong pada hari ini yang
Tuan akan merasa rela dengan
ucapanku itu, namun sesungguhnya Allah hampir-hampir
akan memurkai Tuan kerana
perbuatanku itu. Sebaliknya jikalau saya
memberitahukan kepada Tuan dengan ceritera yang
sebenarnya yang dengan demikian itu Tuan akan murka
atas diriku dalam hal ini,
sesungguhnya saya hanyalah menginginkan keakhiran yang
baik dari Allah 'Azzawajalla.
Demi Allah, saya tidak beruzur sedikitpun - sehingga
tidak mengikuti peperangan itu. Demi
Allah, sama sekali saya belum merasakan bahwa saya
lebih kuat dan lebih ringan untuk
mengikutinya itu, yakni di waktu saya membelakang
daripada Tuan -sehingga jadi tidak ikut
berangkat."
Ka'ab berkata: "Rasulullah s.a.w. lalu bersabda:
Tentang orang ini, maka
pembicaraannya memang benar - tidak berdusta. Oleh
sebab itu bolehlah engkau berdiri
sehingga Allah akan memberikan keputusannya tentang
dirimu."
Ada beberapa orang dari golongan Bani Salimah yang
berjalan mengikuti jejakku,
mereka berkata: "Demi Allah, kita tidak
menganggap bahwa engkau telah pernah bersalah
dengan melakukan sesuatu dosapun sebelum saat ini.
Engkau agaknya tidak kuasa, mengapa
engkau tidak mengemukakan keuzuranmu saja kepada
Rasulullah s.a.w. sebagaimana
keuzuran yang dikemukakan oleh orang-orang yang
tertinggal yang lain-lain. Sebenarnya
bukankah telah mencukupi untuk menghilangkan dosamu
itu jikalau Rasulullah s.a.w. suka
memohonkan mengampunan kepada Allah untukmu.
Ka'ab berkata: "Demi Allah, tidak henti-hentinya
orang-orang itu mengolok-olokkan
diriku - kerana menggunakan cara yang dilakukan
sebagaimana di atas yang telah terjadi itu
- sehingga saya sekali hendak kembali saja kepada
Rasulullah s.a.w. – untuk mengikuti cara
orang-orang Bani Salimah itu, agar saya mendustakan
diriku sendiri. Kemudian saya berkata
kepada orang-orang itu: "Apakah ada orang lain
yang menemui peristiwa sebagaimana hal
yang saya temui itu?" Orang-orang itu menjawab:
"Ya, ada dua orang yang menemui
keadaan seperti itu. Keduanya berkata sebagaimana yang
engkau katakan lalu terhadap
keduanya itupun diucapkan - oleh Rasulullah s.a.w. -
sebagaimana kata-kata yang diucapkan
padamu."
Ka'ab berkata: "Siapakah kedua orang itu?"
Orang-orang menjawab: "Mereka itu ialah
Murarah bin Rabi'ah al-'Amiri dan Hilal bin Umayyah
al-Waqifi."
Ka'ab berkata: "Orang-orang itu
menyebut-nyebutkan di mukaku bahwa kedua orang
itu adalah orang-orang shahih dan juga benar-benar
ikut menyaksikan peperangan Badar
dan keduanya dapat dijadikan sebagai contoh - dalam
keberanian dan lain-lain."
Ka'ab berkata: "Saya pun lalu terus pergi di kala
mereka telah selesai menyebutnyebutkan
tentang kedua orang tersebut di atas di mukaku.
Rasulullah s.a.w. melarang kita - kaum Muslimin -
untuk bercakap-cakap dengan
ketiga orang di antara orang-orang yang sama
membelakang - tidak mengikuti perjalanan -
beliau itu."
Ka'ab berkata: "Orang-orang sama menjauhi
kita," dalam riwayat lain ia berkata:
"Orang-orang sama berubah sikap terhadap kita
bertiga, sehingga dalam jiwaku seolah-olah
bumi ini tidak mengenal lagi akan diriku, maka
seolah-olah bumi ini adalah bukan bumi
yang saya kenal sebelumnya. Kita bertiga berhal
demikian itu selama lima puluh malam -
dengan harinya. Adapun dua kawan saya, maka keduanya
itu menetap saja dan selalu
duduk-duduk di rumahnya sambil menangis. Tentang saya
sendiri, maka saya adalah yang
termuda di kalangan kita bertiga dan lebih tahan -
mendapat-kan ujian. Oleh sebab itu
sayapun keluar serta menyaksikan shalat jamaah bersama
kaum Muslimin lain-lain dan juga
suka berkeliling di pasar-pasar, tetapi tidak
seorangpun yang mengajak bicara padaku. Saya
pernah mendatangi Rasulullah s.a.w. dan mengucapkan
salam padanya dan beliau ada di
majlisnya sehabis shalat, kemudian saya berkata dalam
hatiku, apakah beliau menggerakkan
kedua bibirnya untuk menjawab salamku itu ataukah
tidak. Selanjutnya saya bersembahyang
dekat sekali pada tempatnya itu dan saya
mengamat-amatinya dengan pandanganku. Jikalau
saya mulai mengerjakan shalat, beliau melihat padaku,
tetapi jikalau saya menoleh padanya,
beliaupun lalu memalingkan mukanya dari pandanganku.
Demikian halnya, sehingga setelah terasa amat lama
sekali penyeteruan kaum
Muslimin itu terhadap diriku, lalu saya berjalan
sehingga saya menaiki dinding muka dari
rumah Abu Qatadah. Ia adalah anak pamanku - jadi
sepupunya - dan ia adalah orang yang
tercinta bagiku di antara semua orang. Saya memberikan
salam padanya, tetapi demi Allah,
ia tidak menjawab salamku itu. Kemudian saya berkata
kepadanya: "Hai Abu Qatadah, saya
hendak bertanya padamu kerana Allah, apakah engkau
mengetahui bahwa saya ini
mencintai Allah dan RasulNya s.a.w.?" Ia diam
saja, lalu saya ulangi lagi dan bertanya sekali
iagi padanya, iapun masih diam saja. Akhirnya saya
ulangi lagi dan saya menanyakannya
sekali lagi, lalu ia berkata: "Allah dan RasulNya
yang lebih mengetahui tentang itu." Oleh
sebab jawabnya ini, maka mengalirlah air mataku dan
saya meninggalkannya sehingga saya
menaiki dinding rumah tadi.
Di kala saya berjalan di pasar kota, tiba-tiba ada
seorang petani dari golongan petani
negeri Syam (Palestina), yaitu dari golongan
orang-orang yang datang dengan membawa
makanan yang hendak dijualnya di Madinah, lalu orang
itu berkata: "Siapakah yang suka
menunjukkan, manakah yang bernama Ka'ab bin
Malik." Orang-orang lain sama
menunjukkannya kearahku, sehingga orang itupun
mendatangi tempatku, kemudian
menyerahkan sepucuk surat dari raja Ghassan - yang
beragama Kristen. Saya memang orang
yang dapat menulis, maka surat itupun saya baca,
tiba-tiba isinya adalah sebagai berikut:
"Amma ba'd. Sebenarnya telah sampai berita pada
kami bahwa sahabatmu - yakni
Muhammad s.a.w. - telah menyeterumu. Allah tidaklah
menjadikan engkau untuk menjadi
orang hina di dunia ataupun orang yang dihilangkan
hak-haknya. Maka dari itu susullah
kami - maksudnya datanglah di tempat kami - maka kami
akan menggembirakan hatimu."
Kemudian saya berkata setelah selesai membacanya itu:
"Ah, inipun juga termasuk
bencana pula," lalu saya menuju ke dapur dengan
membawa surat tadi kemudian saya
membakarnya. Selanjutnya setelah lepas waktu selama
empatpuluh hari dari jumlah
limapuluh hari, sedang waktu agak terlambat datangnya
tiba-tiba datanglah di tempatku
seorang utusan dari Rasulullah s.a.w., terus berkata:
"Sesungguhnya Rasulullah s.a.w.
memerintahkan padamu supaya engkau menyendirikan
isterimu." Saya bertanya: "Apakah
saya harus menceraikannya ataukah apa yang harus saya
lakukan?" Ia berkata: "Tidak usah
menceraikan, tetapi menyendirilah daripadanya, jadi
jangan sekali-kali engkau
mendekatinya." Rasulullah s.a.w. juga mengirimkan
utusan kepada kedua sahabat saya -
yang senasib di atas - sebagaimana yang dikirimkannya
padaku. Oleh sebab itu lalu saya
berkata pada isteriku: "Susullah dulu keluargamu
- maksudnya pergilah ke tempat kedua
orang tuamu. Beradalah di sisi mereka sehingga Allah
akan menentukan bagaimana
kelanjutan peristiwa ini."
Isteri Hilal bin Umayyah mendatangi Rasulullah s.a.w.,
lalu berkata pada beliau: "Ya
Rasulullah, sesungguhnya Hilal bin Umayyah itu seorang
yang amat tua dan hanya sebatang
kara, tidak mempunyai pelayan juga. Apakah Tuan juga
tidak senang andaikata saya tetap
melayaninya?" Beliau s.a.w. menjawab:
"Tidak, tetapi jangan sekali-kali ia mendekatimu -
jangan berkumpul seketiduran denganmu." Isterinya
berkata lagi: "Sesungguhnya Hilal itu
demi Allah, sudah tidak mempunyai gerak samasekali
pada sesuatupun dan demi Allah, ia
senantiasa menangis sejak terjadinya peristiwa itu
sampai pada hari ini."
Sebagian keluargaku berkata padaku: "Alangkah
baiknya sekiranya engkau meminta
izin kepada Rasulullah s.a.w. dalam persoalan isterimu
itu. Rasulullah s.a.w. juga telah
mengizinkan kepada isteri Hilal bin Umayyah untuk
tetap melayaninya." Saya berkata: "Saya
tidak akan meminta izin untuk isteriku itu kepada
Rasulullah s.a.w., saya pun tidak tahu
bagaimana nanti yang akan diucapkan oleh Rasulullah
s.a.w. sekiranya saya meminta izin
pada beliau perihal isteriku itu - yakni supaya boleh
tetap melayani diriku? Saya adalah
seorang yang masih muda." Saya tetap berkeadaan
sebagaimana di atas itu - tanpa isteri -
selama sepuluh malam dengan harinya sekali maka telah
genaplah jumlahnya menjadi lima
puluh hari sejak kaum Muslimin dilarang bercakap-cakap
dengan kita.
Selanjutnya saya bersembahyang Subuh pada pagi hari
kelima puluh itu di muka
rumah dari salah satu rumah keluarga kami. Kemudian di
kala saya sedang duduk dalam
keadaan yang disebutkan oleh Allah Ta'ala perihal diri
kita itu - yakni ketika kami bertiga
sedang dikucilkan, jiwaku terasa amat sempit sedang
bumi yang luas terasa amat kecil, tibatiba
saya mendengar suara teriakan seseorang yang berada di
atas gunung Sala' - sebuah
gunung di Madinah, ia berkata dengan suaranya yang
amat keras: "Hai Ka'ab bin Malik,
bergembiralah." Segera setelah mendengar itu,
sayapun bersujud - syukur - dan saya
meyakinkan bahwa telah ada kelapangan yang datang
untukku. Rasulullah s.a.w. telah
memberitahukan pada orang-orang banyak bahwa taubat
kita bertiga telah diterima oleh
Allah 'Azzawajalla, yaitu di waktu beliau
bersembahyang Subuh. Maka orang-orangpun
menyampaikan berita gembira itu pada kita dan ada pula
pembawa-pembawa kegembiraan
itu yang mendatangi kedua sahabatku - yang senasib.
Ada seorang yang dengan cepat-cepat
melarikan kudanya serta bergegas-gegas menuju ke
tempatku dari golongan Aslam -
namanya Hamzah bin Umar al-Aslami. Ia menaiki gunung
dan suaranya itu kiranya lebih
cepat terdengar olehku daripada datangnya kuda itu
sendiri. Setelah dia datang padaku
yakni orang yang kudengar suaranya tadi, iapun
memberikan berita gembira padaku,
kemudian saya melepaskan kedua bajuku dan saya berikan
kepadanya untuk dipakai,
sebagai hadiah dari berita gembira yang disampaikannya
itu. Demi Allah, saya tidak
mempunyai pakaian selain keduanya tadi pada hari itu.
Maka sayapun meminjam dua buah
baju - dari orang lain - dan saya kenakan lalu
berangkat menuju ke tempat Rasulullah s.a.w.
Orang-orang sama menyambut kedatanganku itu sekelompok
demi sekelompok menyatakan
ikut gembira padaku sebab taubatku yang telah
diterima. Mereka berkata:
"Semogagembiralah hatimu kerana Allah telah
menerima taubatmu itu." Demikian
akhirnya saya memasuki masjid, di situ Rasulullah
s.a.w. sedang duduk dan di sekelilingnya
ada beberapa orang. Thalhah bin Ubaidullah r.a. lalu
berdiri cepat-cepat kemudian menjabat
tanganku dan menyatakan ikut gembira atas diriku. Demi
Allah tidak ada seorangpun dari
golongan kaum Muhajirin yang berdiri selain Thalhah
itu. Oleh sebab itu Ka'ab tidak akan
melupakan peristiwa itu untuk Thalhah.
Ka'ab berkata: "Ketika saya mengucapkan salam
kepada Rasulullah s.a.w.
beliau tampak berseri-seri wajahnya kerana gembiranya
lalu bersabda: "Bergembiralah
dengan datangnya suatu hari baik yang pernah engkau
alami sejak engkau dilahirkan oleh
ibumu. "Saya bertanya: "Apakah itu datangnya
dari sisi Tuan sendiri ya Rasulullah, ataukah
dari sisi Allah?" Beliau s.a.w. menjawab:
"Tidak dari aku sendiri, tetapi memang dari Allah
'Azzawajalla". Rasulullah s.a.w. itu apabila
gembira hatinya, maka wajahnya pun bersinar
indah,seolah-olah wajahnya itu adalah sepenuh bulan,
kita semua mengetahui hal itu.
Setelah saya duduk di hadapannya, saya lalu berkata:
"Ya Rasulullah, sesungguhnya
untuk menyatakan taubatku itu ialah saya hendak
melepaskan sebagian hartaku sebagai
sedekah kepada Allah dan RasulNya." Rasulullah
s.a.w. bersabda: "Tahanlah untukmu
sendiri sebagian dari harta-hartamu itu, sebab yang
sedemikian itu adalah lebih baik." Saya
menjawab: "Sebenarnya saya telah menahan bagianku
yang ada di tanah Khaibar."
Selanjutnya saya meneruskan: "Ya Rasulullah,
sesungguhnya Allah telah menyelamatkan
diriku dengan jalan berkata benar, maka sebagai tanda
taubatku pula ialah bahwa saya tidak
akan berkata kecuali yang sebenarnya saja selama
kehidupanku yang masih tertinggal." Demi
Allah, belum pernah saya melihat seseorangpun dari
kalangan kaum Muslimin yang diberi
cobaan oleh Allah Ta'ala dengan sebab kebenaran
kata-kata yang diucapkan, sejak saya
menyebutkan hal itu kepada Rasulullah s.a.w. yang
jadinya lebih baik dari yang telah
dicobakan oleh Allah Ta'ala pada diriku sendiri. Demi
Allah, saya tidak bermaksud akan
berdusta sedikitpun sejak saya mengatakan itu kepada
Rasulullah s.a.w. sampai pada hariku
ini dan sesungguhnya sayapun mengharapkan agar Allah
Ta'ala senantiasa melindungi
diriku dari kedustaan itu dalam kehidupan yang masih
tertinggal untukku."
Ka'ab berkata; "Kemudian Allah Ta'ala menurunkan
wahyu yang artinya:
"Sesungguhnya Allah telah
menerima taubatnya Nabi, kaum Muhajirin dan Anshar yang
mengikutinya - ikut berperang –
dalam masa kesulitan - sampai di firmanNya
yang berarti 6;
Sesungguhnya Allah itu adalah Maha
Penyantun lagi Penyayang kepada mereka.
Juga Allah telah menerima taubat
tiga orang yang ditinggalkan di belakang, sehingga terasa
sempitlah bagi mereka bumi yang
terbentang luas ini - sampai di firmanNya
yang berarti -
Bertaqwalah kepada Allah dan
hendaklah engkau semua bersama orang-orang yang benar." (at-Taubah: 117-119)
Ka'ab berkata: "Demi Allah, belum pernah Allah
mengaruniakan kenikmatan padaku
sama sekali setelah saya memperoleh petunjuk dari
Allah untuk memeluk Agama Islam ini,
yang kenikmatan itu lebih besar dalam perasaan jiwaku,
melebihi perkataan benarku yang
saya sampaikan kepada Rasulullah s.a.w., sebab saya
tidak mendustainya, sehingga
andaikata demikian tentulah saya akan rusak sebagaimana
kerusakan yang dialami oleh
orang-orang yang berdusta - maksudnya ialah kerusakan
agama bagi dirinya, akhlak dan
lain-lain. Sesungguhnya Allah Ta'ala telah berfirman
kepada orang-orang yang berdusta
ketika diturunkannya wahyu, yaitu suatu kata-kata
terburuk yang pernah diucapkan kepada
seseorang. Allah Ta'ala berfirman yang artinya:
"Mereka akan bersumpah
kepadamu dengan nama Allah, ketika engkau kembali kepada mereka,supaya engkau
dapat membiarkan mereka. Sebab itu berpalinglah dari mereka itu, sesungguhnyamereka
itu kotor dan tempatnya adalah neraka Jahanam, sebagai pembalasan dari apa yang
merekalakukan.Mereka bersumpah kepadamu supaya engkau merasa senang kepada
mereka, tetapi biarpun engkau merasa senang kepada mereka, namun Allah tidak
senang kepada kaum yang fasik itu." (at-Taubah: 95-96)
Ka'ab berkata: "Kita semua bertiga ditinggalkan,
sehingga tidak termasuk dalam
urusan golongan orang-orang yang diterima oleh
Rasulullah s.a.w. perihal alasan-alasan
mereka itu, yaitu ketika mereka juga bersumpah
padanya, lalu memberikan janji-janji kepada
mereka supaya setia dan memohonkan pengampunan untuk
mereka pula. Rasulullah s.a.w.
telah mengakhirkan urusan kita bertiga itu sehingga
Allah memberikan keputusan dalam
peristiwa tersebut." Allah Ta'ala berfirman:
"Dan juga kepada tiga orang yang ditinggalkan."
Bukannya yang disebutkan di situ yaitu dengan
firmanNya "Tiga orang yang
ditinggalkan dimaksudkan kita membelakang dari
peperangan, tetapi Rasulullah s.a.w. yang
meninggalkan kita bertiga tadi dan menunda urusan
kita, dengan tujuan untuk memisahkan
dari orang-orang yang bersumpah dan mengemukakan
alasan-alasan padanya, kemudian
menyarmpikan masing-masing keuzurannya dan selanjutnya
beliau s.a.w., menerima alasanalasan
mereka tersebut." (Muttafaq 'alaih)
Dalam sebuah riwayat disebutkan: "Bahwasanya
Rasulullah s.a.w. keluar untuk
berangkat ke peperangan Tabuk pada hari Khamis dan
memang beliau s.a.w. suka sekali
kalau keluar pada hari Kamis itu."
Dalam riwayat lain disebutkan pula: "Beliau
s.a.w. tidak datang dari sesuatu
perjalanan melainkan di waktu siang di dalam saat
dhuhadan jikalau beliau s.a.w. telah
datang, maka lebih dulu masuk ke dalam masjid,
kemudian bersembahyang dua rakaat lalu
duduk di dalamnya."
Keterangan:
menerima taubat mereka supaya mereka kembali - ke
jalan yang benar -. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penerima taubat lagi Penyayang.
119. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada
Allah dan hendaklah kamu semua itu bersama-sama orang-orang yang benar -
kata-kata serta perbuatannya.
Secara jelasnya makna Khullifuu dalam ayat di atas itu ialah:
ditangguhkannya tiga
orang itu perihal dimaafkannya dan ditundanya untuk
diterima taubatnya sehingga
limapuluh hari limapuluh malam lamanya.
Jadi Khullifuu bukan bermaksud ditinggalkannya orang tiga di atas oleh Rasulullah
s.a.w. dan sahabat-sahabatnya ketika tidak mengikuti
perang Tabuk.
Oleh sebab itu orang lain yang tidak mengikuti perang
Tabuk dan berani bersumpah
serta mengemukakan alasan-alasan yang beraneka
macamnya, lalu dimaafkan oleh Nabi
s.a.w. dan tidak ikut dikucilkan, tidak dapat
dimasukkan dalam golongan "Tiga orang yang
ditinggalkan" tersebut. Jadi diterima atau
tidaknya alasan yang mereka kemukakan itu belum
dapat dipastikan kebenarannya, sebab yang Maha
Mengetahui hanyalah Allah Ta'ala
sendiri. )elasnya kalau benar alasannya, tentulah
dimaafkan oleh Allah, sedang kalau tidak,
tentu saja ada siksanya bagi orang yang berdusta itu,
apabila Allah tidak mengampuninya.
Adapun tiga orang di atas sudah pasti dimaafkan dan
juga telah diterima taubatnya.
22. Dari Abu Nujaid (dengan dhammahnya nun dan
fathahnya jim) yaitu lmranbin
Hushain al-Khuza'i radhiallahu 'anhuma bahwasanya ada
seorang wanita dari suku Juhainah
mendatangi Rasulullah s.a.w. dan ia sedang dalam
keadaan hamil kerana perbuatan zina.
Kemudian ia berkata: "Ya Rasulullah, saya telah
melakukan sesuatu perbuatan yang harus
dikenakan had - hukuman - maka tegakkanlah had itu
atas diriku." Nabiullah s.a.w. lalu
memanggil wali wanita itu lalu bersabda: "Berbuat
baiklah kepada wanita ini dan apabila
telah melahirkan - kandungannya, maka datanglah padaku
dengan membawanya." Wali
tersebut melakukan apa yang diperintahkan. Setelah
bayinya lahir - lalu beliau s.a.w.
memerintahkan untuk memberi hukuman, wanita itu
diikatlah pada pakaiannya, kemudian
dirajamlah. Selanjutnya beliau s.a.w. menyembahyangi
jenazahnya.
Umar berkata pada beliau: "Apakah Tuan
menyembahyangi jenazahnya, ya Rasulullah,
sedangkan ia telah berzina?" Beliau s.a.w.
bersabda: "Ia telah bertaubat benar-benar,
andaikata taubatnya itu dibagikan kepada tujuhpuluh
orang dari penduduk Madinah, pasti
masih mencukupi. Adakah pernah engkau menemukan
seseorang yang lebih utama dari
orang yang suka mendermakan jiwanya semata-mata kerana
mencari keridhaan Allah
'Azzawajalla." (Riwayat Muslim)
23. Dari Ibnu Abbas dan Anas bin Malik radhiallahu
'anhum bahwasanya Rasulullah
s.a.w. bersabda:
"Andaikata seorang anak Adam - yakni manusia -
itu memiliki selembah emas, ia
tentu menginginkan memiliki dua lembah dan samasekali
tidak akan memenuhi mulutnya
kecuali tanah – yaitu setelah mati - dan Allah
menerima taubat kepada orang yang
bertaubat." (Muttafaq 'alaih)
24. Dan dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah
s.a.w. bersabda:
"Allah Subhanahu wa Ta'ala tertawa - merasa
senang - kepada dua orang yang
seorang membunuh pada lainnya, kemudian keduanya dapat
memasuki syurga. Yang
seorang itu berperang fisabilillah kemudian ia
dibunuh, selanjutnya Allah menerima taubat
atas orang yang membunuhnya tadi, kemudian ia masuk Islam
dan selanjutnya dibunuh
pula sebagai seorang syahid." (Muttafaq 'alaih)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan