Barangkali
sepanjang sejarahnya, dalam peradaban islam, elemen ‘Tasawuf’ adalah yng paling
banyak disalahpahami dan paling sering menjadi kontroversi. secara garis besar
ada dua pendapat tentangTasawuf:
(1) para penentang,
yg menuduh Tasawuf adalah sesat, bid’ah, khurafat, berbau klenik (takhayul),
dan sinkretis;
(2) pendukung, yg menganggap Tasawuf adalah
inti dari Islam.
Perdebatan
ini sudah terjadi sejak istilah ‘tasawuf’ atau ‘sufi’ muncul pertama kali pada
abad II hijrah dan sampai sekarang tetap tak terjadi titik temu, bahkan
cenderung lebih ‘keras’ benturannya. Tulisan ini tak hendak masuk ke wilayah
debat itu, karena barangkali sampai kiamat debat ini tidak akan selesai,
kecuali Imam Mahdi dan Nabi Isa a.s sudah turun ke dunia untuk membereskan
semua kekacauan menjelang kiamat.
Adalah benar
istilah ‘tasawuf’ belum muncul pada masa Nabi, tetapi esensinya sudah ada sejak
Islam lahir. secara umum, istilah tasawuf merujuk pada aspek keruhanian dan
tazkiyatun nafs (akhlak) dalam ajaran Islam. Karena penekanannya pada aspek
keruhanian, maka membicarakan tasawuf adalah seperti membicarakan samudera
tanpa tepi, dan mustahil kita memberikan gambaran yang utuh ttg tasawuf dalam
ribuan buku sekalipun. Karenanya tulisan ini dibatasi hanya pada aspek sejarah
saja, sebgaimana telah dicatat dalam berbagai kitab.
Ada beberapa
pendapat tentang erti dan asal istilah “sufi” dan “tasawuf” itu sendiri.
Berikut sebagian kecil dari pendapat itu.
Imam Hujwiry mengatakan
definisi tasawuf/sufi tergantung pada pengalaman ruhani dari sufi yg
mendefinisikannya. Secara umum, sebagian Sufi mengatakan kata sufi dinisbahkan
kpd para sahabat Nabi yg dikenal sebaai ashab as-shuffah, yakni mereka yg
tinggal di serambi masjid dan hidupnya dipenuhi oleh ibadah. Di antara ashab
ash-suffah ini terdapat sahabat Nabi yg terkenal seperti Salman al-Farisi, Abu
Dzar al-Gifari, Bilal dan sebagainya. Sebagian sufi mendefinisikan sufi adalah
dari orang2 yg mengenakan baju wol (shuff) sebagai perlambang kezuhudan. Sebagian
lainnya mendefinisikannya sebagai berasal dari akar kata shofia,
hikmah/kebijaksanaan; dan masih ada yg mendefinisikannya sebagai ‘shafa’ atau
kesucian. Apapun definisinya, semuanya bermuara pada satu fokus: upaya
mensucikan hati dgn amal berdasarkan Qur’an dan Sunnah Nabi dalam rangka
mendekatkan diri dan bahkan mencintai Tuhan. Raison d’etre atau dasar pokok
amalnya adalah untuk menyempurnakan akhlak, sebagaimana sabda Rasulullaah saw,
“aku diutus tiada lain adalah untuk menyempurnakan akhlak.’
Sesudah Nabi
wafat, Islam berada pada posisi yg relatif jaya, namun pada saat yg sama, mulai
timbul benih2 perpecahan. Dari 4 khalifah pertama, 3 di antaranya meninggal
karena dibunuh akibat dari merebaknya friksi politik dan ambisi sebagian orang
untuk menggunakan agama islam yg saat itu sedang jaya demi kepentingan pribadi
mereka. Setelah Sayyidina Ali karamallahu wajhah wafat karena dibunuh, lahirlah
era kekhalifahan ISlam yang formatnya lebih mirip dengan kerajaan atau
“Dinasti.” Saat Dinasti Muawiyyah berkuasa, peradaban Islam berjaya dan
sebagian besar penguasa cenderung pada kemewahan duniawi. Sebagian ulama
rasikhin (yg berpengetahuan mendalam) merasa sedih dengan situasi
sosial-politik yg penuh degradasi akhlak. Namun situasi tak memungkinkan ulama
yg baik itu untuk bertindak dengan frontal melawan penguasa, karenanya
dipakailah “strategi” lain. Salah satu yg menonjol adalah Imam Hasan al-Bashri,
yg tampil dengan mengedepankan sikap zuhud dan menjauhi kemwahan duniawi.
Ajarannya dipenuhi dengan nasihat untuk mengingat akhirat dan keburukan tipu
muslihat dunia.Salah satu ungkapannya yg terkenal adalah: “Wahai anak adam,
engkau akan mati sendiri, di kubur sendiri, dan dibangkitkan secara
sendiri-sendiri. mengapa alian begitu mencintai dunia yg segera lenyap ini?
maka bersikaplah terhadap dunia seolah-olah kalian blm pernah berada di sini,
dan bersikaplah terhadap akhirat seolah-olah kalian tak akan pernah
meninggalkannya.”
Generasi
sufi di era Imam Hasan al-Basri ini
kerap disebut al-bakkaun, “mereka yg senantiasa menangis.” Kecenderungan uzlah
yng agak ekstrim ini berlanjut ke murid-muridnya seperti Abdul Wahid ibn Ziad, Sulayman al-Darani
hinga ke Ahmad ibn al-Hawari. Mereka bersikap seolah menjauhi dunia,
karena mereka hendak memberi tauladan dan keseimbangan. Di era ketika orang
begitu mabuk dunia, sulit untuk mengajak orang mengingat akhirat, kecuali
dengan suri tauladan. Karena itu, demi mengingatkan orang-orang, para Sufi
generasi awal rela mengorbankan hidupnya untuk menjalani hidup uzlah dan
menjauhi dunia; mereka harus menjalani apa yg mereka sendiri ucapkan.
Periode baru
dimulai ketika Dinasti Abbasiyyah memegang kekuasaan kekhalifahan Islam. Pada
masa ini ilmu pengetahuan bekembang pesat, mulai dari fiqh, astronomi,
matematika, filsafat, kedokteran dan sebagainya. Situasi sosial-politik yg
relatif tak bergejolak turut andil dalam menyuburkan lahirnya pemikiran penting
di banyak bidang ilmu pengetahuan. Pada era ini muncul sufi terkenal yg
“gaya”nya berbeda dengan generasi Imam Hasan al-basri. Ketika ibukota
kekhalifahan dipindahkan ke Baghdad, dan Baghdad menjadi salah satu pusat
peradaban budaya dunia, maka bermunculan sufi-sufi dari kawasan sekitarnya.
Tokoh-tokoh yg termasyhur antara lain Syekh
Ma’ruf al-Kharki (yg disebut-sebut sebagai “leluhur” tarekat, karena
namanya tercantum di hampir semua silsilah tarekat), Fudhail ibn Iyad, Ibrahim ibn Adham, Bishr al-Hafi, Shaqiq al-Balkh,
Abu Turab, an-Nakshabi dan sebagainya. Sembari menjalani hidup zuhud yang
ketat, generasi ini mulai memunculkan ajaran dan pemikiran yg lebih
filosofis-mistis. Pada era generasi awal ini telah lahir salah satu tafsir
mistis atas Qur’an, yg dibuat oleh salahsatu Guru Agung di dunia tasawuf, Imam
Ja’far as-Shadiq. Beliaulah yang menfasirkan Qur’an dari empat segi atau empat
struktur yang hirarkis, sesuai dengan maqam manusia di jalan ruhani.
Sufi lain yg
tersohor pada era ini adalah Syekh Dhun
Nun al-Mishri, Sufi dari Mesir yg kerap disebut oleh sebagian sufi lainnya
sebagai salah satu Qutub pada zamannya, seorang wali yg tersembunyi. Syekh Dzun
Nun al-Mishri menguasai berbagai ilmu rahasia. beliau sempat dijebloskan ke
penjara namun kemudian dibebaskan. Sebagian ahli sejarah menyebutkan bhwa,
Dzun-Nun lah yg pertama kali menguraikan “teori” tentang makrifat. Selain itu
Dzun Nun juga terkenal sebagai penyair, yg puisi-puisinya kelak mengilhami sufi
generasi selanjutnya, terutama mereka yg mengusung ajaran mahabbah atau cinta
Tuhan tanpa syarat.
Ajaran
mahabbah ini menjadi terkenal melalui sufi agung perempuan, Rabi’ah al-Adawiyah. Sebagian penulis
hagiografi (kitab riwayat sufi) mengatakan Rabiah adalah wanita yang menyendiri
dalam kesucian, terbakar oleh cinta Tuhan, lebur dalam penyatuan.Cintanya yg
tanpa pamrih menggegerkan banyak sufi. salahsatu doanya yang terkenal “Nekat”
adalah:
Kau telah
memberiku hidup dan menjagaku, dan firman-Mu adalah keindahan. Seandainya
Engkau mengusirku dari pintuMu, aku tak akan meninggalkannya karena cinta yang
kusimpan dalam hatiku kepadaMu.
Salah satu
riwayat terkenal yg secara hiperbolis menggambarkan cintanya adalah: suatu
ketika Rabi’ah keluar membawa obor dan ember berisi air. ketika ditanya, beliau
menjawab: “Akan kubakar sorga dengan obor ini, dan kusiram neraka dengan air
ini, dengan begitu akan jelas siapa yg menyembah Tuhan karena Cinta dan siapa
yg menyembahNya karena takut neraka dan mengharapkan surga.” Rabiah pula yang
memperkenalkan konsep kontroversial lain, “Tuhan Yang Maha Pencemburu.” Menurut
beliau, “Allah tak memperkenankan apapun berbagi denganNya, termasuk cinta yang
[seharusnya] ditujukan hanya kepada-Nya.” sebagian sufi mengatakan Rabiah
adalah perwujudan nyata dari ayat “Allah mencintai mereka, dan mereka
mencintai-Nya.”
Hampir
sezaman dengannya, dari wilayah Bistham muncul sufi agung yg kontroversial Abu Yazid al-Bisthami. Ucapan-ucapan
syathahat-nya menggemparkan, seperti “Maha suci aku” atau “tiada lain yang ada
di jubahku kecuali Allah.” Abu Yazid adalah sufi pertama yg menggambarkan
pengalaman mi’raj ruhaninya dengan citraan seperti mikrajnya Nabi Muhammad.
Ucapan-ucapannya yg penuh paradoks selalu menawarkan makna baru, dan mengilhami
banyak Sufi generasi selanjutnya. Melalui beliau pula mulai dikenal konsep fana
(meski konsep ini belum disistematisasikan pada saat itu). Abu Yazid
mendampakan penghapusan hakiki (fana) atas segala jejak eksistensi kedirian.
Abu Yazid al-Bisthami bersahabat dengan salah satu sufi penting, Yahya ibn
Muadz ar-Rayy, seorang Wali Allah pecinta Tuhan, yg khotbah-khotbahnya sangat
menggetarkan siapapun yang mendengarkannya – karena itu beliau juga dijuluki
“Juru Khotbah” yg memberi pelajaran kepada golongan jin dan manusia. Salah satu
ucapannya yg sering dikutip dalam kitab-kitab tasawuf generasi berikutnya
adalah “Maut itu indah, sebab maut mempertemukan kekasih dengan Yang
Dikasihinya.” Salah satu penerus Yahya ibn Muadz yg kelak terkenal adalah Abu
Utsman al-Hirri, yang menegakkan ajaran tasawuf di kawasan Nishapur.
Pada era ini
pula lahir salah satu legenda Tasawuf yg luar biasa, wali Qutub pada zamannya,
Syekh Ma’ruf al-Kharki. Imam Qusyairi menyebutkan bahwa Syekh Ma’ruf adalah
Pemimpin Tertinggi di Maqam Ridha’. Kekuatan ruhaninya luar biasa, doa-doanya
diakui makbul. Karamahnya dikenal oleh banyak orang, dan orang dari luar
Baghdad berdatangan menyeberangi sungai Tigris hanya untuk meminta ijazah dan
doanya; setelah beliau wafat, makamnya menjadi tujuan ziarah banyak sekali
orang sampai sekarang. Salah satu pengikut Syekh Ma’ruf yg terkenal adalah Syekh Sari as-Saqati. Syekh Sari
mengaku bahwa dirinya masuk ke dunia tasawuf dan menjadi ulama rasikhin berkat
ajaran dan barokah dari Syekh Ma’ruf al-Kharki. Syekh Sari ini adalah paman
dari seorang ulama yg kelak menjadi rujukan hampir semua tarekat dan sufi,
yakni Imam Junaid al-Bagdadi, dan beliau dijuluki sang Pangeran Sufi dan
Meraknya Para Ulama yang ilmunya mendalam.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan