Sungguh mulia wanita
di mata Islam. Faham feminis yang digembar-gemborkan jauh setelah Islam hadir
di muka bumi tak sebanding dengan cara Islam memuliakan wanita. Dalam Islam,
baik wanita maupun pria adalah sama di mata Allah, yang membedakan hanyalah
iman dan ketakwaannya.
Tersebutlah kisah
Nusaybah, seorang pejuang wanita zaman Nabi Muhammad yang turut serta terjun ke
medan perang setelah melakukan bai’at atau sumpah setia kepada beliau untuk
membela kebenaran. Sungguh, Islam sebagai sebenar-benarnya agama mengizinkan
seorang wanita berkesempatan untuk mengembangkan potensi dalam diri dengan ilmu
yang dimilikinya.
Sosok Wanita yang
Menjiwai Perananya
Selain sebagai seorang
wanita yang turut memanggul senjata, Nusaybah adalah seorang istri yang patuh
dan taat pada suami serta seorang ibu yang harus mengurus anak-anaknya.
Nusaybah atau sering dikenal dengan nama Ummu Imarah adalah wanita yang
bertekad menunjukkan kemampuannya yang luar biasa mengurus rumah tangga
sekaligus jaya di medan perang.
Ia ingin memberi
contoh dan inspirasi bagi kaum muslimah untuk turut serta berperan aktif dalam
menegakkan kebenaran sesuai kapasitasnya sebagai seorang perempuan yang diberi
akal dan ilmu pengetahuan. Sebagai seorang wanita, baginya pintar saja tidak
cukup. Mampu menjadi seorang yang berguna dan bermanfaat adalah pencapaian yang
istimewa.
Sosok Wanita Perisai
Rasulullah
Berawal saat Ummu
Imarah bersama suami yang bernama Zaid bin Ashim dan kedua putranya Abdullah
dan Habib melakukan bai’at kepada Rasulullah untuk turut serta membela
kebenaran. Nusaybah tergabung bersama kelompok yang merawat prajurit terluka
dan menjadi penyedia logistik di medan perang.
Tibalah suatu perang
Uhud, para prajurit yang tengah bertempur didesak oleh prajurit musuh sehingga
keselamatan Rasulullah berada di ujung tanduk. Mendengar hal itu, Nusaybah yang
tengah berada di kamp logistik segera tergerak untuk mempersenjatai dirinya dan
terjun ke tengah kekalutan perang.
Misinya adalah untuk
menyelamatkan Rasulullah. Begitu ia mengedarkan pandangan, Ummu Imarah
mendapati seorang prajurit dari kaum kafir hendak menyerang Nabi Muhammad.
Dengan sigap ia mengayunkan pedangnya serta menghujani anak panah pada
musuh-musuhnya demi menyelamatkan sang nabi.
Luka yang yang
mengoyakkan tubuhnya tak cukup membuatnya gentar barang sedetikpun. Goresan
pedang di lehernya tak ia hiraukan. Justru ia membalas dengan mendaratkan
pukulan telak pada musuhnya. Kecintaannya akan utusan Allah SWT tak membuatnya
lemah, malah ia bersikeras untuk melindungi dengan menjadi perisai Rasulullah.
Tangguh di Medan
Perang
Suatu ketika terjadi
peristiwa perang Yamamah, perang melawan kelompok musyrik yang dipimpin oleh
Musailamah bin Al-Kadzab, Nusaybah pergi berperang bersama putranya yang
bernama Abdullah dan pasukan umat muslim lain.
Dalam kesempatan
perang itu, Nusaybah yang tangannya terputus dan terluka parah masih dengan
gigih dan tekad yang kuat hendak menghabisi Musailamah yang berhadapan
dengannya. Kabar gembira sampai kepadanya ketika pasukan umat muslim meraih
kemenangannya dengan tumbangnya Al-Kadzab sang pemimpin perang.
Abdullah putra Ummu
Imarah memapah ibunya melihat jenazah Al-Kadzab yang tergeletak, dan Ummu
Imarah berkata, “tidak ada sesuatupun yang dapat menghalangiku hingga aku
melihat manusia kotor ini telah dibunuh.”
Kecintaan Nusaybah
akan Rasul dan agama Allah membuat ia lebih kuat dan berani. Sebagai wanita
yang juga seorang istri dan ibu, Nusaybah sungguh luar biasa. Tak hanya tangguh
di medan perang, tapi juga teladan bagi keluarga dan kaum muslimah.
Wanita Mulia dengan
Cita-cita yang Tinggi
Suatu ketika Nusaybah
mendapat kesempatan untuk mengutarakan apa yang diinginkan terhadap Rasulullah
atas kegigihannya membela kebenaran. Karena Ummu Imarah ibu dua anak ini tidak
gila materi dan kesenangan duniawi, maka ia tidak meminta kedudukan dan
keistimewaan dunia yang hanya bisa dipandang manusia.
Nusaybah berkata
kepada Rasulullah, “Ya Rasul, berdoalah kepada Allah Ta’ala agar kami dapat
menemanimu di surga”. Tidak ada alasan bagi Rasul untuk tidak mengabulkan
permintaan itu dengan segera. Maka Rasulullah berdoa kepada Allah, “Ya Allah,
jadikanlah mereka orang-orang yang akan menemaniku di surga.”
Setelah mendengar
kabar gembira atas doa Rasulullah tersebut, Nusaybah berkata, “Aku tidak akan
peduli dengan apa yang akan menimpaku dari urusan dunia setelah ini.”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan