Ketahuilah, bahwa nama-nama yang
ini dipakai pada bab-bab ini. Dan sedikitlah dalam kalangan ulama-ulama yang
terkemuka, yang mendalam pengetahuannya tentang nama-nama ini, tentang
perbedaan pengertian-pengertiannya, batas-batasnya dan apa yang dinamakan
dengan nama-nama tersebut.
Kebanyakan kesalahan itu terjadinya karena kebodohan
dengan arti nama-nama ini dan persekutuannya diantara apa yang dinamakan itu
yang bermacam-macam. Dan kami akan menguraikan arti nama-nama tersebut, yang
menyangkut dengan maksud kami.
Perkataan pertama: perkataan hati.
Dan itu ditujukan kepada dua pengertian:
Pertama: daging yang berbentuk buah sanaubar,
tertetak pada pinggir dada yang kiri.
Yaitu: daging khusus. Dan didalamnya
ada lobang. Dalam lobang itu darah hitam. Itulah
sumber nyawa dan bahannya.
Dan kami tidak bermaksud sekarang
menguraikan bentuknya dan caranya. Karena itu menyangkut dengan maksud
dokter-dokter. Dan tiada menyangkut dengan maksud-maksud keagamaan. Hati itu
ada pada hewan. Bahkan ada pada orang mati.
Dan apabila kami menyebutkan secara
mutlak, perkataan hati (al-qalb)
dalam kitab ini, maka tidaklah kami maksudkan yang demikian. Karena itu adalah
sepotong daging, yang tidak berharga. Dan itu termasuk sebahagian dari alam
yang dapat diperintah dan dilihat (‘alamul-mulki wasy-syahadah), karena
hewanpun dapat mengetahuinya dengan pancaindra melihat, lebih-lebih lagi
manusia.
Kedua: yaitu: yang halus (lathifah), ketuhanan (rabbaniyah), kerohanian (ruhaniyah).
Dia dengan: hati yang bertubuh (al-qalbi
al-jismany) itu, mempunyai hubungan. Yang halus itu, ialah hakikat/makna manusia.
Dialah yang merasa, yang mengetahui, dan
mengenal, dari manusia. Dialah yang ditujukan dengan pembicaraan, yang disiksa,
yang dicaci dan yang dicari.
Ia mempunyai hubungan dengan hati yang bertubuh.
Akal kebanyakan manusia, heran untuk
mengetahui cara hubungannya. Karena hubungannya itu menyerupai, hubungan sifat
(‘aradl) dengan tubuh. Hubungan sifat dengan yang bersifat (maushuf). Atau
hubungan pemakai alat dengan alatnya. Atau hubungan orang bertempat dengan
tempatnya.
Dan menguraikan yang demikian itu,
termasuk apa yang kami takuti, karena dua pengertian:
Pertama: bahwa yang demikian itu menyangkut
dengan Mukasaffah (Ilmu Diminta untuk mengetahuinya saja). Dan tidaklah maksud
kami dari Kitab ini, selain: Ilmu Mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta
mengetahuinya hendaklah diamalkan).
Kedua: bahwa mencari hakikat/maknanya itu
meminta disiarkan rahasia roh (nyawa). Dan yang demikian itu termasuk hal yang
tidak diperkatakan oleh Rasulullah saw.
Maka tidaklah bagi orang lain, bahwa
memperkatakannya. Yang dimaksudkan:
bahwa apabila kami menyebutkan perkataan hati (al-qalb) dalam kitab ini, maka
yang kami maksudkan, ialah: yang halus
(lathifah) itu.
Dan maksud kami, ialah menyebutkan sifat-sifat dan keadaannya, bukan
menyebutkan hakikat/maknanya pada zatnya. Dan Ilmu Mu’amalah (yang diminta
mengetahuinya hendaklah diamalkan) itu menghendaki mengenal sifat-sifat dan
keadaan nya. Dan tidak menghendaki kepada menyebutkan hakikat/maknanya.
******
Perkataan kedua: nyawa (ruh).
Dan juga ditujukan pada yang menyangkut, dengan jenis
maksud kami, karena dua pengertian:
Pertama: tubuh halus (tubuh lathif). Sumbernya itu lobang hati
yang bertubuh.
Lalu bertebar dengan perantaraan
urat-urat yang memanjang, ke segala bahagian tubuh yang lain. Mengalirnya dalam
tubuh, membanjirnya cahaya hidup, perasaan, penglihatan, pendengaran dan
penciuman daripadanya kepada anggota-anggotanya itu, menyerupai membanjirnya
cahaya dari lampu yang berkeliling pada sudut-sudut rumah.
Sesungguhnya cahaya itu tidak sampai
kepada sebahagian dari rumah, melainkan terus disinarinya. Dan hidup itu adalah
seperti cahaya yang kena pada dinding. Dan nyawa itu adalah seperti lampu.
Berjalannya nyawa dan bergeraknya pada batin, adalah seperti bergeraknya lampu
pada sudut-sudut rumah, dengan digerakkan oleh penggeraknya.
Dokter-dokter, apabila menyebutkan
secara mutlak perkataan: nyawa, maka yang dikehendaki oleh mereka, ialah:
pengertian ini. Yaitu: wap yang halus,
yang dimasakkan oleh kepanasan al-qalb (hati).
Dan tidaklah uraiannya menjadi maksud
kami. Karena yang menyangkut dengan itu, adalah maksud dokter-dokter yang
mengobati tubuh. Adapun maksud dokter-dokter agama, yang mengobati hati,
sehingga terbawa ke sisi Tuhan Semesta alam, tidaklah sekali-kali menyangkut
dengan uraian nyawa itu.
Pengertian kedua: yaitu: yang halus dari manusia, yang mengetahui dan yang merasa. Dan itulah
yang kami uraikan tentang salah satu pengertian hati.
Dan itulah yang dikehendaki oleh Allah
Ta’ala dengan firmanNya:
“Jawablah ! nyawa (roh) itu termasuk urusan Tuhanku”.
S 17 Al Israa’ ayat 85.
Dan itu adalah urusan ketuhanan yang
menakjubkan, yang melemahkan kebanyakan ajal dan paham daripada mengetahui
hakikat/maknanya.
Perkataan ketiga: nafsu.
Dia juga bersekutu diantara beberapa pengertian.
Dan yang menyangkut dengan maksud daripadanya adalah dua pengertian:
Pertama: bahwa yang dimaksudkan dengan yang
demikian itu, ialah pengertian yang menghimpunkan bagi: kekuatan marah dan nafsu syahwat pada manusia, sebagaimana akan
datang uraiannya.
Pemakaian ini adalah yang biasa pada
ahli tasawwuf/ahli suffi. Karena mereka maksudkan dengan nafas (nafsu) itu, ialah: pokok yang menghimpunkan sifat-sifat
tercela pada manusia. Lalu mereka berkata: tak boleh tidak melawan nafsu dan
menghancurkannya.
Ke situlah isyaratnya sabda Nabi saw:
“Musuhmu yang terbesar, ialah nafsumu yang berada diantara dua
lembungmu”.
Pengertian kedua: yaitu: yang halus (lathifah) yang telah kami sebutkan di atas, dimana pada
hakikat/maknanya: itulah manusia. Yaitu:
diri manusia dan zatnya.
Tetapi disifatkan dengan bermacam-macam
sifat, menurut bermacam-macam keadaannya. Apabila dia itu tenang, dibawah
perintah dan jauh dari kegoncangan disebabkan penantangan nafsu syahwat, maka
dinamakan: nafsu muthmainnah (diri atau
jiwa yang tenang).
Allah Ta’ala berfirman tentang
contohnya:
“Hai jiwa yang tenang tentram ! kembalilah kepada Tuhanmu, merasa
senang (kepada Tuhan) dan (Tuhan) merasa senang kepadanya”. S 89 Al Fajr ayat
27-28.
Jiwa (nafsu) dengan pengertian pertama,
tidaklah tergambar kembalinya kepada Allah Ta’ala. Sesungguhnya dia itu menjauh
dari Allah. Dan dia itu termasuk golongan setan.
Apabila tidak sempurna ketenangannya,
akan tetapi jadi pendorong kepada nafsu syahwat dan penantangnya, maka
dinamakan: nafsu lawwamah (jiwa yang mencela).
Karena jiwa itu mencela tuannya ketika
teledor pada menyembah Tuhannya. Tuhan berfirman:
“Dan Aku bersumpah dengan
jiwa yang amat mencela (kejahatan)”. S 75 Al Qiyaamah ayat 2.
Kalau nafsu (jiwa) itu meninggalkan
tantangan, tunduk dan patuh, menurut kehendak nafsu syahwat dan panggilan
setan, maka dinamakan: nafsu yang menurut kepada yang jahat (an-nafsul-ammarah
bis-suu-i).
Allah Ta’ala berfirman, menceritakan
tentang Yusuf as atau isteri seorang pembesar (Mesir yang membujuk Yusuf as):
“Dan aku tidaklah membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya
nafsu itu suka menyuruh kepada yang buruk”. S 12 Yusuf ayat 53.
Kadang-kadang boleh dikatakan bahwa yang
dimaksud dengan suka menyuruh kepada yang buruk itu, ialah: nafsu dengan
pengertian pertama.
Jadi, nafsu dengan pengertian pertama
itu, sangat tercela. Dan dengan pengertian kedua itu, terpuji. Karena dia
adalah nafsu (diri) manusia. Artinya: zat dan hakikat/maknanya, yang mengetahui
Allah Ta’ala dan pengetahuan-pengetahuan lainnya.
********
Perkataan keempat: akal.
Itu juga bersekutu dengan pengertian
yang bermacam-macam, yang telah kami sebutkan pada “Kitab Ilmu”.
Dan yang
menyangkut dengan maksud kami dari jumlah pengertiannya, ialah dua pengertian:
Pertama: sesungguhnya, kadang-kadang ditujukan
dan dimaksudkan dengan akal itu: pengetahuan
tentang hakikat/makna segala keadaan.
Maka akal itu, ibarat dari sifat-sifat ilmu, yang tempatnya hati.
Pengertian kedua: sesungguhnya, kadang-kadang ditujukan
dan dimaksudkan dengan akal itu: ialah yang memperoleh pengetahuan itu. Dan itu adalah: hati. Ya’ni: yang halus
itu.
Kita mengetahui, bahwa tiap-tiap orang
yang berilmu, maka ia mempunyai wujud pada dirinya. Yaitu: pokok yang berdiri
dengan sendirinya. Dan ilmu itu suatu sifat yang bertempat padanya. Dan sifat
itu, bukan benda yang disifatkan.
Kadang-kadang akal itu ditujukan dan
dimaksudkan: sifat orang yang berilmu.
Dan kadang-kadang ditujukan dan
dimaksudkan: tempat pengetahuan. Yakni: yang mengetahui.
Dan itulah yang dimaksudkan dengan sabda
Nabi saw: “Yang pertama-tama dijadikan Allah, ialah akal”.
Sesungguhnya ilmu itu sifat (‘aradl),
yang tidak tergambar bahwa dia itu makhluk pertama. Tetapi, tak boleh tidak,
bahwa adalah tempat itu, yang dijadikan sebelum ilmu atau bersama ilmu. Dan
karena tidak mungkin ditujukan perkataan kepada ilmu.
Pada hadits, Allah Ta’ala berfirman
kepada akal: “Menghadaplah !”. Lalu ia menghadap. Kemudian Allah berfirman
kepada akal: “Membelakanglah !”, lalu ia membelakang……..sampai akhir hadits.
Jadi, sesungguhnya telah terbuka kepada
kita, bahwa pengertian nama-nama tersebut itu ada.
Yaitu:
hati-jismani (hati yang terbentuk tubuh),
roh-jismani (berbentuk tubuh),
nafsu syahwat dan
ilmu.
Maka inilah 4 pengertian yang ditujukan
kepada 4 perkataan.
Dan pengertian yang ke-5, yaitu: yang
halus dari manusia, yang mengetahui dan yang merasa. Dan perkataan 4 itu
keseluruhannya, banyak kali datang pemakaiannya kepada yang halus itu.
Maka pengertian itu 5 dan perkataannya 4.
Tiap-tiap perkataan, ditujukan kepada
dua pengertian. Dan kebanyakan ulama, telah meragukan kepada mereka, perbedaan
kata-kata tersebut dan kebiasaan pemakaiannya.
Maka anda akan melihat mereka,
memperkatakan tentang gurisan-gurisan hati (al-khawaathir).
Dan mereka mengatakan: ini gurisan akal,
ini gurisan jiwa, ini gurisan hati dan ini gurisan nafsu (diri).
Dan orang yang memperhatikan, tiada akan
tahu perbedaan pengertian nama-nama itu. Dan untuk menyingkap tutupnya dari
yang demikian itu, kami telah dahulukan uraian nama-nama tersebut. Bilamana
tersebut perkataan hati dalam Alquran dan Sunnah, maka yang dimaksudkan, ialah:
penguraian yang dipahami dari manusia.
Dan yang mengetahui hakikat/makna segala
sesuatu. Kadang-kadang secara tidak langsung (dengan jalan kinayah), disebutkan
tentang hati itu, akan hati yang di
dalam dada.
Karena diantara yang halus itu dan antara tubuh hati, ada hubungan
khusus.
Dan yang halus itu, walaupun ada
sangkutannya dengan seluruh tubuh dan dipakai untuk seluruh tubuh, akan tetapi
ia bersangkutan dengan tubuh itu, dengan
perantaraan hati.
Maka sangkutannya yang pertama, ialah
dengan hati.
Dan seolah-olah hati itu, tempatnya yang
halus tersebut, kerajaannya, alamnya dan binatang kendaraannya.
Dan karena itulah, Sahl At-Tusturi
menyerupakan hati dengan ‘Arasy dan dada dengan Kursi. Ia mengatakan: hati itu
ialah ‘Arasy. Dan dada ialah Kursi. Dan tidak ada yang menyangka, bahwa dia itu
berpendapat, bahwa itu ‘Arasy Allah dan KursiNya. Karena demikian itu mustahil.
Tetapi ia bermaksud dengan demikian, bahwa hati itu kerajaanNya dan saluran
pertama untuk mengatur dan memperlakukannya.
Maka keduanya (hati dan dada)
dibandingkan kepada manusia, adalah seperti ‘Arasy dan Kursi dibandingkan
kepada Allah Ta’ala. Dan juga penyerupaan ini tidak lurus, kecuali dari
beberapa segi. Dan juga uraian itu tidak layak dengan tujuan kita sekarang.
Maka dari itu, hendaklah kita lampaui saja.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan