Ketahuilah, bahwa manusia itu tentang
kejadian dan susunan badannya, tersertakan: 4 campuran. Maka dari itu,
berkumpullah pada manusia:
4 sifat. Yaitu: sifat kebuasan, sifat kebinatangan, sifat kesetanan dan
sifat ketuhanan.
Bila manusia itu dikuasai oleh sifat
kemarahan, maka ia melakukan perbuatan-perbuatan binatang buas, yaitu:
permusuhan, kemarahan dan serangan terhadap manusia lain dengan pukulan dan
makian. Sekiranya manusia itu dikuasai oleh nafsu syahwat, maka ia melakukan
perbuatan-perbuatan hewan. Yaitu: kerakusan, kelobaan, kesangatan nafsu syahwat
dll.
Sekiranya manusia itu ada pada dirinya
urusan ketuhanan (amrun-rabbaniyyun), sebagaimana difirmankan oleh Allah
Ta’ala: “Jawablah: Ruh
itu termasuk urusan Tuhanku”. S 17 Al Israa’ ayat 85, maka manusia itu mendakwakan bagi dirinya sifat rububiyah (sifat
ketuhanan). Ia ingin kekuasaan, ketinggian, kekhususan, ketangan-besian dalam
semua urusan, kesendirian menjadi kepala, keterlepasan dari belenggu perbudakan
dan kerendahan. Ia ingin mengetahui semua ilmu. Bahkan mendakwakan dirinya
mempunyai ilmu, ma’rifah dan menguasai hakikat/makna segala urusan. Ia senang
apabila dikatakan berilmu dan susah apabila disebutkan bodoh. Mengetahui semua
hakikat/makna dan menguasai dengan paksaan terhadap semua makhluk itu, termasuk
sifat ketuhanan. Dan pada manusia ada keinginan kepada yang demikian.
Dan dari segi manusia itu mempunyai
sifat khusus, dapat membedakan segala sesuatu, dibandingkan dengan hewan,
disamping manusia dan hewan itu sama-sama mempunyai sifat marah dan nafsu
syahwat, yang menghasilkan sifat kesetanan, maka manusia itu menjadi jahat. Ia
menggunakan sifat dapat membedakan segala sesuatu, untuk memikirkan cara-cara
kejahatan. Dan ia sampai kepada maksud dengan tipuan, helah dan tipu daya. Dan
ia lahirkan kejahatan dalam bentuk tontonan kebajikan.
Inilah budi pekerti setan-setan ! pada
semua manusia terdapat campuran pokok-pokok yang 4 ini. Yakni: rabbaniyah,
(sifat ketuhanan), kesetanan, kebuasan dan kebinatangan. Semuanya terkumpul
dalam hati. Maka seolah-olah yang terkumpul pada kulit manusia itu, ialah:
babi, anjing, setan dan ahli fikir. Babi, yaitu: nafsu syahwat. Sesungguhnya
babi itu tidaklah tercela karena warnanya, bentuknya dan rupanya. Akan tetapi,
karena rakusnya, dahaganya dan lobanya.
Dan anjing itu ialah: marah.
Sesungguhnya, binatang buas yang menerkam dan anjing yang galak, tidaklah dia
itu anjing dan binatang buas, dipandang dari rupa, warna dan bentuk. Akan
tetapi jiwa arti kebuasan itu, penerkaman, permusuhan dan kegalakan. Dan dalam
batin manusia itu, terdapat kebuasan binatang buas dan kemarahannya, kerakusan
babi dan kelobaannya. Maka babi itu, dengan sifat kelobaan, mengajak kepada
kekejian dan kemungkaran. Dan binatang buas itu, dengan sifat kemarahan,
mengajak kepada kezaliman dan menyakitkan orang. Dan setan itu selalu
menggerakkan nafsu syahwat babi dan kemarahan binatang buas. Dan digerakkannya
yang satu dengan yang lain. Dan baguslah bagi babi dan binatang buas itu apa
yang menjadi sifat nalurinya.
Ahli fikir (ahli hikmat) yang menjadi
contoh bagi akal itu, disuruh untuk menolak godaan dan tipuan setan, dengan
membuka tipuannya dengan pandangan hati yang tembus dan cahayanya yang
cemerlang terang. Dan memecahkan kerakusan babi itu, dengan penguasaan anjing
atas babi itu. Karena dengan kemarahan, dapat dipecahkan bergelagaknya nafsu
syahwat. Dan ditolak kegalakan anjing dengan penguasaan babi atas anjing. Dan
dijadikan anjing itu, terpaksa tunduk di bawah kebijaksanaan babi. Kalau
diperbuat yang demikian dan dikuasainya, maka luruslah urusan dan lahirlah
keadilan dalam kerajaan tubuh. Dan berjalanlah semua di atas jalan yang lurus.
Dan jikalau lemah daripada memaksakannya, maka mereka itu yang memaksakannya
dan mempergunakannya. Lalu senantiasalah memikirkan daya upaya dan menghaluskan
pemikiran, untuk mengenyangkan babi dan menyenangkan anjing. Maka selalulah ia
menyembah anjing dan babi.
Inilah keadaan kebanyakan manusia,
manakala kebanyakan cita-cita mereka itu perut,kemaluan dan berlomba-lomba
dengan musuh.
Yang heran, bahwa ia menantang kepada
penyembah-penyembah berhala, akan penyembahan mereka itu kepada batu. Jikalau
terbuka tutup daripadanya, dibukakan keadaannya yang sebenarnya dan diberi
contoh kepadanya akan hakikat/makna keadaannya itu, sebagaimana diberi contoh
kepada orang-orang yang memperoleh mukasyafah (diminta untuk mengetahuinya
saja/terbuka hijab), adakalanya dalam tidur atau pada waktu juga, niscaya ia
melihat akan dirinya, patuh dihadapan babi.
Sekali ia sujud kepada babi itu. Dan
pada kali yang lain, ia ruku’ kepadanya. Menunggu petunjuk dan perintahnya.
Maka manakala babi itu bergerak untuk meminta sesuatu dari keinginannya,
niscaya dengan cepat ia bangun untuk melayani dan mendatangkan keinginan babi
itu. Atau ia melihat akan dirinya patuh dihadapan anjing galak, menyembah
anjing itu.
Patuh dan mendengar apa yang dikehendaki
dan diminta oleh anjing tadi. Memutar pikiran dengan daya upaya untuk sampai
kepada mematuhinya. Dengan demikian, ia berusaha menyenangkan setannya.
Sesungguhnya ia yang menggerakkan babi dan membangunkan anjing. Ia yang
membangunkan anjing dan babi itu untuk melayani setan. Maka dari segi ini, ia
menyembah setan, dengan menyembah anjing dan babi. Maka hendaklah semua hamba
Allah itu memperhatikan geraknya, dan tetapnya, diamnya dan bicaranya, tegaknya
dan duduknya ! dan hendaklah ia memandang dengan mata hati ! maka ia tidak
melihat –kalau ia menginsyafi akan dirinya –selain ia berusaha sepanjang hari,
menyembah yang tersebut itu. Inilah penganiayaan yang paling penghabisan !
karena pemilik dijadikannya, yang dimiliki. Pemimpin dijadikannya yang
dipimpin. Tuan dijadikannya budak. Dan yang berkuasa dijadikannya yang
dikuasai. Karena akallah yang berhak untuk menjadi tuan, yang dapat memaksa dan
yang berkuasa.
Dan telah diperbuatnya akal itu untuk
melayani yang 3 itu (anjing, babi dan setan). Maka tak dapat dibantah, lantaran
mematuhi yang 3 tadi, berkembanglah dalam hatinya, sifat-sifat yang
bertindis-lapis. Sehingga ia menjadi setempel dan karat, yang membinasakan dan
mematikan hati.
Adapun mentaati babi nafsu syahwat, maka
timbullah daripadanya sifat kurang malu, keji, boros, kikir, ria, rusak
kehormatan, suka main-main, senda-gurau, loba, rakus, penjilat, dengki,
busuk-hati, suka memaki dll. Adapun mentaati anjing amarah, maka berkembanglah
daripadanya, kepada hati, sifat-sifat: membuta-tuli, semberono, angkuh, ingin
tinggi sebenang, kemarahan meluap-luap, takabur, membanggakan diri, suka
melecehkan orang, memandang ringan terhadap orang, penghinaan terhadap orang,
kemauan jahat, ingin berbuat kezaliman dll. Adapun mentaati setan, ialah:
dengan mengikuti nafsu syahwat dan kemarahan. Maka menghasilkan sifat mengicuh,
menipu, mencari dalil, tipu muslihat, berani babi, menipu, membuat contoh yang
tidak-tidak, menokoh, merusak, perkataan kotor dsb. Jikalau keadaan itu dibalik
dan semuanya dipaksakan di bawah kebijaksanaan sifat ketuhanan (sifat
rabbaniyah), niscaya tetaplah dalam hatinya sifat-sifat ketuhanan. Yaitu: ilmu,
hikmah, yakin, meliputi pengetahuannya tentang hakikat/makna segala sesuatu,
mengetahui segala urusan menurut yang sebenarnya, menguasai atas tiap sesuatu,
dengan kekuatan ilmu, nur mata hati dan berhak tampil diatas makhluk, karena
kesempurnaan dan keagungan ilmu.
Dan ia terlepas daripada perbudakan hawa
nafsu dan kemarahan. Dan berkembanglah sifat-sifat mulia, lantaran
terkungkungnya babi hawa nafsu dan kembalinya ke batas normal. Sifat-sifat
mulia itu, seperti: sifat menjaga diri, merasa cukup dengan yang ada, tenang,
zuhud, wara’, taqwa, lapang dada, bagus sikap, malu, ramah, bertolong-tolongan
dsb. Dan dengan mengekang kekuatan amarah, memaksakannya dan mengembalikannya
ke batas yang seharusnya, maka menghasilkan sifat: berani, dermawan, suka
menolong, mengekang nafsu, sabar, penyantun, memikul kewajiabn, pemaaf, tetap
pendirian, hati mulia, cerdik, berjiwa besar, dll.
Maka hati adalah seperti cermin yang
telah diliputi oleh hal-hal yang membekas tadi. Bekas-bekas itu secara
bersambung akan sampai kepada hati. Adapun bekas-bekas yang terpuji yang sudah
kami sebutkan dahulu, maka akan menambah cemerlangnya cermin hati, bersinar,
cemerlang, nur dan terang. Sehingga cemerlanglah jelasnya kebenaran. Dan
terbukalah hakikat/makna urusan yang dicari dalam agama. Kepada contoh hati
inilah, diisyaratkan dengan sabda Nabi saw: “Apabilah dikehendaki oleh Allah
kebajikan pada seorang hamba, niscaya dijadikanNya orang itu memperoleh
pelajaran dari hatinya”. Dan dengan sabda Nabi saw: “Barangsiapa mempunyai juru
nasehat dari hatinya, niscaya ada penjaga daripada Allah kepadanya”. Hati ini
ialah yang menetap ingatannya kepada Allah.
Allah Ta’ala berfirman: “Ketahuilah, bahwa dengan
mengingati Allah, hati menjadi tentram”. S 13 Ar Ra’d ayat 28.
Adapun bekas-bekas yang tercela, adalah
seperti: asap yang menggelapkan, yang naik kepada kaca hati. Dan senantiasa
bertambah tebal, dari sekali ke sekali. Sehingga hati itu hitam dan gelap. Dan
secara keseluruhan, hati itu menjadi terdinding (terhijab) daripada Allah
Ta’ala. Yaitu: tabiat. Dan itu karatan.
Allah Ta’ala berfirman: “Jangan berpikir begitu ! bahkan
apa yang telah mereka kerjakan itu, menjadi karat pada hati mereka”. S 83 Al
Muthaffifiin ayat 14.
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: “Apakah belum jelas bagi
orang-orang yang mempusakai suatu negeri sesudah (lenyap) penduduknya, bahwa
kalau Kami menghendaki tentu Kami azab mereka karena dosa-dosanya; dan Kami
kunci mati hati mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar (pelajaran
lagi)?”. S 7 Al A’raaf ayat 100.
Tidak mendengarnya itu diikatkan dengan
mencapnya dengan segala dosa, adalah sebagaimana mendengar diikatkan dengan
taqwa.
Allah Ta’ala berfirman: “Bertaqwalah kepada Allah dan
dengarkanlah perintahNya”. S 5 Al Maaidah ayat 108.
Firman Allah Ta’ala: “Bertaqwalah kepada Allah dan
Allah mengejar kamu”. S 2 Al Baqarah ayat 282.
Manakala dosa itu telah bertindis-lapis,
niscaya tercapkanlah diatas hati. Dan pada ketika itu, butalah hati daripada
mengetahui kebenaran dan kebaikan agama.
Dan ia mempermudahkan urusan akhirat.
Dan membesarkan urusan dunia. Dan jadilah cita-citanya terbatas kepada dunia.
Maka apabila pendengarannya diketok dengan urusan akhirat dan bahaya-bahaya
yang ada di akhirat, niscaya masuk dari satu telinga dan keluar dari telinga
yang satu lagi. Tidak menetap didalam hati dan tidak menggerakkannya kepada taubat
dan memperoleh yang telah hilang. Merekalah orang-orang yang telah putus asa
dari akhirat, sebagaimana putus asanya orang-orang kafir yang di dalam kubur.
Inilah artinya kehitaman hati disebabkan dosa, sebagaimana dituturkan oleh
Alquran dan Sunnah.
Maimun bin Mahran berkata: “Apabila
seorang hamba Allah berdosa dengan sesuatu dosa, maka menitiklah pada hatinya
suatu titik hitam. Maka apabila ia mencabut dirinya dari dosa itu dan
bertaubat, maka hati itu berkilat kembali. Dan kalau ia kembali lagi, niscaya
ditambahkan pada titik hitam itu, sehingga hatinya tinggi. Maka itulah karat
namanya.
Nabi saw bersabda: “Hati orang mu’min itu bersih,
padanya pelita yang bercahaya gemilang. Dan hati orang kafir itu hitam
terbalik”.
Maka mentaati Allah swt dengan menyalahi
hawa nafsu itu melicinkan hati. Dan berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala itu
menghitamkan hati. Orang yang menghadapkan dirinya kepada perbuatan maksiat,
niscaya hitamlah hatinya. Dan orang yang berbuat kebajikan sesudah kejahatan
dan menghapuskan bekas kejahatan itu, niscaya hatinya tidak gelap. Akan tetapi
cahayanya berkurang, seperti kaca, yang bernafas padanya. Kemudian disapunya
dan bernafas lagi, kemudian disapunya. Maka kaca itu tidak terlepas dari
kekeruhan.
Nabi saw bersabda:
“Hati itu tempat macam: hati yang bersih, padanya pelita yang bersinar
gemilang. Maka itulah hati orang mu’min. Hati hitam terbalik, maka itulah hati
orang kafir. Hati terbungkus yang terikat bungkusannya. Itulah hati orang
munafiq. Dan hati yang melintang, padanya keimanan dan kemunafikan”.
Maka keimanan di dalam hati itu, adalah
seperti sayur-sayuran, yang dipanjangkan oleh air yang baik. Dan kemunafikan di
dalam hati, adalah seperti luka yang dipanjangkan oleh darah dan nanah. Maka
yang manakah diantara dua hal tadi yang banyak pada hati, maka begitulah
jadinya hati itu”. Dan pada suatu riwayat: berjalanlah hal itu dengan hati.
Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang
bertaqwa, apabila mereka ditipu oleh setan yang datang berkunjung, mereka ingat
kembali dan ketika itu mereka menjadi orang-orang yang mempunyai pemandangan”.
S 7 Al A’raaf ayat 201.
Diterangkan, bahwa terangnya hati dan
dapat memandang adalah berhasil dengan zikir (menyebut dan mengingati Allah).
Dan ingatan itu tidak mungkin selain dari orang-orang yang taqwa. Maka taqwa
itu pintu zikir. Dan zikir itu pintu kasyaf (terbuka hijab). Dan kasyaf
(terbuka hijab) itu pintu kemenangan besar. Yaitu: kemenangan bertemu
dengan Allah Ta’ala.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan