Ketahuilah, bahwa sejumlah apa yang
telah kami sebutkan itu, telah dianugerahkan oleh Allah kepada semua hewan,
selain dari anak Adam. Karena, hewanpun mempunyai nafsu syahwat, kemarahan,
pancaindra yang zahir dan yang batin. Sehingga seekor kambing yang melihat
serigala dengan matanya, maka ia tahu dengan hatinya akan permusuhannya dengan
serigala itu. Lalu larilah ia daripadanya. Maka yang demikian itu, adalah
pengetahuan batin (al-idrakul-bathin). Maka marilah kami sebutkan yang khusus
hati manusia dengan itu.
Dan karenanya, besarlah kehormatan
manusia dan berhak untuk dekat dengan Allah Ta’ala. Yaitu: kembali kepada ilmu
dan kemauan (Iradah). Ilmu, ialah: mengetahui segala urusan dunia dan akhirat
serta segala hakikat/makna yang berhubungan dengan akal (haqaiq-‘aqliyah). Ini
semuanya adalah urusan diluar yang dirasakan dengan pancaindra. Dan hewan tidak
bersekutu dengan manusia padanya. Bahkan segala pengetahuan yang meliputi
keseluruhan, yang dlaruri (pengetauhan mudah tanpa memerlukan
pemikiran/mudah) , adalah hal-hal yang khusus bagi akal. Karena manusia
menetapkan, bahwa tidak tergambar pada pikiran, orang seorang berada pada dua
tempat pada satu keadaan. Dan ketetapan ini berlaku kepada semua orang. Sebagai
dimaklumi, bahwa tidak dapat diketahui dengan pancaindra, selain oleh sebahagian
orang.
Maka menetapkannya kepada semua orang,
adalah melebihi dari apa yang dapat diketahui oleh pancaindra. Apabila ini
telah dipahami pada ilmu zahir dlaruri (pengetauhan mudah tanpa memerlukan
pemikiran/mudah) , maka lebih terang lagi pada ilmu nadhari (yang
merupakan teori-teori, memerlukan kepada dalil). Tentang kemauan, sesungguhnya
apabila dapat diketahui dengan akal, akan akibatnya sesuatu dan jalan
memperbaikinya, niscaya tergeraklah daripadanya keinginan untuk memperbaiki,
mencari sebab-sebabnya dan berkemauan untuk yang demikian.
Dan yang demikian itu, selain dari
kemauan nafsu syahwat dan kemauan hewan. Bahkan adalah berlawanan dengan nafsu
syahwat. Karena nafsu syahwat (keinginan) itu lari dari berbetik dan berbekam,
sedang akal menghendaki, meminta dan menyerahkan harta untuk yang demikian.
Nafsu syahwat itu condong kepada makanan-makanan enak pada waktu sakit.
Dan orang yang berakal memperoleh pada
dirinya menolaknya. Dan yang demikian itu bukanlah penolakan nafsu syahwat.
Jikalau dijadikan oleh Allah, akal yang mengetahui akibat segala hal dan tidak
dijadikanNya pembangkit ini, yang menggerakkan semua anggota, menurut ketetapan
akal, niscaya dengan sebenarnya ketetapan (hukum) akal itu lenyap (hilang).
Jadi, hati insan itu terkhusus dengan ilmu dan kemauan, yang terlepas hewan
yang lain daripadanya. Bahkan juga anak kecil, terlepas daripadanya pada
permulaan lahirnya. Dan baru datang yang demikian itu, sesudah dewasa (baligh).
Adapun nafsu syahwat, kemarahan dan pancaindra zahiriah dan batiniah, maka
sesungguhnya itu terdapat pada anak kecil.
Kemudian pada memperoleh ilmu pengetahuan ini, anak kecil itu mempunyai
dua tingkat:
Tingkat pertama: bahwa hatinya anak kecil itu
melengkapi kepada ilmu dlaruri (pengetauhan mudah tanpa memerlukan
pemikiran/mudah) pertama yang lain. Seperti: ilmu tentang
mustahilnya segala hal yang mustahil dan jawaznya segala yang jawaz (dari awal
waktu sampai tersisa kadar waktu) yang zahiriah.
Maka adalah ilmu nadhariah
(peraturan agama) itu tidak berhasil pada tingkat ini, kecuali bahwa ia
telah menjadi kemungkinan, yang dekat kemungkinannya dan dekat keberhasilannya.
Adalah keadaan anak kecil itu, dengan dihubungkan kepada ilmu pengetahuan,
seperti halnya seorang penulis, yang tidak mengenal dari hal penulisan, selain
tinta, pena dan huruf-huruf tunggal yang tidak bersusun. Ia sudah mendekati
kepada penulisan. Dan belum lagi sampai ke sana.
Tingkat kedua: bahwa berhasil bagi anak kecil
itu ilmu pengetahuan yang diusahakan dengan pengalaman dan pemikiran. Maka ilmu
pengetahuan itu adalah seperti simpanan padanya. Kalau ia mau, niscaya ia
kembali kepadanya. Dan halnya itu sama dengan halnya orang yang pandai menulis.
Karena dikatakan kepadanya: penulis, walaupun ia tidak langsung menulis,
disebabkan kemampuannya kepada penulisan itu. Inilah tujuan penghabisan derajat
insaniyah. Akan tetapi pada derajat ini terdapat tingkat-tingkat yang tak
terhingga jumlahnya, yang berlebih-kurang manusia padanya, disebabkan banyak
dan sedikitnya pengetahuan memperolehnya. Karena sebahagian hati berhasil ilmu
pengetahuan itu, dengan ilham ketuhanan, diatas jalan mendatangkannya
(mubadaah) dan membukakannya (diminta untuk mengetahuinya saja).
Dan sebahagian mereka, memperolehnya
dengan jalan belajar dan usaha. Kadang-kadang segera berhasil dan kadang-kadang
lambat berhasil. Pada maqam (kedudukan) ini, berbeda-bedalah tingkat para
ulama, hukama (para ahli hikmat atau filosuf), nabi-nabi dan wali-wali. Maka
tingkat meningginya tidak terhingga padanya. Karena ilmu Allah swt tidak
berkesudahan. Dan tingkat yang tertinggi, ialah tingkat nabi, yang terbuka
baginya tiap-tiap hakikat/makna atau yang terbanyak dari hakikat/makna itu,
tanpa usaha dan pemberatan diri.
Akan tetapi dengan pembukaan ketuhanan
dalam waktu yang sangat segera. Dengan kebahagiaan ini, seorang hamba Allah
mendekati Allah, dengan arti, hakikat/makna dan sifat. Tidak dengan tempat dan
jarak jauhnya. Tempat pendakian tingkat-tingkat ini, ialah tempat-tempat orang
yang berjalan kepada Allah Ta’ala. Dan tak ada hingganya tempat-tempat itu.
Sesungguhnya masing-masing orang yang berjalan itu, tahu akan tempatnya yang
menyampaikannya dalam perjalanannya. Maka ia mengetahui tempat itu dan
mengetahui tempat-tempat di belakangnya. Adapun yang dihadapannya, maka
tidaklah sampai hakikat/makna pengetahuannya. Akan tetapi kadang-kadang ia
membenarkan yang dihadapan itu, karena beriman kepada yang ghaib, sebagaimana
kita beriman kepada kenabian dan nabi.
Dan membenarkan adanya. Akan tetapi
tiada yang mengetahui hakikat/makna kenabian, selain nabi sendiri. Sebagaimana
anak dalam kandungan (janin) tiada mengetahui keadaan anak kecil. Dan anak
kecil tiada mengetahui keadaan anak yang akan dewasa (al-mumayyiz) dan
pengetahuan dlaruri (pengetauhan mudah tanpa memerlukan pemikiran/mudah)
yang terbuka baginya. Anak yang akan dewasa tiada mengetahui keadaan
orang yang berakal dan pengetahuan nadhari (ilmu yang memerlukan pemikiran)
yang diusahakannya.
Maka seperti itu pulalah orang yang
berakal (‘aqli) tiada mengetahui segala macam kelebihan lemah-lembut dan
rahmatnya Allah, yang dibuka oleh Allah kepada wali-wali dan nabi-nabiNya.
Barang apapun rahmat yang dibuka oleh Allah kepada manusia, maka tiada yang
menahannya. Rahmat itu diberikan, disebabkan kemurahan dan kemuliaan Allah swt,
tiada kikir kepada seorangpun. Tetapi sesungguhnya jelas yang demikian dalam
hati yang mencari pemberian rahmat Allah Ta’ala, sebagaimana disabdakan oleh
Nabi saw: “Sesungguhnya pada hari-hari masamu, Tuhanmu mempunyai
pemberian-pemberian. Mengapa kamu tidak datang mengambilnya ?”. Datang
mengambil pemberian itu, ialah dengan membersihkan dan mensucikan hati
dari kekejian dan kekotoran yang diperoleh daripada budi pekerti tercela, sebagaimana
akan datang penjelasannya.
Kepada kemurahan inilah disyaratkan
dengan sabda Nabi saw:
“Tiap-tiap malam (rahmat) Allah turun ke langit dunia.
Lalu Allah Ta’ala berfirman:
“Adakah orang yang berdoa, supaya Aku perkenankan doanya ?”.
Dan dengan sabda Nabi saw sebagai hikayah daripada Allah ‘Azza Wa Jalla:
“Telah lamalah rindunya orang-orang baik untuk bertemu dengan Aku. Dan Aku
lebih rindu lagi untuk menemui mereka”.
Dan dengan sabda Nabi saw: “Barangsiapa mendekati Aku
sejengkal, niscaya Aku mendekatinya sehasta”.
Semua itu isyarat, bahwa cahaya ilmu
tidak terdinding (terhijab) dari hati, karena kikir dan larangan dari pihak
Yang Memberi nikmat. Maha Suci Ia dari sifat kikir dan melarang. Akan tetapi
cahaya ilmu itu terdinding karena kekejian, kekotoran dan kesibukan dari pihak
hati itu sendiri. Sesungguhnya hati itu seperti bejana (tempat air). Selama
masih penuh dengan air, maka tidak dimasuki udara. Maka hati yang disibukkan
oleh selain Allah, niscaya tidak dimasuki oleh ma’rifah (mengenal) keagungan
Allah Ta’ala.
Kepada inilah diisyaratkan dengan sabda
Nabi saw: “Jikalau tidaklah
setan-setan itu mengelilingi hati anak Adam (manusia), niscaya mereka dapat
memandang ke alam malakut yang tinggi”.
Dari keseluruhan ini, teranglah bahwa
kekhususan manusia itu: ilmu dan hikmah. Dan yang termulia, dari segala macam
ilmu itu, ialah: ilmu mengenai Allah, sifat-sifatNya dan Af’alNya
(perbuatanNya). Maka dengan itulah kesempurnaan manusia. Dan pada kesempurnaan
nya itu kebahagiaan dan kepatutannya di sisi Tuhan Yang Maha Agung dan
Mahasempurna. Maka tubuh manusia itu tersusun untuk jiwa dan jiwa itu tempat
ilmu. Dan ilmu itu maksud manusia dan kekhususannya, yang karena ilmulah,
manusia itu dijadikan.
Sebagaimana kuda bersekutu dengan
keledai tentang kuatnya membawa beban dan khusus bagi kuda dengan kuatnya lari
mengejar musuh dan berlarian serta bagusnya bentuk, maka adalah kuda itu
dijadikan karena kekhususan tersebut. Kalau hal khusus itu kosong, niscaya
turunlah kuda itu ke lembah tingkatan keledai. Begitupulalah manusia ! ia
bersekutu dengan keledai dan kuda pada beberapa hal. Dan ia berbeda dari
keduanya dalam beberapa hal, yang menjadi kekhususannya. Kekhususan itu
setengah dari sifat-sifat malaikat yang dekat di sisi Tuhan Semesta alam. Dan
manusia dalam kedudukannya, adalah diantara hewan dan malaikat. Sesungguhnya
manusia itu dari segi ia makan dan berketurunan, adalah tumbuh-tumbuhan. Dan
dari segi ia merasa dan bergerak dengan kemauan sendiri (ikhtiar), adalah
hewan. Dan dari segi bentuk dan tegaknya, maka adalah seperti bentuk yang
diukir pada dinding tembok.
Dan kekhususannya, ialah: mengetahui
hakikat/makna segala sesuatu. Maka barangsiapa menggunakan semua anggota tubuh
dan kekuatannya dengan cara meminta tolong untuk ilmu dan amal, maka ia telah
serupa dengan malaikat. Maka berhaklah ia dihubungkan dengan para malaikat. Dan
layaklah dinamakan: malaikat dan rabbani (orang yang dekat dengan Tuhan),
sebagaimana diterangkan oleh Allah tentang sifat-sifat Yusuf as dengan
firmanNya: “Ini bukan manusia, tetapi ini malaikat yang mulia”. S 12 Yusuf ayat 31.
Barangsiapa berbuat dengan kemauannya
untuk menuruti kesenangan badaniah, ia makan seperti hewan makan, maka ia telah
turun ke lembah yang sejajar dengan hewan. Ia menjadi bebal seperti: sapi atau
rakus seperti: babi, atau menjilat seperti: anjing atau kucing, atau pendengki
seperti: unta, atau takabur seperti: harimau atau penipu seperti: pelanduk atau
mengumpulkan sifat-sifat tadi semuanya, seperti: setan durhaka.
Tiap-tiap anggota tubuh dan pancaindra
manusia, dapat dan mungkin diminta tolong untuk menempuh jalan yang akan menyampaikan
kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana akan datang penjelasan sebahagian daripadanya
pada “Kitab Syukur”. Barangsiapa menggunakan anggota tubuh dan pancaindranya
pada jalan sampai kepada Allah, maka ia memperoleh kemenangan. Dan barangsiapa
berpaling daripadanya, maka merugi dan kecewa. Keseluruhan kebahagiaan pada
yang demikian, ialah bahwa menjadikan bertemu dengan Allah Ta’ala itu
tujuannya. Negeri akhirat itu tempat ketetapannya. Dunia itu tempat tinggalnya.
Tubuhnya itu kendaraannya.
Dan anggota badannya itu
pelayan-pelayannya. Maka tetaplah ia, yakni: yang mengetahui dari manusia itu,
dalam hati yang berada di tengah-tengah kerajaannya, seperti: raja. Berlakulah
kekuatan khayalan (imajinasi) yang tersimpan pada depan otak, sebagai pengurus
posnya. Karena semua berita yang diketahui dengan pancaindra, terkumpul
padanya.
Berlakulah kekuatan penjaga yang
tempatnya diujung otak, sebagai penjaga gudangnya. Berlakulah lidah sebagai
juru bahasanya. Berlakulah anggota badan yang bergerak, sebagai juru tulis-juru
tulisnya. Dan berlakulah pancaindra yang 5 sebagai mata-matanya. Maka ia
mewakilkan kepada masing-masing pancaindra itu, menyampaikan berita-berita yang
terjadi dari semua penjuru. Ia mewakilkan kepada mata, mengenai dunia warna.
Kepada pendengaran, mengenai dunia suara. Kepada penciuman, mengenai dunia
bau-bauan. Dan begitulah pula yang lain-lain. Semuanya mempunyai berita yang
dipetiknya dari dunia-dunia itu. Dan disampaikannya kepada kekuatan khayalan,
yang seolah-olah ia seperti: pengurus pos. Dan pengurus pos itu menyerahkannya
kepada: penjaga gudang. Dialah yang menjaga. Oleh pengurus gudang itu,
disampaikannya kepada raja. Lalu raja itu mengambil apa yang diperlukannya pada
mengatur kerajaannya dan menyempurnakan perjalanannya yang menjadi tujuannya.
Dan mencegah musuhnya yang membahayakan dan menolak perompak-perompak di
jalanan.
Apabila manusia itu telah berbuat
demikian, niscaya ia memperoleh taufiq, berbahagia dan bersyukur kepada nikmat
Allah.
Apabila ia kosong dari keseluruhannya
ini atau dipergunakannya, akan tetapi untuk memelihara musuhnya,
yaitu: nafsu syahwat, kemarahan dan hal-hal lain yang segera keuntungannya atau
pada pembangunan jalannya, tidak pembangunan tempat tinggalnya, karena dunia
itu jalan yang dilaluinya, sedang tanah air dan tempat ketetapannya, ialah
akhirat, niscaya orang tersebut memperoleh kehinaan, celaka, mengingkari nikmat
Allah, menyia-nyiakan tentara Allah ta’ala, menolong musuh-musuh Allah dan
menghina barisan Allah. Maka berhaklah ia dikutuk dan dijauhkan dari rahmat
Allah di dunia dan di akhirat. Kita berlindung dengan Allah dari yang demikian.
Dengan contoh yang kami kemukakan tadi,
diisyaratkan oleh Ka’bul Ahbar, dimana ia berkata: “Aku datang kepada ‘Aisyah
lalu aku berkata: “Manusia, dua matanya itu pemberi petunjuk. Kedua telinganya
itu corong. Lidahnya itu juru bahasa. Kedua tangannya itu sayap. Kedua kakinya
itu pos. Dan hatinya itu raja. Apabila raja itu baik, niscaya baiklah
tentara-tentaranya”.
Lalu ‘Aisyah menyahut: “Begitulah aku
mendengar Rasulullah saw bersabda”.
Ali ra berkata tentang memberi contoh
hati: “Sesungguhnya Allah Ta’ala mempunyai tempat-tempat air (bejana) di
bumiNya. Yaitu: hati. Maka hati yang paling dikasihi oleh Allah Ta’ala, ialah:
yang paling halus, yang paling bersih dan yang paling keras. Kemudian Ali ra
menafsirkannya dengan mengatakan: “Paling kerasnya hati itu mengenai agama,
paling bersihnya mengenai keyakinan. Dan paling halusnya kepada
saudara-saudara. Itulah yang diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “…….bersikap teguh dan kuat
terhadap orang-orang yang tidak beriman, bersifat kasih-sayang antara sesama
mereka”. S 48 Al Fath ayat 29.
Firman Allah Ta’ala: “Perumpamaan cahaya Tuhan itu
sebagai sebuah lobang, yang di dalamnya pelita”. S 24 An Nur ayat 35.
Ubai bin Ka’ab ra berkata: “Artinya
seperti cahaya orang mu’min dan hatinya”.
Dan firman Allah Ta’ala: “Atau (keadaan mereka) sebagai
kegelapan di laut yang dalam”. S 24 An Nur ayat 40.
Itu adalah seperti hati orang munafiq.
Zaid bin Aslam berkata tentang firman Allah Ta’ala: “Dalam batu tulis yang terpelihara
baik”. S 85 Al Buruuj ayat 22.
Yaitu: hati orang mu’min. Sahl berkata:
“Hati dan dada itu adalah seperti: ‘Arasy dan Kursi. Itulah contoh-contoh hati
itu !
Tiada ulasan:
Catat Ulasan