Ketahuilah, bahwa barangsiapa tersingkap
(inkisyaf) sesuatu baginya, walaupun hal yang sedikit, dengan jalan ilham dan
jatuh ke dalam hati, dimana ia tidak mengetahuinya, maka ia telah menjadi orang
‘arif (orang yang berma’rifah) dengan sahnya jalan. Dan orang yang tiada
mengetahui dirinya sekali-kali, maka seyogyalah ia beriman dengan yang
demikian. Sesungguhnya derajat ma’rifah padanya itu mulia sekali. Untuk yang
demikian, dibuktikan oleh saksi-saksi syara’ (agama), percobaan-percobaan dan
cerita-cerita.
Adapun saksi-saksi syara’ (agama), yaitu
firman Allah Ta’ala:
“Dan orang-orang yang berjuang dalam (urusan) Kami, niscaya akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan Kami”. S Al Ankabuut ayat 69.
Maka tiap-tiap hikmah yang lahir dari
hati, dengan kerajinan beribadah, tanpa belajar itu, adalah dengan jalan kasyaf
(terbuka hijab) dan ilham.
Nabi saw bersabda:
“Barangsiapa mengamalkan apa yang diketahuinya, niscaya dipusakakan oleh
Allah kepadanya, ilmu yang belum diketahuinya. Dan dianugerahi taufiq oleh
Allah kepadanya pada yang diamalkannya. Sehingga ia harus memperoleh sorga. Dan
barangsiapa tiada mengamalkan apa yang diketahuinya, niscaya ia binasa mengenai
yang diketahuinya. Dan ia tiada memperoleh taufiq pada yang diamalkannya.
Sehingga ia harus memperoleh neraka”.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan siapa yang taqwa (memenuhi kewajiban) kepada Allah, Dia mengadakan
untuk orang itu jalan keluar (dari kesulitan dan sangka waham). Dan memberikan
rezeki kepadanya dari (sumber) yang tiada pernah dipikirkannya”. S 65 Ath
Thalaaq ayat 2-3.
Allah mengajarkannya ilmu, tanpa belajar
dan menganugerahinya kecerdikan, tanpa percobaan. Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman ! jika kamu takut kepada Allah, niscaya Ia
akan memberikan kepada kamu pembedaan (antara yang benar dan yang salah)”. S 8
Al Anfaal ayat 29.
Ada yang mengatakan, ialah: nur yang
membedakan antara yang benar dan yang batil/salah dan yang mengeluarkannya dari
hal-hal yang diragukan.
Karena itulah, Nabi saw membanyakkan
dalam doanya meminta: nur. Doanya, yaitu:
“Wahai Allah Tuhanku ! anugerahilah aku nur, tambahilah aku nur,
jadikanlah dalam hatiku nur, dalam kuburku nur, pada pendengaranku nur –sampai
Nabi saw mengatakan: pada rambutku, pada kulitku, pada dagingku, darahku dan
tulang-belulangku”.
Orang bertanya kepada Nabi saw tentang firman Allah Ta’ala: “Apakah
orang yang dibukakan oleh Allah hatinya menerima Islam, karena itu dia mendapat
cahaya dari Tuhannya ?”. S 39 Az Zumar ayat 22.
“Apakah pembukaan itu ?”.
Nabi saw menjawab: “Yaitu: perluasan. Sesungguhnya nur itu, apabila
telah dicurahkan ke dalam hati, niscaya meluaslah dada dan terbuka”. Nabi saw
bersabda untuk Ibnu Abbas: “Wahai Allah Tuhanku ! anugerahilah dia pemahaman
dalam agama dan ajarilah dia penafsiran”. Ali ra berkata: “Tak ada pada kami
sesuatu yang dirahasiakan oleh Nabi saw kepada kami, selain daripada
didatangkan oleh Allah Ta’ala kepada hambaNya pemahaman tentang kitabNya. Dan
yang demikian itu tiada dengan belajar”.
Ada orang yang mengatakan mengenai
penafsiran firman Allah Ta’ala:
“Allah memberikan kebijaksanaan (hikmah) kepada siapa yang
dikehendakiNya”. S 2 Al Baqarah ayat 269.
Bahwa: yang dimaksud, ialah pemahaman
Kitab Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Kami memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukuman (yang
lebih tepat) itu”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 79.
Allah Ta’ala mengkhususkan yang tersingkap
itu, dengan nama: pengertian (pemahaman). Abu Darda’ berkata: “Orang mu’min
ialah orang yang memandang dengan nur Allah, dibalik tutupan yang halus.
Demi Allah, bahwa itu sesungguhnya
kebenaran, yang dicurahkan oleh Allah dalam hati mereka dan dilakukannya diatas
lidah mereka”. Sebahagian orang-orang terdahulu (golongan salaf) berkata:
“Sangkaan orang mu’min itu pemberitaan yang gaib”.
Nabi saw bersabda: “Takutilah akan firasat orang
mu’min. Maka sesungguhnya ia melihat dengan nur Allah Ta’ala”.
Kepada itulah diisyaratkan oleh firman
Allah Ta’ala: “Sesungguhnya tentang hal-hal itu menjadi keterangan bagi orang yang
memperhatikan tanda-tanda”. S 15 Al Hijr ayat 75.
Firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya Kami telah menjelaskan keterangan-keterangan kepada kaum
yang yakin”. S 2 Al Baqarah ayat 118.
Al-Hasan meriwayatkan dari Rasulullah
saw bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Ilmu itu dua macam. Ilmu batin ialah dalam hati. Itulah ilmu yang
bermanfaat”. Ditanyakan kepada sebahagian ulama, tentang ilmu batin:
“Apakah ilmu batin itu ?”. Lalu ia menjawab: “Yaitu: salah satu dari
rahasia (sirr) Allah Ta’ala, yang dicurahkanNya dalam hati kekasih-kekasihNya,
yang tidak diperlihatkanNya kepada malaikat dan kepada manusia”.
Nabi saw bersabda:
“Sesungguhnya sebahagian dari umatku itu orang-orang yang disampaikan
berita (muhaddats), guru dan ahli-ahli ilmu kalam. Dan sesungguhnya Umar itu
sebahagian dari mereka”.
Ibnu Abbas ra membaca ayat: “Dan
tiadalah Kami mengutuskan dari sebelum engkau, seorang rasul, Nabi dan
muhaddats. Yakni: orang-orang shiddiqin. Muhaddats itu, ialah: yang diilhami.
Dan yang diilhami itu, ialah: orang yang tersingkap (memperoleh kasyaf (terbuka
hijab) ) dalam batin hatinya dari pihak dalam. Tidak dari pihak yang dapat
dirasakan dengan pancaindra yang diluar. Alquran menegaskan, bahwa taqwa itu
kunci hidayah dan kasyaf (terbuka hijab) . Dan itu adalah ilmu, tanpa belajar.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan apa yang diciptakan oleh Allah di langit dan di bumi, adalah
menjadi bukti kebenaran bagi kaum yang memelihara dirinya (dari kejahatan)”. S
10 Yunus ayat 6.
Allah mengkhususkan bukti itu kepada
mereka tadi. Allah Ta’ala berfirman:
“Quran inilah keterangan yang jelas untuk manusia, pimpinan kepada
kebenaran dan pengajaran untuk orang-orang yang memelihara dirinya (dari
kejahatan)”. S 3 Ali ‘Imran ayat 138.
Abu Yazid dan lainnya mengatakan:
“Bukanlah orang yang berilmu (orang alim) itu, orang yang menghafal dari
kitab. Apabila ia lupa yang dihafalkannya, niscaya ia menjadi orang bodoh.
Sesungguhnya orang yang berilmu, ialah
orang yang mengambil ilmunya dari Tuhannya, pada sembarang waktu yang
dikehendakinya, tanpa hafalan dan pelajaran”. Inilah ilmu rabbany (ilmu yang
langsung diterima dari Tuhan).
Dan kepada inilah diisyaratkan dengan
firman Allah Ta’ala:
“Dan telah Kami ajarkan pengetahuan daripada kami kepadanya”. S 18 Al Kahfi ayat 65, sedang semua ilmu itu adalah daripadaNya.
Akan tetapi sebahagian dari ilmu itu
adalah dengan perantaraan pengajaran makhlukNya. Maka ilmu yang demikian, tidak
dinamai: Ilmu Ladunni. Tetapi ilmu ladunni, ialah yang terbuka dalam rahasia
hati, tanpa sebab yang biasa dari luar. Inilah saksi-saksi naqli, (yang diambil
dari Allah). Jikalau semua yang datang dari ayat, hadits dan atsar dikumpulkan,
niscaya tidak terhingga adanya.
Adapun penyaksian yang demikian itu
dengan pengalaman, maka yang demikian itu, juga tidak terhingga. Yang demikian
itu telah tampak pada para sahabat, para tabi’in dan orang-orang sesudahnya.
Abubakar Ash-Shiddiq ra berkata kepada
‘Aisyah ketika akan meninggal dunia:
“Bahwa keduanya itu dua saudara laki-laki engkau dan dua saudara perempuan
engkau”.
Dan isteri Abubakar ra ketika itu sedang
mengandung. Kemudian isterinya itu melahirkan anak perempuan. Jadi Abubakar ra
telah mengetahui sebelum lahir, bahwa anaknya itu perempuan.
Saidina Umar ra ketika sedang membaca
khutbah, lalu mengatakan:
“Hai Sariah ! bukit-bukit !!”.
Karena tersingkap kepadanya (dalam
kasyaf (terbuka hijab) ), bahwa musuh mendekati Sariah. Lalu ia
memperingatkannya, karena ia mengetahui yang demikian. Kemudian sampainya
suaranya itu kepada Sariah, termasuk dalam jumlah kiramat yang besar.
Dari Anas bin Malik ra, yang berkata:
“Aku masuk ke tempat Usman ra. Dan di jalan tadi aku bertemu dengan
seorang wanita. Lalu aku memandang kepadanya dengan ujung mata dan aku
memperhatikan kecantikannya”. Lalu Usman ra berkata, tatkala masuk itu: “Masuk
ke tempatku, salah seorang kamu dan bekas zina kelihatan pada kedua matanya.
Tidakkah engkau ketahui, bahwa zina dua mata itu, ialah: memandang ? taubatlah
dengan segera atau aku hukum engkau !”. Lalu aku bertanya: “Adakah wahyu
sesudah nabi ?”. Usman menjawab: “Tidak ! tetapi, mata hati, dalil
dan firasat yang benar !”.
Dari Abi Sa’id Al-Kharraz, yang berkata:
“Aku masuk Masjidil-haram, lalu aku melihat
seorang miskin dengan dua potong pakaian pada badannya. Lalu aku berkata kepada
diriku: “Orang ini dan orang-orang yang seperti ini, adalah orang-orang yang
bergantung hidup pada orang lain”. Lalu orang itu memanggil aku, seraya
berkata: “Allah mengetahui apa yang pada diri kamu. Waspadalah !”. Maka aku
bermohon ampun kepada Allah dalam hatiku. Lalu orang itu memanggil aku, seraya
berkata: “Allah yang menerima taubat daripada hambaNya”. Kemudian orang itu
menghilang daripada aku dan aku tidak melihatnya lagi”.
Zakaria bin Daud berkata:
“Abul-Abbas bin Masruq masuk ke tempat
Abil-Fadli Al-Hasyimi. Dan dia itu sedang sakit. Dan mempunyai keluarga.
Dan tiada diketahui sumber kehidupan
Abil-Fadli Al-Hasyimi itu”. Abul-Abbas menerangkan: “Tatkala aku bangun
berdiri, lalu aku berkata pada diriku: “Dari manakah orang ini makan ?”. Lalu
Abil-Fadli berteriak kepadaku: “Hai Abul-Abbas ! tolaklah angan-angan yang keji
itu ! sesungguhnya Allah Ta’ala mempunyai sifat lemah-lembut yang tersembunyi”.
Ahmad An-Naqib berkata: “Aku masuk ke tempat Asy-Syibli. Lalu ia berkata:
“Difitnah orang, hai Ahmad!”. Maka aku bertanya: “Apa kabar ?”. Ia menjawab:
“Sewaktu aku sedang duduk, lalu tergurislah di hatiku, bahwa engkau kikir”.
Lalu aku menjawab: “Aku tidak kikir. Lalu kembali terguris dalam hatiku. Dan
Asy-Syibli berkata: “Tetapi engkau kikir”. Maka aku menjawab: “Apa saja yang
terbuka kepadaku hari ini disebabkan sesuatu, niscaya aku serahkan kepada orang
miskin yang pertama aku jumpai”. Lalu ia berkata: “Belum habis lagi yang
terguris itu, lalu datanglah kepadaku Shahibul-Mu’nis, seorang pelayan, dengan
membawa uang 50 dinar. Lalu Shahibul-Mu’nis berkata: “Pakailah uang ini pada
kepentinganmu !”.
Ahmad An-Naqib meneruskan ceritanya:
“Aku bangun, lalu aku ambil uang itu dan aku keluar. Tiba-tiba bertemu dengan
seorang miskin buta, dihadapan tukang cukur, yang sedang mencukur rambutnya.
Lalu aku datang kepadanya dan menyerahkan dinar itu kepadanya. Lalu orang itu
berkata: “Serahkanlah uang itu kepada tukang cukur !”. Lalu aku menerangkan,
bahwa jumlahnya sekian”. Orang buta itu berkata: “Bukankah kami telah
mengatakan kepada engkau, bahwa engkau itu kikir ?”. Ahmad An-Naqib meneruskan
ceritanya: “Lalu aku serahkan uang itu kepada tukang cukur”.
Tukang cukur itu lalu berkata: “Kami
telah berjanji, tatkala orang miskin ini duduk dihadapan kami, bahwa kami tidak
akan mengambil ongkos”. Ahmad An-Naqib berkata seterusnya: “Lalu aku lemparkan
uang itu ke dalam sungai Tigris, seraya aku berkata: “Tiada dimuliakan engkau
oleh seseorang, melainkan orang itu dihinakan oleh Allah Ta’ala !”.
Hamzah bin Abdullah Al-‘Alwi berkata:
“Aku masuk ke tempat Abil-Khair At-Tainani dan aku bertekad pada diriku, bahwa
aku akan memberi salam kepadanya.
Dan tidak akan memakan makanan di
rumahnya. Maka tatkala aku keluar dari rumahnya, tiba-tiba ia mengikuti aku,
dengan membawa sebuah baki, yang didalamnya ada makanan, seraya berkata: “Hai
orang muda ! makanlah ! telah keluarlah saat dari tekadmu”. Abul-Khair
At-Tainani ini terkenal benar dengan kiramatnya. Ibrahim Ar-Ruqy berkata: “Aku
menuju ke tempat Abul-Khair At-Tainani, untuk memberi salam kepadanya. Maka
masuklah waktu shalat Magrib. Maka hampir selesai ia membaca Surat Al-Fatihah,
lalu aku berkata dalam hatiku: “Telah hilang kainku yang tertinggal di luar”.
Sesudah memberi salam, lalu aku keluar
ke tempat bersuci. Lalu menuju kepadaku seekor binatang buas. Maka aku kembali
kepada Abul-Khair, seraya menerangkan, bahwa seekor binatang buas menuju
kepadaku”. Abul-Khair lalu keluar dan berteriak, seraya berkata: “Bukankah
sudah aku mengatakan kepadamu: “Jangan engkau ganggu tamu-tamuku ?”. Lalu singa
itu menyingkir dan aku bersuci. Sewaktu aku telah kembali, lalu Abdul-Khair
berkata kepadaku: “Kamu sibuk membetulkan yang zahiriah, lalu engkau takut
kepada singa. Dan kami sibuk membetulkan yang batiniah, lalu singa tu takut
kepada kami”. Apa yang diceritakan, mengenai firasat para syaikh dan perkabaran
mereka tentang itikad/keyakinan dan isi hati manusia, adalah tidak dapat
dihinggakan jumlahnya. Bahkan apa yang diceritakan daripada mereka, tentang
melihat Nabi Khidir as dan bertanya kepadanya, adalah mendengar suara dengan
tiada kelihatan yang empunya suara itu. Dari bermacam-macam bentuk kiramat
adalah diluar hinggaan.
Dan cerita tentang kiramat ini, tiada
bermanfaat bagi orang yang mengingkarinya, sebelum ia menyaksikan sendiri yang
demikian. Dan orang yang mengingkari pokok, niscaya mengingkari penguraiannya.
Dalil tegas yang tidak sanggup seorangpun membantahnya, adalah dua
perkara:
Pertama: keajaiban mimpi yang benar. Maka sesungguhnya tersingkaplah yang gaib
dengan mimpi tersebut. Apabila boleh yang demikian dalam tidur, maka tidak
mustahil pula waktu jaga. Tidur itu tidak berbeda dengan jaga, selain dari
tenangnya pancaindra, tidak bekerja dengan hal-hal yang dipancaindrai. Berapa
banyak orang yang jaga, tenggelam dalam lautan khayal, tidak mendengar dan
melihat, karena sibuknya dengan diri sendiri.
Kedua: perkabaran dari Rasulullah saw
tentang hal gaib dan hal-hal yang terjadi pada masa yang akan datang,
sebagaimana yang terkandung dalam Alquran. Dan apabila boleh yang demikian pada
Nabi saw maka boleh pula pada selain Nabi saw. Karena Nabi adalah ibarat orang
yang tersingkap kasyaf (terbuka hijab) baginya hakekat-hakekat segala hal. Dan
ia bekerja untuk memperbaiki makhluk. Maka tidak mustahil dalam wujud (alam)
ini, ada orang yang tersingkap baginya hakekat-hakekat itu dan ia tidak bekerja
untuk memperbaiki makhluk.
Orang ini tidak dinamai nabi, tetapi
dinamai: wali. Maka orang yang beriman kepada nabi-nabi dan membenarkan mimpi
yang benar, niscaya –tidak mustahil- ia harus mengakui, bahwa hati itu
mempunyai dua pintu. Sebuah pintu keluar, yaitu: pancaindra dan sebuah pintu
lagi ke alam malakut dari dalam hati. Yaitu: ilham, inspirasi dan wahyu. Maka
apabila ia mengakui keduanya itu, niscaya ia tidak mungkin menghinggakan ilmu
pengetahuan pada belajar dan secara langsung sebab-sebab yang dibiasakan. Akan
tetapi haruslah mujahadah (bersungguh-sungguh) menjadi jalan kepadanya. Maka
inilah apa yang memberitahukan tentang hakekat yang kami sebutkan dahulu, mengenai
keajaiban pulang-perginya hati, diantara alamusy-syahadah (zhahir/tubuh dalam
alam penyaksian) dan alamul-malakut ( alam yg tdk bisa dipersaksikan dengan
mata).
Adapun sebab terbukanya sesuatu hal
dalam tidur, dengan contoh yang memerlukan kepada ta’bir (ta’bir mimpi) dan
begitupula para malaikat merupakan diri bagi nabi-nabi dan wali-wali dengan
bentuk yang bermacam-macam, maka itu juga termasuk diantara rahasia keajaiban
hati. Dan ini tidak layak selain dengan ilmu-diminta untuk mengetahuinya saja.
Maka kami ringkas saja menurut yang telah kami sebutkan itu.
Sesungguhnya itu mencukupilah untuk
menggerakkan mujahadah (bersungguh‑sungguh) dan mencari kasyaf (terbuka hijab)
daripadanya.
Setengah ulama kasyaf (terbuka hijab)
berkata: “Tampak kepadaku malaikat, lalu meminta kepadaku, supaya aku
imla’kan (ditekan) kepadanya, sesuatu dari ingatanku yang tersembunyi, dari
musyahadahku (penyaksian) tentang keesaan. Dan malaikat itu berkata: “Kami
tidak menuliskan bagimu sesuatu amalan (pekerjaan yang kamu kerjakan). Dan kami
ingin menaikkan bagimu amalan, dimana dengan amalan itu kami mendekatkan diri
kepada Allah Ta’ala”. Lalu aku bertanya: “Tidakkah kamu berdua menuliskan yang
fardlu-fardlu ?”. Kedua malaikat itu menjawab: “Ya !”. Maka aku menyambung: “Mencukupilah
yang demikian itu bagi kedua engkau”. Ini memberi isyarat, bahwa
malaikat-malaikat yang menuliskan amalan manusia (malaikat
kiramil-katibin), tidak mengetahui rahasia hati. Hanya mengetahui
amalan zahiriah saja.
Setengah ahl ma’rifat berkata: “Aku
bertanya kepada sebahagian wali mengenai persoalan musyahadatul-yaqin (yang
disaksikan dengan yakin), lalu ia menoleh ke kiri, seraya bertanya: “Apakah
yang akan kamu katakan, diberi rahmat kiranya engkau oleh Allah ?”. Kemudian ia
menoleh ke kanan, seraya bertanya: “Apakah yang akan kamu katakan, diberi
rahmat kiranya engkau oleh Allah ?”. Kemudian ia menekur ke dadanya, seraya
bertanya: “Apakah yang akan kamu katakan, diberi rahmat engkau oleh Allah
Ta’ala ?”. Kemudian, ia menjawab dengan jawaban yang sangat ganjil yang pernah
aku dengar. Lalu aku tanyakan tentang tolehannya itu. Maka itu menjawab: “Tak
ada padaku jawaban yang tersedia mengenai pertanyaan itu. Maka aku bertanya
kepada yang empunya kiri. Ia menjawab: “Aku tidak tahu”. Lalu aku bertanya kepada
yang empunya kanan. Dia itu lebih tahu dari yang empunya kiri. Ia menjawab:
“Aku tidak tahu”. Lalu aku melihat kepada hatiku dan aku bertanya kepadanya.
Maka ia mengatakan kepadaku, apa yang aku jawabkan tadi kepadamu. Jadi, hatilah
yang lebih tahu dari dua yang tersebut itu.
Dan seakan-akan ini adalah pengertian
sabda Nabi saw: “Sesungguhnya pada umatku ada orang-orang muhaddats (yang
diilhami). Dan Umar ra adalah salah seorang dari mereka”.
Pada atsar (ucapan Nabi saw atau
sahabat), tersebut, bahwa Allah Ta’ala berfirman, yang maksudnya: “Barangmana hambaKu yang Aku melihat kepada
hatinya, lalu kelihatan kepadaKu yang banyak padanya berpegang dengan zikirKu,
niscaya Aku pimpin kebijaksanaannya, Aku adalah yang duduk, yang bercakap-cakap
dan yang berjinak-jinakan dengan dia”.
Abu Sulaiman Ad-Darani ra berkata:
“Adalah hati itu laksana kubah yang diperbuat. Dikelilingnya pintu-pintu yang
terkunci. Maka pintu manapun yang dibuka baginya, niscaya ia beramal padanya:
“Maka tampaklah terbukanya salah satu dari pintu hati ke pihak alamul-malakut
(alam yang tidak bisa dipersaksikan dengan mata) dan al-malail-a’la (malaikat
yg tertinggi). Dan pintu itu terbuka dengan mujahadah (bersungguh‑sungguh),
wara’ (menjaga diri) dan meninggalkan nafsu syahwat duniawi”.
Karena itulah, Umar ra menulis surat
kepada panglima-panglima tentara: “Jagalah apa yang kamu dengar dari
orang-orang yang taat. Sesungguhnya menampak bagi mereka hal-hal yang benar !”.
Sebahagian ulama berkata: “Tangan
(kekuasaan) Allah diatas mulut para ahli-hikmat (hukama). Mereka tiada
menuturkan sesuatu, selain dengan kebenaran yang disediakan oleh Allah untuk
mereka”.
Hukama yang lain berkata: “Jikalau aku
mau, niscaya aku mengatakan, bahwa Allah Ta’ala memperlihatkan kepada
orang-orang khusyu’ sebahagian rahasiaNya”.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan