Salah satu sifat negatif yang
ada pada diri manusia adalah marah.
Secara alamiah, orang yang berpuasa terlatih untuk mengendalikan sifat marahnya. Bahkan secara khusus Rasulullah mengajarkan kepada orang yang sedang berpuasa, bila ada yang mengajaknya bertengkar, maka sebaiknya ia menolak secara halus. Pertengkaran yang dimaksud ini boleh berupa adu mulut, lebih-lebih lagi adu kekuatan.
Suatu hari Rasulullah kedatangan tamu orang Badui. Ia bertanya kepada Rasulullah tentang Islam. Rasulullah menjawabnya dengan sangat singkat, "jangan marah." Tampaknya Rasulullah tahu bahwa salah satu sifat menonjol pada orang Badui tersebut adalah mudah marah. Ia sangat mudah naik darah. Darahnya mendidih jika menghadapi suatu persoalan.
Orang yang marah cenderung mengabaikan sesuatu yang besar. Orang yang sedang marah merasa semua persoalan itu kecil. Bagi dirinya apa yang menyebabkan kemarahannya itulah persoalan besar.
Itulah sebabnya, jangan hairan bila mendapati orang yang marah mengambil suatu keputusan dengan sangat mudah. Suami isteri yang sedang dilanda kemarahan bisa dengan mudah dan ringan saling memutuskan untuk bercerai. Padahal demi jalinan cinta kasih mereka selama ini telah mengorbankan segala-galanya. Akan tetapi kemarahan menyebabkan pengorbanan itu tidak ada artinya apa-apa lagi. Semua menjadi kecil. Yang besar adalah kemarahan itu sendiri.
Seorang ayah dengan sangat mudah membanting peralatan rumah tangga, karena jengkel terhadap ulah salah satu anggota keluarganya. Padahal untuk mengumpulkan benda-benda tadi ia butuhkan waktu yang snagat panjang. Mungkin bertahun-tahun. Tapi semua itu bisa lenyap seketika hanya karena kobaran api kemarahan.
Orang yang sedang marah, sering ringan tangan dan mulutnya. Tangannya mudah sekali digerakkan untuk menyakiti orang lain. Demikian juga mulutnya. Mereka tak segan-segan mengeluarkan kata-kata kasar, yang menyinggung bahkan menyakitkan hati ramai orang.
Menempeleng, memukul, menendang, bahkan sampai membunuh menjadi suatu hal yang sangat ringan pada saat kepala dikuasai nafsu amarah. Pandangan dan pertimbangan mereka menjadi sangat pendek. Yang ada dalam fikirannya keinginan balas dendam. Padahal dalam keadaan biasa, boleh jadi untuk melakukan hal serupa itu diperlukan waktu berbulan-bulan untuk menimbang dan berfikir.
Pertengkaran besar atau kecil biasanya didahului dengan adu mulut. Kemarahan seseorang boleh dilihat dari seberapa jauh tingkat kekasaran dan kekerasan ucapannya. Semakin marah, semakin kasar, jika sudah tidak tertahankan, maka adu mulut itu berkembang menjadi adu kekuatan, perkelahian. Dari perkelahian kecil boleh berkembang menjadi pembunuhan.
Melihat bahaya yang boleh ditimbulkan oleh sifat marah ini, maka Islam memberikan arahan kepada ummatnya untuk menahan diri.
Cara menahan diri daripada marah
Caranya adalah dengan diam. Jangan banyak bercakap, sebab bercakap itulah yang biasanya memanaskan suasana. Demikianlah Rasulullah berpesan sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad.
Tutup mulut rapat-rapat sampai emosi boleh dikendalikan, suasana kembali tenang dan situasi tidak tegang. Dalam suasana seperti ini baru boleh berbicara, baik dalam rangka memberi penjelasan ataupun melakukan pembelaan.
Yang dianjurkan untuk diam serbenarnya tidak hanya mulut, tapi juga anggota tubuh yang lain. Jika seseorang marah sedang ia dalam posisi berjalan, hendaknya ia menghentikan langkahnya. Jika ia sedang berdiri, hendaknya duduk. Jika dalam keadaan duduk masih juga memendam kemarahan yang tak boleh ditahan, maka dianjurkan untuk berbaring.
Akan lebih baik lagi apabila orang yang sedang marah itu mengambil air wudhu'. Insya Allah dengan cara seperti ini kemarahan yang sudah memuncak itu boleh didinginkan lagi. Air, kata Rasulullah boleh mendinginkan perasaan. Untuk itu bila sedang marah, cepat-cepatlah ke bilik mandi. Ambil air wudhu', bahkan jika mungkin mandi sekaligus.
Sepertinya penyelesaian ini sederhana, tapi pelaksanaannya tidak semudah yang kita bayangkan. Seorang yang sedang marah, cenderung mendekati musuhnya. Untuk menghentikan langkah merupakan suatu perjuangan yang tidak mudah.
Malah mereka cenderung untuk berdiri, bila sebelumnya ia duduk manis. Lihatlah di sekitar kita, termasuk di persidangan ataupun di forum-forum diskusi. Pengacara yang asalnya duduk baik-baik, jika sudah marah, tiba-tiba berdiri, menyampaikan hujahnya dengan berapi-api. Jika hanya pengacara yang marah itu masih belum seberapa, tapi jika hakimnya juga tak mau kalah, maka sungguh sangat berbahaya. Untuk itu hakim yang sedang marah tidak boleh memutuskan perkara.
Sebenarnya tidak hanya hakim saja yang tidak boleh memutuskan perkara dalam keadaan emosi, tapi semua orang dalam keadaan apapun tidak boleh mengambil keputusan pada saat seperti itu. Apakah saat itu seseorang sedang dalam jawatan sebagai guru, polisi, pentadbir, atau bahkan sebagai suami, isteri, maupun anak. Dalam keadaan bagaimanapun jika sedang marah, jangan mengambil keputusan. Boleh jadi keputusan itu aka sangat tidak tepat. Tidak banyak pertimbangan. Sangat dangkal, dan merugikan pihak-pihak lain, bahkan dirinya sendiri.
Sebagai manusia biasa, Rasulullah juga pernah marah. Tapi beliau mampu mengendalikannya. Kemarahannya tidak sampai membahayakan orang lain, baik melalui kata-kata maupun tindakannya. Tak satupun keputusan, baik berupa tindakan maupun ucapan yang dilakukan Rasulullah pada saat seperti ini. Beliau memilih diam. Bahkan jika marah, beliau justru mengganti kemarahannya dengan amalan atau imbalan hadiah kepada orang yang menyebabkan kemarahannya.
Imbalan kemarahan malah diberi hadiah? Barangkali hal ini tidak terbayangkan oleh kita, bagaimana mungkin orang yang kita marahi malah diberi hadiah. Tapi Rasulullah telah melakukannya sebagai bukti kedewasaannya. Hanya orang-orang yang sudah matang yang boleh melakukannya.
Secara alamiah, orang yang berpuasa terlatih untuk mengendalikan sifat marahnya. Bahkan secara khusus Rasulullah mengajarkan kepada orang yang sedang berpuasa, bila ada yang mengajaknya bertengkar, maka sebaiknya ia menolak secara halus. Pertengkaran yang dimaksud ini boleh berupa adu mulut, lebih-lebih lagi adu kekuatan.
Suatu hari Rasulullah kedatangan tamu orang Badui. Ia bertanya kepada Rasulullah tentang Islam. Rasulullah menjawabnya dengan sangat singkat, "jangan marah." Tampaknya Rasulullah tahu bahwa salah satu sifat menonjol pada orang Badui tersebut adalah mudah marah. Ia sangat mudah naik darah. Darahnya mendidih jika menghadapi suatu persoalan.
Orang yang marah cenderung mengabaikan sesuatu yang besar. Orang yang sedang marah merasa semua persoalan itu kecil. Bagi dirinya apa yang menyebabkan kemarahannya itulah persoalan besar.
Itulah sebabnya, jangan hairan bila mendapati orang yang marah mengambil suatu keputusan dengan sangat mudah. Suami isteri yang sedang dilanda kemarahan bisa dengan mudah dan ringan saling memutuskan untuk bercerai. Padahal demi jalinan cinta kasih mereka selama ini telah mengorbankan segala-galanya. Akan tetapi kemarahan menyebabkan pengorbanan itu tidak ada artinya apa-apa lagi. Semua menjadi kecil. Yang besar adalah kemarahan itu sendiri.
Seorang ayah dengan sangat mudah membanting peralatan rumah tangga, karena jengkel terhadap ulah salah satu anggota keluarganya. Padahal untuk mengumpulkan benda-benda tadi ia butuhkan waktu yang snagat panjang. Mungkin bertahun-tahun. Tapi semua itu bisa lenyap seketika hanya karena kobaran api kemarahan.
Orang yang sedang marah, sering ringan tangan dan mulutnya. Tangannya mudah sekali digerakkan untuk menyakiti orang lain. Demikian juga mulutnya. Mereka tak segan-segan mengeluarkan kata-kata kasar, yang menyinggung bahkan menyakitkan hati ramai orang.
Menempeleng, memukul, menendang, bahkan sampai membunuh menjadi suatu hal yang sangat ringan pada saat kepala dikuasai nafsu amarah. Pandangan dan pertimbangan mereka menjadi sangat pendek. Yang ada dalam fikirannya keinginan balas dendam. Padahal dalam keadaan biasa, boleh jadi untuk melakukan hal serupa itu diperlukan waktu berbulan-bulan untuk menimbang dan berfikir.
Pertengkaran besar atau kecil biasanya didahului dengan adu mulut. Kemarahan seseorang boleh dilihat dari seberapa jauh tingkat kekasaran dan kekerasan ucapannya. Semakin marah, semakin kasar, jika sudah tidak tertahankan, maka adu mulut itu berkembang menjadi adu kekuatan, perkelahian. Dari perkelahian kecil boleh berkembang menjadi pembunuhan.
Melihat bahaya yang boleh ditimbulkan oleh sifat marah ini, maka Islam memberikan arahan kepada ummatnya untuk menahan diri.
Cara menahan diri daripada marah
Caranya adalah dengan diam. Jangan banyak bercakap, sebab bercakap itulah yang biasanya memanaskan suasana. Demikianlah Rasulullah berpesan sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad.
Tutup mulut rapat-rapat sampai emosi boleh dikendalikan, suasana kembali tenang dan situasi tidak tegang. Dalam suasana seperti ini baru boleh berbicara, baik dalam rangka memberi penjelasan ataupun melakukan pembelaan.
Yang dianjurkan untuk diam serbenarnya tidak hanya mulut, tapi juga anggota tubuh yang lain. Jika seseorang marah sedang ia dalam posisi berjalan, hendaknya ia menghentikan langkahnya. Jika ia sedang berdiri, hendaknya duduk. Jika dalam keadaan duduk masih juga memendam kemarahan yang tak boleh ditahan, maka dianjurkan untuk berbaring.
Akan lebih baik lagi apabila orang yang sedang marah itu mengambil air wudhu'. Insya Allah dengan cara seperti ini kemarahan yang sudah memuncak itu boleh didinginkan lagi. Air, kata Rasulullah boleh mendinginkan perasaan. Untuk itu bila sedang marah, cepat-cepatlah ke bilik mandi. Ambil air wudhu', bahkan jika mungkin mandi sekaligus.
Sepertinya penyelesaian ini sederhana, tapi pelaksanaannya tidak semudah yang kita bayangkan. Seorang yang sedang marah, cenderung mendekati musuhnya. Untuk menghentikan langkah merupakan suatu perjuangan yang tidak mudah.
Malah mereka cenderung untuk berdiri, bila sebelumnya ia duduk manis. Lihatlah di sekitar kita, termasuk di persidangan ataupun di forum-forum diskusi. Pengacara yang asalnya duduk baik-baik, jika sudah marah, tiba-tiba berdiri, menyampaikan hujahnya dengan berapi-api. Jika hanya pengacara yang marah itu masih belum seberapa, tapi jika hakimnya juga tak mau kalah, maka sungguh sangat berbahaya. Untuk itu hakim yang sedang marah tidak boleh memutuskan perkara.
Sebenarnya tidak hanya hakim saja yang tidak boleh memutuskan perkara dalam keadaan emosi, tapi semua orang dalam keadaan apapun tidak boleh mengambil keputusan pada saat seperti itu. Apakah saat itu seseorang sedang dalam jawatan sebagai guru, polisi, pentadbir, atau bahkan sebagai suami, isteri, maupun anak. Dalam keadaan bagaimanapun jika sedang marah, jangan mengambil keputusan. Boleh jadi keputusan itu aka sangat tidak tepat. Tidak banyak pertimbangan. Sangat dangkal, dan merugikan pihak-pihak lain, bahkan dirinya sendiri.
Sebagai manusia biasa, Rasulullah juga pernah marah. Tapi beliau mampu mengendalikannya. Kemarahannya tidak sampai membahayakan orang lain, baik melalui kata-kata maupun tindakannya. Tak satupun keputusan, baik berupa tindakan maupun ucapan yang dilakukan Rasulullah pada saat seperti ini. Beliau memilih diam. Bahkan jika marah, beliau justru mengganti kemarahannya dengan amalan atau imbalan hadiah kepada orang yang menyebabkan kemarahannya.
Imbalan kemarahan malah diberi hadiah? Barangkali hal ini tidak terbayangkan oleh kita, bagaimana mungkin orang yang kita marahi malah diberi hadiah. Tapi Rasulullah telah melakukannya sebagai bukti kedewasaannya. Hanya orang-orang yang sudah matang yang boleh melakukannya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan