Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf
Karya Ibn Abi Ishaq
Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI
Saya mendengar bahwa Abul-Hasan Muhammad ibn Ahmad
al-Farisi berkata : “ Unsur-unsur Tasawuf itu ada sepuluh jumlahnya. Yang
pertama adalam pemecilan pengesaan; yang kedua adalah pengertian audisi
(sama’); yang ketiga adalah persahabatan yang baik; yang keempat adalah kelebih
sukaan kepada yang lebih disukai; yang ke lima adalah pemasrahan pilihan
pribadi; yang keenam adalah pergerakan ekstase; yang ketujuh adalah
pengungkapan pikiran; yang kedelapan adalah perjalanan yang banyak; yang kesembilan adalah pemasrahan rizki; yang
kesepuluh adalah penolakan untuk menimbun (harta).
Pemecilan pengesaan berarti bahwa pemikiran mengenai
penyembahan kepada banyak tuhan atau ketidakpercayaan akan adanya Tuhan tidak
akan dapat merusak kesucian akan kepercayaan kepada Tuhan Yang Esa. Audisi
mengandung arti bahwa orang harus mendengarkan dalam tuntunan pengalaman gaib,
bukan hanya melalui proses belajar. Kelebihsukaan kepada yang lebih disukai
berarti bahwa orang itu harus lebih menyukai orang lain lebih menyukai,
sehingga dia akan mendapatkan kebaikan dari kelebihsukaan itu.
Pergerakan
ekstase terwujud kalau kesadaran tidak hampa dari sesuatu yang menimbulkan
ekstase dan tidak dipenuhi pemikiran-pemikiran yang mencegah orang mendengarkan
anjuran-anjuran Tuhan. Pengungkapan pikiran berarti bahwa orang itu harus
menguji setiap pemikiran yang masuk ke dalam kesadarannya, dan mengikuti apa
yang berasal dari Tuhan, tapi meninggalkan apa yang tidak berasal dari Tuhan.
Perjalanan yang banyak, ditujukan untuk melihat peringatan-peringatan yang
dapat dicari di langit dan di bumi; sebab Tuhan berfirman : “Tidakkah mereka
menjelajahi bumi ini untuk menyelidiki bagaimana nasib bangsa-bangsa yang
sebelum mereka? Dan lagi. “Katakanlah: “Mengembaralah di muka bumi ini, lalu
perhatikan bagaimana Allah memulia penciptaan segala-galanya.” Dan kata-kata :
“Mengembaralah di muka bumi ini”,
dijelaskan sebagai mengandung arti, dengan tuntunan ma’rifat, bukannya
dengan kegelapan kejahilan, demi memotong ikatan (kebenaran) dan melatih jiwa.
Pemasrahan rizki diartikan sebagai tuntutan agar jiwa bertawakal kepada Tuhan.
Penolakan untuk menimbun hanya diartikan sehubungan dengan kondisi pengalaman
gaib, dan bukan sehubungan dengan peraturan-peraturan ilmu kalam. Karena itu,
ketika salah seorang dari mereka yang duduk dalam mahkamah itu wafat dengan
meninggalkan satu dinar, nabi berkata mengenai orang itu : “Sebuah cap
pembakaran (di neraka).
Tiada ulasan:
Catat Ulasan