Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf
Karya Ibn Abi Ishaq
Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI
Abu Muhammad al-Jurairi berkata : “Kefakiran berarti
bahwa orang tidak boleh mencari yang tidak maujud, sampai rang itu gagal
menemukan hal yang maujud.”
Maksudnya adalah, bahwa orang tidak boleh mencari mata
pencaharian, kecuali jika orang itu khawatir tidak mampu melaksanakan tugas
keagamaan, karenanya Ibn al-Jalla berkata : “Kefakiran adalah, bahwa tidak ada
sesuatu, itu tidak boleh menjadi milikmu.” Perkataan itu mengandung arti sama
dengan firman Tuhan : “Sedang mereka lebih mengutamakan kepentingan orang lain,
ketimbang kepentingan mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan (pua).
Abu Muhammad
Ruwai, ibn Muhammad, berkata : “Kefakiran itu berati ketidak maujudan semua
maujud, dan pemasrahan semua benda yang tidak ada lagi.”
Al-Kattani berkata : “Kalau seseorang benar-benar
membutuhkan Tuhan, berati dia benar-benar kaya karena dia bersama Tuhan; tak
satu pun dari dua keadaan itu sempurna oleh ketiadaan salah satunya.”
Al-Nuri berkta : “Fakir adalah orang yang harus bungkam
ketika dia tidak memiliki sesuatu, dan bermurah hati serta tidak hanya
memikirkan dirinya sendiri kalua dia memiliki sesuatu.”
Salah seorang dari tokoh-tokoh besar Sufi berkata : “
Orang yang fakir dilarang berleha-leha, dan juga dilarang meminta. Maka Nabi
berkata : “ “Jika dia telah memohon kepada Tuhan, maka Tuha pasti telah
memenuhinya.” Hal ini menandakan bahwa dia tidak akan memohon sebegitu rupa”
Al-Darraj berkata : “Aku mengamati lengan baju tuanku,
mencari-cari kotak celak, dan di dlamnya kutemukan sepotong perak. Aku
terperanjat dan waktu beliau datang aku mendekatinya dan berkata : “Lihat, saya
menemukan sepotong (perak) di lengan baju tuan!’ Beliau menyahut : “Aku telah
melihatnya. Kembalikanlah.” Lalu beliau berkata : “Ambillah, dan belilah
sesuatu dengannya.” Aku bertanya : “ Apakah gunanya potongan ini, dalam
padangan hukum-Nya yang tuan puja? Beliau menjawab : “Tuhan tidak memberikan
kepdaku yang kuning dan yang putih di dunia ini, kecuali ini; dan aku bermaksud
untuk membuat pernyataan bahwa benda itu harus dibungkus dalam alas tilamku,
sehingga aku dapat mengembalikannya kepada Tuhan.”
Saya mendengar Abul-Qasim al baghdadi menuturkan anekdor
berikut ini, yang didengarnya dari Al-Dauri : “Pada malam perayaan, kami ada
bersama Abul-Husain al Nuri, di Masjid Syunizi. Seorang laki-laki mendatangi
kami da berkata kepada al-Nuri, “Tuan, besok akan ada perayaan. Apa yang akan
tuan kenakan?
Al
Nuri mulai menyitir puisi ini :
“Esok akan ada perayaan!, seru mereka,
“Pakaian apa yang tuan kenakan?’ Dan ku menyahut :
“Pakaian pemberian-Nya, yang telah menuangkan
penuh-penuh unemelaratan..
Dan kesabran adalah bajuku, dan mereka menutup
Sebuah hati yang pada setiap pesta menampak Pecintanya..
Adakah pakaian yang lebih indah untuk menjelang Sang Karib..
Atau mengunjungi Dia, kecuali yang telah dipinjamkan
oleh-Nya?
Kala engkau, Pengahrapanku, tiada dekat..
Setiap saat adalah kedukaan dan ketakuran;
Tapi sementara aku bida memandang dan mendengar engkau..
Seluruh hartaku, dan hidup itulah perayaan!!!”
Salah seorang tokoh Sufi ditanya : “Apa yang telah mencegah orang kaya itu dari
menyerahkan kelebihan harta mereka kepaa kelompok ini?” Dia menjawab : “Tiga
hal. Yang pertama adalah, bahwa yang mereka miliki itu tidak baik; nah,
orang-orang Sufi itu adalah pilihan Tuhan; dan apa yng telah dipilih untuk hamba-hamba Tuhan adalah yang diterima (oleh
Tuhan), sedang Tuhan hanya menerima yang baik saja. Yang ke dua adalah bahwa
orang-orang Sufi itu pantas menerima
(karunia Tuhan), dan karenanengapa engkau tidak meminta kepada orang-orang agar mereka memberimu makanan? Dia menyahut :
“Aku takut meminta kepada mereka, kalau-kalau mereka menolak diriku dan menjadi
binasa karenanya. Aku telah mendengar nabi berkata : “Jika permintaan itu tulus, yang menolak
dirinya akan binasa.”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan