Karangan
Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani
1.6 Apakah Seorang Wali Dapat
Mengetahui Kewalian Dirinya
Ustad Abu
Bakar bin Faurak mengatakan bahwa seorang wali tidak mungkin mengetahui bahwa
dirinya adalah seorang wali. Sementara Ustad Abu 'Ali al-Daqaq dan Abu Qasim
al-Qusyairi (muridnya) mengatakan bahwa hal itu mungkin. Alasan kedua pendapat
yang berseberangan ini cukup banyak.
Alasan
pertama: Kalau
seseorang mengetahui bahwa dirinya adalah wali, maka ia akan merasa aman,
sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Ingatlah, sesungguhnya wali-wali
Allah itu tidak merasa takut dan tidak bersedih hati (QS Yunus [10]: 62).
Akan
tetapi meraih keyakinan rasa aman itu tidak diperbolehkan, karena beberapa
alasan:
1) Allah
berfirman, Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang
merugi (QS Al-A'raf [7]: 99).
Putus asa juga tidak diperbolehkan, sebagaimana
dinyatakan dalam firman-Nya, Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah,
kecuali kaum yang kafir (QS Yusuf [12]: 87).
Tidak ada orang yang berputus asa
dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat (QS Al-Hijr [15]: 56).
Artinya, rasa aman hanya akan dirasakan oleh orang yang keyakinannya lemah,
keputusasaan hanya akan dirasakan oleh orang yang keyakinannya sedikit.
Keyakinan yang lemah dan sedikit kepada hak-hak Allah adalah perbuatan kufur,
maka orang yang merasa aman dari siksa Allah dan putus asa dari rahmat Allah
adalah orang yang kafir.
2) Ketaatan sebesar apa pun tetap lebih besar rasa terpaksa, jika rasa terpaksa ini mendominasi jiwa seseorang, maka tidak akan diperoleh rasa aman.
3) Rasa aman akan menyebabkan hilangnya penghambaan kepada Allah. Hilangnya sikap pengabdian dan penghambaan kepada Allah akan menimbulkan rasa permusuhan, sedangkan rasa aman menyebabkan hilangnya rasa takut.
4) Allah menyifati orang-orang yang ikhlas dengan firman-Nya, Dan mereka berdoa kepada Kami dengan rasa berharap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami (QS Al-Anbiya' [21]: 90). Sebagian orang menafsirkan bahwa berdoa dengan rasa berharap di sini adalah berdoa memohon pahala kepada Allah, sementara berdoa dengan rasa takut adalah takut terhadap siksa Allah. Pendapat lain mengatakan bahwa ayat di atas bermakna berdoa dengan mengharap karunia Allah dan berdoa dengan rasa takut terhadap siksa-Nya. Ada juga yang berpendapat bahwa ayat di atas menganjurkan berdoa dengan mengharap dapat berjumpa dengan Allah, dan berdoa dengan rasa takut berpisah dari Allah. Adapun pendapat yang paling tepat adalah berdoa dengan mengharap kepada Allah dan rasa takut terhadap-Nya.
Alasan kedua: Seorang wali tidak mengetahui
bahwa dirinya wali, sebab ia menjadi wali karena Allah mencintainya, bukan
karena ia mencintai Allah, demikian juga sebaliknya seseorang menjadi musuh
Allah karena Allah memusuhinya bukan karena ia memusuhi Allah. Mencintai dan
memusuhi Allah adalah dua rahasia yang tidak tampak pada diri seseorang.
Ketaatan dan kemaksiatan hamba tidak mempengaruhi seseorang untuk mencintai
atau memusuhi Allah, karena ketaatan adalah sesuatu yang baru muncul kemudian,
sedangkan sifat Allah itu kekal dan tidak terbatas. Sesuatu yang baru dan
terbatas tidak dapat mengalahkan yang kekal dan tak terbatas. Berdasarkan hal
ini, terkadang seorang hamba bermaksiat kepada Allah saat ini, padahal
sebelumnya ia mencintai-Nya, terkadang juga seorang hamba taat kepada-Nya saat
ini padahal dulunya ia bermaksiat terhadap-Nya. Pada prinsipnya, mencintai dan
memusuhi Allah adalah sifat, sedangkan sifat Allah tidak bisa dijelaskan
alasannya. Barangsiapa mencintai Allah tanpa alasan, maka ia tidak akan menjadi
musuh-Nya karena melakukan maksiat. Barangsiapa memusuhi Allah tanpa alasan,
maka ia tidak akan menjadi pencinta Allah karena melakukan ketaatan. Karena
mencintai dan memusuhi Allah merupakan dua rahasia yang tidak bisa dilihat,
maka Nabi Isa a.s. berkata. Engkau mengetahui apa yang ada dalam diriku,
sementara aku tidak mengetahui apa yang ada dalam diri-Mu. Sesungguhnya Engkau
Maha Mengetahui hal-hal yang gaib. (QS Al-Maidah [5]: 116)
Alasan
ketiga: Seorang
wali tidak mungkin mengetahui bahwa dirinya wali karena hukum yang menentukan
bahwa seseorang termasuk wali, orang yang berpahala, dan penghuni surga
tergantung pada akhir kehidupan, dalilnya adalah firman Allah yang menyatakan,
Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya pahala sepuluh kali lipat
amalnya, dan barangsiapa membawa amal yang buruk maka dia ia hanya diberi
balasan yang sepadan dengan amal buruknya (QS Al-Maidah [6]: 160). Firman Allah
tersebut bukan berbunyi, Barangsiapa mengerjakan kebaikan, maka baginya pahala
sepuluh kali lipat sepadan dengan perbuatannya itu. Hal ini menunjukkan bahwa
penerimaan pahala dari Allah tergantung pada akhir pelaksanaan, bukan pada awal
perbuatan. Yang memperkuat pendapat ini adalah dalil yang menyatakan bahwa
apabila seseorang menghabiskan seluruh usianya dalam kekufuran, lalu di akhir
hayatnya ia masuk Islam, maka ia termasuk golongan orang yang mendapatkan
pahala, begitu pula sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa yang penting adalah
akhirnya bukan awal perbuatannya. Karena itu, Allah berfirman, Katakanlah
kepada orang-orang kafir itu, "Jika mereka berhenti dari kekufuran,
niscaya Alah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu" (QS
Al-Anfal [8]: 38). Jadi, ketetapan bahwa seseorang termasuk wali atau musuh
Allah, orang yang mendapat pahala atau mendapat siksa terletak di akhir
hidupnya. Dan telah jelas bahwa akhir kehidupan tidak diketahui oleh seorang
pun. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang wali tidak bisa mengetahui
bahwa dirinya wali.
Adapun mereka yang menyatakan bahwa seorang wali terkadang bisa mengetahui kedudukannya sebagai wali, berpegang pada kesahihan pendapat mereka yang menyatakan bahwa kewalian terdiri dari beberapa unsur:
- Secara lahiriah, ia tunduk dan patuh kepada syariat.
- Secara batiniah, ia tenggelam dalam cahaya hakikat.
Apabila
seseorang telah mencapai dua unsur ini dan orang-orang mengetahui manifestasi
dari dua unsur di atas, maka eksistensi kewaliannya bisa diketahui. Kepatuhan
kepada syariat secara lahir terlihat dari tindakan lahir, sementara
tenggelamnya batin dalam cahaya hakikat berupa kesenangan menaati Allah dan
mengingat-Nya, tiada sesuatu pun dalam dirinya selain Allah.
Banyak
kesalahan yang samar dalam pembahasan tentang apakah wali mengetahui
kedudukannya sebagai wali atau tidak, penetapannya sulit, pengalamannya
membahayakan, kepastiannya adalah tipuan, dan di depan jalan menuju alam
ketuhanan ada tabir-tabir yang terkadang berupa api dan terkadang berupa
cahaya. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui hakikat dari rahasia-rahasia.
Sayyid
'Abdul Ghani al-Nabulusi dalam Syarh al-Thariqah al-Muhammadiyyah mengutip
penuturan Imam Barkawi yang menyatakan bahwa karamah wali itu benar-benar ada.
Karamah adalah munculnya hal-hal luar biasa yang tidak dibarengi niat untuk
menampakkannya, yang muncul di tangan seorang hamba untuk menampakkan
kemaslahatan, dipakai untuk menetapkan ittiba'nya (ketaatannya) kepada Nabi
Saw., didukung oleh keyakinan yang benar dan amal saleh. Adapun kejadian luar biasa
yang tidak dibarengi niat untuk memperlihatkannya seperti halnya mukjizat, yang
muncul di tangan orang yang secara lahiriah dinilai baik, disebut sebagai
ma'unah. Ma'unah adalah kejadian luar biasa di tangan orang-orang muslim awam
untuk melepaskan diri dari berbagai cobaan dan hal-hal yang tidak disukai,
disertai keyakinan yang benar dan amal saleh, dijauhkan dari istidraj, dan
dengan mengikuti Nabi Saw. Nabi memperlihatkan kejadian luar biasa untuk
mengokohkan kebohongan para pendusta, seperti meludahnya Musailamah ke dalam
sumur air tawar agar airnya terasa manis, tetapi yang terjadi justru airnya
asin dan pahit.
Al-Laqani
menyatakan bahwa karamah diperuntukkan bagi para wali, baik yang masih hidup
maupun yang telah wafat. Karena kewalian seorang wali tidak terlepas meskipun
ia wafat. Seperti Nabi yang tidak lepas dari status kenabiannya. Wali adalah
orang yang 'arif, mengetahui Allah dan sifat-sifat-Nya, senantiasa taat,
menjauhi maksiat, dan bersungguh-sungguh menahan diri dari kenikmatan dan hawa nafsu.
Al-Sa'di mengungkapkan dalam kitab Syarh al-'Aqaid bahwa dengan mengekang hawa
nafsu, keinginan untuk bersenang-senang dan mengumbar hawa nafsu akan hilang,
hanya saja seorang wali tidak diboleh mencegah diri dari melakukan hal-hal yang
dimudahkan dan dihalalkan baginya.
Karamah para
wali adalah kebenaran yang ditegaskan dalam nash Al-Qur'an, di antaranya dalam
kisah Maryam, Setiap Zakaria masuk ke mihrab untuk menemui Maryam, ia mendapati
makanan di sisi Maryam. Zakaria bertanya, "Hai Maryam, dari mana engkau
memperoleh semua makanan ini?" Maryam menjawab, "Makanan itu dari
Allah" (QS Ali 'Imran [3]: 37).
Maryam berada dalam asuhan Zakaria a.s.,
dan tak seorang pun pernah masuk ke dalam mihrab Maryam, selain Zakaria. Bila
Zakaria keluar dari sana, tertutuplah tujuh pintu mihrab tersebut. Setiap
Zakaria masuk ke mihrab Maryam, ia menemukan buah-buahan musim dingin pada
musim panas, dan menemukan buah-buahan musim panas ketika cuaca dingin. Zakaria
merasa heran dan menanyai Maryam. Maryam menjawab bahwa semua itu adalah rezeki
dari Allah, Dialah Pemberi rezeki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dari
jalan yang tidak disangka-sangka.
Kisah lain
dalam Al-Qur'an yang menegaskan adanya karamah adalah kisah tentang ashabul
kahfi yang tinggal dalam gua selama bertahun-tahun tanpa makan dan minum dan
kisah tentang Asif bin Barkhiya yang mampu menghadirkan singgasana Ratu Bilqis
sebelum Nabi Sulaiman mengedipkan matanya. Karamah para sahabat, tabi'in
(generasi setelah sahabat), dan orang-orang saleh sesudahnya diriwayatkan
secara mutawatir dalam hal makna atau inti ceritanya walaupun perinciannya
disampaikan secara ahad.
Dalam
kitabnya, Syarh Maqasid al-Maqasid, Al-Dulji berkata, "Orang-orang yang
mengingkari karamah bukan termasuk ahli bid'ah. Anehnya, meskipun mereka belum
pernah meyaksikan langsung karamah para wali dan belum pernah mendengarnya
secara langsung dari para pemimpin mereka padahal mereka bersungguh-sungguh
dalam beribadah dan menjauhi kemaksiatan, tetapi mereka mencaci maki wali-wali
Allah sebagai pemilik karamah dan menyakiti hati mereka, karena mereka tidak
mengerti bahwa karamah didasarkan pada akidah yang jernih, jiwa yang bersih,
jalan dan hakikat pilihan. Bahkan sangat mengherankan pendapat sebagian ahli
fikih pengikut Sunnah yang diriwayatkan Ibrahim bin Adham r.a. di Basrah dan
Mekah pada hari tarwiyyah (lempar jumrah), yang menyatakan bahwa orang yang
meyakini hal-hal tersebut adalah kafir. Pendapat yang moderat diungkapkan oleh
Al-Nasafi ketika ia ditanya tentang suatu berita yang menyatakan bahwa Ka'bah
selalu dikunjungi oleh salah seorang wali, betulkah kabar itu? Ia menjawab,
'Itu melanggar kebiasaan para wali yang menempuh jalan karamah, tetapi mungkin
saja bagi orang yang mengikuti Sunnah Nabi Saw. yang biasa menempuh jarak jauh
dalam waktu singkat.' Hal-hal tersebut dimasukkan oleh para ahli fikih pengikut
Hanafi dan Syafi'i ke dalam pembahasan masalah-masalah syariat."
Ibnu Hajar
al-Haitami al-Syafi'i menjelaskan dalam kitab Al-Fatawa bahwa jika seorang
musafir tiba di suatu negeri saat matahari telah terbenam, lalu ia melaksanakan
shalat Maghrib di sana, kemudian ia sampai di tempat pemberhentian lain yang di
sana matahari belum terbenam, padahal ia telah melakukan shalat magrib di
negeri pertama, maka ia tidak wajib mengulang shalatnya. Munculnya makanan,
minuman, dan pakaian secara gaib ketika dibutuhkan seperti yang terjadi pada
para wali, kemampuan terbang di udara seperti dikutip dari Ja'far bin Abi
Thalib dan Luqman al-Sarkhasi, kemampuan berjalan di atas air, berbicara dengan
benda mati dan binatang seperti binatang ternak dan burung dan lain-lain adalah
sebagian dari kejadian-kejadian luar biasa yang terjadi pada para wali. Semua
itu adalah penghormatan dari Allah untuk mereka, dan merupakan mukjizat bagi
Rasul-Nya, meskipun beliau sudah wafat. Dalam hal ini, munculnya mukjizat tidak
harus ketika Rasul masih hidup, tetapi juga bisa terjadi setelah beliau wafat.
Demikian pula karamah bisa terjadi setelah sang wali wafat, seperti telah
dijelaskan pada akhir penjelasan Sayyid 'Abdul Ghani al-Nablusi dalam Syarh
al-Thariqah al-Muhammadiyyah.
Dalam
kitabnya Nasyrul Mahasin al-Ghaliyyah, Imam Yafi'i mengutip pendapat
tokoh-tokoh umat ahlus sunnah wa al-jama'ah dan para syaikh tentang kemungkinan
terjadinya sesuatu di luar adat yang muncul dari karamah para wali. Di antara
ulama-ulama tersebut adalah Imam Haramain, Abu Bakar al-Baqillani, Abu Bakar
bin Fauraq, Hujjatul Islam Al-Ghazali, Fahruddin al-Razi, Nashiruddin
al-Baidhawi, Muhammad bin 'Abdul Malik al-Salma, Nashiruddin al-Thusi, Hafiduddin
al-Nasafi, dan Abu Qasim al-Qusyairi. Setelah mengutip pendapat mereka,
Al-Yafi'i berkata, "Mereka adalah sepuluh imam yang sebagiannya menyusun
kitab-kitab dan memiliki pembicaraan tentang agama yang bisa dijadikan pegangan
dalam bidang akidah ahlus sunnah wa al-jama'ah. Tidak perlu menyebut lebih
banyak lagi, karena menyebut sepuluh saja sudah dianggap cukup. Mereka sepakat
bahwa perbedaan antara karamah dan mukjizat adalah pada tingkat kenabian
semata, dan tidak satu pun dari mereka yang mensyaratkan bahwa jenis dan
keagungan karamah tergantung kepada mukjizat."
Imam Abu
Qasim al-Qusyairi mengungkapkan dalam Al-Risalah karyanya bahwa kemunculan
karamah pada para wali mungkin terjadi karena bisa dipahami secara rasional,
lagi pula kemunculannya tidak melenyapkan asal-usul karamah, tetapi justru
menunjukkan sifat-sifat Allah Yang Maha Kuasa. Jika keberadaan karamah sangat
tergantung kepada Allah, maka tidak ada satu pun hal yang dapat merintangi
keberadaannya. Kemunculan karamah merupakan tanda kejujuran orang yang
memilikinya. Orang yang tidak jujur tidak mungkin mampu memunculkan karamah.
Dalilnya adalah bahwa ilmu ma'rifat yang diberikan Allah kepada manusia
sehingga ia bisa membedakan antara orang yang jujur dengan orang yang batil
ketika meniti jalan yang ditempuhnya adalah persoalan yang abstrak. Hal-hal itu
tidak akan terjadi kecuali pada para wali secara khusus, tidak pada orang yang
hanya berpura-pura mengaku wali. Inilah persoalan karamah yang sedang kita
bicarakan. Karamah pasti merupakan sesuatu yang bertentangan dengan adat
kebiasaan dan menjelaskan sifat kewalian untuk menyatakan kebenaran keadaannya.
Banyak ulama
membahas perbedaan antara karamah dan mukjizat, salah satunya adalah Imam Abu
Ishaq al-Asfaraini yang menyatakan bahwa mukjizat adalah tanda-tanda kebenaran
para nabi dan dalil kenabian yang hanya ada pada nabi, sedangkan wali memiliki
karamah seperti terkabulnya doa, tetapi mereka tidak memiliki mukjizat seperti
yang dimiliki para nabi.
yang dimiliki para nabi.
Imam Abu
Bakar bin Faurak R.A. menyatakan bahwa mukjizat adalah tanda-tanda kebenaran.
Jika pemilik mukjizat mengaku sebagai nabi maka mukjizatnya itu menunjukkan
kebenaran pengakuannya. Jika pemilik mukjizat mengaku sebagai wali, maka
mukjizatnya itu menunjukkan kebenaran pengakuannya, tetapi hal itu disebut
karamah, bukan mukjizat, meskipun serupa dengan mukjizat, tetapi memiliki
perbedaan yang nyata.
Al-Qusyairi
mengemukakan pendapat orang yang paling ahli dalam bidang mukjizat pada masanya
yaitu Al-Qadhi Abu Bakar al-Asy'ari r.a. yang menyatakan, "Mukjizat
dikhususkan bagi para nabi, sedangkan karamah untuk para wali. Para wali tidak
memiliki mukjizat, karena di antara syarat-syarat mukjizat adalah jika
kejadian-kejadian luar biasa itu dibarengi dengan pengakuan kenabian. Kejadian
luar biasa tidak disebut mukjizat hanya karena bentuknya saja, tetapi disebut
mukjizat karena adanya banyak syarat yang dipenuhinya, jika ada satu saja
syarat yang tidak terpenuhi, maka itu bukan mukjizat. Satu dari beberapa syarat
mukjizat adalah pengakuan kenabian, sedangkan wali tidak menyatakan pengakuan
kenabian, jadi yang muncul darinya bukanlah mukjizat."
Al-Qusyairi
menegaskan, "Pendapat inilah yang kami pegang dan ungkapkan, bahkan
kami meminjamnya. Semua syarat mukjizat atau sebagian besarnya ada dalam karamah,
kecuali syarat pengakuan kenabian saja."
Al-Qusyairi
mengungkapkan bahwa karamah adalah peristiwa yang mungkin terjadi, karena tidak
ada sesuatu yang dahulu khusus ada pada seseorang, bertentangan dengan
kebiasaan dan tampak pada masa taklif, muncul pada hamba sebagai bentuk
pengkhususan dan pengutamaan, kadang sebagai hasil dari ikhtiar dan doanya,
namun kadang bukan karena ikhtiar. Wali tidak diperintah untuk memohon karamah
bagi dirinya.
Al-Qusyairi
berkata, "Tidak setiap karamah yang dimiliki seorang wali wajib dimiliki
oleh seluruh wali, bahkan meskipun seorang wali tidak memiliki karamah secara
lahiriah di dunia, hal tersebut tidak mempengaruhi kedudukannya sebagai wali.
Berbeda dengan para nabi yang harus memiliki mukjizat, karena mereka diutus kepada
manusia yang harus mengetahui kebenarannya, dan tidak ada jalan lain kecuali
dengan mukjizat. Sebaliknya kedudukan sebagai wali tidak harus diketahui oleh
orang lain."
Masih
menurut Al-Qusyairi, sesungguhnya seorang wali tidak merasa senang dengan karamah
yang muncul pada dirinya tidak juga memiliki perhatian yang besar kepadanya.
Ketika muncul karamah padanya, keyakinannya semakin kuat dan mata hatinya
semakin tajam untuk menegaskan bahwa karamah adalah perbuatan Allah, yang
dengannya mereka memperoleh bukti kebenaran akidah yang diyakininya. Singkatnya
kemunculan karamah pada para wali adalah wajib, begitu juga menurut kebanyakan
ahli ma'rifat. Dan karena banyaknya riwayat mutawatir tentang eksistensi
karamah, baik berupa khabar maupun hikayat, maka keyakinan dan pengetahuan
tentang adanya karamah pada para wali tidak diragukan lagi. Barangsiapa
bersikap moderat terhadap masalah karamah, didukung dengan hikayat dan khabar
mutawatir, maka ia tidak akan meragukan karamah.
Al-Qusyairi
kemudian mengemukakan bahwa di antara dalil-dalil dari pendapat di atas adalah
nash Al-Qur'an tentang sahabat Nabi Sulaiman yang berkata, "Aku akan
datang kepadamu dengan membawa singgasana (Balqis) kepadamu sebelum matamu
berkedip" (QS Al-Naml[27]: 40), padahal ia bukan seorang nabi. Juga
riwayat tentang Umar bin Khattab R.A. yang tiba-tiba berkata, "Hai para
kabilah di atas gunung!" padahal ia sedang menyampaikan khutbah Jumat,
suara Umar didengar oleh pasukan Islam yang berada di gunung, sehingga mereka
selamat dari tempat persembunyian musuh di gunung saat itu.
Bagaimana
mungkin diperbolehkan melebihkan karamah para wali di atas mukjizat para nabi,
dan bolehkah mengutamakan para wali di atas para nabi? Menurut Al-Qusyairi,
karamah para wali terkait dengan mukjizat Nabi Muhammad Saw., karena setiap
orang yang tidak jujur dan sungguh-sungguh dalam Islamnya maka ia tidak akan
mampu memunculkan karamah. Setiap nabi yang memunculkan karamahnya kepada salah
seorang umatnya, maka karamah itu termasuk mukjizatnya. Jika seorang rasul
tidak mempercayai umatnya, maka tidak akan muncul karamah pada umatnya. Adapun
tingkatan para wali tidak akan menyamai tingkatan para nabi berdasarkan dalil
ijma' (kesepakatan ulama). Mengenai hal tersebut, Al-Qusyairi menjelaskan bahwa
karamah terkadang berupa terkabulnya doa, munculnya makanan ketika dibutuhkan
tanpa sebab yang jelas, ditemukannya air ketika haus, kemudahan menempuh jarak
dalam waktu sekejap, terbebas dari musuh, mendengar percakapan tanpa rupa, dan
hal-hal lain yang bertentangan dengan kebiasaan.
Al-Qusyairi menyatakan bahwa pada masa sekarang ini banyak kemampuan wali yang tampak, padahal seorang wali tidak diperkenankan untuk memperlihatkan karamahnya, baik karena terpaksa atau sedikit keterpaksaan. Di antara karamah adalah dilahirkannya seorang manusia tanpa ayah dan ibu dan mengubah benda mati, binatang
ternak, atau hewan-hewan lain.
Al-Qusyairi
mengungkapkan,
"Wali
adalah orang yang senantiasa menjaga ketaatan. Barangsiapa mencintai Allah Swt,
maka Dia akan menjaga dan melindunginya. Allah tidak akan membiarkannya berbuat
maksiat. Dia akan melanggengkan pertolongan-Nya kepada orang yang taat,
sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya," Dan Dia melindungi
orang-orang yang saleh "(QS Al-A'raf [7]: 196). Para wali bukan orang
yang ma'shum (terjaga dari kesalahan dan dosa) seperti para nabi, tetapi orang
yang terjaga, sehingga tidak terus menerus berada dalam dosa."
Sahal bin
'Abdullah berkata, "Siapa yang zuhud terhadap dunia selama 40 hari dengan
ketulusan dan kejujuran dari lubuk hatinya, maka muncullah karamah padanya.
Bila tidak muncul karamah, berarti zuhudnya tidak benar." Lalu ada yang
bertanya kepada Sahal, "Bagaimana cara karamah tampak padanya?" Sahal
menjawab, "Dengan memperoleh segala yang diinginkannya."
Karamah paling agung yang dimiliki para wali adalah langgengnya ketaatan dan terjaga dari kemaksiatan dan pelanggaran. Demikianlah pendapat Al-Qusyairi tentang karamah.
Syaikhul
Akbar Sayyid Muhyiddin Ibnu 'Arabi r.a. mengemukakan dalam kitabnya Mawaqi'
al-Nujum wa Mathali' Ahl al-Asrar wa al-'Ulum bahwa Nabi Isa A.S. memperoleh
kedudukan yang mulia dan penglihatan yang agung berupa kemampuan menghidupkan
orang mati dan menyembuhkan orang buta dan orang sakit lepra dengan izin Allah.
Demikian juga Ibrahim A.S. mampu menghidupkan burung-burung; mengumpulkan
bagian-bagian burung yang telah terpotong-potong menjadi beberapa bagian,
kemudian mencampur daging-dagingnya. Ibrahim memanggil potongan-potongan
burung, dan burung-burung tersebut segera datang kepadanya, semua terjadi dengan
seizin Allah. Bukan hal yang bertentangan dengan akal ketika Allah memuliakan
seorang wali dengan memberinya karamah dan menampakkan karamah di tangannya.
Setiap karamah akan diperoleh wali atau akan ditunjukkan melalui tangannya.
Kemuliaan karamah merujuk kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan mengikuti Rasulullah
dan tetap menaati batas-batas yang ditetapkan olehnya maka karamah adalah hal
yang benar. Dalam persoalan ini, para ulama berbeda pendapat, ada yang
berpendapat bahwa mukjizat Nabi SAW. adalah karamah bagi wali, ada juga yang
menolak pendapat ini, ada juga yang berpendapat bahwa wali memiliki karamah
yang bukan merupakan mukjizat bagi Nabi Muhammad Saw.
Tokoh-tokoh
sufi tidak menafikan karamah karena mereka melihatnya ada pada diri mereka
sendiri dan rekan-rekan mereka, karena mereka adalah orang yang mencapai
tingkatan kasyf dan dzauq. Jika kami mengungkapkan karamah-karamah yang kami
saksikan dan cerita-cerita dari orang-orang tsiqah (tepercaya) tentang karamah,
pasti orang yang mendengarnya akan mendustakannya, bahkan mungkin mencelanya.
Hal itu dikarenakan kurangnya pemahaman mereka terhadap diri orang yang
menampakkan karamah melalui tangannya, karena kepribadian dan sikap mereka yang
memandang rendah terhadapnya. Kalau saja ia menyempurnakan pandangannya
terhadap orang yang mampu dan dipilih oleh Allah untuk menunjukkan karamah,
tentu kebingungan dan sikap mereka yang mendustakannya tidak akan muncul.
Ibnu 'Arabi
menyatakan bahwa ia sungguh-sungguh pernah bertemu seorang sufi pada masanya
yang berkata, "Seandainya aku melihat kejadian luar biasa muncul dari
tangan seseorang, niscaya aku akan menganggap peristiwa tersebut dusta menurut
logikaku, tetapi jika memang peristiwa itu benar-benar terjadi dan menurutku
itu mungkin maka sesungguhnya jika Allah menghendaki terjadinya sesuatu yang
luar biasa di tangan seseorang, pastilah akan terjadi."Ibnu 'Arabi
mengomentari orang itu, "Lihatlah! Alangkah tebal penghalang ini, begitu
ingkar dan bodohnya ia. Semoga Allah menjaga tangan-tangan kita dan tangannya serta
cahaya mata hatinya."
Imam
Tajuddin al-Subki dalam kitab Thabaqatnya berbicara panjang lebar tentang
ketetapan adanya karamah para wali dan menyatakan kepalsuan argumentasi para
penentang karamah. Setelah menjelaskan beberapa karamah sahabat Nabi SAW., ia
berkata, "Peristiwa-peristiwa luar biasa yang muncul dari tangan para
sahabat yang telah kami ceritakan akan diterima orang yang memiliki
bashirah(penglihatan mata hati). Kami akan mengemukakan dalil-dalil khusus
untuk mematahkan kekacauan pandangan para penentang karamah dan menangkis
argumen mereka. Menurut kami, ada beberapa macam dalil tentang penetapan
karamah:
- Cerita yang tersebar dan terdengar yang tidak diingkari, kecuali oleh orang bodoh dan orang yang menolak karamah para ulama dan orang saleh, seperti keberanian 'Ali dan kedermawanan Hatim. Mengingkari karamah itu lebih besar tingkat kedurhakaannya, karena karamah lebih dikenal dan lebih nyata, dan hanya orang yang hatinya tertutup yang menentang adanya karamah.
- Kisah Maryam yang hamil tanpa suami, tersedianya kurma segar dari batang kurma kering untuknya, dan adanya makanan yang bukan musimnya di sisi Maryam tanpa sebab. Sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, "Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia menemukan makanan di sisinya. Zakaria bertanya, "Hai Maryam, dari mana kamu memperoleh makanan ini?" Maryam menjawab, "Semua ini dari Allah" "(QS Ali 'Imran [31:37), padahal Maryam bukan seorang nabi.
- Kisah ashabul kahfi (penghuni gua) yang tertidur dalam sebuah gua selama 300 tahun lebih tanpa terkena penyakit dan tetap kuat seperti sediakala meski tanpa makan dan minum. Hal itu termasuk menyalahi kebiasaan manusia. Mereka bukan nabi, jadi semua yang mereka alami bukanlah mukjizat, melainkan karamah.
- Kisah Asif bin Barkhiya dengan Sulaiman a.s. ketika memboyong singgasana Ratu Bilqis sebelum Sulaiman mengedipkan matanya. Kebanyakan mufassir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Asif dalam kisah tersebut adalah orang yang memiliki ilmu dari Al-Kitab. Kami telah memengemukakan kisah-kisah tentang karamah beberapa sahabat dan orang-orang sesudah mereka yang disampaikan secara mutawatir. Kalau saja ada seseorang yang mau mencurahkan segala daya untuk meneliti kisah-kisah tersebut, tentu akan diperoleh data yang berlimpah. Sejak dulu sampai sekarang selalu ada orang-orang seperti itu, bahkan kami mengambil kesimpulan dari kisah-kisah yang ada pada mereka. Pada masa mereka, orang-orang yang cendekia hanya sedikit sedangkan orang-orang yang menyimpang sangat banyak. Mereka mempercayai karamah orang-orang yang saleh dan meriwayatkan kisah-kisah tentang hal tersebut dari Bani Israil dan orang-orang sesudah mereka, dan para sahabat termasuk orang yang bercerita tentang kisah-kisah seperti ini secara panjang lebar.
Allah
menganugerahkan ilmu-ilmu para ulama dan wali, sehingga mereka mampu menyusun
banyak kitab yang tidak mungkin mampu disusun oleh orang selain mereka dalam
waktu sepanjang usia pengarangnya, mampu menjelaskan hal-hal di luar kebiasaan,
menemukan hal yang menggembirakan orang yang memiliki kecerdasan, mengambil
banyak makna dari Al-Quran dan hadis yang dapat diterapkan dalam kehidupan
dunia, menegakkan kebenaran dan menumpas kebatilan, bersabar dalam mujahadah
(berjihad) dan riyadhah (melakukan olah spiritual), menyerukan kebenaran dan
sabar terhadap berbagai penderitaan, mengekang diri dari kenikmatan duniawi
dengan kesadaran total, tekun mencintai ilmu dan gigih untuk memperolehnya.
Jika seseorang merenungkan anugerah Allah yang diberikan kepada para ulama dan
wali di atas, maka ia akan mengetahui bahwa yang diberikan kepada mereka lebih
besar daripada yang diberikan kepada sebagian hambanya, seperti munculnya roti
di tanah yang gersang dan air di padang sahara yang tandus dan sejenisnya yang
dapat dianggap sebagai karamah.
Dalam
pembahasan ke-29 tentang al-Yawaqit wa al- Jawahir, Imam Al-Sya'rani r.a.
berkata, "Ketahuilah, mayoritas ulama berpendapat bahwa mukjizat seorang
nabi bisa menjadi karamah bagi wali. Berbeda dengan kaum Mu'tazilah dan Syaikh
Abu Ishaq al-Isfiraini yang berpendapat bahwa mukjizat seorang nabi tidak
mungkin menjadi karamah bagi wali. Karamah bisa berupa terkabulnya doa atau
munculnya air di padang sahara yang biasanya tidak ada air, dan beberapa
peristiwa luar biasa lainnya. Pada bab ke-187 dalam kitab Al-Futuhat, Syaikh
Muhyiddin Ibnu 'Arabi berkata, "Pendapat Abu Ishaq al-Isfaraini benar,
hanya saja saya mensyaratkan satu syarat lain yang tidak disebutkan olehnya.
Menurut saya, mukjizat tidak mungkin menjadi karamah bagi wali, kecuali sang
wali melakukan perbuatan luar biasa untuk menegaskan kebenaran nabinya, bukan
demi karamah itu sendiri. Hal tersebut tidaklah dilarang seperti yang terkenal
di kalangan para wali, kecuali jika ketika karamah muncul, sang nabi
melarangnya pada waktu tertentu atau selama hidupnya. Oleh karena itu,
diperkenankan melakukan karamah bagi selain rasul sesudah zamannya berakhir.
Namun, bila nabi tersebut membiarkannya melakukan karamah dan tidak memberi
batasan, maka apa yang diucapkan oleh Abu Ishaq tidak bisa direalisasikan."
Syaikh
Muhammad bin 'Ali al-Mahalli dalam Syarh Taiyati al-Imam al-Subki
menyenandungkan syair mengomentari perkataan penulis; "Setiap waktu kalau
kamu memperhatikan orang yang akalnya mencapai puncak menyaksikan munculnya
mukjizat yang baru."
Syihabuddin
al-Suhrawardi mengatakan, "Para wali terkadang memiliki berbagai macam
karamah, seperti mendengar suara tanpa rupa di awang-awang, panggilan batin,
melipat bumi, dan mengetahui sebagian peristiwa sebelum terjadinya karena
berkah mengikuti Rasulullah SAW. Karamah wali adalah penyempurnaan mukjizat
para nabi." Artinya, setiap wali yang memiliki karamah sesudah nabinya,
maka karamah tersebut merupakan kesempurnaan bagi mukjizat nabinya. Jadi,
karamah milik orang-orang yang saleh dalam umat ini adalah penyempurnaan bagi
mukjizat Nabi Muhammad SAW. Adanya para wali di bumi ini termasuk dalam
mukjizat nabi yang terus menerus, karena dengan adanya mereka kebutuhan para
hamba terpenuhi, dengan berkah mereka bencana yang akan menimpa suatu negeri
tertolak, dengan doa mereka turunlah rahmat, dan dengan adanya mereka hilanglah
siksa.
Hikmah
banyaknya karamah para wali di kalangan umat Muhammad adalah menunjukkan
kepemimpinan Nabi Saw. atas keseluruhan nabi, dengan melimpahnya mukjizat pada
masa hidup dan sesudah wafatnya. Dan karena Nabi Saw. adalah penutup para nabi
dan kekasih Tuhan Penguasa alam serta karena kelanggengan agama yang diembannya
hingga akhir masa, maka kebutuhan akan sebab-sebab yang membenar-kan Nabi juga
terus berlangsung. Di antara sebab-sebabnya yang paling kuat adalah adanya
karamah-karamah di kalangan umatnya, yang pada hakikatnya serupa dengan
mukjizat Nabi Saw., yang memperkuat eksistensi Al-Qur'an sebagai induk
mukjizat, kumpulan ayat-ayat penjelasan, firman Allah yang qadim,
peringatan-Nya yang bijak, yang tidak didatangkan oleh-Nya kebatilan dari
hadapan dan belakangnya, yang diturunkan oleh Sang Maha Bijak lagi Maha
terpuji, dan penguat hadis Nabi Saw. tentang tanda-tanda terjadinya kiamat dan
lain-lain secara berangsur-angsur. Dengan adanya karamah, seolah-olah Nabi SAW.
berada di tengah-tengah umatnya, menyaksikan mukjizatnya sesudah beliau wafat
sebagaimana umatnya menyaksikan mukjizat Nabi ketika beliau masih hidup. Allah
berfirman, "Supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya" (QS
Al-Muddatsir [74]: 31). Allah akan memberi petunjuk menuju agama-Nya kepada
siapa saja yang dikehendaki-Nya, termasuk kepada orang-orang yang sebelumnya
tidak beriman.
Banyaknya
karamah diketahui dari banyaknya wali dari kalangan umat Nabi SAW. yang muncul
di setiap masa, seperti yang dijelaskan oleh Muhyiddin Ibnu 'Arabi dan yang
lainnya berdasarkan hadis yang menjelaskan tentang hal itu juga berdasarkan
pengetahuan sahih yang menyatakan bahwa para nabi berjumlah 124.000. Tidak
diragukan lagi bahwa dari tangan mereka muncul sangat banyak karamah, dan
seluruh karamah itu merupakan mukjizat bagi Nabi SAW. Jadi, mukjizat Nabi SAW.
itu berlipat ganda, tidak berbilang, dan tidak berbatas. Hikmah banyaknya
karamah dan keberlangsungannya sebagaimana yang telah kami kemukakan adalah
penyebab munculnya karamah di tangan para sahabat lebih sedikit ketimbang di
tangan para wali, karena tetapnya kebenaran agama disebabkan oleh bertambahnya
iman orang-orang mukmin dan hidayah untuk orang-orang yang belum beriman. Pada
masa sahabat, muncul begitu banyak mukjizat Nabi Saw. yang bisa disaksikan
setiap saat dalam beraneka ragam jenisnya. Meskipun karamah para sahabat juga
dianggap sebagai mukjizat Nabi SAW., seperti halnya seluruh karamah para wali,
hanya saja kebutuhan ter hadap karamah para sahabat lebih kecil dibanding
kebutuhan terhadap karamah para wali.
Al-Taj
al-Subki juga menjelaskan dalam kitab Al-Tabaqat, bahwa meskipun jumlah sahabat
banyak, karamah mereka lebih sedikit dibandingkan dengan karamah para wali
lainnya. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal R.A. hal itu dikarenakan para sahabat
memiliki iman yang kuat sehingga tidak membutuhkan tambahan untuk memperkuat
iman, sedangkan orang-orang selain mereka imannya lemah, sehingga memerlukan
penguat iman dengan menampakkan karamah.
Syaikh
Suhrawardi r.a. berpendapat senada dengan mengemukakan dua sebab karamah para
sahabat lebih sedikit daripada akramah para wali. Pertama, munculnya
peristiwa-peristiwa luar biasa pada para wali akan menghilangkan lemahnya
keyakinan mereka, sebagai rahmat Allah untuk hamba-hamba-Nya dan sebagai pahala
yang disegerakan, sedangkan para sahabat yang kedudukannya di atas para wali
tidak mempunyai hijab (tabir) yang menutupi hati mereka, sehingga mereka tidak
memerlukan munculnya kejadian-kejadian luar biasa. Kedua, barangkali para
sahabat tidak memerlukan munculnya kejadian-kejadian luar biasa karena merasa
cukup dengan jumlah mereka yang banyak, merasa puas dengan memandang Nabi
Muhammad SAW., dan senantiasa menempuh jalan istiqamah yang merupakan karamah
terbesar. Meskipun dunia dibukakan di tangan mereka, mereka tidak meliriknya,
tidak mendekatinya, dan tidak memintanya, sehingga Allah meridhai mereka.
Kenikmatan duniawi yang ada di tangan mereka berlipat-lipat banyaknya daripada
yang ada di tangan kita, tetapi penolakan mereka terhadapnya begitu besar dan
ini merupakan karamah terbesar bagi mereka. Mereka hanya ingin meninggikan
agama Allah dan berada di dekat-Nya Yang Maha Agung dan Maha Tinggi.
Imam
Qusyairi mengemukakan bahwa tidak tampaknya karamah seorang wali di dunia tidak
mempengaruhi eksistensinya sebagai wali. Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari
menjelaskan dalam syaraknya bahwa terkadang wali yang tidak ditampakkan
karamahnya oleh Allah lebih utama daripada wali yang ditampakkan karamahnya. Sebab
keutamaan terletak pada bertambahnya keyakinan bukan pada tampaknya karamah.
Begitu juga Imam Yafi'i berpendapat senada bahwa wali yang memiliki karamah
tidak mesti lebih utama daripada wali yang tidak memiliki karamah, bahkan
terkadang wali yang tidak memiliki karamah lebih utama daripada yang memiliki
karamah.
Sayyid
Muhyiddin Ibnu 'Arabi menjelaskan dalam Mawaqi' al-Nujum, setelah menceritakan
sejumlah karamah seperti kemampuan berjalan di atas air, berjalan di udara, dan
lain-lain, "Semua wali yang sudah saya jelaskan adalah orang-orang yang
memiliki maqam-maqam pemimpin kebajikan, orang-orang takwa nan terpilih,
rijalullah dan para walinya, pusat masa dan wali-wali badai al-abda. Adapun
permata merah, obat mukjizat yang mujarab, perbuatan yang bersih dari
kekurangan, penguasa seluruh sifat, yang bebas dari segala malapetaka merupakan
pengantin yang penglihatannya tersembunyi dalam tirai perlindungan, dalam
kegaiban, dan naungan kebajikan makhluk, tidak mengenal dan dikenal, tersingkap
dan tersembunyi, yang ditemukan dalam pertokoan dalam keadaan berbaring di
tempat yang didiami anjing, atau badut yang dilempar dengan batu, tidak
dipedulikan dan tidak dipandang orang, dan tertutup dari yang lain. Saya tidak
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan wali-wali yang terpilih dalam kondisi
seperti permata yang ada pada masanya dan dalam wujud seperti mukjizat adalah
wali-wali yang tidak memiliki karamah sama sekali. Memang, karamah adalah waktu
baginya, bukan terhadap persoalannya. Adapun kelanjutannya tiada jalan, hanya
berupa rahasia yang samar."
Al-Qusyairi
r.a. menjelaskan bahwa para wali golongan ini meskipun memiliki kemampuan yang
sangat besar, hanya sedikit yang memperlihatkan karamah. Mereka tersembunyi
dari manusia, kedudukan mereka tak dikenal dan tertutup. Dari sini diketahui
bahwa seorang wali yang memiliki karamah lebih banyak daripada wali lainnya
belum tentu memiliki keutamaan yang lebih. Begitu juga sebagian wali yang tidak
memperlihatkan karamah belum tentu tidak lebih utama daripada wali yang memperlihatkan
karamah. Mereka adalah pemilik keutamaan yang selalu memelihara derajat
kewalian, jika tidak mengapa Allah Swt. memuliakan mereka dengan karamah dan
menganugerahi mereka kemampuan melakukan hal-hal luar biasa. Para da'i palsu
terkadang memanipulasi masyarakat dengan memakai jubah sufi dan mengaku sebagai
ahli petunjuk, padahal pada hakikatnya mereka adalah orang-orang yang bodoh,
suka berbuat kerusakan, dan melanggar batas jalan petunjuk. Mereka khawatir
jika mereka tidak memperlihatkan karamah, maka orang-orang tidak mempercayai
derajat kewalian mereka. Mereka merasa lebih agung daripada para pemilik
karamah sejati dan meremehkan kejadian-kejadian luar biasa yang muncul melalui
tangan wali-wali Allah. Semua itu dilakukan untuk menipu masyarakat dan membuat
mereka kagum. Sesungguhnya mereka termasuk orang yang paling buruk dan maksiat,
dan orang-orang awam yang bodoh yang menampakkan beragam kefasikan secara
terang-terangan jauh lebih baik daripada mereka.
Penulis akan
mengutip ucapan Sayyid Muhyiddin Ibnu 'Arabi yang memuat penjelasan hakiki
berdasarkan kebenaran. Dalam bab 185 tentang mengetahui maqam wali yang tidak
memperlihatkan karamah, ia menyatakan:
"Tidak
memperlihatkan karamah bukanlah petunjuk ketidakwalian seseorang
Dengarkanlah ucapanku yang merupakan jawaban paling benar
Karamah itu terkadang tampak wujudnya
Sebagai keberuntungan bagi orang yang dimuliakan tetapi kemudian jeleklah jalannya
Peliharalah ilmu yang kau kuasai jangan kau ambil pengganti selain Tuhan
Menyembunyikan karamah wajib bagi para wali
Dan karenanya engkau tak akan diabaikan
Menampakkan karamah wajib bagi para rasul
Dengannya, wahyunya benar-benar turun"
Dengarkanlah ucapanku yang merupakan jawaban paling benar
Karamah itu terkadang tampak wujudnya
Sebagai keberuntungan bagi orang yang dimuliakan tetapi kemudian jeleklah jalannya
Peliharalah ilmu yang kau kuasai jangan kau ambil pengganti selain Tuhan
Menyembunyikan karamah wajib bagi para wali
Dan karenanya engkau tak akan diabaikan
Menampakkan karamah wajib bagi para rasul
Dengannya, wahyunya benar-benar turun"
Sebagaimana
wajib bagi para Rasul untuk menunjukkan tanda-tanda kekuasaan Allah dan karamah
mereka demi dakwahnya, demikian juga wajib bagi wali yang mengikuti jejak Nabi
untuk menyembunyikan karamahnya. Inilah madzhab jamaah, karena wali tidak
diwajibkan untuk menyatakan kewaliannya. Tidak semestinya seorang wali mengaku
memiliki karamah, karena hal tersebut tidak disyariatkan. Parameter syariat
telah ditetapkan di dunia ini dan ditegakkan oleh para ahli fatwa penyeru agama
Allah. Mereka adalah pemuka-pemuka agama ahli tajrih (mencela) dan ta'dil
(menganggap adil).
Apabila
seorang wali keluar dari aturan syariat yang telah ditetapkan, padahal ia
memiliki akal taklif, maka akibat perbuatan tersebut ditanggung dirinya
sendiri. Hal tersebut juga berlaku pada hal-hal yang disyariatkan. Jika seorang
wali melakukan perbuatan yang mengharuskan adanya had (hukuman) menurut zahir
syara', maka hakim wajib menetapkan hukuman atasnya. Meskipun para wali mungkin
termasuk hamba-hamba yang diampuni dosa-dosanya atau diperbolehkan melakukan
perbuatan yang diharamkan syara tanpa mendapatkan siksa, mereka tetap tidak
terlepas dari hukuman di dunia jika menyalahi syara'. Akan tetapi di akhirat,
Allah berkata kepada para pahlawan perang Badar tentang dimaafkannya
perbuatan-perbuatan mereka. Hal ini juga dinyatakan dalam sebuah hadis qudsi,
"Lakukan apa yang kau inginkan, karena Aku telah mengampunimu." Allah
tidak berkata kepada mereka, "Aku telah menggugurkan hukuman-hukuman
syara' yang ditetapkan atasmu di dunia." Di dunia, wali tetap terkena
hukum syara'. Seorang wali yang dikenai hudud akan diberi pahala dan sebenarnya
ia tidak berdosa, seperti Al-Hallaj dan orang-orang yang senasib dengannya.
Sikap wali
yang tidak menampakkan karamah adakalanya bersumber dari Allah, artinya Allah
tidak membekali wali tersebut sesuatu pun meskipun ia termasuk hambanya yang
terpilih, atau terkadang wali tersebut dianugerahi kekuatan, namun ia
membiarkannya tetap menjadi milik Allah, sehingga ia tidak menampakkannya sama
sekali. Kita melihat beberapa wali yang menjalani perilaku ini, sebagaimana
yang dikatakan Sayyid Abu Su'ud bin al-Syibli al-Baghdadi r.a., seorang
rasionalis pada masanya. Ada seseorang bertanya kepadanya, "Apakah Allah
menganugerahi Anda karamah?" Ia menjawab, "Ya, sejak umur 25 tahun
Allah telah memberi saya karamah dan saya meninggalkannya dengan baik, Allah
ridha jika kita melaksanakan perintah-Nya untuk menjadikan-Nya sebagai
wakil." Si penanya bertanya lagi, "Kemudian perintah apa lagi?"
Al-Syibli menjawab, "Shalat lima waktu dan menanti kematian. Manusia itu
laksana pengusir burung, mulutnya sibuk sementara kakinya terus melangkah."
Si penanya berkata, "Betapa mengagumkan apa yang dikatakannya, kecuali
perkataannya berikut ini:
"Kakinya
memijak kuat dalam genangan kematian. Ia berkata padanya tanpa menepiskannya"
Demikianlah
sikap seorang wali, kalau tidak demikian ia bukanlah seorang wali. Sayyid
Muhyiddin berkata, "Berkaitan dengan penjelasan di atas, suatu ketika
Allah berkata kepadaku secara rahasia, 'Barangsiapa menjadikan-Ku wakilnya,
maka ia telah melindungi-Ku. Barangsiapa melindungi-Ku, maka ia telah
meminta-Ku untuk menegakkan perhitungan yang telah ia jaga untuk-Ku.'
Perintahnya berbalik dan urutannya berganti. Inilah anugerah Allah kepada
hamba-hamba-Nya yang diridhai dan dipilih-Nya. Di atas anugerah tersebut, ada
anugerah yang senantiasa dicari seorang hamba. Seorang hamba yang teguh selalu
sadar dengan kemampuannya. Allah hanya akan menjadikan orang yang memiliki akal
dan anggota badan yang benar sebagai wakil-Nya. Jadi, tidak mungkin kebenaran
bisa diganti:
"Kebenaran
tetap kebenaran, makhluk tetap makhluk,hamba tetap hamba, dan Tuhan tetap
Tuhan"
Apabila
muncul peristiwa luar biasa seperti ini, menurut penulis, itu bukanlah karamah,
karena karamah merujuk kepada orang yang menampakkannya. Mungkin ada yang
sepakat dengan maqam ini seperti yang telah penulis sepakati dalam sidang yang
kami hadiri pada 586 H. Seorang filosof menyampaikan kepada kami bahwa ia
mengingkari kenabian berdasarkan batas yang ditetapkan oleh orang-orang Islam.
Ia mengingkari kejadian-kejadian luar biasa yang ditunjukkan oleh nabi, dan
bahkan kebenaran itu tidak akan berubah. Pada waktu itu musim dingin dan hujan,
Di hadapan kami ada tungku besar yang apinya menyala, kemudian si penyangkal
dan pendusta itu berkata, "Orang awam mengatakan bahwa Ibrahim dilemparkan
ke dalam api dan tidak terbakar di dalamnya, padahal api bersifat membakar
benda yang bisa terbakar. Api yang disebutkan dalam Al-Qur'an dalam kisah
Ibrahim merupakan kiasan tentang kemarahan dan dendam Namrud kepada Ibrahim.
Api yang dimaksud adalah api kemarahan. Ibrahim dilempar ke dalam api, karena
amarah itu ditujukan kepadanya, dan api kemarahan itu tidak membakar Ibrahim,
dengan kata lain kemarahan Namrud tidak mempengaruhi Ibrahim, karena baginya
telah jelas hujah yang diperolehnya, yakni dalil berupa terbenamnya cahaya.
Kalau saja cahaya itu adalah Tuhan pasti tidak akan terbenam. Dan Ibrahim
menjadikan ini sebagai dalil."
Setelah
penyangkal itu menyelesaikan ucapannya, salah seorang hadirin berkata,
"Yang jelas, Sayyid Muhyiddin Ibnu 'Arabi mampu menampakkan karamah
seperti ini (tidak terbakar api), karena dia memiliki maqam dan kedudukan.
Kalau boleh aku memberitahumu, aku meyakini firman Allah yang menyatakan bahwa
api itu tidak membakar Ibrahim secara makna lahir, sebagaimana dinyatakan dalam
firman-Nya, Hai api menjadi dinginlah dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim
(QS Al-Anbiya' [21]: 69). Aku tegaskan bahwa Ibrahim berada dalam maqam. Dan
itu adalah mukjizatnya."
Sang
penyangkal berkata, "Itu tidak mungkin terjadi." Lalu Syaikh
Muhyiddin berkata kepadanya, "Bukankah api ini membakar?" Jawabnya,
"Ya." Syaikh Muhyiddin berkata lagi, "Lihatlah sendiri."
Kemudian ia
melemparkan api dari tungku ke pangkuan sang penyangkal itu. Api itu masih
melekat di atas pakaiannya, ia membolak-balik api itu dengan tangannya, tetapi
tidak membakarnya, sehingga si panyangkal merasa heran. Lalu dikembalikannya
api itu ke dalam tungku, kemudian Syaikh Muhyiddin berkata kepadanya,
"Dekatkan tanganmu ke dalam api itu!" Si penyangkal mendekatkan
tangannya ke dalam api hingga tangannya masuk. Syaikh berkata padanya,
"Demikianlah adanya, api diperintah untuk membakar sesuatu atau untuk
tidak membakarnya. Allah Maha Berkuasa melakukan apa yang
dikehendaki-Nya." Akhirnya si penyangkal itu masuk Islam dan mengakui
mukjizat Nabi Ibrahim A.S.
Contoh orang
yang tidak mengakui karamah muncul pada masa setelah Rasulullah SAW
Bukti-bukti
kekuasaan Allah atas kebenaran Rasulullah SAW berfungsi untuk menunjukkan
kebenaran syariat dan agama Islam, bukan semata-mata untuk menunjukkan Muhammad
SAW sebagai wali Allah dengan hal-hal luar biasa yang dimilikinya. Inilah makna
dari meninggalkan karamah bagi kelompok Al-Mulamatiyyah khususnya. Adapun
menurut ulama-ulama besar, para sufi menampakkan karamah sebagai bagian dari
gerakan jiwa, kecuali menurut batas yang telah kami sebutkan. Demikianlah
pendapat Muhyiddin Ibnu 'Arabi r.a., seorang yang selalu berkata benar dan
jujur.
Tidak
diragukan lagi bahwa mukjizat Nabi SAW. dan bukti-bukti yang menunjukkan
kebenaran dan kesahihan agama serta kenabiannya, sebagian muncul karena
permintaan orang-orang musyrik seperti terbelahnya rembulan, sebagian lagi
muncul karena permintaan kaum muslimin seperti melimpahnya air dan makanan, dan
sebagian lagi muncul bukan karena permintaan seseorang seperti berita-berita
tentang kejadian-kejaidan gaib. Karena karamah para wali merupakan bagian dari
mukjizat Nabi Saw., berarti mereka menampakkan karamah sebagai ganti dari Nabi
SAW. Sebagimana yang dikatakan Sayyid Muhyiddin, "Para wali harus
mengeluarkan berbagai macam karamah dengan cara sebagaimana mukjizat Nabi
dimunculkan yakni sebagian karena permintaan orang-orang kafir, sebagian karena
permohonan kaum muslimin, dan sebagian lagi tanpa diminta. Semua itu memiliki
manfaat besar bagi yang menyaksikannya, baik bagi mereka yang melihat rahasia tersebut
atau tidak. Tidak sedikit karamah yang menjadi sebab semakin kuatnya iman
orang-orang yang menyaksikannya. Inilah manfaat besar yang dikehendaki menurut
syara'. Karamah wajib disembunyikan ketika tidak ada hikmah dan faedah
menampakkannya. Kita harus berprasangka baik bahwa para wali yang
memperlihatkan karamah tidak bermaksud memamerkan kewaliannya, tetapi mereka
pasti punya tujuan lain yang sesuai dengan syara', meskipun pengaruhnya tidak
terlihat oleh kita seperti untuk memperkuat iman para hadirin yang menyaksikan-
nya atau menampakkan kemulian dan kebenaran agama yang lurus ini."
Janganlah
berburuk sangka kepada salah seorang wali bahwa ia menampilkan karamah untuk
menetapkan kewalian dirinya dan menambah pengaruh dirinya atas orang lain. Para
wali pasti tidak akan melakukan hal tersebut dan pasti menyadari bahwa mereka
seharusnya menyembunyikan karamah. Bagaimana mungkin mereka memperlihatkannya,
sehingga diharamkan keberkahannya. Tetapi yakinlah bahwa mereka tidak
menampakkannya kecuali berdasarkan hukum yang benar dan niat yang lurus yakni
untuk mencari ridha Allah dan mengabdi kepada agama-Nya yang lurus. Ketika
itulah, para wali menempati maqam pemilik mukjizat, yaitu pemimpin para rasul,
Muhammad SAW. Kebanyakan karamah yang dianugerahkan Allah kepada mereka muncul
karena dipaksakan dan tanpa ikhtiar. Semoga Allah melimpahkan kebaikan kepada
kita dengan berkah mereka, dan semoga Allah tidak memberi kita kemampuan untuk
menentang mereka, karena mereka adalah wali Allah. Allah Swt. berfirman dalam
hadis qudsi, "Barangsiapa menyakiti wali-Ku, maka Aku izinkan
memeranginya." Maksudnya, Allah memberitahukan akan memerangi orang yang
menyakiti wali-Nya dan menjadi musuhnya. Para ulama menyatakan bahwa peringatan
keras ini hanya diberikan kepada mereka yang menyakiti para wali dan memakan
riba. Kita memohon kepada Allah agar diberi kekuatan yang sempurna dalam agama,
dunia, dan akhirat.
Imam Yafi'i
menjelaskan dalam Raudh al-Rayyahin, "Manusia yang mengingkari karamah ada
berbagai macam; ada yang mengingkari karamah para wali secara mutlak, ada yang
mendustakan karamah para wali pada masanya tetapi mempercayai karamah para wali
yang bukan masanya, seperti Ma'ruf, Sahi, Al-Junaid, dan lain-lain. Mereka
adalah orang-orang yang oleh Abu Hasan al-Syadhily r.a., dikatakan, 'Demi
Allah, tidak ada yang bertindak demikian selain kaum Bani Israil. Mereka
percaya kepada Musa tetapi mendustakan Muhammad SAW. karena mereka semasa
dengan Musa. Ada sebagian orang yang mempercayai bahwa wali-wali Allah memiliki
karamah, tetapi tidak meyakini karamah satu orang wali pun yang hidup pada
masanya.
Mereka ini
terhalang mendapatkan berkah karamah, karena barang-siapa tidak mengakui
karamah seorang wali, maka ia tidak akan bisa mengambil manfaat dari karamah
wali lainnya. Hanya kepada Allahlah kita mohon pertolongan dan husnul khatimah
(akhir yang baik)." Imam Yafi'i mengatakan bahwa ketika beberapa ulama
besar ditanya tentang karamah wali, mereka menjawab, "Barangsiapa
menyangkal karamah padahal ia tidak mengerti sedikit pun tentang karamah dan
tidak mampu memikirkannya, maka hendaklah ia kembali pada pemikiran bahwa
sesungguhnya Allah Maha berkuasa melakukan apa yang dikehendaki-Nya dan Maha
menetapkan apa yang Dia inginkan." Menurut Imam Yafi'i, sikap para
penyangkal karamah ini sangat aneh, padahal karamah-karamah itu telah
dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur'an yang mulia, hadis-hadis sahih, atsar-atsar
terkenal, hikayat-hikayat yang diriwayatkan oleh orang-orang yang melihat dan
menyaksikan langsung, ulama salaf dan khalaf, dan begitu banyak jumlahnya yang
tersebar di seluruh negeri, sampai tak terhitung banyaknya. Mayoritas
penyangkal karamah, kalau mereka melihat langsung para wali dan orang-orang
saleh terbang di udara, mereka akan menganggap itu sihir atau menuduh mereka
setan. Tidak diragukan lagi bahwa orang yang mengharamkan taufiq lalu
mendustakan kebenaran karamah karena dianggap tidak masuk akal dan dengki,
berarti ia mendustakan hal-hal yang tampak di depan mata dan yang tertangkap
oleh fisik.
Sebagaimana firman Allah, dan Dialah Yang Maha benar perkataan-Nya,
"Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka
dapat memegangnya dengan tangan mereka sendiri, tentulah orang-orang kafir itu
berkata, "Ini benar-benar sihir yang nyata." "(QS Al-An' am [6]:
Tiada ulasan:
Catat Ulasan