“Kenapa saya
harus mengingkari ajaran Islam? Padahal dengan susah payah saya meraihnya.
Tidak mungkin saya melepaskan ajaran Islam dari diri saya seperti halnya saya
menanggalkan jubah putih. Itu berbeda, Kanjeng Sunan Giri.” tukas Sunan
Kalijaga. “Saya lebih memilih melakukan pendekatan budaya, ketimbang
menggunakan tata cara yang bersipat asing bagi mereka.”
Masjid Demak
Bintoro sejenak dalam keadaan hening. Tidak terdengar lagi suara yang
bercakap-cakap, selain bergeraknya tasbih di tangan para wali.
***
“Inilah
padepokanku, Kisanak!” ucap Syekh Siti Jenar.
“Indah dan
asri pemandangannya, Syekh.” Kebo Benowo tercengang melihat keindahan Padepokan
Syekh Siti Jenar. Udaranya sejuk, keadaannya tenang, pohon hijau
berselang dengan tanaman hias memagari jalan setapak yang sedikit menanjak
menuju gerbang padepokan.
“Tentu saja
harus indah dan asri, karena Allah itu Maha Indah. Kita selaku umatnya sudah
seharusnya menciptakan suatu keindahan, agar kita mudah menyatukan diri
dengannya. Kita berdialog dengan Allah, yang memiliki segala hal dan
menciptakan segala makhluk.” terang Syekh Siti Jenar. “Masuklah kisanak!”
“Terimakasih,
Syekh.” Kebo Benowo, masuk lebih dulu diikuti kedua teamnnya.
“Sebab jika
kita merasa tertarik pada sesuatu, tentu saja kita akan selalu ingin
memandangnya dan merasa kerasan untuk menikmatinya.” Syekh Siti Jenar duduk
bersila di atas tikar pandan. Dihadapannya Kebo Benowo dan kedua temannya.
“Sungguh
benar yang Syekh katakan.” ucap Kebo Benowo datar.
“Namun ruangan ini cukup luas, banyakkah orang yang berkumpul disini dan berguru pada, Syekh?” matanya mengitari seluruh ruangan.
“Namun ruangan ini cukup luas, banyakkah orang yang berkumpul disini dan berguru pada, Syekh?” matanya mengitari seluruh ruangan.
“Untuk apa
saya membuat ruangan sebesar ini jika tidak ada orang yang mau menempatinya.”
Syekh Siti Jenar melirik ke arah gerbang padepokan. “Lihatlah disana!”
“Banyak
sekali orang yang sedang menju ke padepokan ini?” Kebo Benowo dan dua temannya
tercengang, melihat rombongan orang yang berduyun-duyun memasuki gerbang
padepokan. “Jika demikian, bukanlah kami ini murid Syekh yang pertama.”
“Itulah
sebuah kenyataan.” ujar Syekh Siti Jenar tenang.
“Jika
demikian saya tidak akan bisa berkonsentrasi menyerap ilmu yang akan diajarkan
Syekh?” wajah Kebo Benowo menggambarkan kekhawatiran.
“Mengapa
tidak, Kisanak? Sebab saya tidak memiliki ilmu apa pun, dan tidak pula
menganggap istimewa satu sama lainnya. Karena mereka memiliki asal yang sama
dan kembali pada tempat yang sama.” terang Syekh Siti Jenar.
“O,…” Kebo
Benowo dan temannya mengangguk-anggukan kepala. Namun tetap dalam hatinya
merasa keberatan jika harus berjubel dan belajar dengan banyak orang. Karena
tujuan mereka berguru ingin memiliki ilmu lebih dibandingkan dengan orang lain,
tujuannya pun untuk menguasai orang lain.
“Kenapa saya harus mengingkari ajaran Islam?
Padahal dengan susah payah saya meraihnya. Tidak mungkin saya melepaskan ajaran
Islam dari diri saya seperti halnya saya menanggalkan jubah putih. Itu berbeda,
Kanjeng Sunan Giri.” tukas Sunan Kalijaga. “Saya lebih memilih melakukan
pendekatan budaya, ketimbang menggunakan tata cara yang bersipat asing bagi
mereka.”
Masjid Demak
Bintoro sejenak dalam keadaan hening. Tidak terdengar lagi suara yang
bercakap-cakap, selain bergeraknya tasbih di tangan para wali.
***
“Inilah
padepokanku, Kisanak!” ucap Syekh Siti Jenar.
“Indah dan
asri pemandangannya, Syekh.” Kebo Benowo tercengang melihat keindahan Padepokan
Syekh Siti Jenar. Udaranya sejuk, keadaannya tenang, pohon hijau
berselang dengan tanaman hias memagari jalan setapak yang sedikit menanjak
menuju gerbang padepokan.
“Tentu saja
harus indah dan asri, karena Allah itu Maha Indah. Kita selaku umatnya sudah
seharusnya menciptakan suatu keindahan, agar kita mudah menyatukan diri
dengannya. Kita berdialog dengan Allah, yang memiliki segala hal dan
menciptakan segala makhluk.” terang Syekh Siti Jenar. “Masuklah kisanak!”
“Terimakasih,
Syekh.” Kebo Benowo, masuk lebih dulu diikuti kedua teamnnya.
“Sebab jika
kita merasa tertarik pada sesuatu, tentu saja kita akan selalu ingin
memandangnya dan merasa kerasan untuk menikmatinya.” Syekh Siti Jenar duduk
bersila di atas tikar pandan. Dihadapannya Kebo Benowo dan kedua temannya.
“Sungguh
benar yang Syekh katakan.” ucap Kebo Benowo datar.
“Namun ruangan ini cukup luas, banyakkah orang yang berkumpul disini dan berguru pada, Syekh?” matanya mengitari seluruh ruangan.
“Namun ruangan ini cukup luas, banyakkah orang yang berkumpul disini dan berguru pada, Syekh?” matanya mengitari seluruh ruangan.
“Untuk apa
saya membuat ruangan sebesar ini jika tidak ada orang yang mau menempatinya.”
Syekh Siti Jenar melirik ke arah gerbang padepokan. “Lihatlah disana!”
“Banyak
sekali orang yang sedang menju ke padepokan ini?” Kebo Benowo dan dua temannya
tercengang, melihat rombongan orang yang berduyun-duyun memasuki gerbang
padepokan. “Jika demikian, bukanlah kami ini murid Syekh yang pertama.”
“Itulah sebuah
kenyataan.” ujar Syekh Siti Jenar tenang.
“Jika
demikian saya tidak akan bisa berkonsentrasi menyerap ilmu yang akan diajarkan
Syekh?” wajah Kebo Benowo menggambarkan kekhawatiran.
“Mengapa
tidak, Kisanak? Sebab saya tidak memiliki ilmu apa pun, dan tidak pula
menganggap istimewa satu sama lainnya. Karena mereka memiliki asal yang sama
dan kembali pada tempat yang sama.” terang Syekh Siti Jenar.
“O,…” Kebo
Benowo dan temannya mengangguk-anggukan kepala. Namun tetap dalam hatinya
merasa keberatan jika harus berjubel dan belajar dengan banyak orang. Karena
tujuan mereka berguru ingin memiliki ilmu lebih dibandingkan dengan orang lain,
tujuannya pun untuk menguasai orang lain.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan