Karangan
Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani
1.5 Perbedaan Antara Karamah Dan Istidraj
Perlu
diketahui bahwa siapa saja yang menginginkan sesuatu dan keinginannya itu
dikabulkan oleh Allah, maka itu belum tentu menunjukkan bahwa ia seorang hamba
yang mulia di sisi Allah, baik pemberian Allah tersebut sesuai atau berbeda
dengan kebiasaan. Akan tetapi pemberian Allah tersebut bisa berarti
penghormatan Allah untuk hamba-Nya (karamah) atau tipuan untuknya (istidraj).
Dalam Al-Qur'an, istilah istidraj diungkapkan dengan beberapa istilah:
1.
Al-istidraj, seperti dinyatakan dalam firman Allah:
Kami (Allah)
akan memperdaya mereka secara berangsur-angsur dengan cara yang tidak mereka
ketahui. (QS Al-A'raf [7]: 182)
Makna al-istidraj dalam ayat ini adalah Allah mengabulkan semua keinginannya di dunia agar pembangkangan, kesesatan, kebodohan, dan kedurhakaan mereka semakin bertambah, hingga setiap hari semakin jauh dari Allah. Pada praktiknya, menurut logika, mengulang-ulang perbuatan akan menyebabkan pelaku semakin kuat menguasai perbuatan yang diulang-ulangnya. Bila hati seorang hamba condong kepada dunia, kemudian Allah mengabulkan keinginannya, maka ketika itulah ia mencapai apa yang diinginkannya, sehingga akan diperoleh kenikmatan, dan adanya kenikmatan akan semakin menambah kecondongan kepada dunia, lalu kecondongan kepada dunia mengharuskannya untuk semakin keras berusaha untuk mencapai keduniaan. Selamanya, setiap tahapan akan mendorong kepada tahapan selanjutnya, dan setiap tahapan akan semakin menguat secara gradual. Sudah dimaklumi bahwa kesibukan orang terhadap kenikmatan yang menyenangkan ini akan menghalangi diri dari maqam-maqam mukasyafah (tingkat ketersingkapan cahaya) dan derajat ma'rifat, dan sudah tentu akan semakin menjauhkan diri dari Allah, setahap demi setahap hingga mencapai puncak kecondongannya kepada dunia. Inilah yang dinamakan istidraj.
Makna al-istidraj dalam ayat ini adalah Allah mengabulkan semua keinginannya di dunia agar pembangkangan, kesesatan, kebodohan, dan kedurhakaan mereka semakin bertambah, hingga setiap hari semakin jauh dari Allah. Pada praktiknya, menurut logika, mengulang-ulang perbuatan akan menyebabkan pelaku semakin kuat menguasai perbuatan yang diulang-ulangnya. Bila hati seorang hamba condong kepada dunia, kemudian Allah mengabulkan keinginannya, maka ketika itulah ia mencapai apa yang diinginkannya, sehingga akan diperoleh kenikmatan, dan adanya kenikmatan akan semakin menambah kecondongan kepada dunia, lalu kecondongan kepada dunia mengharuskannya untuk semakin keras berusaha untuk mencapai keduniaan. Selamanya, setiap tahapan akan mendorong kepada tahapan selanjutnya, dan setiap tahapan akan semakin menguat secara gradual. Sudah dimaklumi bahwa kesibukan orang terhadap kenikmatan yang menyenangkan ini akan menghalangi diri dari maqam-maqam mukasyafah (tingkat ketersingkapan cahaya) dan derajat ma'rifat, dan sudah tentu akan semakin menjauhkan diri dari Allah, setahap demi setahap hingga mencapai puncak kecondongannya kepada dunia. Inilah yang dinamakan istidraj.
2. Al-makr, seperti
dinyatakan dalam firman Allah:
- Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah yang tidak terduga-duga? Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. (QS Al-A'raf [71: 99)
- Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (QS Ali'Imran [31:54)
- Mereka pun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar pula, sedang mereka tidak menyadari. (OS Al-Naml T271:50)
3. Al-kaid
(tipu daya), seperti dinyatakan dalam firman Allah,
Sesungguhnya
orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka.
(QS Al-Nisa' [4]: 142)
4. Al-imla
(memberi tangguh), sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah:
Dan
janganlah sekali-kali orang-orang kafir itu menyangka bahwa masa penangguhan
yang Kami berikan kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya
Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya dosa mereka bertambah. (QS
Ali 'Imran [3]: 178)
5. Al-ihlak
(siksaan), sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah:
Sehingga
apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami
siksa mereka dengan sekonyong-konyong. (QS Al-An'am [6]: 44)
Dan dalam firman Allah tentang Fir'aun,
Dan berlaku angkuhlah Fir'aun dan bala tentaranya di bumi tanpa alasan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada Kami. Maka Kami hukum Fir'aun dan bala tentaranya, lalu Kami tenggelamkan mereka ke dalam lautan (QS Al-Qashash [28]: 39-40).
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa tercapainya keinginan seorang hamba tidak menunjukkan kesempurnaan derajat dan keberuntungan mendapat kebaikan.
Perbedaan antara karamah dan istidraj adalah bahwa pemilik karamah tidak begitu senang dengan karamah yang dimilikinya, bahkan karamah itu membuatnya semakin takut kepada Allah, kewaspadaannya terhadap siksa Allah semakin kuat, karena ia takut kalau-kalau hal tersebut merupakan istidraj. Sedangkan pemilik istidraj sangat senang dengan hal-hal luar biasa yang ada pada dirinya dan mengira bahwa karamah itu ada pada dirinya karena ia berhak memilikinya. Karena itu ia memandang rendah orang lain, membanggakan diri sendiri, dan merasa aman dari tipu daya dan siksaan Allah, dan tidak takut kepada siksa Allah. Jika sikap seperti ini muncul pada diri seorang pemilik karamah, berarti yang dimilikinya bukanlah
karamah tetapi istidraj.
Dan dalam firman Allah tentang Fir'aun,
Dan berlaku angkuhlah Fir'aun dan bala tentaranya di bumi tanpa alasan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada Kami. Maka Kami hukum Fir'aun dan bala tentaranya, lalu Kami tenggelamkan mereka ke dalam lautan (QS Al-Qashash [28]: 39-40).
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa tercapainya keinginan seorang hamba tidak menunjukkan kesempurnaan derajat dan keberuntungan mendapat kebaikan.
Perbedaan antara karamah dan istidraj adalah bahwa pemilik karamah tidak begitu senang dengan karamah yang dimilikinya, bahkan karamah itu membuatnya semakin takut kepada Allah, kewaspadaannya terhadap siksa Allah semakin kuat, karena ia takut kalau-kalau hal tersebut merupakan istidraj. Sedangkan pemilik istidraj sangat senang dengan hal-hal luar biasa yang ada pada dirinya dan mengira bahwa karamah itu ada pada dirinya karena ia berhak memilikinya. Karena itu ia memandang rendah orang lain, membanggakan diri sendiri, dan merasa aman dari tipu daya dan siksaan Allah, dan tidak takut kepada siksa Allah. Jika sikap seperti ini muncul pada diri seorang pemilik karamah, berarti yang dimilikinya bukanlah
karamah tetapi istidraj.
Orang-orang
yang berpegang pada kebenaran (Al-Muhaqqiqun) mengatakan bahwa ada kesepakatan
bahwa keterputusan dari hadirat Allah sebagian besar terjadi dalam kondisi
memiliki karamah. Tidak diragukan lagi, golongan Al-Muhaqqiqun takut kepada
karamah, seperti rasa takut mereka kepada berbagai macam cobaan. Rasa senang
kepada karamah dapat memutuskan jalan kepada Allah. Hal ini dapat dijelaskan
dengan beberapa hujjah:
Hujjah pertama: Ketertipuan ini terjadi, ketika seseorang yakin bahwa
dirinya berhak memperoleh karamah dan sekiranya ia bukanlah orang yang berhak
mendapatkannya maka tidak akan muncul rasa bangga itu bahkan rasa bangganya itu
muncul hanya karena karamah wali. Keutamaan karamahnya lebih besar daripada
kebahagiaan karena karamah itu sendiri. Kebahagiaan dengan adanya karamah itu
melebihi kebahagiaan pada dirinya sendiri. Jelas bahwa kebahagiaan karena
adanya karamah tidak akan muncul kecuali dengan adanya keyakinan bahwa
dirinyalah pemilik karamah itu dan yang berhak mendapatkannya. Ini adalah
kebodohan yang nyata karena para malaikat saja berkata, Tidak ada yang kami
ketahui kecuali dari apa yang Engkau ajarkan kepada kami (QS Al-Baqarah [2]:
32). Dan Allah berfirman, Dan mereka tidak menghormati Allah dengan
penghormatan yang semestinya (QS Al-An'am [6]: 91). Ada dalil meyakinkan yang
menyatakan bahwa makhluk tidak berhak mendakwakan kebenaran, maka bagaimana
mungkin ada orang mengaku berhak mempunyai karamah.
Hujjah kedua: Karamah adalah sesuatu yang
senantiasa tergantung pada Allah Swt. Rasa senang karena memiliki karamah
adalah senang kepada sesuatu yang bukan haknya. Rasa senang kepada sesuatu yang
bukan haknya merupakan penghalang kebenaran, dan orang yang terhalang dari kebenaran bagaimana mungkin layak untuk senang dan bergembira?
bukan haknya merupakan penghalang kebenaran, dan orang yang terhalang dari kebenaran bagaimana mungkin layak untuk senang dan bergembira?
Hujjah
ketiga: Orang yang
yakin bahwa dirinya berhak memiliki karamah karena merasa amal perbuatannya
memiliki pengaruh besar dalam dirinya dan merasa bahwa perbuatannya bernilai
atau berpengaruh pada dirinya adalah orang yang bodoh. Kalau saja ia mengenal
Tuhan, ia pasti menyadari semua ketaatan makhluk di sisi Allah itu hanya
sedikit, semua rasa syukur mereka atas anugerah dan nikmat-Nya itu juga sangat
sedikit, dan semua pengetahuan dan ilmu mereka dibandingkan dengan keagungan
Allah hanyalah kebingungan dan kebodohan saja.
Ketika Ustaz Abu 'Ali al-Daqaq mengkaji firman Allah yang berbunyi Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya (QS Fathir [35]:10), di majelisnya ia berkata, "Pertanda bahwa amalmu dinaikkan oleh Allah adalah jika kamu tidak mengingat-ingatnya. Jika kamu mengingat-ingat amalmu, berarti amalmu ditolak, sebaliknya bila kamu tidak mengingat-ingatnya, berarti amalmu diterima dan dinaikkan oleh Allah Swt."
Ketika Ustaz Abu 'Ali al-Daqaq mengkaji firman Allah yang berbunyi Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya (QS Fathir [35]:10), di majelisnya ia berkata, "Pertanda bahwa amalmu dinaikkan oleh Allah adalah jika kamu tidak mengingat-ingatnya. Jika kamu mengingat-ingat amalmu, berarti amalmu ditolak, sebaliknya bila kamu tidak mengingat-ingatnya, berarti amalmu diterima dan dinaikkan oleh Allah Swt."
Hujjah
keempat: Pemilik
karamah merasa bahwa karamah yang dimilikinya justru untuk memperlihatkan
kerendahan hati dan ketundukan di hadapan Allah. Jika ia merasa bangga, tinggi
hati, dan sombong disebabkan karamah yang dimilikinya, maka batallah segala
sesuatu yang menyebabkannya menerima karamah. Sikap seperti inilah yang membuat
pemilik karamah tertolak. Oleh karena itu, setiap kali Rasulullah Saw.
menceritakan tentang manaqib (keistimewaan) dan keutamaan dirinya, beliau
selalu mengakhirinya dengan kalimat, "Tiada kebanggaan," maksudnya
"Aku tidak bangga dengan karamah yang kumiliki ini, yang aku banggakan
adalah Zat yang memberi karamah."
Hujjah
kelima: Kemunculan
hal-hal luar biasa pada iblis dan bal'am begitu menakjubkan, tetapi kemudian
Allah berfirman kepada iblis, Ia termasuk golongan kafir, kepada bal'am, Ia
seperti anjing, dan kepada ulama Bani Israil, Perumpamaan orang-orang yang
memegang Taurat, tetapi tidak mengamalkannya adalah seperti keledai yang membawa
kitab-kitab yang tebal (QS Al-Jumu'ah [62]: 5), juga firman-Nya kepada Bani
Israil, Orang-orang yang telah diberi Al-Kitab tidak berselisih, kecuali
setelah datang ilmu kepada mereka, di antara mereka kemudian ada yang
membangkang (QS Ali 'Imran [3]: 19). Jadi jelaslah bahwa kegelapan dan
kesesatan yang menimpa mereka disebabkan karena rasa bangga dengan ilmu dan
kezuhudan yang diberikan kepada mereka.
Hujjah
keenam: Karamah
bukanlah kemuliaan, dan segala sesuatu yang tidak mulia adalah kehinaan.
Barangsiapa memuliakan kehinaan berarti ia hina, karena itu Nabi Ibrahim a.s.
berkata, "Adapun bagi-Mu, itu tidak berarti apa-apa." Merasa cukup
dengan kefakiran adalah fakir, takwa dengan kelemahan adalah lemah, merasa
sempurna dengan kekurangan adalah kurang, bahagia dengan semua hal yang
diperkenankan dan menerima seluruh kebenaran adalah sikap ikhlas. Fakir adalah
ketika seseorang senang dengan kemuliaan yang menjatuhkan derajatnya. Jika
seseorang melihat karamah, sesunggu-hnya setiap ia melihat keperkasaan niscaya
ia melihat sang pemberi keperkasaan, dan setiap ia melihat ciptaan niscaya ia
melihat penciptanya.
Hujjah
ketujuh: Bangga
terhadap diri dan sifat-sifatnya termasuk sifat-sifat iblis dan Fir'aun. Iblis
berkata, Aku lebih baik daripada Adam (QS Al-A'raf [7]: 12) dan Fir'aun
berkata, Bukankah kerajaan Mesir ini adalah kepunyaanku (QS Al-Zukhruf [43]:
51). Setiap orang yang mengaku nabi atau tuhan secara dusta, maka ia tidak
memiliki tujuan apa-apa, kecuali untuk menghias diri, memperkuat ketamakan dan
kebanggaan diri. Oleh karena itu, Rasulullah Saw. bersabda, "Ada tiga hal
yang merusak, yang terakhir adalah orang yang membanggakan diri."
Hujjah
kedelapan: Allah
berfirman, Berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan
hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur (QS Al-A'raf [7]: 144). Dan
sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu apa yang diyakini (ajal) (QS Al-Hijr
[15]: 99). Ketika Allah menganugerahkan karunia yang melimpah kepada kita, kita
diperintah untuk menyibukkan diri dengan melayani Sang Pemberi, bukan malah
bangga dengan karunia yang diberikan-Nya itu.
Hujjah
kesembilan: Ketika
Nabi Saw. disuruh oleh Allah untuk memilih antara menjadi raja yang nabi atau
hamba yang nabi, beliau tidak memilih posisi raja, padahal tidak diragukan
bahwa posisi raja yang meliputi daerah Timur dan Barat adalah kemuliaan, bahkan
mukjizat. Namun Nabi Saw. meninggalkan singgasana dan memilih penghambaan
('ubudiyah)kepada Allah. Sebab ketika menjadi seorang hamba, kebanggaannya
diarahkan kepada tuannya. Tetapi ketika menjadi raja, kebanggaannya diarahkan
kepada budaknya. Ketika Nabi Saw. memilih penghambaan, sudah tentu dia
menjadikan sunnah sebagai peng-
hormatan seperti yang diriwayatkan Ibnu Mas'ud, "Aku bersaksi bahwa Muhammmad Saw. adalah hamba dan utusan-Nya." Allah berfirman tentang mi'raj Nabi Saw., Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam. (QS Al-Isra' [17]: 1)
hormatan seperti yang diriwayatkan Ibnu Mas'ud, "Aku bersaksi bahwa Muhammmad Saw. adalah hamba dan utusan-Nya." Allah berfirman tentang mi'raj Nabi Saw., Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam. (QS Al-Isra' [17]: 1)
Hujjah
kesepuluh: Mencintai
tuan itu tidak ada artinya, mencintai sesuatu demi tuan juga tidak ada artinya.
Barangsiapa mencintai, maka ia tidak akan senang dan gembira selain dengan
kekasihnya. Kesenangan dan kegembiraan dengan selain Allah menunjukkan bahwa ia
tidak mencintai tuannya, tetapi ia hanya mencintai bagian dari nafsunya sendiri
dan bagian dari nafsu hanya dituntut oleh nafsu. Orang seperti ini hanya
mencintai dirinya sendiri. Sebenarnya ia tidak mencintai tuannya, ia hanya
menjadikan tuannya sebagai sarana untuk memperoleh apa yang dicarinya. Berhala
besar adalah nafsu, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Terangkanlah
kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya (QS
Al-Furqan [25]: 43). Manusia seperti ini adalah hamba berhala agung hingga para
muhaqqiqin mengemukakan bahwa mudarat karena menyembah berhala tidak sebesar mudarat
karena menyembah nafsu, rasa takut karena menyembah berhala tidak sebesar rasa
takut karena merasa bangga dengan adanya karamah.
Hujjah
kesebelas: Allah
berfirman, Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberinya jalan
keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan
barangsiapa bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
keperluannya (QS Al-Thalaq [65]: 2-3). Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang
tidak bertakwa dan bertawakkal kepada Allah, maka tidak akan memperoleh apa-apa
dari perbuatan dan keadaan mereka itu.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan