Begitulah Abu Hurairah menjelaskan mengapa ia menjadi
seorang yang paling banyak mengelurkan riwayat hadis dari Rasulullah saw.
Pertama, karena ia banyak meluangkan waktunya untuk
menyertai Nabi lebih banyak dari para sahabat lainnya.
Kedua, karena ia memiliki daya ingatan yang sangat
kuat, yang telah diberi berkat oleh Rasulullah, hingga ia jadi semakin kuat.
Ketiga, ia menceritakan hadis bukan karena ia gemar
bercerita, tetapi karena keyakinan bahwa menyebarluaskan hadits-hadis Nabi,
merupakan tanggungjawabnya terhadap agama dalam hidupnya. Jika hal itu tidak
dilakukannya, berarti ia menyembunyikan kebaikan dan haq, dan termasuk orang
yang lalai yang sudah barang tentu ia akan menerima adzab karena kelalaiannya.
Oleh sebab itulah, ia terus saja memberitakan hadits,
tak ada suatupun yang bisa menghalanginya dan tak seorangpun boleh melarangnya.
Hingga pada suatu hari Amirul Mukminin, Umar bin Khattab berkata kepadanya,
“Hendaklah kamu hentikan menyampaikan berita dari Rasulullah! Jika tidak, maka
akan kukembalikan kau ke Tanah Daus…!” (yaitu tanah kaum dan keluarganya).
Tetapi larangan ini mempunyai maksud sebagai
pengukuhan dari suatu pandangan yang dipandang baik oleh Umar, yaitu agar
orang-orang Islam dalam jangka waktu tertentu tidak menghafal yang lain,
kecuali Al-Qur’an sampai ia melekat dan mantap dalam hati sanubari dan pikiran
mereka.
Oleh sebab itu Umar berpesan, “Sibukkanlah dirimu
dengan Al-Qur’an karena itu adalah kalam Allah, dan kurangilah meriwayatkan
hadis perihal Rasulullah kecuali yang berkenaan dengan amal perbuatannya!”
Abu Hurairah sangat menghargai pandangan Umar, tetapi
ia juga percaya pada dirinya dan tetap teguh mengemban amanat, hingga ia tidak
hendak menyembunyikan suatu pun dari hadis yang diyakininya bahwa
menyembunyikannya adalah dosa dan kejahatan…
Ada suatu hal yang selalu merisaukan hati dan dapat
menimbulkan kesulitan bagi Abu Hurairah, yaitu adanya tukang hadis lain yang
menyebarkan hadis-hadis Rasulullah dengan menambah-nambah dan melebih-lebihkan,
sehingga sebagian sahabat merasa tidak puas terhadap sebagian besar
hadis-hadisnya. Orang itu bernama Ka’ab Al-Ahbaar, seorang Yahudi yang masuk
Islam.
Suatu hari Marwan bin Hakam bermaksud menguji
kemampuan menghafal Abu Hurairah. Dipanggillah Abu Hurairah untuk menemuinya
dan dibawa duduk bersamanya, lalu dimintanya Abu Hurairah untuk meriwayatkan
hadis-hadis gari Rasulullah saw.
Sementara itu disuruhnya seseorang untuk menuliskan
apa yang diceritakan oleh Abu Hurairah dari balik dinding. Sesudah berlalu satu
tahun lamanya, dipanggillah Abu Hurairah kembali, dan dimintanya membacakan
kembali hadis-hadis yang dulu yang telah di tulis oleh sekretarisnya. Ternyata
tak ada yang terlupa sedikitpun walau hanya satu kalimat atau sepatah katapun.
Ia pernah berkata tentang dirinya: “Tidak ada
seorangpun dari sahabat-sahabat Rasul yang lebih banyak menghafal hadis
daripadaku, kecuali Abdullah bin Amr bin Ash, karena ia pandai menuliskannya
sedang aku tidak”. Imam Syafi’i pernah mengemukakan pendapatnya tentang Abu
Hurairah, “Ia seorang yang paling banyak hafal diantara seluruh perawi hadis
pada masanya”. Sementara Imam Bukhari menyatakan, “Ada kira-kira delapan ratus
orang atau lebih dari sahabat Tabi’in dan ahli ilmu yang meriwayatkan hadis
dari Abu Hurairah”.
Abu Hurairah adalah seorang yang ahli ibadah, ia
selalu melakukan ibadah bersama istri dan anak-anaknya semalam-malaman secara
bergiliran. Mula-mula ia bangun sambil shalat sepertiga malam kemudian
dilanjutkan oleh istrinya sepertiga malam dan sepertiganya lagi dimanfaatkan
oleh putrinya”. Dengan demikian, tak ada waktu sedikitpun berlalu setiap malam
di rumah Abu Hurairah, kecuali berlangsung disana ibadah, dzikir dan shalat.
Karena keinginannya selalu menyertai Nabi, ia pernah
menderita kelaparan yang amat sangat, yang belum diderita oleh orang lain.
Bagaimana rasa lapar itu menggigit-gigit perutnya, ia meletakkan batu
diperutnya dengan mengikat pakai sorban, lalu ditekannya batu itu ke ulu
hatinya dengan kedua tangannya, samp;ai ia terjatuh di masjid sambil
menggeliat-geliat kesakitan, hingga sebagian sahabat yang melihatnya mengira ia
sakit ayan, padahal sama sekali tidak…!
Abu Hurairah pernah menceritakan kepada Mujahid dan
Ahmad bahwa ia pernah menceritakan tentang dirinya: “Demi Allah, terkadang aku
menekan perut ke tanah karena rasa lapar, dan terkadang juga aku mengganjal
perutku dengan batu. Pada suatu hari aku duduk di pinggir jalan yang biasanya
selalu dilalui oleh para sahabat, tiba-tiba Abu Bakar ra. Lewat di disitu, maka
aku bertanya mengenai salah satu ayat Al-Qur’an, padahal sebenarnya aku tidak
semata-mata bertanya melainkan dengan harapan supaya dia mengajak aku
kerumahnya, tetapi dia tidak mengajakku. Kemudian Umar ra lewat di tempat itu,
kepadanya juga aku bertanya mengenai ayat Al-Qur’an, dengan harapan dia akan
mengajakku kerumahnya, tetapi Umar pun tidak mengajakku.
Tidak lama kemudian Rasulullah saw lewat di tempat
itu. Ketika beliau melihat raut wajahku, beliau memahami apa yang ada dalam
hatiku, maka beliau berkata, “Wahai Abu Hurairah, kemarilah” aku menyahut
“Labbaik ya Rasulullah!” Nabi berkata, “Ikutlah denganku!” ketika sampai di
rumah beliau, aku minta izin untuk masuk , belay mengizinkan aku masuk. Di
dalam rumah, aku melihat ada semangkok susu. Lalu Rasulullah bertanya kepada
keluarganya, “Darimana kalian peroleh susu ini?” keluarganya menjawab,
“Seseorang mengantarkannya kemari sebagai hadiah untuk kita.” Nabi saw berkata
padaku, “Wahai Abu Hurairah,” aku menyahut, “Labbaik ya Rasulullah.”
Beliau berkata lagi, “Pergilah ke ahli Suffah dan
panggillah mereka kesini!” Abu Hurairah berkata, “Ahli Suffah adalah para
tetamu Islam yang tidak mempunyai rumah dan juga tidak mempunyai harta benda.
Apabila ada suatu hadiah datang kepada Rasulullah saw, maka sebagian dimakan
oleh Nabi saw dan sebagian lagi diberikan kepada ahli suffah, dan apabila suatu
datang kepada beliau sebagai sedekah, maka beliau tidak memakannya melainkan
memberikan semuanya kepada ahli suffah.”
Ketika aku disuruh memanggil ahli suffah, aku merasa
susah hati, karena sebelumnya aku sangat berharap dapat meminum susu tersebut,
sehingga dapat memulihkan kekuatanku untuk sehari semalam, sedangkan aku
disuruh Rasulullah saw untuk memanggil mereka. Jika mereka datang, maka pasti
aku harus memberikan susu itu kepada mereka, lalu mereka semua meminumnya
sehingga tidak akan tersisa lagi untukku. Akan tetapi tidak ada jalan lain
selain taat kepada Allah dan Rasul-Nya, karena itulah aku pergi memanggil
mereka. Lalu mereka datang dan meminta izin masuk, dan duduk di tempatnya
masing-masing.
Kemudian Rasulullah saw berkata, “Wahai Abu Hurairah
ambillah susu itu dan berikan kepada mereka!” Akupun mengambil mangkok susu itu
dan memberikannya kepada mereka, lalu secara bergantian setiap orang meminumnya
hingga merasa kenyang, sehingga aku memberikannya kepada orang yang terakhir
diantara mereka. Setelah selesai, aku serahkan kembali mangkok susu itu kepada
Rasulullah, lalu beliau menerimanya yang ternyata di dalam mangkok itu masih
tersisa susu.
Kemudian Nabi mengangkat kepalanya melihat ke arahku
sambil tersenyum dan berkata, “Wahai Abu Hurairah!” kini tinggal aku dan kamu,”
aku menjawab, “Engkau benar ya Rasulullah.” Beliau berkata, “sekarang duduk dan
minumlah!” maka akupun duduk dan meminum susu tersebut. Nabi saw menyuruhku
meminum lagi. Akupun meninumnya lagi. Belaiu terus menyuruhku untuk meminumnya,
sehingga aku berkata, “Cukup, demi Dzat yang telah mengutus engkau dengan
kebenaran, tidak ada lagi tempat yang kosong dalam perutku, Rasulullah berkata,
“Baiklah, berikanlah mangkok itu padaku”. Naka akupun memberikan mangkok itu
kepada beliau, kemudian beliau meminum sisa susu yang masih terdapat di dalam
mangkok tersebut.”
Di lain waktu Abu Hurairah menceritakan, “Sudah tiga
hari lamanya aku tidak makan apa-apa, lalu aku keluar berniat pergi ke suffah,
tetapi karena badanku sangat lemah, ditengah jalan aku terjatuh. Anak-anak
kecil yang melihatku berkata, “Abu Hurairah terkena penyakit gila!” aku
menjawab, “Tidak, Kalianlah yang gila.” Aku terus merangkak hingga sampai di
suffah. Setibanya di sana, aku melihat ada dua piring Tsarid (roti yang
dicampur daging kuah) dibawa kehadapan Rasulullah, lalu beliau memanggil ahli
suffah untuk bersama-sama makan tsrid tersebut. Merekapun menyantapnya
bersama-sama.
Aku melihatnya dengan memanjangkan leher berharap
agar Nabi memanggilku. Setelah ahli suffah selesai makan, mereka semua berdiri,
sedangkan yang tersisa hanya sedikit makanan di pinggiran piring, kemudian
Rasulullah mengumpulkan sisa makanan tersebut, maka terkumpullah menjadi satu
suapan, lalu beliau letakkan sesuap makanan itu di jari-jari beliau sambil
berkata padaku, “Ucapkanlah Bismillah dan makanlah,” Demi Dzat yang aku berada
dalam genggaman-Nya aku terus menerus memakan dari satu suapan tersebut
sehingga aku merasa kenyang.”
Sejak ia menganut agama Islam tidak ada yang
memberatkan dan mengganjal perasaannya dari berbagai persoalan hidup yang
dialaminya, kecuali satu masalah yang hampi menyebabkan tak dapat memejamkan
mata, iaitu masalah ibunya, yang waktu itu ia menolak untuk masuk Islam, tidak
hanya itu, bahkan ibunya menyakiti perasaannya dengan menjelek-jelekan
Rasulullah di depannya.
Ia bercerita tentang ibunya, “Sambil menangis aku
datang menemui Rasulullah sambil mengadu kepada beliau, “Ya Rasulullah, aku
telah meminta ibuku untuk masuk Islam, tetapi ajakanku ditolaknya, dan hari ini
aku baru saja memintanya masuk Islam. Sebagai jawaban ia malah mengeluarkan
kata-kata yang tak kusukai terhadap diri engkau. Karenanya mohon anda doakan
kepada Allah kiranya ibuku itu mendapatkan petunjuk untuk masuk Islam.”
Rasulullah pun berdoa, “Ya Allah, tunjukilah Ibu Abu
Hurairah!”
Setelah itu aku pun berlari menemui ibuku untuk
menyampaikan kabar gembira tentang doa Rasulullah itu, saat aku sampai di depan
pintu, kudapati pintu itu terkunci, dari luar terdengar suara gemericik air,
dan : suara ibu memanggilku: “Hai Abu Hurairah, tunggulah di tempatmu itu…!”
Saat ibuku keluar ia memakai baju kurungnya dan
membalutkan selendangnya sambil mengucapkan dua kalimat syahadat.”
Akupun segera berlari menemui Rasulullah sambil
menangis karena gembira, sebagaimana aku dulu menangis karena berduka. Aku
berkata kepada beliau, “Aku sampaikan kabar gembira ya Rasulullah, bahwa Allah
telah mengabulkan doa anda, Allah telah menujukkan jalan kepada ibuku dalam
Islam, Ya Rasulullah mohon doakan kepada Allah, agar aku dan ibuku dikasihi
orang-orang mukmin!” maka Rasulullah berdoa, “Ya Allah, mohon Engkau jadikan
hamba-Mu ini beserta ibunya dikasihi oleh sekalian orang-orang mukmin,
laki-laki dan perempuan.”
Di zaman Umar bin Khattab menjadi Khalifah, ia
diangkat sebagai Amir di Bahrain. Umar sebagaimana kita ketahui adalah orang
yang sangat keras dan teliti terhadap pejabat-pejabat yang diangkatnya. Jika ia
mengangkat seseorang sedang ia mempynuai dua pasang pakaian maka sewaktu
meninggalkan jabatannya nanti haruslah tetap mempunyai dua pasang pakaian juga,
malah lebih baik kalau ia hanya memiliki satu pakaian saja. Apabila waktu
meninggalkan jabatan itu terdapat tanda-tanda kekayaan, maka ia tidak akan
luput dari introgasi Umar, sekalipun kekayaan itu berasal dari jalan yang halal
yang dinbolehkan syara’.
Rupanya sewaktu Abu Hurairah memangku jabatan sebagai
kepala daerah di Bahrain ia telah menyimpan harta yang berasal dari sumber yang
halal. Hal ini diketahui oleh Umar. Karena itulah ia dipanggil untuk datang dan
menghadap di Madinah.
Umar berkata kepada Abu Hurairah, “Hai musuh Allah
dan musuh Kitab-Nya, apa engkau telah mencuri harta Allah?” jawab Abu Hurairah,
“Aku bukan musuh Allah dan bujkan pula musuh Kitab-Nya, aku hanya menjadi musuh
orang-orang yang memusuhi keduanya dan aku bukanlah orang yang mencuri harta
Allah!” Umar bertanya, “Dari mana kau peroleh sepuluh ribu itu? Abu Hurairah
menjawab, “Kuda kepunyaanku beranak pinak dan pemberian orang berdatangan.”
Kembalikan harta itu ke perbendaharaan Negara (baitul mal) jawab Umar.
Abu Hurairah menyerahkan hartanya itu kepada Umar,
kemudian ia mengangkat tangannya kea rah langit sambil berdoa, “Ya Allah,
ampunilah Amirul Mukminin”.
Tak beberapa lama Umar memanggil Abu Hurairah kembali
dan menawarkan jabatan kepadanya di wilayah baru, tapi ditolaknya dan meminta
maaf karena tidak dapat menerimanya. Umar bertanya, “Kenapa, apa sebabnya? Abu
Hurairah menjawab, “Agar kehormatanku tidak sampai tercela, hartaku tidak
dirampas, punggungku tidak dipukuli. Dan aku takut menghukum tanpa ilmu dan
bicara tanpa belas kasih!”
Ia meninggal dunia dalam usia 78 tahun pada tahun ke
59 hijriyah. Ia dikebumikan di pekuburan Baqi’. Salah seorang diantara mereka
yang baru masuk Islam bertanya kepada temannya, “Kenapa Syekh kita yang telah
berpulang ke rahmatullah itu diberi gelar “Abu Hurairah” (bapak kucing)? Si
temannya itu menjawab, “Di waktu jahiliyah namanya dulu Abdu Syamsi, dan
tatkala memeluk Islam. Ia diberi nama oleh Rasulullah saw dengan nama
Abdurrahman.
Ia sangat penyayang kepada binatang, dan ia mempunyai
seekor kucing, yang selalu diberinya makan, digendongnya, dibersihkannya dan
diberinya tempat berteduh. Kucing itu selalu menyertainya kemanapun ia pergi
seolah-olah baying-bayangnya. Itulah sebabnya ia diberi gelar “Bapak Kucing”.
Semoga Allah ridlo kepadanya dan menjadikannya ridlo kepada Allah swt.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan