Pada masa khalifah Umar bin Khattab, ada gubernur
Mesir bernama Amr bin ‘Ash. Dia berniat untuk membangun sebuah masjid di daerah
yang masih dalam kekuasaannya. Namun keinginannya itu terbentur dengan adanya
rumah yang harus digusur, dan rumah tersebut ternyata dimiliki oleh seorang
Yahudi tua. Gubernur Amr bin ‘Ash lalu memanggil Yahudi tua tersebut dan
meminta agar dia mau menjual tanahnya. Akan tetapi orang Yahudi itu tidak berniat
untuk menjual tanahnya. Kemudian gubernur Amr bin ‘Ash memberikan penawaran
yang cukup tinggi dengan harga jauh diatas harga pasaran. Akan tetapi tetap
saja orang Yahudi itu menolak untuk menjual tanahnya.
Gubernur Amr bin ‘Ash kesal dan akhirnya karena
berbagai cara telah dilakukan dan hasilnya buntu, maka sang gubernur pun
menggunakan kekuasaanya dengan memerintahkan bawahannya untuk menyiapkan surat
pembongkaran dan akan menggusur paksa lahan tersebut, sementara si Yahudi tua
itu tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis. Orang Yahudi itu berniat
mengadukan kesewenang-wenangan gubernur Mesir itu pada khalifah Umar bin
Khattab. Akhirnya orang Yahudi itu pergi ke Madinah untuk mengadu kepada
Khalifah Umar bin Khattab.
Begitu tiba di Madinah, orang Yahudi itu merasa takjub
karena Khalifah Umar tidak memiliki istana yang megah. Bahkan dia diterima Umar
hanya di halaman Masjid Nabawi di bawah naungan pohon kurma. Selain itu
penampilan Khalifah Umar amat sederhana untuk ukuran pemimpin yang memiliki kekuasaan
begitu luas.
“Ada keperluan apa kakek datang ke sini jauh-jauh dari
Mesir?” tanya Umar bin Khattab.
Setelah mengatur detak jantungnya karena berhadapan
dengan seorang khalifah yang tinggi besar, ramah dan penuh wibawa, si kakek itu
mengadukan kasusnya. Dia bercerita pula tentang bagaimana perjuangannya untuk
memiliki rumah itu, dimana dia sejak muda bekerja keras sehingga dapat membeli
sebidang tanah dan membuat gubuk di atas tanah tersebut.
“Akan tetapi wahai Khalifah Umar, sungguh sangat
menyedihkan. Harta satu-satunya yang aku miliki sekarang telah sirna, karena
telah dirampas oleh gubernur Amr bin ‘Ash, kata orang Yahudi itu tanpa rasa
takut.”
Laporan tersebut membuat Khalifah Umar marah dan
wajahnya menjadi merah padam. Yahudi itu diminta untuk mengambil tulang belikat
unta dari tempat sampah lalu diserahkannya tulang itu kepada sang Khalifah.
Khalifah Umar lalu menggores tulang tersebut dengan huruf alif yang lurus dari
atas ke bawah. Dan di tengah goresan tersebut ada lagi goresan melintang menggunakan
ujung pedang, lalu tulang itu pun diserahkan kembali kepada orang Yahudi lalu
berpesan : “Bawalah tulang ini baik-baik ke Mesir dan berikanlah kepada
Gubernur Amr bin ‘Ash” jelas Khalifah Umar bin Khattab. Si Yahudi itu
kebingungan ketika disuruh membawa tulang yang telah digores dan memberikannya
kepada Gubernur Amr bin ‘Ash. Sang gubernur langsung pucat pasi dan menggigil
ketika menerima tulang tersebut. Saat itu juga sang gubernur langsung
mengumpulkan rakyatnya untuk membangun kembali gubuk yang reot milik orang
Yahudi itu.
“Bongkar masjid itu!”, teriak Gubernur Amr bin ‘Ash
gemetar. Orang Yahudi itu merasa heran dan tidak mengerti tingkah laku
Gubernur.
“Tunggu!” teriak orang Yahudi itu. “Maaf Tuan, tolong
jelaskan perkara pelik ini. Berasal dari apakah tulang itu? Apa keistimewaan
tulang itu sehingga Tuan berani memutuskan untuk membongkar begitu saja
bangunan yang amat mahal ini? Sungguh saya tidak mengerti.”
Gubernur Amr bin ‘Ash memegang pundak orang Yahudi
sambil berkata: “Wahai kakek, tulang ini hanyalah tulang biasa dan baunya pun
busuk. Akan tetapi tulang ini merupakan peringatan keras terhadap diriku dan
tulang ini merupakan ancaman Khalifah Umar bin Khattab. Artinya apa pun pangkat
dan kekuasaanmu, suatu saat kamu akan bernasib sama seperti tulang ini, karena
itu bertindak adillah kamu seperti huruf Alif yang lurus. Adil di atas, dan
adil di bawah. Sebab kalau kamu tidak bertindak adil dan lurus seperti goresan
tulang ini, maka Khalifah tidak segan-segan untuk memenggal kepala saya”, jelas
Gubernur tersebut. orang Yahudi itu tunduk terharu dan terkesan dengan keadilan
dalam Islam.
“Sungguh agung ajaran agama Tuan. Sungguh aku rela
menyerahkan tanah dan gubuk itu. Bimbinglah aku dalam memahami ajaran Islam!”
Akhirnya orang Yahudi itu mengikhlaskan tanahnya untuk
pembangunan masjid dan dia sendiri langsung masuk agama Islam. Allahu Akbar.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan