Adalah shahabat
Rasul, Abu Dzar al-Ghiffari, di masa Khalifah Utsman, pendapat kerasnya tentang
gejala nepotisme dan penumpukan harta yang terjadi di kalangan Quraisy membuat
ia dikecam banyak pihak. Sikap serupa ia tunjukkan kepada pemerintahan Muawiyah
yang menjadi gubernur Syiria. Baginya, adalah kewajiban setiap muslim sejati
menyalurkan kelebihan hartanya kepada saudara-saudaranya yang miskin.
Kepada Muawiyah
yang membangun istana hijaunya atau Istana Al Khizra, abu Dzar menegur,
"Kalau Anda membangun istana ini dengan uang negara, berarti Anda telah
menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda membangunnya dengan uang Anda sendiri
berarti Anda telah berlaku boros," katanya. Muawiyah hanya terdiam
mendengar teguran sahabatnya ini.
Dukungannya
kepada semangat solidaritas sosial, kepedulian kalangan berpunya kepada kaum
miskin, bukan hanya dalam ucapan. Seluruh sikap hidupnya ia tunjukkan kepada upaya
penumbuhan semangat tersebut. Sikap wara' dan zuhud selalu jadi perilaku
hidupnya. Sikapnya inilah yang dipuji Rasulullah shalallahu alaihi wassallam.
Saat Rasul akan berpulang, Abu Dzar dipanggilnya. Sambil memeluk Abu Dzar, Nabi
berkata "Abu Dzar akan tetap sama sepanjang hidupnya. Dia tidak akan
berubah walaupun aku meninggal nanti." Ucapan Nabi ternyata benar. Hingga
akhir hayatnya kemudian, Abu Dzar tetap dalam kesederhanaan dan sangat shaleh.
Abu Dzar
al-Ghiffari radhiallahu anhu
Nama aslinya adalah Jundub bin Junadah bin
Sakan, tetapi dia dikenal dengan sebutan Abu Dzar al-Ghiffari. Dia adalah
sahabat Rasulullah yang berasal dari suku ghiffar dan termasuk golongan orang
yang pertama masuk Islam (menurut beberapa sumber ia adalah orang ke-6 yang
masuk Islam). Sebelum menjadi seorang muslim, Abu Dzar dikenal sebagai seorang
perampok yang suka merampok para kabilah yang pedagang yang melewati padang
pasir. Suku Ghiffar memang sudah dikenal sebagai binatang buas malam dan hantu
kegelapan. Jika bertemu dengan mereka, jarang sekali orang yang selamat dari
perampokan.
Abu Dzar Al-Ghifari adalah salah seorang
sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wassallam yang paling tidak disukai oleh
oknum-oknum Bani Umayyah yang mendominasi pemerintahan Khalifah Utsman, seperti
Marwan bin Al-Hakam, Muawiyyah bin Abu Sufyan dan lain-lain. Ia mempunyai
sifat-sifat pemberani, terus terang dan jujur. Ia tidak menyembunyikan sesuatu
yang menjadi pemikiran dan pendiriannya. Ia mendapat hidayat Allah Swt dan
memeluk Islam di kala Rasulullah shalallahu alaihi wassallam menyebarkan dakwah
risalahnya secara rahasia dan diam-diam. Ketika itu Islam baru dipeluk kurang
lebih oleh 10 orang. Akan tetapi Abu Dzar tanpa menghitung-hitung resiko
mengumumkan secara terang-terangan keislamannya di hadapan orang-orang kafir
Quraisy. Sekembalinya ke daerah pemukimannya dari Mekah, Abu Dzar berhasil
mengajak semua anggota qabilahnya memeluk agama Islam. Bahkan qabilah lain yang
berdekatan, yaitu qabilah Aslam, berhasil pula di Islamkan.
Demikian gigih, berani dan cepatnya Abu
Dzar bergerak menyebarkan Islam, sehingga Rasulullah Saw sendiri merasa kagum
dan menyatakan pujiannya. Terhadap Bani Ghifar dan Bani Aslam, Nabi Muhammad
shalallahu alaihi wassallam dengan bangga mengucapkan: "Bani Ghiffar…,
telah di ghaffur-kan (Allah telah mengampuni dosa mereka)! Bani Aslam…, telah
di salam-kan (Allah menyelamatkan kehidupan mereka)!"
Sejak menjadi orang muslim, Abu Dzar
benar-benar telah menghias sejarah hidupnya dengan bintang kehormatan
tertinggi. Dengan berani ia selalu siap berkorban untuk menegakkan kebenaran
Allah dan Rasul-Nya.Tanpa tedeng aling-aling ia bangkit memberontak terhadap
penyembahan berhala dan kebatilan dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Kejujuran dan kesetiaan Abu Dzar dinilai oleh Rasulullah shalallahu alaihi
wassallam sebagai "cahaya terang benderang".
Pada pribadi Abu Dzar tidak terdapat
perbedaan antara lahir dan batin. Ia satu dalam ucapan dan perbuatan. Satu
dalam fikiran dan pendirian. Ia tidak pernah menyesali diri sendiri atau orang
lain, namun ia pun tidak mau disesali orang lain. Kesetiaan pada kebenaran
Allah dan Rasul-Nya terpadu erat degan keberaniannya dan ketinggian
daya-juangnya. Dalam berjuang melaksanakan perintah Allah subhanahu wa ta'ala
dan Rasul-Nya, Abu Dzar benar-benar serius, keras dan tulus. Namun demikian ia
tidak meninggalkan prinsip sabar dan hati-hati.
Pada suatu hari ia pernah ditanya oleh
Rasulullah shalallahu alaihi wassallam tentang tindakan apa kira-kira yang akan
diambil olehnya jika di kemudian hari ia melihat ada para penguasa yang
mengangkangi harta milik ummat. Dengan tandas Abu Dzar menjawab: "Demi
Allah, yang mengutusmu membawa kebenaran, mereka akan kuhantam dengan
pedangku!". Menanggapi sikap yang tandas dari Abu Dzar ini, Nabi Muhammad
Saw sebagai pemimpin yang bijaksana memberi pengarahan yang tepat. Beliau
berkata: "Kutunjukkan cara yang lebih baik dari itu. Sabarlah sampai
engkau berjumpa dengan aku di hari kiamat kelak!" Rasulullah shalallahu
alaihi wassallam mencegah Abu Dzar menghunus pedang. Ia dinasehati berjuang
dengan senjata lisan.
Sampai pada masa sepeninggal Rasulullah
shalallahu alaihi wassallam, Abu Dzar tetap berpegang teguh pada nasehat
beliau. Di masa Khalifah Abu Bakar gejala-gejala sosial ekonomi yang
dicanangkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wassallam belum muncul. Pada masa
Khalifah Umar bin Khattab, berkat ketegasan dan keketatannya dalam bertindak
mengawasi para pejabat pemerintahan dan kaum muslimin, penyakit berlomba mengejar
kekayaan tidak sempat berkembang dikalangan masyarakat. Tetapi pada masa-masa
terakhir pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, penyakit yang membahayakan
kesentosaan umat itu bermunculan laksana cendawan dimusim hujan. Khalifah
Utsman bin Affan sendiri tidak berdaya menanggulanginya. Nampaknya karena usia
Khalifah Utsman. sudah lanjut, serta pemerintahannya didominasi sepenuhnya oleh
para pembantunya sendiri yang terdiri dari golongan Bani Umayyah.
Pada waktu itu tidak sedikit sahabat
Rasulullah shalallahu alaihi wassallam yang hidup serba kekurangan, hanya
karena mereka jujur dan setia kepada ajaran Allah dan tauladan Rasul-Nya.
Sampai ada salah seorang di antara mereka yang menggadai, hanya sekedar untuk
dapat membeli beberapa potong roti. Padahal para penguasa dan orang-orang yang
dekat dengan pemerintahan makin bertambah kaya dan hidup bermewah-mewah. Harta
ghanimah dan Baitul Mal milik kaum muslimin banyak disalah-gunakan untuk
kepentingan pribadi, keluarga dan golongan. Di tengah-tengah keadaan seperti
itu, para sahabat Nabi Muhammad Saw dan kaum muslimin pada umumnya dapat
diibaratkan seperti ayam mati kelaparan di dalam lumbung padi.
Melihat gejala sosial dan ekonomi yang
bertentangan dengan ajaran Islam, Abu Dzar Al-Ghifari sangat resah. Ia tidak
dapat berpangku tangan membiarkan kebatilan merajalela. Ia tidak betah lagi
diam di rumah, walaupun usia sudah menua. Dengan pedang terhunus ia berangkat
menuju Damsyik. Di tengah jalan ia teringat kepada nasihat Rasulullah
shalallahu alaihi wassallam, jangan
menghunus pedang. Berjuang sajalah dengan lisan! Bisikan suara seperti itu
terngiang-ngiang terus di telinganya. Cepat-cepat pedang dikembalikan
kesarungnya.
Mulai saat itu Abu Dzar dengan senjata
lidah berjuang memperingatkan para penguasa dan orang-orang yang sudah
tenggelam dalam perebutan harta kekayaan. Ia berseru supaya mereka kembali
kepada kebenaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Pada waktu Abu Dzar bermukim di
Syam, ia selalu memperingatkan orang: "Barang siapa yang menimbun emas dan
perak dan tidak menginfaqkannya di jalan Allah maka beritahukanlah kepada
mereka bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih pada hari kiamat".
Di Syam Abu Dzar memperoleh banyak
pendukung. Umumnya terdiri dari fakir miskin dan orang-orang yang hidup
sengsara. Makin hari pengaruh kampanyenya makin meluas. Kampanye Abu Dzar ini
merupakan suatu gerakan sosial yang menuntut ditegakkannya kembali
prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan, sesuai dengan perintah Allah dan ajaran
Rasul-Nya.
Muawiyah bin Abi Sufyan, yang menjabat
kedudukan sebagai penguasa daerah Syam, memandang kegiatan Abu Dzar sebagai
bahaya yang dapat mengancam kedudukannya. Untuk membendung kegiatan Abu Dzar,
Muawiyyah menempuh berbagai cara guna mengurangi pengaruh kampanyenya. Tindakan
Muawiyyah itu tidak mengendorkan atau mengecilkan hati Abu Dzar. Ia tetap
berkeliling kemana-mana, sambil berseru kepada setiap orang: "Aku sungguh
heran melihat orang yang di rumahnya tidak mempunyai makanan, tetapi ia tidak
mau keluar menghunus pedang!"
Seruan Abu Dzar yang mengancam itu
menyebabkan makin banyak lagi jumlah kaum muslimin yang menjadi pendukungnya.
Bersama dengan itu para penguasa dan kaum hartawan yang telah memperkaya diri
dengan cara yang tidak jujur, sangat cemas.
Keberanian Abu
Dzar dalam berjuang tidak hanya dapat dibuktikan dengan pedang, tetapi lidahnya
pun dipergunakan untuk membela kebenaran. Di mana-mana ia menyerukan
ajaran-ajaran kemasyarakatan yang pernah didengarnya sendiri dari Rasulullah
saw,"Semua manusia adalah sama hak dan sama derajat laksana gigi
sisir…," "Tak ada manusia yang lebih afdhal selain yang lebih besar
taqwanya…", "Penguasa adalah abdi masyarakat," dan lain
sebagainya.
Para penguasa Bani Umayyah dan orang-orang
yang bergelimang dalam kehidupan mewah sangat kecut menyaksikan kegiatan Abu
Dzar. Hati nuraninya mengakui kebenaran Abu Dzar, tetapi lidah dan tangan
mereka bergerak diluar bisikan hati nurani. Abu Dzar dimusuhi dan kepadanya
dilancarkan berbagai tuduhan. Tuduhan-tuduhan mereka itu tidak dihiraukan oleh
Abu Dzar. Ia makin bertambah berani.
Pada suatu hari
dengan sengaja ia menghadap Muawiyah, penguasa daerah Syam. Dengan tandas ia
menanyakan tentang kekayaan dan rumah milik Muawiyyah yang ditinggalkan di
Mekah sejak ia menjadi penguasa Syam. Kemudian dengan tanpa rasa takut sedikit
pun ditanyakan pula asal-usul kekayaan Muawiyyah yang sekarang! Sambil menuding
Abu Dzar berkata: "Bukankah kalian itu yang oleh Al-Quran disebut sebagai
penumpuk emas dan perak, dan yang akan dibakar tubuh dan mukanya pada hari
kiamat dengan api neraka?!". Betapa pengapnya Muawiyah mendengar kata-kata
Abu Dzar yang terus terang itu! Muawiyah bin Abu Sufyan memang bukan orang
biasa. Ia penguasa. Dengan kekuasaan ditangan ia dapat berbuat apa saja. Abu Dzar
dianggap sangat berbahaya. Ia harus disingkirkan. Segera ditulis sepucuk surat
kepada Khalifah Utsman di Madinah. Dalam surat itu Muawiyah melaporkan tentang
Abu Dzar menghasut orang banyak di Syam. Disarankan supaya Khalifah mengambil
salah satu tindakan. Berikan kekayaan atau kedudukan kepada Abu Dzar. Jika Abu
Dzar menolak dan tetap hendak meneruskan kampanyenya, kucilkan saja di
pembuangan.
Khalifah Utsman melaksanakan surat
Muawiyah itu. Abu Dzar dipanggil menghadap. Kepada Abu Dzar diajukan dua
pilihan: kekayaan atau kedudukan. Menanggapi tawaran Khalifah itu, Abu Dzar
dengan singkat dan jelas berkata: "Aku tidak membutuhkan duniamu!".
Khalifah Utsman masih terus menghimbau Abu Dzar. Dikemukakannya: "Tinggal
sajalah disampingku!". Sekali lagi Abu Dzar mengulangi kata-katanya:
"Aku tidak membutuhkan duniamu!". Sebagai orang yang hidup zuhud dan
taqwa, Abu Dzar berjuang semata-mata untuk menegakkan kebenaran dan keadilan
yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Abu Dzar hanya menghendaki supaya kebenaran
dan keadilan Allah ditegakkan, seperti yang dulu telah dilaksanakan oleh
Rasulullah Saw, Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar.
Memang justru itulah yang sangat sukar
dilaksanakan oleh Khalifah Utsman, sebab ia harus memotong urat nadi para pembantu
dan para penguasa bawahannya. Abu Dzar tidak bergeser sedikit pun dari
pendiriannya. Akhirnya, atas desakan dan tekanan para pembantu dan para
penguasa Bani Umayyah, Khalifah Utsman mengambil keputusan: Abu Dzar harus
dikucilkan dalam pembuangan di Rabadzah. Tak boleh ada seorang pun mengajaknya
berbicara dan tak boleh ada seorang pun yang mengucapkan selamat jalan atau
mengantarkannya dalam perjalanan.
Bagi Abu Dzar pembuangan bukan apa-apa.
Sedikitpun ia tidak ragu, bahwa Allah Swt selalu bersama dia. Kapan saja dan
dimana saja. Menanggapi keputusan Khalifah Utsman ia berkata: "Demi Allah,
seandainya Utsman hendak menyalibku di kayu salib yang tinggi atau diatas
bukit, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Aku pandang hal itu
lebih baik bagiku. Seandainya Utsman memerintahkan aku harus berjalan dari
kutub ke kutub lain, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah.
Kupandang, hal itu lebih baik bagiku. Dan seandainya besok ia akan
mengembalikan diriku ke rumah pun akan kutaati, aku akan sabar dan berserah
diri kepada Allah. Kupandang hal itu lebih baik bagiku."
Itulah Abu Dzar Ghifari, pejuang muslim
tanpa pamrih duniawi, yang semata-mata berjuang untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan, demi keridhaan Al Khalik. Ia seorang pahlawan yang dengan gigih dan
setia mengikuti tauladan Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassallam. Ia seorang
zahid yang penuh taqwa kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak berpangku tangan
membiarkan kebatilan melanda umat.
Peristiwa
dibuangnya Abu Dzar Al Ghifari ke Rabadzah sangat mengejutkan kaum muslimin,
khususnya para sahabat Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassallam. Imam Ali
sangat tertusuk perasaannya. Bersama segenap anggota keluarga ia menyatakan
rasa sedih dan simpatinya yang mendalam kepada Abu Dzar.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan