Siapa pun yang mengadakan perjalanan kepada Allah tidak lepas dari 4
(empat) persinggahan, yaitu al-yaqzhah, al-bashirah, al-fikrah dan al-azm.
4 (empat) persinggahan ini tak ubahnya pilar bagi suatu bangunan.
Perjalanan tidak akan sampai kepada-Nya kecuali dengan melewati 4 (empat)
persinggahan ini, tak ubahnya perjalanan secara nyata yang harus melewati
beberapa tahap. Orang yang hanya menetap di kampung halamannya, tidak berfikir
untuk mengadakan perjalanan kecuali dia sadar dari kelalaiannya untuk
mengadakan perjalanan.
Jika sudah memiliki kesadaran, maka dia harus mengetahui segala
urusan tentang perjalanannya, bahaya, manfaat dan kemaslahatannya. Kemudian
dia berpikir untuk mengadakan persiapan dan mencari bekal. Kemudian dia
harus memiliki tekad yang bulat. Jika tekad dan maksudnya sudah bulat,
maka dia mulai beralih ke persinggahan muhasabah, atau memilah
antara bagiannya dan kewajibannya. Dia boleh mengambil apa yang menjadi
bagiannya dan harus melaksanakan kewajibannya. Sebab dia akan mengadakan
perjalanan dan tidak akan kembali lagi.
Dari muhasabah dia beralih ke taubah. Sebab jika dia sudah menghisab dirinya, tentu dia akan mengetahui hak yang harus dia penuhi, lalu keluar untuk memberikan hak itu kepada yang berhak menerimanya. Inilah hakikat taubat. Tetapi dengan mendahulukan muhasabah akan menjadi lebih baik. Kalaupun mendahulukannya juga tidak apa-apa, karena muhasabah tak bisa dilakukan kecuali setelah ada taubat yang sebenarnya.
Yang pasti, taubat itu ada di antara 2 (dua) muhasabah, yaitu muhasabah sebelum taubat yang hukumnya wajib dan muhasabah sesudah taubat yang hukumnya harus tetap dijaga. Taubat akan tetap terjaga jika berada di antara 2 (dua) muhasabah ini, sebagaimana yang ditunjukkan firman Allah :
Dari muhasabah dia beralih ke taubah. Sebab jika dia sudah menghisab dirinya, tentu dia akan mengetahui hak yang harus dia penuhi, lalu keluar untuk memberikan hak itu kepada yang berhak menerimanya. Inilah hakikat taubat. Tetapi dengan mendahulukan muhasabah akan menjadi lebih baik. Kalaupun mendahulukannya juga tidak apa-apa, karena muhasabah tak bisa dilakukan kecuali setelah ada taubat yang sebenarnya.
Yang pasti, taubat itu ada di antara 2 (dua) muhasabah, yaitu muhasabah sebelum taubat yang hukumnya wajib dan muhasabah sesudah taubat yang hukumnya harus tetap dijaga. Taubat akan tetap terjaga jika berada di antara 2 (dua) muhasabah ini, sebagaimana yang ditunjukkan firman Allah :
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)." (QS.
Al-Hasyr : 18)
Maksud "Memperhatikan" dalam ayat ini ialah memperhatikan kelengkapan persiapan untuk menyongsong hari akhirat, mendahulukan apa yang bisa menyelamatkannya dari siksa Allah, agar wajahnya menjadi bersih di sisi Allah. Umar bin Al-Khaththab pernah berkata, "Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang
dan berhiaslah kalian untuk menghadapi hari penampakan yang agung."
Maksud "Memperhatikan" dalam ayat ini ialah memperhatikan kelengkapan persiapan untuk menyongsong hari akhirat, mendahulukan apa yang bisa menyelamatkannya dari siksa Allah, agar wajahnya menjadi bersih di sisi Allah. Umar bin Al-Khaththab pernah berkata, "Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang
dan berhiaslah kalian untuk menghadapi hari penampakan yang agung."
Menurut Abu
Isma'il, pengarang Manalizus-Sa'irin, ada 3 (tiga) ranting yang menopang
muhasabah, yaitu :
1. Membandingkan antara Nikmat Allah dan Kejahatanmu.
Maksudnya, engkau harus membandingkan apa yang berasal dari Allah dan apa yang berasal dari dirimu. Dengan begitu engkau akan mengetahui letak ketimpangannya, dan engkau juga akan mengetahui bahwa di sana hanya ada ampunan dan rahmat Allah di satu sisi, dan di sisi lain adalah kehancuran dan kerusakan.
Dengan membandingkan seperti ini engkau bisa mengetahui bahwa Allah adalah Allah dalam pengertian yang sebenarnya, dan hamba adalah hamba dalam pengertian yang sebenarnya. Engkau juga akan mengetahui hakikat jiwa dan sifat-sifatnya, keagungan Rububiyah Allah, hanya Allahlah yang memiliki kesempumaan, setiap nikmat berasal dari-Nya sebagai karunia, dan siksaan juga berasal dari-Nya yang ditimpakan secara adil. Jika engkau tidak membuat perbandingan seperti ini, tentu engkau tidak akan bisa mengetahui hakikat dirimu sendiri dan Rububiyah Pencipta jiwamu. Jika engkau membuat perbandingan seperti ini, maka engkau akan tahu bahwa jiwamu adalah sumber segala kejahatan dan kekurangan. Sedangkan hukum yang dimilikinya adalah kebodohan dan kezhaliman. Andaikan tidak karena karunia Allah dan rahmat-Nya yang mensucikan jiwa itu, tentu ia tidak akan menjadi suci sama sekali.
Kemudian engkau juga bisa membandingkan antara kebaikan dan keburukan. Sehingga dengan membandingkan ini engkau bisa mengetahui mana yang lebih banyak dan mana yang lebih dominan di antara keduanya. Perbandingan yang kedua ini merupakan perbandingan antara perbuatanmu dan apa yang datang dari dirimu secara khusus.
Seseorang tidak bisa membuat perbandingan ini jika dia tidak memiliki 3 (tiga) indikator :
Maksudnya, engkau harus membandingkan apa yang berasal dari Allah dan apa yang berasal dari dirimu. Dengan begitu engkau akan mengetahui letak ketimpangannya, dan engkau juga akan mengetahui bahwa di sana hanya ada ampunan dan rahmat Allah di satu sisi, dan di sisi lain adalah kehancuran dan kerusakan.
Dengan membandingkan seperti ini engkau bisa mengetahui bahwa Allah adalah Allah dalam pengertian yang sebenarnya, dan hamba adalah hamba dalam pengertian yang sebenarnya. Engkau juga akan mengetahui hakikat jiwa dan sifat-sifatnya, keagungan Rububiyah Allah, hanya Allahlah yang memiliki kesempumaan, setiap nikmat berasal dari-Nya sebagai karunia, dan siksaan juga berasal dari-Nya yang ditimpakan secara adil. Jika engkau tidak membuat perbandingan seperti ini, tentu engkau tidak akan bisa mengetahui hakikat dirimu sendiri dan Rububiyah Pencipta jiwamu. Jika engkau membuat perbandingan seperti ini, maka engkau akan tahu bahwa jiwamu adalah sumber segala kejahatan dan kekurangan. Sedangkan hukum yang dimilikinya adalah kebodohan dan kezhaliman. Andaikan tidak karena karunia Allah dan rahmat-Nya yang mensucikan jiwa itu, tentu ia tidak akan menjadi suci sama sekali.
Kemudian engkau juga bisa membandingkan antara kebaikan dan keburukan. Sehingga dengan membandingkan ini engkau bisa mengetahui mana yang lebih banyak dan mana yang lebih dominan di antara keduanya. Perbandingan yang kedua ini merupakan perbandingan antara perbuatanmu dan apa yang datang dari dirimu secara khusus.
Seseorang tidak bisa membuat perbandingan ini jika dia tidak memiliki 3 (tiga) indikator :
- Cahaya hikmah
- Buruk sangka terhadap diri sendiri
- Membedakan antara nikmat dan ujian.
Cahaya hikmah merupakan cahaya yang disusupkan Allah ke dalam hati
orang-orang yang mengikuti para rasul. Dengan kata lain, cahaya hikmah adalah
ilmu yang dimiliki seseorang sehingga dia bisa membedakan antara yang haq dan
batil, petunjuk dan kesesatan, mudharat dan manfaat, yang sempurna dan yang
kurang, yang baik dan yang buruk. Dengan cahaya hikmah ini seseorang bisa
melihat tingkatan-tingkatan amal, mana yang harus dipentingkan dan mana yang
tidak dipentingkan, mana yang harus diterima dan mana yang ditolak. Jika cahaya
ini kuat, maka muhasabah juga akan kuat dan sempurna. Buruk
sangka terhadap diri sendiri amat diperlukan, sebab baik sangka terhadap diri
sendiri akan menghalangi koreksi dan kerancuan, sehingga dia melihat keburukan
sebagai kebaikan, aib sebagai kesempumaan. Membedakan nikmat dari ujian,
artinya membedakan nikmat yang dilihatnya sebagai kebaikan dan kasih sayang
Allah serta yang bisa membawanya kepada kenikmatan yang abadi, dan
membedakannya dengan nikmatyang hanya sekedar sebagai tipuan. Sebab berapa banyak
orang yang tertipu dengan nikmat, sementara dia tidak menyadarinya, tertipu
oleh pujian orang-orang bodoh, terpedaya oleh limpahan Allah, dan justru
kebanyakan manusia termasuk dalam kelompok yang kedua ini.
3 (tiga) indikator ini merupakan tanda kebahagiaan dan keselamatan. Jika 3 (tiga) hal ini dilaksanakan secara sempurna, maka seseorang bisa mengetahui nikmat Allah yang sebenarnya. Selain itu ada ujian yang berupa nikmat atau cobaan berupa limpahan pemberian. Maka hendaklah setiap orang mewaspadai hal ini, sebab dia berada di antara anugerah dan hujjah, dan banyak orang yang timpang dalam membedakan 2 (dua) hal ini.
3 (tiga) indikator ini merupakan tanda kebahagiaan dan keselamatan. Jika 3 (tiga) hal ini dilaksanakan secara sempurna, maka seseorang bisa mengetahui nikmat Allah yang sebenarnya. Selain itu ada ujian yang berupa nikmat atau cobaan berupa limpahan pemberian. Maka hendaklah setiap orang mewaspadai hal ini, sebab dia berada di antara anugerah dan hujjah, dan banyak orang yang timpang dalam membedakan 2 (dua) hal ini.
2. Membezakan antara Bagian dan Kewajiban
Harus ada pemilahan antara hak-hak yang harus engkau penuhi, seperti kewajiban-kewajiban ibadah, ketaatan dan menjauhi kedurhakaan, dan hak yang menjadi bagianmu. Apa yang menjadi bagianmu adalah mubah menurut ketetapan syariat, dan apa yang menjadi kewajibanmu harus engkau penuhi dan engkau harus memberikan hak kepada siapa pun yang berhak menerimanya.
Banyak orang yang mencampur aduk antara kewajiban dan hak-nya, sehingga dia sendiri menjadi kebingungan antara mengerjakan dan meninggalkan. Banyak orang yang sebenarnya dia boleh mengerjakan sesuatu namun dia justru meninggalkannya, seperti
Harus ada pemilahan antara hak-hak yang harus engkau penuhi, seperti kewajiban-kewajiban ibadah, ketaatan dan menjauhi kedurhakaan, dan hak yang menjadi bagianmu. Apa yang menjadi bagianmu adalah mubah menurut ketetapan syariat, dan apa yang menjadi kewajibanmu harus engkau penuhi dan engkau harus memberikan hak kepada siapa pun yang berhak menerimanya.
Banyak orang yang mencampur aduk antara kewajiban dan hak-nya, sehingga dia sendiri menjadi kebingungan antara mengerjakan dan meninggalkan. Banyak orang yang sebenarnya dia boleh mengerjakan sesuatu namun dia justru meninggalkannya, seperti
orang yang rajin beribadah dengan meninggalkan apa yang sebenarnya boleh
dia kerjakan, seperti meninggalkan hal-hal yang mubah, karena dia mengira bahwa
hal itu tidak boleh dia kerjakan. Begitu pula sebaliknya, orang yang rajin
beribadah dengan mengerjakan sesuatu yang sebenarnya harus dia tinggalkan,
karena dia mengira hal itu merupakan haknya.
- Yang pertama seperti orang yang rajin beribadah dengan tidak mau menikah, tidak mau memakan daging, buah-buah, makanan yang lezat dan pakaian yang bagus. Karena kebodohannya dia mengira bahwa semua itu merupakan larangan baginya, sehingga dia harus meninggalkannya, atau dia berpendapat bahwa dengan meninggalkannya akan membuat ibadahnya bertambah afdhal. Dalam Ash-Shahih disebutkan pengingkaran Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam terhadap beberapa shahabat yang tidak mau menikahi wanita, terus-menerus berpuasa dan shalat malam.
- Yang kedua seperti orang yang rajin beribadah, namun bid'ah. Dia melihat cara ibadahnya itu benar, karena begitulah yang banyak dilakukan orang.
3. Tidak
Ridha terhadap Ketaatan Yang Dilakukan
Engkau harus
tahu bahwa setiap ketaatan yang engkau ridhai, akan menjadi beban dosa bagimu,
dan setiap kedurhakaan yang dituduhkan saudaramu kepadamu, maka terimalah
tuduhan itu dan anggaplah bahwa memang itulah yang benar. Sebab keridhaan
seorang hamba terhadap ketaatan dirinya merupakan bukti baik sangka terhadap
diri sendiri dan kebodohannya terhadap hak-hak ubudiyah serta tidak tahu apa
yang dituntut Allah darinya, lalu akhirnya melahirkan takabur dan ujub, yang
dosanya lebih besar dari dosa-dosa besar yang nyata, seperti zina, minum khamr,
lari dari medan peperangan dan lain-lainnya.
Orang-orang
yang memiliki bashirah justru lebih meningkatkan istighfar
setelah mengerjakan berbagai macam ketaatan, karena mereka menyadari
keterbatasannya dalam melaksanakan ketaatan itu dan merasa belum memenuhi
hak-hak Allah sesuai dengan keagungan-Nya. Allah juga memerintahkan agar
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam senantiasa memohon ampunan dalam setiap
kesempatan dan sehabis melaksanakan tugas-tugas risalah atau setelah
melaksanakan suatu ibadah. Dalam surat terakhir yang diturunkan, Allah juga
tetap memerintahkan beliau untuk memohon ampunan,
"Apabila
telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk
agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu
dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat."
(QS. An-Nashr : 1-3).
Maka Umar bin
Al-Khaththab dan Ibnu Abbas memahami turunnya surat ini sebagai isyarat telah
dekatnya ajal beliau. Seakan-akan Allah hendak memberitahukan hal ini kepada
beliau, dengan memerintahkan agar beliau memohon ampunan sehabis mengerjakan
setiap tugas. Dengan kata lain, surat ini semacam pemberitahuan : Engkau telah
rampung mengerjakan kewajibanmu dan tidak ada lagi kewajiban yang menyisa
setelah itu. Maka jadikanlah istighfar sebagai kesudahannya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan