Kalau tauhid pertama sampai ketiga saya buat secara skematis, maka diperoleh gambaran relasional tauhid yang sebenarnya identik dengan deduksi pendekatan kosmologis .
Tauhid Allah ↔ oleh Allah
Tauhid Allah ↔ oleh makhluk (alam semesta)
Tauhid Allah ↔ oleh manusia
Relasi kosmologis secara langsung adalah :
Allah --; Alam Semesta --&; Manusia ---&;Tindakan
Dari kesamaan makna secara simbolis antara menauhidkan Allah dalam semua tingkatan tersebut dengan relasi kosmologis yang dideduksi dari Al Qur’an , maka dapat disimpulkan bahwa manusia sebagai hamba Allah lah akhirnya yang dapat menauhidkan Allah SWT sebagai Yang Esa secara formal lahir dan batin, dan seseorang hanya dapat melakukan hal ini jika dan hanya jika dia mampu menyingkapkan jatidirinya atau hakikat dirinya yang diungkapkan dengan “Mengenal Diri, Mengenal Ilahi”.
Cermin perantara atau wahana dari penyingkapan tersebut adalah “alam semesta dan dirinya” seperti disebutkan dalam firman Allah “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami pada segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri.(QS 41:53).” Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jilani r.a., sebab atau sarana adalah suatu keharusan yang mesti ada, walaupun Allah Mahakuasa untuk memberi hidayah pada seseorang tanpa medium para nabi.
Akan tetapi, Allah tidak dapat didikte oleh makhluk, maka mengharap atau mengira diri dapat berjalan tanpa panduan (dari yang sudah disempurnakan) adalah kesombongan yang berbuah ilusi yang menyesatkan. Bukankah Nabi SAW bersabda, “Orang Mukmin adalah cermin bagi orang Mukmin.” Dan dengan demikian juga, maka manusia yang telah mengenal jatidirinya adalah dia yang menyimpan hakikat dan bentuk dari Al Qur’an sebagai sebuah Kitab Allah SWT yang menjelaskan segala sesuatu baik tentang dirinya, manusia lainnya, alam semesta, dan Tuhannya sesuai dengan firman, “Pengetahuan Tuhan kami meliputi segala sesuatu” (QS 7:89) (Lihat juga uraian tentang al-Fatihah).
Kalau saya tarik kesimpulan dari bertautnya tauhid pertama, kedua dan ketiga sebagai sebuah lingkaran menjadi suatu totalitas tauhid yang utuh, maka diperoleh pengertian yang sangat sufistik bahwa pertautan semua tauhid tersebut tidak lain menunjukkan adanya kedekatan yang sangat jelas antara Nabi Muhammad SAW sebagai hamba Allah dengan Allah SWT, antara abdi dengan Khaliq-nya, antara budak dengan Tuannya, antara yang mencintai dan Yang Dicintai, antara yang diciptakan dengan Yang Menciptakan.
Sehingga, pentauhidan sebagai suatu Totalitas Tauhid adalah suatu kalimat yang sering diungkapkan oleh kaum sufi, dan banyak juga disalahpahami, yaitu “La Huwa illaa Huwa – dia (Muhammad) bukan Tuhan tetapi tidak lain dari pada-Nya.” Menurut pendapat Profesor H. Sahabudin [120], dalam telaahnya yang komprehensif mengenai Nur Muhammad, makna “La Huwa illaa Huwa” dikatakannya lebih bersifat preventif karena kalimat tersebut tidak mengisyaratkan adanya proses bersatunya Muhammad SAW dengan Allah SWT, tetapi justru hanya menggambarkan betapa beliau tidak dapat dipisahkan dengan Tuhannya. Dengan kata lain, pengertian “La Huwa illaa Huwa” menunjukkan adanya dua substansi yang tidak berubah menjadi satu, namun keduanya tidak terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, menurut H. Sahabudin, bila hal itu benar terjadi maka hal ini hanya dapat dipahami terbatas dalam konteks naluriah atau citarasa (Dzauqi) semata, dengan kata lain ungkapan yang verbal tidak memadai untuk mengungkapkan makna sebenarnya dari kalimat “La Huwa illaa Huwa”. Jika tidak, maka yang timbul adalah suatu kebingungan yang dapat dinilai sebagai suatu kemusyrikan dan kufur. Jadi, pengungkapan “La Huwa illaa Huwa” pada hakikatnya mengungkapkan antara rahasia kedekatan hamba Allah (Muhammad SAW) dengan Allah SWT.
Pemaparan kata huwa sendiri untuk Allah dan rasul-Nya menunjukkan betapa Allah SWT dan rasul-Nya tidak dapat dipisahkan. Hal ini relevan dengan pengertian yang diungkapkan dalam sabda Nabi Muhammad SAW, “Barang siapa yang melihat saya (Muhammad SAW) maka sesungguhnya ia telah melihat Allah SWT.” Jadi, Rasulullah SAW sendiri mempunyai sifat sebagai penabir bagi hamba Allah lainnya sehingga seorang hamba yang melihat Allah SWT dalam penampakkan-Nya sebagai Nabi Muhammad SAW tercegah dari kemusnahan. Kondisi demikian misalnya ditemui pada pengalaman spiritual Abu Yazid Al Busthamy yang ber-”tajalli” dengan Tuhan melalui Muhammad SAW atau Hakikat Muhammadiyah.
Penegasan bahwa manusia dapat bertajalli dengan Nabi Muhammad SAW harus dipahami sebagai melihat dengan penglihatan Nabi Muhammad SAW, dan inilah penglihatan yang sempurna. Dalam pengertian demikian, maka Nabi Muhammad sebagai pemberi petunjuk dan pembawa rahmat adalah seperti yang dikonfirmasikan dalam firman berikut,
“Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi,
pembawa berita gembira dan pemberi peringatan,
supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
menguatkan (agama) Nya, membesarkan-Nya.
Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu
sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. (QS 48:8-10)”
Kalimat “supaya kamu sekalian beriman” mengandung arti bahwa beriman kepada Muhammad SAW mesti sebagai subyek (pemberi risalah) dan sebagai obyek (yang diberi risalah). Karena itu, kalimat tauhid yang berlaku bagi Umat Islam –bahkan semua makhluk - yang formal dan resmi secara hukum adalah kalimat syahadat “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad SAW adalah Utusan Allah”. Disini, sisipan kata sambung “dan” menjadi jelas sebagai suatu pengertian kuantum yang tidak terbedakan, suatu makna hakiki atas Pengesaan Tuhan yang mencerminkan pengertian lahir dan batin yang menunjukkan penetapan keimanan yang benar.
Dalam konteks “Nur Muhammad dan Nabi Muhammad SAW” sebagai suatu perantara maka pantulan Cahaya Allah sebagai Cahaya Diatas Cahaya adalah suatu cahaya hakiki yang dapat memusnahkan semua makhluk. Sehingga, “Nur Muhammad dan Nabi Muhammad SAW” adalah ibarat cermin kaca yang dapat meneruskan Cahaya Allah kepada semua makhluk sebagai suatu rahmat bagi seluruh alam beserta semua isinya. Dialah yang memberikan semua kehidupan. Sedangkan pengertian sebagai media penyaksian atau filter penyaksian, maka “Nur Muhammad dan Nabi Muhammad SAW” bersifat melindungi semua hamba Allah dari menyaksikan dan melihat Allah SWT secara langsung (Ma’rifat Dzat) dengan sifat-sifat ar-Rububiyyah-Nya. Sebagai filter maka Nabi Muhammad SAW menjadi washilah dan pelindung al-Mukmin sebagai hamba Allah yang patuh kepada perintah dan larangan Allah sebagai ketetapan atau kewiban, orang yang tidak berlindung dibawah naungan Muhammad akan terbakar atau hangus dalam pengertian ia justru bukan menjadi beriman tetapi jatuh menjadi ateis sampai tersesat yaitu jalan orang2 yang dimurkai (Qs 1:7) yang terpenjara di penjara Gahirullah (selain Allah).
Dalam pengertian fisikal dan eksoteris, maka “Nur Muhammad dan Nabi Muhammad SAW” sebagai cahaya adalah ia yang menjadi awal mula penciptaan semua makhluk, ia yang membangun eksistensi alam semesta yang semula (di singularitas) berupa unifikasi energetis gelombang gravitasi (membangun alam makro) dan gelombang elektromagnetik (membangun alam mikro). Maka tidak salah kalau dikatakan bahwa Nur Muhammad ada dalam semua makhluk-Nya karena memang semua wujud makhluk mulai dari dunia sub-atomis (kuantum) sampai alam semesta (jamak – al –Aalamin) itu sendiri berasal dari Nur Muhammad .
Kalau saya analogikan apa yang diuraikan oleh H. Sahabudin maupun para sufi umumnya, yang mengakui totalitas tauhid dengan kalimat “La Huwa illaa Huwa” maupun dalam bentuk formal sebagai kalimat syahadat, dengan sudut pandang sains modern, sebenarnya konsep-konsep Teori Kuantum ketika seorang hamba mencapai suatu kedekatan yang sangat dekat dengan Allah SWT dapat diterapkan. Sebagai contoh ilustrasi , ambilah sebuah kapur dan letakkan di tangan kanan Anda. Ketika Anda tanyakan kepada seseorang “dimanakah kapur?”. Orang tersebut akan menjawab, “di tangan kanan Anda”. Kemudian ketika Anda patahkan sebatang kapur itu menjadi dua bagian sehingga tangan kanan dan kiri Anda masing-masing memegang potongan kapur yang dipatahkan itu, kemudian Anda tanyakan kembali ke orang tersebut, ”dimanakah kapur?”. Maka orang yang ditanya akan menjawab, “di tangan kanan dan kiri Anda”.
Analogi demikian, dapat diterapkan untuk menjelaskan pengertian kalimat “La Huwa illaa Huwa” dan syahadat, maka ketika seseorang menanyakan “dimanakah Allah?” , maka dijawab “di dalam hamba Allah”. Lalu, ketika ditanyakan “dimanakah hamba Allah?”, maka dijawab,”di dalam Allah”. Demikian juga ketika ditanyakan “siapakah Allah?”, maka dijawab,”hamba Allah”. Atau, ketika ditanyakan “siapakah hamba Allah”, maka dijawab ”Allah”.
Demikianlah, kenapa kemudian pengertian Dzauqi lebih diutamakan dalam mengungkapkan totalitas tauhid dikarenakan hubungan antara “hamba Allah dan Allah” sedemikian dekatnya sehingga dalam pengertian logika Teori Kuantum “tidak terbedakan”, dan memang sulit dipahami kalau hanya sekedar mengandalkan ungkapan-ungkapan verbal. Sehingga lebih sering dikatakan bahwa kalau seseorang mengalami hal ini lebih baik “membisu saja”. Apa yang saya analogikan diatas memperjelas beberapa pendapat kaum sufi tentang tauhid seperti diungkapkan Ruwaim bin Ahmad bin yazid al-Baghdadi [9], ”Menghilangkan bekas-bekas sifat manusia (al-basyariyah) dan memurnikan Sifat Ketuhanan (Uluhiyyah)”. Yang dimaksud dengan ungkapan menghilangkan bekas-bekas sifat manusia adalah memurnikan akhlak manusia yang penuh cacat nafsu menjadi sediaka kala, yaitu dalam penyaksian pra-eksistensi dimana ruhnya yang murni sebagai suatu nur ilahiyah menjadi saksi atas Keesaan Tuhan (QS 7:172).
Ketika totalitas tauhid tercapai, yakni manusia melakukan suluk dan menyingkap lapis demi lapis hijab dirinya hingga sampai pada tauhid pertama tauhid “Allah oleh Allah”, maka semua penisbahan terhadap makhluk dinafikan, ia akan menafikan selain-Nya, maka dari relasi tauhid dan kosmologis yang tersisa hanyalah simetri yang memecah secara mandiri : “Engkau Allah, Yang Maha Esa.”(QS 7:172); Dia Yang Satu; Allah oleh Allah adalah Satu, Huwa (Dia), kemudian Anta (Engkau), lantas Hu, akhir segala sesuatu adalah membisu.
Dalam gelombang samudera Asma dan SifatNya,
si hamba melihat hakikat dari yang dilihat,
“Tidak ada sesuatu seperti Dia (Laisa kamitslihi Syai-un)”,
karena sesuatu itu adalah Huwa (Dia).
Dalam gelombang samudera Asma dan SifatNya,
pijakan dan rahasia yang mantap mengakhiri kemabukan,
medan Sirr Al Asrar membuka,
di atas Air Samudera Kemahakuasaan (‘Arsy)-Nya,
kuncup bunga mulai mekar membuka,
tampilkan kelopak aneka warna dan rupa,
wangi semerbak menyelimutinya dalam kelembutan kasih sayang yang tercurah sebagai rahmat-Nya,
lantas si hamba yang mandiri berkata “Huwa (Dia)”.
Dalam gelombang yang semakin menenang,
dalam keheningan malam tak berbintang,
dia berada dibatas-batas antara tanpa tapal batas,
antara nafs dan ruh,
jaraknya cuma sedekat “Qabaa Qausaini (sedekat dua ujung busur panah)”, bahkan lebih dekat lagi.
Ketika batas-batas ketetapan telah terlampaui,
si hamba akan berkata “Anta (Engkau)”.
Si hamba pun bisu.
Tanpa kabar. Tanpa berita.
Lantas “Hu”,
menyeruak mandiri dengan kemurnian Nur awal mula
yang menyaksikan Allah Yang Esa,
Iapun menjadi hamba Allah semata.
Ketika si hamba mengatakan “Huwa” maka dimulailah tahap awal kefanaan dirinya, sedangkan tahap akhir dimana si hamba mengatakan “Anta”, itulah fana yang sebenarnya. Pada kondisi fana sebenarnya inilah dikatakan oleh Abu Yazid Al-Busthami[16] bahwa “segala bentuk rumus dan/atau bahasa tidak mampu mengutarakannya”. Kemudian, dalam kesunyian fana dirinya didalam-Nya, pemurnian dalam kebaqaan-Nya menyeruakkan “Hu” sebagai ingatan yang kembali muncul tiba-tiba karena semua aspek lathifah (halus) dirinya termunikan sejak penyaksian pra-eksistensi dirinya (QS 7:172), sebagai tapal batas terakhir kemakhlukannya. Pada akhirnya yang menjadi awalnya, totalitas dirinya yang termurnikan dalam kebaqaanNya adalah hakikat ubudiyahnya sebagai hamba Allah yang menjalani ketaatan dengan ilmu-Nya, yang mematuhi semua perintah-Nya dan larangan-Nya, yang menyelaraskan diri dengan sunnatullah dan kehendak Allah (yakni ridha atas semua takdir Allah), dan yang mengikuti sunnatulrosul.
Hakikat-hakikat sufistik yang menyingkapkan hubungan manusia dengan Tuhannya pada akhirnya memang seringkali membingungkan kalangan yang awam dan tidak teliti. Kendati seringkali disalahpahami sebagai hulul (penyuntikan) atau inkarnasi dalam ungkapan-ungkapan verbal al-Hallaj (ana al-Haqq, Akulah Kebenaran) maupun Abu Yazid (Subhanii, Mahasuci Aku), maka sebenarnya tidak perlu terjadi kesalahpahaman dari apa yang diungkapkan oleh kedua sufi tersebut. Pengertian hulul atau inkarnasi sendiri jelas-jelas sebenarnya tidak memadai, atau bahkan sebenarnya salah sama sekali, untuk menjelaskan ungkapan-ungkapan dzauqi sufistik dalam tingkatan fana dan baqa. Karena sejatinya, apa yang dimaksud oleh al-Hallaj maupun Abu Yazid memang bukan hulul atau inkarnasi, tetapi suatu pemurnian (purification) dimana akhlak manusia yang fana dan terbaqakan didalam-Nya termurnikan adalah dia yang kembali menyadari kehambaan dirinya dihadapan Allah SWT Yang maha Esa. Dan dalam hal ini totalitas tauhid sebagai suatu pengakuan atau ikrar bagi semua Umat Islam dimana-mana sama yaitu dengan mengikuti apa yang disebutkan oleh Nabi SAW yaitu kalimat syahadat. Namun yang menjadi pedoman adalah yang ada di dalam qolbu atau hati, dan bukan yang keluar dari lisan.
Tauhid Allah ↔ oleh Allah
Tauhid Allah ↔ oleh makhluk (alam semesta)
Tauhid Allah ↔ oleh manusia
Relasi kosmologis secara langsung adalah :
Allah --; Alam Semesta --&; Manusia ---&;Tindakan
Dari kesamaan makna secara simbolis antara menauhidkan Allah dalam semua tingkatan tersebut dengan relasi kosmologis yang dideduksi dari Al Qur’an , maka dapat disimpulkan bahwa manusia sebagai hamba Allah lah akhirnya yang dapat menauhidkan Allah SWT sebagai Yang Esa secara formal lahir dan batin, dan seseorang hanya dapat melakukan hal ini jika dan hanya jika dia mampu menyingkapkan jatidirinya atau hakikat dirinya yang diungkapkan dengan “Mengenal Diri, Mengenal Ilahi”.
Cermin perantara atau wahana dari penyingkapan tersebut adalah “alam semesta dan dirinya” seperti disebutkan dalam firman Allah “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami pada segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri.(QS 41:53).” Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jilani r.a., sebab atau sarana adalah suatu keharusan yang mesti ada, walaupun Allah Mahakuasa untuk memberi hidayah pada seseorang tanpa medium para nabi.
Akan tetapi, Allah tidak dapat didikte oleh makhluk, maka mengharap atau mengira diri dapat berjalan tanpa panduan (dari yang sudah disempurnakan) adalah kesombongan yang berbuah ilusi yang menyesatkan. Bukankah Nabi SAW bersabda, “Orang Mukmin adalah cermin bagi orang Mukmin.” Dan dengan demikian juga, maka manusia yang telah mengenal jatidirinya adalah dia yang menyimpan hakikat dan bentuk dari Al Qur’an sebagai sebuah Kitab Allah SWT yang menjelaskan segala sesuatu baik tentang dirinya, manusia lainnya, alam semesta, dan Tuhannya sesuai dengan firman, “Pengetahuan Tuhan kami meliputi segala sesuatu” (QS 7:89) (Lihat juga uraian tentang al-Fatihah).
Kalau saya tarik kesimpulan dari bertautnya tauhid pertama, kedua dan ketiga sebagai sebuah lingkaran menjadi suatu totalitas tauhid yang utuh, maka diperoleh pengertian yang sangat sufistik bahwa pertautan semua tauhid tersebut tidak lain menunjukkan adanya kedekatan yang sangat jelas antara Nabi Muhammad SAW sebagai hamba Allah dengan Allah SWT, antara abdi dengan Khaliq-nya, antara budak dengan Tuannya, antara yang mencintai dan Yang Dicintai, antara yang diciptakan dengan Yang Menciptakan.
Sehingga, pentauhidan sebagai suatu Totalitas Tauhid adalah suatu kalimat yang sering diungkapkan oleh kaum sufi, dan banyak juga disalahpahami, yaitu “La Huwa illaa Huwa – dia (Muhammad) bukan Tuhan tetapi tidak lain dari pada-Nya.” Menurut pendapat Profesor H. Sahabudin [120], dalam telaahnya yang komprehensif mengenai Nur Muhammad, makna “La Huwa illaa Huwa” dikatakannya lebih bersifat preventif karena kalimat tersebut tidak mengisyaratkan adanya proses bersatunya Muhammad SAW dengan Allah SWT, tetapi justru hanya menggambarkan betapa beliau tidak dapat dipisahkan dengan Tuhannya. Dengan kata lain, pengertian “La Huwa illaa Huwa” menunjukkan adanya dua substansi yang tidak berubah menjadi satu, namun keduanya tidak terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, menurut H. Sahabudin, bila hal itu benar terjadi maka hal ini hanya dapat dipahami terbatas dalam konteks naluriah atau citarasa (Dzauqi) semata, dengan kata lain ungkapan yang verbal tidak memadai untuk mengungkapkan makna sebenarnya dari kalimat “La Huwa illaa Huwa”. Jika tidak, maka yang timbul adalah suatu kebingungan yang dapat dinilai sebagai suatu kemusyrikan dan kufur. Jadi, pengungkapan “La Huwa illaa Huwa” pada hakikatnya mengungkapkan antara rahasia kedekatan hamba Allah (Muhammad SAW) dengan Allah SWT.
Pemaparan kata huwa sendiri untuk Allah dan rasul-Nya menunjukkan betapa Allah SWT dan rasul-Nya tidak dapat dipisahkan. Hal ini relevan dengan pengertian yang diungkapkan dalam sabda Nabi Muhammad SAW, “Barang siapa yang melihat saya (Muhammad SAW) maka sesungguhnya ia telah melihat Allah SWT.” Jadi, Rasulullah SAW sendiri mempunyai sifat sebagai penabir bagi hamba Allah lainnya sehingga seorang hamba yang melihat Allah SWT dalam penampakkan-Nya sebagai Nabi Muhammad SAW tercegah dari kemusnahan. Kondisi demikian misalnya ditemui pada pengalaman spiritual Abu Yazid Al Busthamy yang ber-”tajalli” dengan Tuhan melalui Muhammad SAW atau Hakikat Muhammadiyah.
Penegasan bahwa manusia dapat bertajalli dengan Nabi Muhammad SAW harus dipahami sebagai melihat dengan penglihatan Nabi Muhammad SAW, dan inilah penglihatan yang sempurna. Dalam pengertian demikian, maka Nabi Muhammad sebagai pemberi petunjuk dan pembawa rahmat adalah seperti yang dikonfirmasikan dalam firman berikut,
“Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi,
pembawa berita gembira dan pemberi peringatan,
supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
menguatkan (agama) Nya, membesarkan-Nya.
Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu
sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. (QS 48:8-10)”
Kalimat “supaya kamu sekalian beriman” mengandung arti bahwa beriman kepada Muhammad SAW mesti sebagai subyek (pemberi risalah) dan sebagai obyek (yang diberi risalah). Karena itu, kalimat tauhid yang berlaku bagi Umat Islam –bahkan semua makhluk - yang formal dan resmi secara hukum adalah kalimat syahadat “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad SAW adalah Utusan Allah”. Disini, sisipan kata sambung “dan” menjadi jelas sebagai suatu pengertian kuantum yang tidak terbedakan, suatu makna hakiki atas Pengesaan Tuhan yang mencerminkan pengertian lahir dan batin yang menunjukkan penetapan keimanan yang benar.
Dalam konteks “Nur Muhammad dan Nabi Muhammad SAW” sebagai suatu perantara maka pantulan Cahaya Allah sebagai Cahaya Diatas Cahaya adalah suatu cahaya hakiki yang dapat memusnahkan semua makhluk. Sehingga, “Nur Muhammad dan Nabi Muhammad SAW” adalah ibarat cermin kaca yang dapat meneruskan Cahaya Allah kepada semua makhluk sebagai suatu rahmat bagi seluruh alam beserta semua isinya. Dialah yang memberikan semua kehidupan. Sedangkan pengertian sebagai media penyaksian atau filter penyaksian, maka “Nur Muhammad dan Nabi Muhammad SAW” bersifat melindungi semua hamba Allah dari menyaksikan dan melihat Allah SWT secara langsung (Ma’rifat Dzat) dengan sifat-sifat ar-Rububiyyah-Nya. Sebagai filter maka Nabi Muhammad SAW menjadi washilah dan pelindung al-Mukmin sebagai hamba Allah yang patuh kepada perintah dan larangan Allah sebagai ketetapan atau kewiban, orang yang tidak berlindung dibawah naungan Muhammad akan terbakar atau hangus dalam pengertian ia justru bukan menjadi beriman tetapi jatuh menjadi ateis sampai tersesat yaitu jalan orang2 yang dimurkai (Qs 1:7) yang terpenjara di penjara Gahirullah (selain Allah).
Dalam pengertian fisikal dan eksoteris, maka “Nur Muhammad dan Nabi Muhammad SAW” sebagai cahaya adalah ia yang menjadi awal mula penciptaan semua makhluk, ia yang membangun eksistensi alam semesta yang semula (di singularitas) berupa unifikasi energetis gelombang gravitasi (membangun alam makro) dan gelombang elektromagnetik (membangun alam mikro). Maka tidak salah kalau dikatakan bahwa Nur Muhammad ada dalam semua makhluk-Nya karena memang semua wujud makhluk mulai dari dunia sub-atomis (kuantum) sampai alam semesta (jamak – al –Aalamin) itu sendiri berasal dari Nur Muhammad .
Kalau saya analogikan apa yang diuraikan oleh H. Sahabudin maupun para sufi umumnya, yang mengakui totalitas tauhid dengan kalimat “La Huwa illaa Huwa” maupun dalam bentuk formal sebagai kalimat syahadat, dengan sudut pandang sains modern, sebenarnya konsep-konsep Teori Kuantum ketika seorang hamba mencapai suatu kedekatan yang sangat dekat dengan Allah SWT dapat diterapkan. Sebagai contoh ilustrasi , ambilah sebuah kapur dan letakkan di tangan kanan Anda. Ketika Anda tanyakan kepada seseorang “dimanakah kapur?”. Orang tersebut akan menjawab, “di tangan kanan Anda”. Kemudian ketika Anda patahkan sebatang kapur itu menjadi dua bagian sehingga tangan kanan dan kiri Anda masing-masing memegang potongan kapur yang dipatahkan itu, kemudian Anda tanyakan kembali ke orang tersebut, ”dimanakah kapur?”. Maka orang yang ditanya akan menjawab, “di tangan kanan dan kiri Anda”.
Analogi demikian, dapat diterapkan untuk menjelaskan pengertian kalimat “La Huwa illaa Huwa” dan syahadat, maka ketika seseorang menanyakan “dimanakah Allah?” , maka dijawab “di dalam hamba Allah”. Lalu, ketika ditanyakan “dimanakah hamba Allah?”, maka dijawab,”di dalam Allah”. Demikian juga ketika ditanyakan “siapakah Allah?”, maka dijawab,”hamba Allah”. Atau, ketika ditanyakan “siapakah hamba Allah”, maka dijawab ”Allah”.
Demikianlah, kenapa kemudian pengertian Dzauqi lebih diutamakan dalam mengungkapkan totalitas tauhid dikarenakan hubungan antara “hamba Allah dan Allah” sedemikian dekatnya sehingga dalam pengertian logika Teori Kuantum “tidak terbedakan”, dan memang sulit dipahami kalau hanya sekedar mengandalkan ungkapan-ungkapan verbal. Sehingga lebih sering dikatakan bahwa kalau seseorang mengalami hal ini lebih baik “membisu saja”. Apa yang saya analogikan diatas memperjelas beberapa pendapat kaum sufi tentang tauhid seperti diungkapkan Ruwaim bin Ahmad bin yazid al-Baghdadi [9], ”Menghilangkan bekas-bekas sifat manusia (al-basyariyah) dan memurnikan Sifat Ketuhanan (Uluhiyyah)”. Yang dimaksud dengan ungkapan menghilangkan bekas-bekas sifat manusia adalah memurnikan akhlak manusia yang penuh cacat nafsu menjadi sediaka kala, yaitu dalam penyaksian pra-eksistensi dimana ruhnya yang murni sebagai suatu nur ilahiyah menjadi saksi atas Keesaan Tuhan (QS 7:172).
Ketika totalitas tauhid tercapai, yakni manusia melakukan suluk dan menyingkap lapis demi lapis hijab dirinya hingga sampai pada tauhid pertama tauhid “Allah oleh Allah”, maka semua penisbahan terhadap makhluk dinafikan, ia akan menafikan selain-Nya, maka dari relasi tauhid dan kosmologis yang tersisa hanyalah simetri yang memecah secara mandiri : “Engkau Allah, Yang Maha Esa.”(QS 7:172); Dia Yang Satu; Allah oleh Allah adalah Satu, Huwa (Dia), kemudian Anta (Engkau), lantas Hu, akhir segala sesuatu adalah membisu.
Dalam gelombang samudera Asma dan SifatNya,
si hamba melihat hakikat dari yang dilihat,
“Tidak ada sesuatu seperti Dia (Laisa kamitslihi Syai-un)”,
karena sesuatu itu adalah Huwa (Dia).
Dalam gelombang samudera Asma dan SifatNya,
pijakan dan rahasia yang mantap mengakhiri kemabukan,
medan Sirr Al Asrar membuka,
di atas Air Samudera Kemahakuasaan (‘Arsy)-Nya,
kuncup bunga mulai mekar membuka,
tampilkan kelopak aneka warna dan rupa,
wangi semerbak menyelimutinya dalam kelembutan kasih sayang yang tercurah sebagai rahmat-Nya,
lantas si hamba yang mandiri berkata “Huwa (Dia)”.
Dalam gelombang yang semakin menenang,
dalam keheningan malam tak berbintang,
dia berada dibatas-batas antara tanpa tapal batas,
antara nafs dan ruh,
jaraknya cuma sedekat “Qabaa Qausaini (sedekat dua ujung busur panah)”, bahkan lebih dekat lagi.
Ketika batas-batas ketetapan telah terlampaui,
si hamba akan berkata “Anta (Engkau)”.
Si hamba pun bisu.
Tanpa kabar. Tanpa berita.
Lantas “Hu”,
menyeruak mandiri dengan kemurnian Nur awal mula
yang menyaksikan Allah Yang Esa,
Iapun menjadi hamba Allah semata.
Ketika si hamba mengatakan “Huwa” maka dimulailah tahap awal kefanaan dirinya, sedangkan tahap akhir dimana si hamba mengatakan “Anta”, itulah fana yang sebenarnya. Pada kondisi fana sebenarnya inilah dikatakan oleh Abu Yazid Al-Busthami[16] bahwa “segala bentuk rumus dan/atau bahasa tidak mampu mengutarakannya”. Kemudian, dalam kesunyian fana dirinya didalam-Nya, pemurnian dalam kebaqaan-Nya menyeruakkan “Hu” sebagai ingatan yang kembali muncul tiba-tiba karena semua aspek lathifah (halus) dirinya termunikan sejak penyaksian pra-eksistensi dirinya (QS 7:172), sebagai tapal batas terakhir kemakhlukannya. Pada akhirnya yang menjadi awalnya, totalitas dirinya yang termurnikan dalam kebaqaanNya adalah hakikat ubudiyahnya sebagai hamba Allah yang menjalani ketaatan dengan ilmu-Nya, yang mematuhi semua perintah-Nya dan larangan-Nya, yang menyelaraskan diri dengan sunnatullah dan kehendak Allah (yakni ridha atas semua takdir Allah), dan yang mengikuti sunnatulrosul.
Hakikat-hakikat sufistik yang menyingkapkan hubungan manusia dengan Tuhannya pada akhirnya memang seringkali membingungkan kalangan yang awam dan tidak teliti. Kendati seringkali disalahpahami sebagai hulul (penyuntikan) atau inkarnasi dalam ungkapan-ungkapan verbal al-Hallaj (ana al-Haqq, Akulah Kebenaran) maupun Abu Yazid (Subhanii, Mahasuci Aku), maka sebenarnya tidak perlu terjadi kesalahpahaman dari apa yang diungkapkan oleh kedua sufi tersebut. Pengertian hulul atau inkarnasi sendiri jelas-jelas sebenarnya tidak memadai, atau bahkan sebenarnya salah sama sekali, untuk menjelaskan ungkapan-ungkapan dzauqi sufistik dalam tingkatan fana dan baqa. Karena sejatinya, apa yang dimaksud oleh al-Hallaj maupun Abu Yazid memang bukan hulul atau inkarnasi, tetapi suatu pemurnian (purification) dimana akhlak manusia yang fana dan terbaqakan didalam-Nya termurnikan adalah dia yang kembali menyadari kehambaan dirinya dihadapan Allah SWT Yang maha Esa. Dan dalam hal ini totalitas tauhid sebagai suatu pengakuan atau ikrar bagi semua Umat Islam dimana-mana sama yaitu dengan mengikuti apa yang disebutkan oleh Nabi SAW yaitu kalimat syahadat. Namun yang menjadi pedoman adalah yang ada di dalam qolbu atau hati, dan bukan yang keluar dari lisan.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan