PARA SUFI menyebut diri mereka “ahli hakikat”.
Penyebutan ini mencerminkan obsesi mereka terhadap kebenaran hakiki; karena itu mudah dipahami kalau mereka menyebut Tuhan dengan al-Haqq, seperti yang tercermin dalam ungkapan al-Hallaj.”Aku adalah Tuhan” (ana al-Haqq). Obsesi terhadap hakikat (realitas absolut) ini tercermin dalam penafsiran mereka terhadap formula “La ilaha illah Allah “ yang mereka artikan tidak ada realitas yang sejati kecuali Allah.
Bagi mereka Tuhanlah satu-satunya wujud yang hakiki, dalam arti ialah yang betul-betul ada, ada yang absolut, sedangkan yang lain keberadaannya tidak hakiki atau nisbi dan tergantung kepada kemurahan Tuhan. Dialah Tuhan yang awal dan akhir, yang lahir dan batin, “sebab” dari yang segala ada dan tujuan akhir tempat mereka kembali. Ibarat matahari, Dialah yang memberi cahaya kepada kegelapan dunia, dan menyebabkan terangnya obyek-obyek yang tersembunyi dalam kegelapan. Dia jugalah pemberi wujud, sehingga benda-benda dunia menyembul dari persembunyiannya.
Al-Qur’an menggambarkan Tuhan sebagai al-Awwal dan al-Akhir, al-Zhahir dan al-Bahtin. Al-Awwal dipahami para sufi sebagai sumber atau asal dari segala yang ada, Prima Causa, sebab pertama dari segala yang ada di dunia. Dia yang Akhir diartikan sebgai “tujuan akhir” atau “tempat Kembali” dari segala yang ada di dunia ini, termasuk manusia. Dialah pula pulau harapan ke mana bahtera kehidupan manusia berlayar. Dialah “kampung halaman” ke mana jiwa manusia yang sedang mengembara di dunia rindu kembali. Dia adalah “muara” kemana perjalanan spiritual seorang sufi mengalir. Dialah sang kekasih, dimana sang pecinta selalu mendambakan pertemuan. Dnilah tujuan akhir ke mana sang Sufi mengorientasikan seluruh eksistensinya.
Tuhan juga digambarkan sebagai “al-Zhahir” dan “al-Bathin”, dan ini menggambarkan “imanensi” dan “transendensi” Tuhan. Bagi para sufi alam lahir (dunia indrawi) adalah cermin dari Tuhan, atau “pantulan” Tuhan dalam sebuah cermin. Alam lahir karena itu merupakan refleksi atau manifestasi (tajalliyat) Tuhan, dan karena itu tidak berbeda dari diri-Nya, tetapi juga tidak sama. Dan ketidaksamaannya ini terletak dalam sifat diri-Nya sebagai yang Bathin. Sebagai yang Batin, Tuhan berbeda atau mentransenden alam lahir, Dia adalah sumber, prinsip atau sebab, sedangkan alam adalah turunan, derivatif dan akibat daripada-Nya. Tuhan adalah mutlak sedangkan alam adalah nisbi, Tuhan ibarat matahari, sedangkan alam adalah cahayanya. Keberadaan matahari tidak tergantung pada cahayanya., namun justru keberadaan cahaya sangat bergantung pada matahari. Jadi, keberadaan alam sangat tergantung kepada-Nya. Sifat dasar diri-Nya adalah niscaya atau wajib, sedangkan sifat dasar alam adalah mungkin.
Pernyataan “la ilaha illa Allah” ditafsirkan para sufi sebagai penafian terhadap eksistensi yang lain, termasuk eksistensi dirinya sebagai realitas. Konsep fana’ atau “faana’ al-fana” adalah ekspresi sufi akan penafian dirinya, sedangkan konsep baqa’ adalah afirmasi terhadap satu-satunya Realitas Sejati, yaitu Allah, atau Tuhan yang dinyatakan dalam formula “illa Allah”. Fana’ dan baqa’ dipandang sebagai “station” (maqam) terakhir yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Para sufi berdaya upaya sedapat mungkin untuk mencapai maqam tersebut, termasuk membunuh “ego”nya sendiri yang dipandang sebagai “kendala” atau menurut istilah mereka “berhala” terbesar yang bisa menghalangi perjalanan spiritual mereka menuju Tuhan. Dengan begitu ibadah mereka diikhlaskan atau dibersihkan dari segala unsur syirik, sebagai syarat diperkenankannya masuk kehadirat Tuhan. Rumi pernah berkata “Satu lubang jarum bukanlah untuk dua ujung benang.”
Penyebutan ini mencerminkan obsesi mereka terhadap kebenaran hakiki; karena itu mudah dipahami kalau mereka menyebut Tuhan dengan al-Haqq, seperti yang tercermin dalam ungkapan al-Hallaj.”Aku adalah Tuhan” (ana al-Haqq). Obsesi terhadap hakikat (realitas absolut) ini tercermin dalam penafsiran mereka terhadap formula “La ilaha illah Allah “ yang mereka artikan tidak ada realitas yang sejati kecuali Allah.
Bagi mereka Tuhanlah satu-satunya wujud yang hakiki, dalam arti ialah yang betul-betul ada, ada yang absolut, sedangkan yang lain keberadaannya tidak hakiki atau nisbi dan tergantung kepada kemurahan Tuhan. Dialah Tuhan yang awal dan akhir, yang lahir dan batin, “sebab” dari yang segala ada dan tujuan akhir tempat mereka kembali. Ibarat matahari, Dialah yang memberi cahaya kepada kegelapan dunia, dan menyebabkan terangnya obyek-obyek yang tersembunyi dalam kegelapan. Dia jugalah pemberi wujud, sehingga benda-benda dunia menyembul dari persembunyiannya.
Al-Qur’an menggambarkan Tuhan sebagai al-Awwal dan al-Akhir, al-Zhahir dan al-Bahtin. Al-Awwal dipahami para sufi sebagai sumber atau asal dari segala yang ada, Prima Causa, sebab pertama dari segala yang ada di dunia. Dia yang Akhir diartikan sebgai “tujuan akhir” atau “tempat Kembali” dari segala yang ada di dunia ini, termasuk manusia. Dialah pula pulau harapan ke mana bahtera kehidupan manusia berlayar. Dialah “kampung halaman” ke mana jiwa manusia yang sedang mengembara di dunia rindu kembali. Dia adalah “muara” kemana perjalanan spiritual seorang sufi mengalir. Dialah sang kekasih, dimana sang pecinta selalu mendambakan pertemuan. Dnilah tujuan akhir ke mana sang Sufi mengorientasikan seluruh eksistensinya.
Tuhan juga digambarkan sebagai “al-Zhahir” dan “al-Bathin”, dan ini menggambarkan “imanensi” dan “transendensi” Tuhan. Bagi para sufi alam lahir (dunia indrawi) adalah cermin dari Tuhan, atau “pantulan” Tuhan dalam sebuah cermin. Alam lahir karena itu merupakan refleksi atau manifestasi (tajalliyat) Tuhan, dan karena itu tidak berbeda dari diri-Nya, tetapi juga tidak sama. Dan ketidaksamaannya ini terletak dalam sifat diri-Nya sebagai yang Bathin. Sebagai yang Batin, Tuhan berbeda atau mentransenden alam lahir, Dia adalah sumber, prinsip atau sebab, sedangkan alam adalah turunan, derivatif dan akibat daripada-Nya. Tuhan adalah mutlak sedangkan alam adalah nisbi, Tuhan ibarat matahari, sedangkan alam adalah cahayanya. Keberadaan matahari tidak tergantung pada cahayanya., namun justru keberadaan cahaya sangat bergantung pada matahari. Jadi, keberadaan alam sangat tergantung kepada-Nya. Sifat dasar diri-Nya adalah niscaya atau wajib, sedangkan sifat dasar alam adalah mungkin.
Pernyataan “la ilaha illa Allah” ditafsirkan para sufi sebagai penafian terhadap eksistensi yang lain, termasuk eksistensi dirinya sebagai realitas. Konsep fana’ atau “faana’ al-fana” adalah ekspresi sufi akan penafian dirinya, sedangkan konsep baqa’ adalah afirmasi terhadap satu-satunya Realitas Sejati, yaitu Allah, atau Tuhan yang dinyatakan dalam formula “illa Allah”. Fana’ dan baqa’ dipandang sebagai “station” (maqam) terakhir yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Para sufi berdaya upaya sedapat mungkin untuk mencapai maqam tersebut, termasuk membunuh “ego”nya sendiri yang dipandang sebagai “kendala” atau menurut istilah mereka “berhala” terbesar yang bisa menghalangi perjalanan spiritual mereka menuju Tuhan. Dengan begitu ibadah mereka diikhlaskan atau dibersihkan dari segala unsur syirik, sebagai syarat diperkenankannya masuk kehadirat Tuhan. Rumi pernah berkata “Satu lubang jarum bukanlah untuk dua ujung benang.”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan