TAREKAT (thariqah), seperti syari’at berarti jalan, hanya saja yang pertama berarti jalan kecil (path) sedangkan yang terakhir berarti jalan besar (road). Tarekat kemudian dipahami sebagai jalan spiritual yang ditempuh seorang Sufi. Selain tarekat sering juga dipakai kata suluk yang artinya juga jalan spiritual, dan orangnya disebut salik. Tetapi kata tarekat juga dipakai sebagai kelompok persaudaraan atau orde spiritual yang biasanya didirikan oleh seorang Sufi besar, seperti Abdal-Qadir jaelani, Sadzali, Jalal al-din Rumi dan lain-lain. Nama tarekat tersebut biasanya diberi nama sesuai dengan nama-nama para pendirinya. Karena itu kita mengenal tarekat Qadiriah, Sadzaliyah atau Mawlawiyah yang dinisbatkan dengan kata Mawlana (guru kami) sebuah sebutan yang diberikan oleh para pengikut Jalal al-din Rumi kepada dirinya.
Sebagai jalan spiritual, tarekat ditempuh oleh para Sufi dan Zahid di sepanjang zaman. Setiap orang yang menempuhnya mungkin mempunyai pengalaman yang berbeda-beda, sekalipun tujuannya adalah sama, yaitu menuju Tuhan, mendekati Tuhan bahkan bersatu dengan-Nya, baik dalam arti majaz atau hakiki, yaitu kesatuan mistik atau ittihad (mystical union). Meskipun begitu para ahli sepakat untuk memilah-milah tahapan perjalanan spiritual ini ke dalam station-station (maqamat), dan keadaan-keadaan (ahwal). Sementara maqamat dicapai dengan usaha yang sadar dan sistimatis, ahwal adalah keadaaan-keadaan jiwa (mental states) yang datang secara spontan dan berlangsung relatif cepat dan tak lama.
Selain pengalaman spiritual yang berbeda-beda dari seorang Sufi dalam tarekatnya, intensitas dan kecepatan perjalanannya pun bisa berbeda-beda. Ali Nadwi misalnya menggambarkan perjalanan mistik Rumi seperti burung rajawali (falcon) yang bisa dengan cepat tiba di tangan rajanya, sedangkan ‘Aththar seperti semut. Rumi sendiri misalnya mengatakan,” Seorang Sufi bermi’raj ke Arasy dalam sekejap; sang Zahid perlukan sebulan untuk sehari pejalanan.”
Walaupun jalan spiritual ini obyektif, karena dialami oleh orang-orang suci di sepanjang zaman, tetapi pengalaman masing-masing Sufi dalam menempuh perjalanan tersebut adalah subyektif. Dan karena sifat pengalamannya subyektif, maka tidak mungkin kita mengharapkan adanya keseragaman ungkapan dan nama-nama tahapan (maqamat) atau keadaan-keadaan (ahwal) dari seluruh atau masing-masing Sufi. Oleh karena itu wajar, kalau para penulis Sufi berbeda misalnya dalam menamakan maqam-maqam ataupun urutan-urutannya. Al-Kalabadzi, misalnya menyebut maqam-maqam tersebut sebagai berikut: taubat, zuhud, sabar, faqr, tawadhu’, taqwa, tawakkal, ridha’, mahabbah dan ma’rifat, sementara al-Ghazali menyebutnya sebagai berikut : taubat, sabr, faqr, zuhud, tawakkal, mahabbah, ma’rifat dan ridha, sedangkan al-Qusyairi sebagai berikut; taubat, wara, zuhud, tawakkal, sabar dan ridha. Selain perjalanan tersebut digambarkan secara datar dan dalam bentuk prosa, seperti tersebut di atas, ada juga yang menggambarkannya secara simbolis dan dalam bentuk puitis. Farid al-Din ‘Aththar misalnya menggambarkan perjalanan spiritualnya dengan indah dalam karya puitisnya Manthiq al-Thayr sebagai perjalanan panjang dan melelahkan dari burung-burung (yang melambangkan jiwa-jiwa manusia) dalam rangka menjumpai raja mereka “simurgh”. Untuk itu mereka harus melampaui tujuh lembah yaitu lembah pencaharian, lembah cinta, ma’rifat, perpisahan, kesatuan, keheranan, faqir dan fana’. Atau seperti Ibn ‘Arabi yang melukiskan pengalaman spiritualnya secara detail tanpa berusaha memberi nama masing-masing tingkatnya tetapi menceritakan dengan gamblang perjalanan manusia dari tingkat indrawi menuju tingkat imajinal, dan dari dunia imajinasi ke tingkat spiritual murni. Sekurangnya ada 19 tingkatan yang digambarkan Ibn Arabi dalam kitabnya Risalat al-Anwar fima yumnah shahib al-khalwa min al-Asrar, sebelum akhirnya manusia kembali kepada dunia indrawi.
Apa yang kita gambarkan selama ini tentang tarekat, adalah pengertian tarekat sebagai perjalanan spiritual, yang juga disebut suluk. Tetapi ada pengertian lain dari tarekat dalam arti persaudaraan atau ordo spiritual. Pengertian ini sebenarnya yang lebih dikenal oleh kalangan luas, seperti Tarekat Naqsabandiah, Sinusiah, Qadiriah dan sebagainya. Tentu bukan tempatnya di sini untuk membahas satu persatu tarekat tersebut, namun beberapa hal tentang tarekat ini perlu dikemukakan. Pertama, tentang metode spiritual dan peranan sang guru (mursyid). Karena tasawuf pada hakekatnya tidak bisa dipelajari lewat buku, maka latihan spiritual berupa dzikr, atau sama’, adalah cara yang efektif untuk memahaminya lewat pengalaman batin. Daripada mengajarkan murid-murid tentang ajaran-ajaran para Sufi, seorang guru akan mengajak murid-muridnya untuk melakukan perjalanan bersama melalui dzikir menuju tuhan, dengan metode yang pernah dialami oleh si mursyid. Dengan begitu sang guru berharap bahwa apa yang pernah ia alami dengan metode yang sama akan juga dialami oleh murid-muridnya. Metode ini harus diikuti dengan disiplin yang tinggi dan dengan penuh ketaatan kepada petunjuk sang guru. Ini terjadi karena sang guru merasa yakin hanya dengan cara itulah maka pengalaman seorang murid akan sesuai dengan yang direncanakan. Dalam hal ini murid tidak boleh protes atau membangkang, dan seorang murid harus bertindak seolah-olah seperti mayat dalam pangkuan orang yang memandikannya. Boleh saja membangkang, tetapi sang guru tidak bertanggung jawab atas kegagalan sang murid yang membangkang tersebut dan tidak ada jaminan bahwa usahanya itu akan berhasil. Jadi inilah kira-kira peranan sang mursyid terhadap muridnya, yakni memastikan bahwa segala hal-ihwal metodenya dijalankan sepenuhnya oleh sang murid. Baru setelah segalanya dijalankan dengan baik, seorang murid bisa berharap sukses dalam upaya tersebut.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan