MA’RIFAT adalah sejenis pengetahuan dengan mana para Sufi menangkap hakikat atau realitas yang menjadi obsesi mereka. Ma’rifat berbeda dengan jenis ilmu lainnya, di mana ia menangkap obyeknya secara langsung, tidak melalui representasi, image ataupun simbol dari obyeknya tersebut.
Seperti indra menagkap obyeknya secara langsung, demikian juga “hati” atau intuisi menangkap obyeknya secara langsung, perbedaannya terletak pada jenis obyeknya; kalau obyek indra adalah benda-benda indrawi (mahsusat), obyek intuisi adalah entitas-entitas spiritual (ma’qulat). Dalam kedua modus pengenalan ini manusia mengalami obyeknya secara langsung, dan karena itu ma’rifah disebut sebagai ilmu dzauqi (experiental), yang biasanya dikontraskan dengan pengetahuan melalui nalar (bahtsi). Walaupun sama-sama melalui pengalaman / dialami seseorang, namun hubungan orang itu dengan obyeknya berbeda. Dalam pengenalan indrawi obyek-obyeknya berada di luar dirinya, dan dikaitkan dengannya melalui “representasi”, sedangkan obyek-obyek intuisi, hadir begitu saja dalam diri orang tersebut, dan karena itu disebut “ilmu hudhuri” dan bukan “ilmu hushuli”.
Ma’rifat dapat dibedakan dengan ilmu-ilmu rasional, dimana pemilahan antara subyek dan obyek begitu dominan, dan jarak antara keduanya sangatlah lebar. Walaupun ilmu rasional atau tepatnya akal sama-sama menangkap obyek-obyek ma’qulat (ruhani) sebagaimana intuisi tetapi cara keduanya berbeda. Akal menangkap obyek ruhani melalui hal-hal yang telah diketahui menuju yang tidak diketahui, jadi bersifat inferensial. Sementara intuisi menangkap obyeknya langsung dari sumbernya, apakah Tuhan atau malaikat, melalui apa yang dikenal sebagai penyingkapan, mukasyafah atau penyinaran (iluminasi) dan penyaksian (musyahadah). Penyingkapan ini bisa terjadi dalam keadaaan jaga atau mimpi, dapat mengambil bentuk ilham atau wahyu, atau terbukanya kesadaran hati akan kenyataan yang selama ini tersembunyi demikian rapat.
Ma’rifat tidak bisa diraih melalui jalan indrawi, karena menurut Rumi itu seperti mencari-cari mutiara yang berada di dasar laut hanya dengan datang dan memandang laut. Ia juga tidak dapat diperoleh lewat penggalian nalar, karena itu akan sama seperti orang yang menimba laut untuk mendapatkan mutiara. Untuk mendapatkan mutiara (ma’rifat) orang membutuhkan penyelam ulung dan beruntung; yakni butuh seorang mursyid yang berpengalaman. Bahkan mengingatkan bukan hanya penyelam yang ulung tetapi juga beruntung, yakni tergantung kepada kemurahan Tuhan, karena tidak semua kerang mengandung mutiara yang didambakan.
Ma’rifat, seperti yang telah dikemukakan, berdasarkan pada pengalaman; artinya ia harus dialami, bukan dipelajari. Seperti memahami rasa manis, akan bisa dengan mudah dengan langsung mencicipi gula. Mencoba memahaminya lewat keterangan orang lain atau membaca buku akan mendapatkan pengetahuan yang semu. Paling banter, hanya bisa menghampirinya tanpa bisa menyentuhnya. Ma’rifat tidak bisa dipelajari dari buku, bahkan buku para Sufi sekalipun. Ketika kita datang kepada seorang mursyid, maka ia akan mengajak kita berdzikir dan melakukan disiplin-disiplin spiritual yang keras, agar kita mengalami pengalaman-pengalaman mistik atau keagamaan sendiri dan bisa mencicipinya sendiri. Buku bagi seorang Sufi hanyalah simbol karena terdiri dari huruf-huruf yang tidak lain daripada simbol yang disepakati. Tapi bisakah kita menyunting mawar dari M.A.W.A.R.?
Perbedaan lain antara ma’rifat dengan jenis pengetahuan yang lain adalah cara memperolehnya. Jenis pengetahuan biasa diperoleh melalui usaha keras, seperti belajar, merenung, mengasah otak dan berpikir keras melalui cara-cara berfikir yang logis, jadi manusia memang betul-betul berusaha dengan segenap kemampuannya untuk memperoleh obyek pengetahuannya. Tetapi ma’rifat tidak bisa sepenuhnya diusahakan manusia, pada tahap akhir semuanya tergantung kemurahan Tuhan. Manusia hanya bisa melakukan “persiapan diri” (isti’dad) dengan cara membersihkan diri dari segala dosa dan penyakit-penyakit jiwa lainnya, yakni akhlak yang tercela. Ibarat kaca yang dipasang untuk menerima cahaya matahari ke dalam rumah hati kita, kaca tersebut harus senantiasa dibersihkan dari segala debu yang menempel di atasnya, agar ketika sinar matahari itu masuk atau hadir maka kaca kita siap mengantarkannya ke dalam jantung rumah kita dan memberi cahaya pada sekitarnya. Sehingga terjadi iluminasi terhadap benda-benda yang ada disekitarnya dan membuat benda-benda yang tak tampak atau remang-remang menjadi jelas dan terang benderang.
Seperti indra menagkap obyeknya secara langsung, demikian juga “hati” atau intuisi menangkap obyeknya secara langsung, perbedaannya terletak pada jenis obyeknya; kalau obyek indra adalah benda-benda indrawi (mahsusat), obyek intuisi adalah entitas-entitas spiritual (ma’qulat). Dalam kedua modus pengenalan ini manusia mengalami obyeknya secara langsung, dan karena itu ma’rifah disebut sebagai ilmu dzauqi (experiental), yang biasanya dikontraskan dengan pengetahuan melalui nalar (bahtsi). Walaupun sama-sama melalui pengalaman / dialami seseorang, namun hubungan orang itu dengan obyeknya berbeda. Dalam pengenalan indrawi obyek-obyeknya berada di luar dirinya, dan dikaitkan dengannya melalui “representasi”, sedangkan obyek-obyek intuisi, hadir begitu saja dalam diri orang tersebut, dan karena itu disebut “ilmu hudhuri” dan bukan “ilmu hushuli”.
Ma’rifat dapat dibedakan dengan ilmu-ilmu rasional, dimana pemilahan antara subyek dan obyek begitu dominan, dan jarak antara keduanya sangatlah lebar. Walaupun ilmu rasional atau tepatnya akal sama-sama menangkap obyek-obyek ma’qulat (ruhani) sebagaimana intuisi tetapi cara keduanya berbeda. Akal menangkap obyek ruhani melalui hal-hal yang telah diketahui menuju yang tidak diketahui, jadi bersifat inferensial. Sementara intuisi menangkap obyeknya langsung dari sumbernya, apakah Tuhan atau malaikat, melalui apa yang dikenal sebagai penyingkapan, mukasyafah atau penyinaran (iluminasi) dan penyaksian (musyahadah). Penyingkapan ini bisa terjadi dalam keadaaan jaga atau mimpi, dapat mengambil bentuk ilham atau wahyu, atau terbukanya kesadaran hati akan kenyataan yang selama ini tersembunyi demikian rapat.
Ma’rifat tidak bisa diraih melalui jalan indrawi, karena menurut Rumi itu seperti mencari-cari mutiara yang berada di dasar laut hanya dengan datang dan memandang laut. Ia juga tidak dapat diperoleh lewat penggalian nalar, karena itu akan sama seperti orang yang menimba laut untuk mendapatkan mutiara. Untuk mendapatkan mutiara (ma’rifat) orang membutuhkan penyelam ulung dan beruntung; yakni butuh seorang mursyid yang berpengalaman. Bahkan mengingatkan bukan hanya penyelam yang ulung tetapi juga beruntung, yakni tergantung kepada kemurahan Tuhan, karena tidak semua kerang mengandung mutiara yang didambakan.
Ma’rifat, seperti yang telah dikemukakan, berdasarkan pada pengalaman; artinya ia harus dialami, bukan dipelajari. Seperti memahami rasa manis, akan bisa dengan mudah dengan langsung mencicipi gula. Mencoba memahaminya lewat keterangan orang lain atau membaca buku akan mendapatkan pengetahuan yang semu. Paling banter, hanya bisa menghampirinya tanpa bisa menyentuhnya. Ma’rifat tidak bisa dipelajari dari buku, bahkan buku para Sufi sekalipun. Ketika kita datang kepada seorang mursyid, maka ia akan mengajak kita berdzikir dan melakukan disiplin-disiplin spiritual yang keras, agar kita mengalami pengalaman-pengalaman mistik atau keagamaan sendiri dan bisa mencicipinya sendiri. Buku bagi seorang Sufi hanyalah simbol karena terdiri dari huruf-huruf yang tidak lain daripada simbol yang disepakati. Tapi bisakah kita menyunting mawar dari M.A.W.A.R.?
Perbedaan lain antara ma’rifat dengan jenis pengetahuan yang lain adalah cara memperolehnya. Jenis pengetahuan biasa diperoleh melalui usaha keras, seperti belajar, merenung, mengasah otak dan berpikir keras melalui cara-cara berfikir yang logis, jadi manusia memang betul-betul berusaha dengan segenap kemampuannya untuk memperoleh obyek pengetahuannya. Tetapi ma’rifat tidak bisa sepenuhnya diusahakan manusia, pada tahap akhir semuanya tergantung kemurahan Tuhan. Manusia hanya bisa melakukan “persiapan diri” (isti’dad) dengan cara membersihkan diri dari segala dosa dan penyakit-penyakit jiwa lainnya, yakni akhlak yang tercela. Ibarat kaca yang dipasang untuk menerima cahaya matahari ke dalam rumah hati kita, kaca tersebut harus senantiasa dibersihkan dari segala debu yang menempel di atasnya, agar ketika sinar matahari itu masuk atau hadir maka kaca kita siap mengantarkannya ke dalam jantung rumah kita dan memberi cahaya pada sekitarnya. Sehingga terjadi iluminasi terhadap benda-benda yang ada disekitarnya dan membuat benda-benda yang tak tampak atau remang-remang menjadi jelas dan terang benderang.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan