Karangan
Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani
1.4 Dalil Dalil Tentang Adanya
Karamah Wali
Ketetapan
adanya karamah para wali dinyatakan oleh dalil-dalil dari Al-Qur'an, khabar,
atsar, dan dalil aqli (rasio).
1. Dalil
Al-Qur'an
Ada banyak
ayat yang dijadikan pegangan mengenai hal ini:
Dalil 1
Kisah Maryam dalam QS Ali 'Imran [3]: 37 di atas, sebagaimana telah dijelaskan di muka maka tidak akan kami ulangi lagi di sini.
Dalil 2
Kisah ashabul kahfi yang tertidur selama 309 tahun, namun tetap selamat dari malapetaka. Allah melindungi mereka dari panas matahari, seperti termaktub dalam firman Allah,
Dan kamu mengira mereka itu
terjaga, padahal sebenarnya mereka tidur (QS Al-Kahfi [18]: 18).
Dan kamu akan melihat matahari
ketika terbit, condong ke arah kanan gua (QS Al-Kahfi [18]: 17).
Sebagian
orang menetapkan adanya karamah wali berdasarkan firman Allah, Berkatalah
seorang yang memiliki ilmu dari Al-Kitab, "Aku akan membawa singgasana itu
kepadamu sebelum matamu berkedip." Padahal orang yang memiliki ilmu dari
Al-Kitab dalam ayat tersebut adalah Nabi Sulaiman a.s., maka tidak benar
mengambil dalil dengan ayat ini.
Al-Qadhi
menanggapi masalah ini, "Di antara ashabul kahfi atau pada zaman mereka
pasti ada seorang nabi, karena tidur mereka yang begitu lama bertentangan
dengan kebiasaan manusia, sebagaimana seluruh mukjizat yang ada." Menurut
saya, tidurnya ashabul kahfi yang begitu lama mustahil merupakan mukjizat salah
seorang nabi, karena tidur bukanlah kejadian yang luar biasa untuk disebut
sebagai mukjizat. Banyak orang tidak mempercayai kejadian ini, karena mereka
tidak mengetahui bahwa ashabul kahfi adalah orang yang jujur dalam pengakuannya
kecuali bahwa mereka tinggal di dalam gua selama itu. Orang-orang mengetahui
bahwa mereka yang datang pada masa itu telah tertidur selama 309 tahun.
Keseluruhan syarat ini tidak terpenuhi, jadi tidak mungkin mengklasifikasikan
kejadian tersebut dalam kategori mukjizat salah satu nabi, cukuplah dianggap
sebagai karamah dan ihsan para wali.
2. Khabar
Nabi Saw.
Khabar 1
Dalam Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim, diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi Saw.
bersabda,
"Hanya ada tiga bayi yang bisa bicara, yaitu Isa
a.s., bayi pada masa Juraij (seorang ahli ibadah), dan seorang bayi
lainnya." Kisah Nabi Isa a.s. telah diketahui secara luas. Sementara
Juraij adalah seorang ahli ibadah di kalangan Bani Israil yang memiliki seorang
ibu. Pada suatu hari ketika Juraij sedang shalat, sang ibu mengetuk pintu dan
memanggilnya, "Juraij!" Juraij kebingungan, "Tuhan, manakah yang
lebih baik, melanjutkan shalat atau menjawab panggilan ibu?" Juraij
memutuskan untuk tetap melanjutkan shalatnya. Sang ibu lalu memanggil untuk
kedua kalinya, tetapi Juraij tetap melanjutkan shalatnya. Sampai panggilan ketiga,
Juraij tetap kukuh melanjutkan shalatnya dan tidak menghiraukan panggilan
ibunya.
Sang ibu marah, lalu berdoa, "Ya Allah, jangan
biarkan dia mati, sampai ia bertemu seorang pelacur." Di tempat Juraij
tinggal, ada seorang pelacur yang berkata pada beberapa orang, "Aku akan
menggoda Juraij, sampai ia mau berzina denganku." Pelacur itu mendatangi
Juraij tetapi ia tidak mampu berbuat apa-apa. Suatu malam, seorang penggembala
beristirahat di gubugnya. Ketika lelah, pelacur itu merayu penggembala, dan
terjadilah perzinaan antara keduanya. Pelacur itu kemudian melahirkan seorang
bayi dan mengaku, "Ini anak Juraij." Bani Israil lalu mendatangi
Juraij, menghancurkan rumahnya dan mencaci-makinya. Kemudian Juraij shalat dan
memanjatkan doa, hingga bergeraklah bayi itu.
Abu Hurairah berkata, "Sepertinya aku melihat
Nabi Saw. bercerita dengan mengacungkan tangan ketika beliau berkata, "Hai
bocah, siapa ayahmu?" Bayi itu menjawab, "Penggembala itu."
Akhirnya Bani Israil menyesali perbuatan mereka terhadap Juraij dan mengucapkan
janji, "Kami akan membangun rumahmu dari emas atau perak." Akan
tetapi Juraij menolak tawaran mereka dan membangun rumahnya seperti semula.
Bayi lain yang bisa bicara adalah seorang bayi yang
sedang menyusu kepada ibunya. Lalu lewatlah seorang pemuda tampan berparas
elok. Sang ibu berdoa, "Ya Allah, jadikan anakku seperti dia."
Kemudian bayi itu menyahut, "Ya Allah, jangan jadikan aku seperti
dia." Lewat lagi seorang perempuan yang diisukan sebagai pencuri, pezina,
dan residivis. Sang ibu berdoa, "Ya Allah, jangan jadikan anakku seperti
dia." Bayi itu menimpali, "Ya Allah, jadikan aku seperti dia."
Sang ibu bertanya-tanya tentang celoteh anaknya. Si bayi berkata, "Pemuda
itu orang yang suka bertindak sewenang-wenang, aku tidak ingin jadi seperti
dia. Sementara perempuan yang diisukan sebagai pelacur itu bukanlah seorang
pelacur, ia diisukan sebagai seorang pencuri, padahal ia bukan pencuri, dan ia
hanya berkata, "Cukuplah Allah sebagai pelindungku."
Khabar 2
Khabar
tentang sebuah gua yang terkenal dalam kitab-kitab sahih. Al-Zuhri meriwayatkan
dari Salim dari Ibnu 'Umar bahwa Rasulullah Saw. bercerita, "Dulu, ada
tiga orang sedang menempuh suatu perjalanan, kemudian mereka berlindung dan
bermalam di dalam gua. Lalu sebuah batu besar menggelinding dari atas gunung
dan menutupi pintu gua. Mereka berkata, 'Demi Allah, kami tidak akan selamat
dalam gua ini, kecuali kami memohon kepada Allah dengan perbuatan baik yang
telah kami lakukan'
Salah
seorang di antara mereka berkata, 'Aku memiliki dua orang tua yang lanjut usia,
sebelumnya aku tidak pernah membuatkan mereka minuman. Suatu hari, mereka
tertidur di bawah sebatang pohon, aku tidak memindahkan mereka. Aku memerah
susu sebagai minuman sore hari untuk keduanya, aku membawakannya untuk mereka,
tetapi mereka tetap tidur. Aku tidak berniat membangunkan mereka juga tidak
mendahului meminumnya. Sambil berdiri dengan menenteng gelas di tangan, aku
tunggui mereka hingga terjaga sampai fajar merekah. Selanjutnya mereka bangun,
dan meminumnya.Ya Allah, apabila aku lakukan semua" itu karena mencari
ridha-Mu, maka keluarkan kami dari hadangan batu besar ini/' Kemudian batu itu
bergeser sedikit sehingga terbuka celah kecil, namun mereka belum bisa keluar
dari gua.
Orang kedua berkata, 'Aku memiliki sepupu
perempuan yang sangat mencintaiku. Kemudian ia merayuku, tetapi aku menolak,
hingga aku menyakiti dirinya selama beberapa tahun. Akhirnya ia menemuiku dan
aku berikan harta yang banyak agar dia mau meninggalkanku. Waktu itu ia
berkata, 'Tidak mungkin kamu bisa melepaskan cincin ini, kecuali dengan cara
yang benar.' Lalu aku meninggalkannya bersama hartanya. Ya Allah, apabila aku
lakukan hal itu karena mencari ridha-Mu, maka bebaskan kami dari pintu gua
ini.' Bergeserlah batu besar itu, tetapi mereka belum juga bisa keluar dari
sana.
Orang ketiga
berkata, 'Ya
Allah, aku telah mempekerjakan orang. Aku beri mereka upah, dan hanya ada satu
orang yang belum kuberi karena ia meninggalkan pekerjaannya, kemudian pergi.
Aku membungakan upahnya hingga menjadi kekayaan yang berlipat-lipat. Pada suatu
saat, ia mendatangiku dan berkata, 'Hai 'Abdullah, saya mau minta upah.' Aku
menjawab, 'Seperti apa yang kamu lihat, semua upahmu berupa unta, kambing, dan
budak.' Dia berkata, 'Hai'Abdullah, engkau mengolok-olok saya?' Aku menjawab,
'Aku tidak mengolok-olokmu, ambillah semua upahmu dan gunakan untuk makan/ Ya
Allah, apabila hamba melakukan semua itu karena mencari ridha-Mu, maka lepaskan
kami dari padang pasir ini.' Akhirnya terbukalah batu itu dari gua. Mereka
keluar dan berjalan bersama-sama." (HR Bukhari dan Muslim dengan kualitas
hasan sahih)
Khabar 3
Sabda
Rasulullah Saw., "Ya Allah, aku sudah membuat kusut dan mengotori kain
lusuh dengan debu. Jika aku bersumpah dengan nama Allah, niscaya kain itu akan
rapih dan bersih kembali." Tidak ada sesuatu pun yang dapat menyangkal
sumpah Nabi Muhammad Saw. atas nama Allah.
Khabar 4
Sa'id bin
Musayyab meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi Saw., "Suatu hari,
ada seorang laki-laki yang sedang menggiring seekor sapi dengan beban berat.
Sapi itu menoleh ke arah laki-laki itu dan berkata, 'Aku diciptakan bukan untuk
ini, tetapi untuk membajak.' Beberapa orang berseru, 'Maha suci Allah, seekor
sapi bisa bicara.' Aku, Abu Bakar, dan 'Umar mempercayai kejadian itu."
Khabar 5
Abu Hurairah
r.a. meriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda, "Suatu hari seseorang
mendengar petir, tanda musim hujan, yang akan mengairi kebun Fulan. Aku
bergegas menuju kebun itu, pada waktu itu, ada seorang laki-laki berdiri di
sana, dan aku bertanya, 'Siapa namamu?' Dia menjawab, 'Fulan bin Fulan bin
Fulan.' Aku bertanya lagi, 'Apa yang kau kerjakan di kebun ketika panen tiba?'
Dia balik bertanya, 'Kenapa kau tanyakan hal itu?' Jawabku, 'Karena aku
mendengar suara petir yang akan mengairi kebun Fulan.' Dia berkata, 'Jika benar
apa yang kau katakan, maka aku akan membaginya menjadi tiga, sepertiga untukku
dan keluargaku, sepertiga untuk orang-orang miskin dan musafir, dan sepertiga
lagi akan aku nafkahkan.'"
3. Atsar
Sahabat
Kita mulai
dengan mengutip beberapa karamah yang muncul dari Khulafa'ur Rasyidin dan para
sahabat Nabi Saw. lainnya. Di sini saya mengutip sebagian karamah Khulafa'ur
Rasyidin dari Al-
Razi, dan mengutip karamah para sahabat Nabi lainnya dari periwayat lain. Al-Razi berkata, "Beberapa kitab sufi membahas hal ini berupa riwayat-riwayat yang tak terhitung jumlahnya. Siapa yang ingin mempelajarinya, silakan mengkajinya."
Razi, dan mengutip karamah para sahabat Nabi lainnya dari periwayat lain. Al-Razi berkata, "Beberapa kitab sufi membahas hal ini berupa riwayat-riwayat yang tak terhitung jumlahnya. Siapa yang ingin mempelajarinya, silakan mengkajinya."
4. Dalil
Aqli (rasio)
Di antara
dalil aqli dan qat'i yang berkaitan dengan kemungkinan munculnya karamah
adalah:
Dalil 1
Sesungguhnya
hamba Allah adalah wali-Nya, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya,
- "Ingatlah,
sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak merasa takut dan sedih" (QS
Yunus [10]: 62).
Allah juga
wali hamba-Nya, seperti dinyatakan dalam firman-Nya,
- "Allah
itu pelindung (wali) orang-orang beriman" (QS
Al-Baqarah [2]: 257).
- "Dia
terus-menerus melindungi orang-orang yang saleh" (QS
al-A'raf [7]: 196).
- "Sesungguhnya
penolong kalian (waliyyukum) adalah Allah dan Rasul-Nya" (QS
Al-Maidah [5]: 55).
- "Engkaulah
Penolong kami (maulana)" (QS Al-Baqarah [2]: 286).
- "Demikianlah,
sesungguhnya Allah menjadi pelindung (maula) orang-orang beriman"
(QS Muhammad [47]: 11).
Jadi,
jelaslah bahwa Allah adalah wali hambaNya dan hamba adalah wali Allah. Begitu
juga Allah adalah kekasih hamba, sebaliknya hamba adalah kekasih Allah,
sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya,
- "Allah
mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya" (QS Al-Maidah [5]:
54).
- "Orang-orang
yang beriman sangat mencintai Allah" (QS Al-Baqarah [2]: 165).
- "Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang menyucikan
diri "(QS al-Baqarah [2]: 222).
Jadi, bisa
dikatakan bahwa jika seorang hamba telah mencapai ketaatan, maka ia akan
terdorong untuk melaksanakan segala yang diperintahkan Allah dan semua hal yang
diridhai-Nya, dan akan meninggalkan semua perbuatan yang dilarang dan dicegah
olehNya. Bagaimana mungkin ia tidak melaksanakan perbuatan yang dikehendaki
Tuhan Yang Maha Penyayang lagi Maha Mulia sekali saja, padahal hanya Tuhanlah
yang utama baginya, karena hamba sesungguhnya tidak berdaya dan lemah ketika
mengerjakan semua hal yang dikehendaki dan dititahkan Allah, sedangkan Tuhan
Yang Maha Penyayang melakukan hal-hal utama yang dikehendaki hamba-Nya dalam
sekali hitungan saja. Hal ini berdasarkan pada firman Allah,
- "Penuhilah
janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu."
(QS Al-Baqarah [2]: 40)
Dalil 2
Jika
ketidakmunculan karamah membuat manusia menuduh Allah tidak ahli melakukan
perbuatan seperti itu, maka itu termasuk mencela kekuasaan Allah dan dihukumi
kufur. Atau jika ketidakmunculan karamah membuat manusia menuduh seorang mukmin
tidak patut dikaruniai karamah oleh Allah, alasan ini tidak sah, karena
mengetahui zat, sifat, perbuatan, hukum-hukum dan nama-nama Allah, cinta dan
ketaatan kepada-Nya, serta terus-menerus menyucikan, mengagungkan, dan
menyambut gembira nama-Nya dan membacakan tahlil untuk-Nya itu jauh lebih mulia
daripada hanya memberikan sepotong kue untuk menundukkan ular atau harimau.
Ketika Allah menganugerahi seorang mukmin ma'rifat, mahabbah, zikir, dan syukur
tanpa permohonan, hal itu lebih utama daripada hanya memberi sepotong kue
sebagai hidangan.
Dalil 3
Nabi
Muhammad Saw. bersabda bahwa Allah berfirman,
"Tidak ada yang lebih
mendekatkan seorang hamba kepada-Ku yang sebanding dengan menunaikan semua
kewajiban yang Kuperintahkan dan senantiasa mendekati-Ku dengan
perbuatan-perbuatan sunnah hingga Aku mencintainya. Dan jika Aku telah
mencintainya, maka aku menjadi pendengaran, penglihatan, lidah, hati, tangan,
dan kakinya. Ia mendengar melalui Aku, ia melihat melalui Aku, ia berbicara
melalui Aku, dan berjalan melalui Aku.'
Khabar ini
menunjukkan tidak adanya ruang dalam pendengaran mereka untuk selain Allah,
tidak juga dalam penglihatan dan keseluruhan anggota tubuhnya. Sebab kalau
masih ada ruang untuk selain Allah, tentunya Allah tidak akan berkata,
"Aku mendengar dan melihat-Nya." Maka tidak ada keraguan lagi bahwa
inilah maqam yang lebih mulia daripada kemampuan menundukkan ular dan binatang
buas, atau memberi sepotong roti, setangkai anggur dan segelas air kepada
seseorang yang kelaparan dan kehausan di padang tandus. Ketika Allah dengan
rahmat-Nya mengantarkan hamba-Nya sampai derajat yang tinggi, maka apa susahnya
memberi sepotong roti atau air minum di padang tandus kepada seseorang?
Dalil 4
Nabi
Muhammad Saw. menceritakan bahwa Allah berfirman, "Barangsiapa
menyakiti wali-Ku, maka ia benar-benar menyatakan peperangan dengan-Ku."
Menyakiti wali sama dengan menyakiti Allah, hal ini sesuai dengan firman-Nya:
- "Orang-orang yang berjanji setia kepadamu
(Muhammad), sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah" (QS
Al-Fath [48]: 10).
- "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang
mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin (untuk memilih ketetapan
lain), apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan" (QS
Al-Ahzab [33]: 36).
- "Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti
Allah dan Rasul-Nya akan dilaknat oleh Allah di dunia dan akhirat"
(QS Al-Ahzab [33]: 57).
Berjanji
setia (bai'at) kepada Nabi Muhammad Saw. berarti berjanji setia kepada Allah,
ridha kepada Nabi Muhammad Saw. berarti ridha kepada Allah, menyakiti Nabi
Muhammad Saw. berarti menyakiti Allah. Tidak diragukan lagi, derajat Muhammad
adalah derajat tertinggi. Inilah arti dari firman Allah dalam sebuah hadis qudsi,
"Barangsiapa menyakiti wali-Ku, maka ia telah menyatakan peperangan
dengan-Ku." Hadis qudsi ini menunjukkan ketetapan Allah bahwa
menyakiti wali sama dengan menyakiti-Nya.
Hal ini
diperkuat dengan khabar masyhur yang menyatakan bahwa pada hari kiamat nanti
Allah Swt. berfirman,
"Aku sakit, tetapi kau tidak menjengukku. Aku
meminta minum tetapi kau tidak memberiku mimun. Aku meminta makan kepadamu tapi
kau tidak memberiku makan." Orang-orang bertanya, "Ya Tuhan,
bagaimana kami melakukan hal ini, sementara Engkau adalah Tuhan Penguasa
alam?" Allah menjawab, "Sesungguhnya hamba-Ku si Fulan sedang sakit,
tetapi kamu tidak menjenguknya. Apakah kamu tidak tahu kalau saja kamu
menjenguknya, maka kamu akan menemukan Aku di sisinya."
Demikian
juga ketika kita memberi minum dam makan wali-Nya berarti kita juga memberi
minum dan makan Allah. Seluruh khabar di atas membuktikan bahwa para wali Allah
telah mencapai derajat ini.
Dalil 5
Kita melihat
bahwa dalam kebiasaan, seseorang yang diangkat sebagai pelayan khusus oleh
seorang raja dan diizinkan masuk ke ruang untuk bersenang-senang, maka ia juga
diberi kekhususan untuk melakukan apa yang tidak bisa dilakukan orang lain.
Bahkan akal sehat juga menyaksikan bahwa kedekatan dengan seorang raja akan
menimbulkan naiknya pangkat (kedudukan). Kedekatan adalah asal atau pokok,
sementara kedudukan adalah pengiring. Sedangkan Raja Paling Agung adalah Tuhan
Penguasa alam. Jika Allah memuliakan seorang hamba dengan mengantarkannya ke
pintu pengabdian dan derajat karamah, menganugerahinya rahasia ma'rifat dan
kemampuan menyingkap hijab antara Allah dan dirinya, serta mendudukkannya dalam
kedekatan, maka tidak ada kesulitan baginya untuk menampakkan sebagian karamah
di dunia ini.
Dalil 6
Tidak
diragukan lagi bahwa yang menguasai perbuatan adalah ruh, bukan badan. Begitu
juga penguasaan Allah atas ruh sama dengan penguasaan ruh atas badan,
berdasarkan penafsiran kami atas firman Allah, "Dia menurunkan malaikat
dengan (membawa) ruh (wahyu) berupa perintah-Nya" (QS Al-Nahl [16]: 2).
Rasulullah Saw. bersabda, "Aku bermalam di sisi Tuhanku yang memberiku
makan dan minum." Dari hadis ini, kita tahu bahwa semakin banyak
pengetahuan seseorang tentang alam gaib, maka semakin kuat hatinya dan semakin
sedikit kelemahannya. Karena itu, 'Ali bin Abi Thalib berkata, "Demi
Allah, gerbang Khaibar itu tidak aku dobrak dengan kekuatan jasadiah, tetapi
gerbang itu terlepas dengan kekuatan rabbaniyyah." Hal tersebut karena
pada waktu perang Khaibar, 'Ali memutus pandangannya dengan alam jasad, dan
malaikat memancarkan cahaya alam keagungan, sehingga ruh 'Ali menjadi kuat dan
menyerupai subtansi ruh malaikat serta memancarkan kilauan cahaya alam kesucian
dan keagungan. Maka 'Ali memiliki kemampuan seperti malaikat yang tidak
dimiliki oleh orang lain. Demikian pula hamba lain yang terus-menerus taat, ia
akan tiba pada maqam yang difirmankan Allah dalam sebuah hadis qudsi, "Aku
menjadi pendengaran dan penglihatannya." Ketika cahaya keagungan Allah
menjadi pendengarannya, maka ia mampu mendengar suara yang dekat maupun yang
jauh. Ketika cahaya Allah menjadi tangannya, maka ia memiliki kemampuan untuk
menyelesaikan persoalan yang sulit maupun mudah, jauh maupun dekat.
Dalil 7
Menurut
hukum akal, subtansi ruh bukanlah raga yang fana, rusak, dapat dipisah-pisah,
dan dipotong-potong. Namun ruh adalah substansi malaikat, penghuni langit,
sesuatu yang kudus dan suci. Hanya saja ketika ruh terikat dengan tubuh dan
terbelenggu dengan kehendaknya, maka ia akan melupakan negeri asal dan tempat
tinggalnya yang lama, dan secara keseluruhan ia serupa dengan tubuh yang rusak,
kekuatannya melemah, kekokohannya lenyap hingga ia tidak kuasa melakukan
apa-apa. Ketika ruh senang dengan ma'rifat dan mahabbah kepada Allah, serta
jarang mengikuti kehendak tubuh, maka ruh-ruh penghuni langit dan 'arsy akan
memancarkan kilauan cahaya mereka atasnya dan menyelubunginya, kemudian ia akan
diberi kekuatan hingga mampu menguasai alam materi, seperti ruh-ruh penghuni
langit, dan inilah yang disebut karamah.
Menurut
mazhab kami, ruh manusia berbeda dengan benda-benda cair. Ruh manusia
mengandung kekuatan dan kelemahan, cahaya dan kegelapan, kehormatan dan
kehinaan, demikian juga ruh-ruh falakiyah (wilayah langit). Tidakkah kau lihat
Jibril, ketika Allah menyifatinya dalam Al-Qur'an, "Sesungguhnya Al-Qur'an
itu benar-benar firman Allah yang dibawa oleh utusan yang mulia (Jibril), yang
mempunyai kekuatan dan kedudukan tinggi di sisi Allah Pemilik 'Arsy, yang
ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya" (QS Al-Takwir [81]:
19-21). Allah berfirman tentang sekelompok malaikat lainnya, dan berapa banyak
malaikat di langit yang syafa'atnya tidak berguna kecuali setelah Allah
memberikan izin kepada yang dikehendaki dan diridhai-Nya.
Demikianlah,
ketika jiwa berpadu dengan kekuatan yang suci dan mendasar, cahaya substansi,
keluhuran tabiat, ditambah dengan berbagai macam riyadhah (olah spiritual) yang
membersihkan debu dunia wujud dan kerusakan dari wajahnya, maka jiwanya akan
bercahaya, berkilauan, dan mampu menguasai alam nyata dan fana dengan bantuan cahaya
ma'rifat yang mulia dan kekuatan cahaya Sang Maha Perkasa lagi Maha Mulia.
Penjelasan yang mulia ini mengandung rahasia-rahasia terselubung dan
fenomena-fenomena yang mendalam, karenanya kita memohon pertolongan Allah agar
dapat memahaminya. Barangsiapa tidak bisa mencapainya, berarti ia tidak
meyakininya.
Para
penyangkal adanya karamah memiliki beberapa argumen:
- Para
penyangkal karamah berlaku tidak adil dan menyesatkan karena berpendapat
bahwa munculnya peristiwa luar biasa merupakan bukti kenabian, kalau
muncul di tangan selain nabi, maka bukti ini menjadi batal. Adanya bukti
tetapi tidak ada yang dibuktikan akan menodai eksistensi bukti tersebut
dengan demikian bukti tersebut menjadi batal.
- Mereka
berpegang pada sabda Rasulullah dalam sebuah hadis qudsi yang menceritakan
tentang Allah, "Orang-orang yang mendekat kepada-Ku itu tidak akan
pernah dekat kepada-Ku, hingga mereka menunaikan hal-hal yang Ku-wajibkan
atas mereka." Mereka mengatakan hadis ini adalah bukti bahwa mendekat
kepada Allah dengan cara menjalankan semua perintah-perintah-Nya yang
wajib lebih agung daripada mendekat kepada-Nya dengan menjalankan
perbuatan sunnah. Jika orang yang mendekat kepada-Nya karena menjalankan
perbuatan wajib saja tidak memperoleh karamah apa pun, maka apalagi orang
yang mendekat kepada Allah dengan menjalankan perbuatan sunnah tidak patut
memperoleh karamah.
- Mereka
berpegang pada firman Allah, "Dan dia memikul beban-bebanmu ke suatu
negeri yang tidak sanggup kamu capai kecuali dengan kesukaran-kesukaran
yang memayahkan diri"(QS Al-Nahl [16]: 7). Pendapat mereka yang
menyatakan bahwa wali itu pindah dari satu negeri ke negeri yang jauh
tidak sesuai bahkan bertentangan dengan ayat ini. Demikian juga. Nabi
Muhammad Saw. tidak akan bisa berjalan dari Mekah ke Madinah kecuali dalam
tempo yang lama dengan disertai kepayahan-kepayahan. Bagaimana mungkin
dapat dipahami bahwa seorang wali meninggalkan negerinya untuk beribadah
haji dalam waktu satu hari saja?
- Mereka
bertanya apakah wali yang memperlihatkan karamah karena mengharapkan uang
dari manusia bisa dituntut untuk menunjukkan bukti kewaliannya atau tidak?
Kalau kita menuntutnya untuk menunjukkan bukti, maka itu sia-sia belaka,
karena tampaknya karamah menunjukkan bahwa ia tidak berdusta. Sudah ada
dalil meyakinkan mengapa harus mencari dalil perkiraan, tetapi kalau kita
tidak menuntutnya untuk menunjukkan bukti, berarti kita telah mengabaikan
Sabda Nabi SAW. yang berbunyi, "Bukti itu ada pada orang yang
menyatakannya." Ini menunjukkan bahwa pendapat yang mengatakan adanya
karamah itu batil.
- Apabila
karamah bisa muncul pada sebagian wali, maka ia juga bisa terjadi pada
orang lain. Jika karamah sudah begitu banyak sampai menjadi hal yang tak
luar biasa lagi, maka akan sama dengan adat. Apabila kemunculan karamah
begitu sering, maka karamah itu menjadi biasa saja, dan hal inilah yang
akan menodai mukjizat dan karamah.
Jawaban atas
argumen yang pertama:
Umat muslim
berbeda pendapat tentang apakah seorang wali boleh menyatakan kewaliannya?
Kelompok Al-Muhaqqiqun (orang-orang yang menyatakan kebenaran) tidak membolehkannya. Berdasarkan pendapat ini, kita bisa membedakan antara mukjizat dan karamah. Mukjizat muncul setelah pengakuan kenabian, sementara karamah tidak muncul setelah pengakuan kewalian. Karena perbedaan inilah, para nabi diutus kepada makhluk untuk menyeru dari kekufuran kepada keimanan, dari maksiat kepada ketaatan. Kalau pengakuan kenabian tidak dinyatakan, maka kaum mereka tidak akan beriman, dengan kata lain tetap kufur. Jika para nabi menyatakan kenabian dan menampakkan mukjizat mereka, maka kaum yang diserunya akan mempercayai mereka. Langkah-langkah Nabi Muhammad Saw. menyatakan kenabiannya bukan bertujuan untuk mengagungkan diri, tetapi untuk menunjukkan kasih sayangnya kepada makhluk, agar mereka hijrah (beralih) dari kufur menuju iman. Adapun pernyataan kewalian seseorang tidak menyebabkan orang yang tidak mengakui kewalian-nya menjadi kafir atau menyebabkan orang yang mengakui kewalian-nya menjadi beriman. Jadi, pengakuan kewalian dinyatakan karena nafsu, oleh karenanya Nabi wajib menyatakan secara jelas pengakuan kenabiannya, sedangkan wali tidak diperkenankan menyatakan pengakuan kewaliannya, sehingga tampaklah perbedaan antara keduanya.
Sementara
orang yang berpendapat bahwa seorang wali boleh menyatakan pengakuan
kewaliannya, menyebutkan perbedaan mukjizat dan karamah ditinjau dari beberapa
segi:
1) Kemampuan
melakukan hal-hal luar biasa menunjukkan pelakunya bebas dari maksiat. Adapun
peristiwa luar biasa yang diiringi dengan pengakuan kenabian menunjukkan
pengakuan kenabiannya itu benar, sedangkan peristiwa luar biasa yang diiringi
dengan pengakuan kewalian menunjukkan pengakuan kewaliannya itu benar. Dengan
demikian, jelas bahwa mengakui adanya karamah para wali tidak berarti
menyangkal mukjizat para nabi.
2) Nabi Saw. menunjukkan mukjizatnya dan meyakinkan dirinya, sedangkan wali ketika menunjukkan karamahnya tidak untuk meyakinkan dirinya. Karena mukjizat wajib ditampakkan, sementara karamah tidak.
3) Melawan orang-orang yang menyangkal mukjizat itu wajib, sedangkan para penyangkal karamah tidak wajib dilawan.
4) Seorang wali tidak boleh memperlihatkan karamahnya ketika ia menyatakan pengakuan kewaliannya, kecuali jika untuk memper kuat dakwah agama Nabi Saw. Bila hal ini terjadi, maka karamah itu menjadi mukjizat bagi Nabi dan mengukuhkan risalahnya. Dengan demikian, tindakan memperlihatkan karamah tidak berarti menyangkal kenabian seorang nabi, tetapi justru menjadi penguat kenabiannya.
2) Nabi Saw. menunjukkan mukjizatnya dan meyakinkan dirinya, sedangkan wali ketika menunjukkan karamahnya tidak untuk meyakinkan dirinya. Karena mukjizat wajib ditampakkan, sementara karamah tidak.
3) Melawan orang-orang yang menyangkal mukjizat itu wajib, sedangkan para penyangkal karamah tidak wajib dilawan.
4) Seorang wali tidak boleh memperlihatkan karamahnya ketika ia menyatakan pengakuan kewaliannya, kecuali jika untuk memper kuat dakwah agama Nabi Saw. Bila hal ini terjadi, maka karamah itu menjadi mukjizat bagi Nabi dan mengukuhkan risalahnya. Dengan demikian, tindakan memperlihatkan karamah tidak berarti menyangkal kenabian seorang nabi, tetapi justru menjadi penguat kenabiannya.
Jawaban atas
argumen yang kedua: Taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) dengan melakukan amalan-amalan
wajib tentu lebih sempurna daripada taqarrub dengan amalan-amalan sunnah.
Seorang wali hanya akan menjadi wali ketika ia menunaikan ibadah fardhu dan
sunnah. Tidak diragukan lagi, kondisi ini lebih baik daripada orang yang
membatasi diri pada hal-hal yang fardhu semata. Jadi, jelaslah perbedaannya.
awaban atas
argumen yang ketiga: Firman Allah dalam QS Al-Nahl [16]: 7 yang berbunyi, "Dan ia memikul
beban-bebanmu ke suatu negeri yang tidak sanggup kamu capai kecuali dengan
kesukaran kesukaran yang memayahkan diri", mencakup kebiasaan-kebiasaan
umum. Sedangkan karamah para wali adalah fenomena yang langka, pengecualian
dari kebiasaan-kebiasaan umum.
awaban atas
argumen yang keempat: Berpegang pada Sabda Nabi Saw. yang menyatakan,
"Bukti itu ada pada orang yang mengaku."
Jawaban atas
argumen yang kelima: Orang-orang yang taat itu sedikit jumlahnya, sebagaimana dinyatakan dalam
firman Allah,
"Dan
sedikit sekali hamba-hamba-Ku yang bersyukur/taat"(QS Saba' [34]: 13).
Dan
seperti yang dikatakan iblis dalam firman-Nya, "Dan Engkau tidak akan
mendapati kebanyakan mereka bersyukur/taat" (QS Al-A'raf [7]: 17).
Jadi, ketika
orang yang memperlihatkan karamah sangat sedikit, maka itu berarti berbeda
dengan kebiasaan.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan