Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Siapa pun yang mengadakan perjalanan
kepada Allah tidak lepas dari empat
persinggahan, yaitu al-yaqzhah, al-bashirah, al-fikrah dan alazm.
Empat persinggahan ini tak ubahnya pilar
bagi suatu bangunan.
Perjalanan tidak akan sampai kepada-Nya
kecuali dengan melewati empat
persinggahan ini, tak ubahnya perjalanan
secara nyata yang harus melewati
beberapa etape. Orang yang hanya menetap
di kampung halaman-nya, tidak
berpikir untuk mengadakan perjalanan
kecuali dia sadar dari kelalaiannya
untuk mengadakan perjalanan. Jika sudah
memiliki kesadaran, maka dia
harus mengetahui segala urusan tentang
perjalanannya, bahaya, manfaat
dan kemaslahatannya. Kemudian dia berpikir
untuk mengadakan
persiapan dan mencari bekal. Kemudian dia
harus memiliki tekad yang
bulat. Jika tekad dan maksudnya sudah
bulat, maka dia mulai beralih ke
persinggahan muhasabah, atau memilah
antara bagiannya dan
kewajibannya. Dia
boleh mengambil apa yang menjadi bagiannya dan
harus melaksanakan kewajibannya. Sebab dia
akan mengadakan
perjalanan dan tidak akan kembali lagi.
Dari muhasabah dia beralih ke taubah.
Sebab jika dia sudah menghisab
dirinya, tentu dia akan mengetahui hak
yang harus dia penuhi, lalu
keluar untuk memberikan hak itu kepada
yang berhak menerimanya.
Inilah hakikat taubat. Tetapi dengan
mendahulukan muhasabah akan
menjadi lebih baik. Kalaupun
mendahulukannya juga tidak apa-apa, karena
muhasabah tak bisa dilakukan kecuali setelah ada taubat yang
sebenarnya.
Yang pasti, taubat itu ada di antara dua muhasabah,
yaitu muhasabah
sebelum taubat yang hukumnya wajib dan muhasabah
sesudah taubat yang
hukumnya harus tetap dijaga. Taubat akan
tetap terjaga jika berada di antara
dua muhasabah ini, sebagaimana yang
ditunjukkan firman Allah,
"Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya
untuk hari esok
(akhirat)." (Al-Hasyr: 18).
Maksud "Memperhatikan" dalam
ayat ini ialah memperhatikan kelengkapan
persiapan untuk menyongsong hari akhirat,
mendahulukan apa
yang bisa menyelamatkannya dari siksa
Allah, agar wajahnya menjadi bersih
di sisi Allah. Umar bin Al-Khaththab
pernah berkata, "Hisablah diri kalian
sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri
kalian sebelum kalian ditimbang
dan berhiaslah kalian untuk menghadapi
hari penampakan yang agung."
Menurut Abu Isma'il, pengarang Manalizus-Sa'irin,
ada tiga pilar
yang menopang muhasabah, yaitu:
1 Membandingkan antara Nikmat Allah dan Kejahatanmu
Maksudnya, engkau harus membandingkan apa yang berasal dari
Allah dan apa yang berasal dari dirimu. Dengan begitu engkau akan
mengetahui letak ketimpangannya, dan engkau juga akan mengetahui
bahwa di sana hanya ada ampunan dan rahmat
Allah di satu sisi, dan di
sisi lain adalah kehancuran dan kerusakan.
Dengan membandingkan seperti ini engkau
bisa mengetahui bahwa
Allah adalah Allah dalam pengertian yang sebenarnya, dan hamba
adalah
hamba dalam pengertian yang sebenarnya. Engkau juga akan mengetahui
hakikat jiwa dan sifat-sifatnya, keagungan Rububiyah Allah, hanya
Allahlah yang memiliki kesempumaan, setiap
nikmat berasal dari-Nya
sebagai karunia, dan siksaan juga berasal
dari-Nya yang ditimpakan
secara adil. Jika engkau tidak membuat perbandingan seperti ini,
tentu
engkau tidak akan bisa mengetahui hakikat dirimu sendiri dan
Rububiyah
Pencipta jiwamu. Jika engkau membuat
perbandingan seperti ini, maka
engkau akan tahu bahwa jiwamu adalah
sumber segala kejahatan dan
kekurangan. Sedangkan hukum yang
dimilikinya adalah kebodohan dan
kezhaliman. Andaikan tidak karena karunia
Allah dan rahmat-Nya yang
mensucikan jiwa itu, tentu ia tidak akan
menjadi suci sama sekali.
Kemudian engkau juga bisa membandingkan
antara kebaikan dan
keburukan. Sehingga dengan membandingkan
ini engkau bisa mengetahui
mana yang lebih banyak dan mana yang lebih
dominan di antara
keduanya. Perbandingan yang kedua ini
merupakan perbandingan antara
perbuatanmu dan apa yang datang dari
dirimu secara khusus.
Seseorang tidak bisa membuat perbandingan
ini jika dia tidak
memiliki tiga indikator:
1. Cahaya hikmah
2. Buruk sangka terhadap did sendiri
3. Membedakan
antara nikmat dan ujian.
Cahaya hikmah merupakan cahaya yang
disusupkan Allah ke dalam
hati orang-orang yang mengikuti para
rasul. Dengan kata lain, cahaya
hikmah adalah ilmu yang dimiliki seseorang
sehingga dia bisa membedakan
antara yang haq dan batil, petunjuk dan
kesesatan, mudharat dan
manfaat, yang sempurna dan yang kurang, yang baik dan yang buruk.
Dengan cahaya hikmah ini seseorang bisa melihat tingkatanrtingkatan
amal, mana yang harus dipentingkan dan mana yang tidak
dipenting-kan,
mana yang harus diterima dan mana yang ditolak. Jika cahaya ini kuat,
maka muhasabah juga akan kuat dan
sempurna. Buruk sangka terhadap
diri sendiri amat diperlukan, sebab baik
sangka terhadap diri sendiri akan
menghalangi koreksi dan kerancuan,
sehingga dia melihat keburukan
sebagai kebaikan, aib sebagai kesempumaan.
Membedakan nikmat dari
ujian, artinya membedakan nikmat yang
dilihatnya sebagai kebaikan dan
kasih sayang Allah serta yang bisa
membawanya kepada kenik-matan
yang abadi, dan membedakannya dengan nikmatyang hanya seke-dar
sebagai tipuan. Sebab berapa banyak orang yang tertipu dengan
nik-mat,
sementara dia tidak menyadarinya, tertipu
oleh pujian orang-orang bodoh,
terpedaya oleh limpahan Allah, dan justru
kebanyakan manusia termasuk
dalam kelompok yang kedua ini.
Tiga indikator ini merupakan tanda
kebahagiaan dan keselamatan.
Jika tiga hal ini dilaksanakan secara
sempurna, maka seseorang bisa
mengetahui nikmat Allah yang sebenarnya.
Selain itu ada ujian yang
berupa nikmat atau cobaan berupa limpahan
pemberian. Maka hendaklah
setiap orang mewaspadai hal ini, sebab dia
berada di antara anugerah dan
hujjah, dan banyak orang yang timpang dalam membedakan dua hal ini.
2. Membedakan antara Bagian dan Kewajiban
Harus ada pemilahan antara hak-hak yang
harus engkau penuhi,
seperti kewajiban-kewajiban ibadah,
ketaatan dan menjauhi kedurhakaan, dan
hak yang menjadi bagianmu. Apa yang
menjadi bagianmu adalah mubah
menurut ketetapan syariat, dan apa yang
menjadi kewajibanmu harus
engkau penuhi dan engkau harus memberikan
hak kepada siapa pun yang
berhak menerimanya.
Banyak orang yang mencampur aduk antara kewajiban dan hak-nya,
sehingga dia sendiri menjadi kebingungan
antara mengerjakan dan
meninggalkan. Banyak orang yang sebenarnya
dia boleh mengerjakan
sesuatu namun dia justru meninggalkannya,
seperti orang yang raj in
beribadah dengan meninggalkan apa yang
sebenarnya boleh dia kerja-kan,
seperti meninggalkan hal-hal yang mubah,
karena dia mengira bah-wa hal
itu tidak boleh dia kerjakan. Begitu pula
sebaliknya, orang yang rajin
beribadah dengan mengerjakan sesuatu yang
sebenarnya harus dia
tinggalkan, karena dia mengira hal itu
merupakan haknya.
Yang pertama seperti orang yang rajin beribadah dengan tidak mau
menikah, tidak mau memakan daging, buah-buah, makanan yang lezat dan
pakaian yang bagus. Karena kebodohannya
dia mengira bahwa semua itu
merupakan larangan baginya, sehingga dia
harus meninggalkannya, atau dia
berpendapat bahwa dengan meninggalkannya
akan membuat ibadahnya
bertambah afdhal. Dalam Ash-Shahih disebutkan pengingkaran Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam terhadap
beberapa shahabat yang tidak mau
menikahi wanita, terus-menerus berpuasa
dan shalat malam. Yang kedua
seperti orang yang rajin beribadah, namun bid'ah. Dia melihat cara
ibadahnya itu benar, karena begitulah yang banyak dilaku-kan orang.
3. Tidak Ridha terhadap Ketaatan Yang
Dilakukan
Engkau harus tahu bahwa setiap ketaatan
yang engkau ridhai, akan
menjadi beban dosa bagimu, dan setiap
kedurhakaan yang dituduhkan
saudaramu kepadamu, maka terimalah tuduhan
itu dan anggaplah bahwa
memang itulah yang benar. Sebab keridhaan seorang hamba terhadap
ketaatan dirinya merupakan bukti baik
sangka terhadap diri sendiri dan
kebodohannya terhadap hak-hak ubudiyah
serta tidak tahu apa yang
dituntut Allah darinya, lalu akhirnya
melahirkan takabur dan ujub, yang
dosanya lebih besar dari dosa-dosa besar
yang nyata, seperti zina, minum
khamr, lari dari medan peperangan dan
lain-lainnya.
Orang-orang yang memiliki bashirah justru lebih meningkatkan
istighfar setelah mengerjakan berbagai macam
ketaatan, karena mereka
menyadari keterbatasannya dalam
melaksanakan ketaatan itu dan merasa
belum memenuhi hak-hak Allah sesuai dengan keagungan-Nya. Allah juga
memerintahkan agar Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam senantiasa
memohon ampunan dalam setiap kesempatan
dan sehabis melaksanakan
tugas-tugas risalah atau setelah
melaksanakan suatu ibadah. Dalam surat
terakhir yang diturunkan, Allah juga tetap
memerintahkan beliau untuk
memohon ampunan,
"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu
lihat
manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka
bertasbihlah
dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-
Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat." (An-Nashr:
1-3).
Maka Umar bin Al-Khaththab dan Ibnu Abbas memahami turunnya
surat ini sebagai isyarat telah dekatnya
ajal beliau. Seakan-akan Allah
hendak memberitahukan hal ini kepada
beliau, dengan memerintahkan
agar beliau memohon ampunan sehabis
mengerjakan setiap tugas.
Dengan kata lain, surat ini semacam pemberitahuan: Engkau
telah rampung
mengerjakan kewajibanmu dan tidak ada lagi kewajiban yang
menyisa
setelah itu. Maka jadikanlah istighfar sebagai
kesudahannya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan