Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Banyak orang yang mensifati persinggahan
ini dan menyebutkan
bilangannya. Di antara mereka ada yang
menyebutnya seribu, ada pula
yang menyebutnya seratus, ada yang kurang dan ada yang lebih. Masing masing
orang mensifatinya menurut perjalanan yang
dilakukannya.
Berikut ini akan saya sebutkan secara
ringkas namun mutlak masing-masing di
antara persinggahan ini.
Yang pertama adalah al-yaqzhah, artinya
kegalauan hati setelah
terjaga dari tidur yang lelap. Hal ini
sangat penting dan membantu pembenahan
perilaku. Siapa yang merasakannya, berarti
dia telah merasakan
satu keberuntungan. Jika tidak, berarti
dia tetap dicengkeram kelalaian.
Jika sudah tersadar, dia diberi bekal
hasrat untuk memulai perjalanannya
dan menuju persinggahannya yang pertama
dan ke tempat dimana dia
ditawan.
Jika perjalanan sudah dimulai, maka hati
beralih ke persinggahan alazm,
yaitu tekad yang bulat untuk melakukan
perjalanan, siap menghadapi
segala rintangan dan mencari penuntun yang
dapat menghantarkan
ke tujuan. Seberapa jauh seseorang
memiliki kesadaran, maka se-jauh
itu pula tekadnya, dan seberapa jauh tekad
yang dimilikinya, maka sejauh
itu pula persiapan yang dilakukannya.
Jika sudah terjaga, maka dia memiliki al-fikrah,
yaitu pandangan hati
yang hanya tertuju ke sesuatu yang hendak
dicari, sekalipun dia belum
memiliki gambaran jalan yang
menghantarkannya ke sana.
Jika fikrah-nya sudah benar, tentu dia memiliki al-bashirah,
yaitu cahaya
di dalam hati untuk melihat janji dan ancaman, surga dan
neraka, apa yang
telah dijanjikan Allah terhadap para wali dan
musuh-Nya. Dengan semua ini
seakan-akan dia bisa melihat apa yang
terjadi pada hari akhirat, semua
orang dibangkitkan dari kuburnya, para
malaikat didatangkan, para nabi,
syuhada dan shalihin dihadirkan, jembatan
dibentangkan, musuh-musuh
dikumpulkan, api neraka dikobarkan. Di
dalam hatinya seakan ada mata
yang dapat melihat berbagai kejadian
akhirat, dan dia juga melihat bagaimana
keduniaan ini yang begitu cepat berlalu.
Al-Bashirah merupakan cahaya yang
disusupkan Allah ke dalam hati,
sehingga seseorang bisa melihat hakikat
pengabaran para rasul, seakanakan
dia bisa melihatnya dengan mata kepala
sendiri. Dengan begitu dia
bisa mengambil manfaat dari seruan para
rasul dan melihat adanya bahaya
yang mengancamnya jika dia bertentangan dengan mereka.
Al-Bashirah itu didasarkan pada tiga
derajat, siapa yang dapat menyempurnakan
tiga derajat ini, berarti dia dapat menyempurnakan bashirah-
nya, yaitu: Pertama, bashirah tentang asma' dan sifat. Kedua,
bashirah
tentang perintah dan larangan. Ketiga, bashirah tentang janji
dan
ancaman.
Bashirah tentang asma' dan sifat-sifat
Allah, artinya imanmu tidak
dipengaruhi syubhat yang bertentangan dengan sifat-sifat yang
diberikan
Allah kepada Diri-Nya sendiri dan juga yang disifati Rasul-Nya.
Sebab
syubhat dalam hal ini sama dengan keragu-raguan tentang wujud Allah.
Tingkatan bashirah yang dimiliki masing-masing manusia
berbe-dabeda,
tergantung dari tingkat pengetahuan mereka
tentang pengabaran
Nabawy dan pemahamannya serta ilmu tentang
syubhat yang bertentangan
dengan hakikat-hakikatnya.
Orang yang paling lemah bashirah-nya adalah para teolog batil yang
biasanya suka mencela orang-orang salaf,
karena mereka tidak mengetahui
nash dan tidak memahaminya. Syubhat mengendap di dalam hati mereka.
Orang-orang awam yang bukan termasuk orang-orang Mukmin yang
sesungguhnya, justru lebih sempurna daripada para teolog itu, lebih kuat imannya,
lebih mempercayai wahyu dan
lebih tunduk kepada kebenaran.
Bashirah tentang perintah dan larangan
artinya membebaskan hati
dari penentangan karena melakukan ta'wil,
taqlid atau mengikuti hawa
nafsu, sehingga di dalam hatinya tidak ada syubhat yang bertentangan
dengan ilmu tentang perintah dan larangan Allah, tidak pula dikuasai
nafsu yang menghalanginya untuk melaksanakan perintah dan larangan
itu, tidak pula mengikuti taqlid yang membuatnya merasa tidak perlu
berusaha menggali hukum dari nash.
Bashirah tentang janji dan ancaman artinya engkau
mempersaksi-kan
penanganan Allah terhadap apa pun yang
dilakukan setiap manusia, yang
baik maupun yang buruk, di dunia maupun di
akhirat. Ini merupakan
konsekuensi Ilahiyah dan Rububiyah-Nya,
keadilan dan hikmah-Nya.
Keraguan tentang hal ini sama dengan
keraguan tentang Uluhiyah dan
rububiyah-Nya, bahkan keraguan tentang
wujud-Nya.
Orang yang berada di persinggahan bashirah mempunyai
alternatif
jalan lain, yaitu bashirah yang membebaskannya dari
kebingungan.
Jika seseorang sudah sadar dan memiliki bashirah,
maka dia akan
mengambil maksud dan kehendak yang tulus,
menghimpun maksud dan
niat untuk melakukan perjalanan kepada
Allah. Setelah tahu dan yakin
tentang hal ini, maka dia mulai melakukan
perjalanan, membawa bekal
menuju hari datangnya pembalasan,
membebaskan diri dari rintangan
yang menghambat perjalanannya.
Maksud boleh dibagi menjadi tiga tingkatan:
Pertama, maksud yang membangkitkan keteguhan dan
membebaskan
diri dari keragu-raguan.
Kedua, maksud yang karenanya semua rintangan akan
disingkirkan
dan semua penghalang akan dihadapi.
Ketiga, maksud yang mendorongnya mencari pengetahuan dan
mau
men-dengarkan nasihat dari orang yang
lebih bijaksana.
Jika maksud sudah kuat, maka ia berubah
menjadi tekad yang bu-lat,
lalu mengharuskannya memulai perjalanan
sambil disertai tawakal kepada
Allah. Firman-Nya,
"Kemudian apabila kamu sudah
membulatkan tekad, maka
bertawakallah kepada Allah." (Ali Imran: 159).
Al-Azm artinya maksud yang bulat dan
yang mendorong munculnya
aksi. Karena itu ada yang menganggap tekad
yang bulat ini merupa-kan
permulaan aksi untuk mencari maksud dan
tujuan. Pada hakikatnya tekad
ini merupakan kekuatan kehendak yang sudah
berhimpun untuk
mengadakan aksi.
Tekad ini ada dua macam:
Pertama, tekad orang yang hendak mengayunkan langkah
melakukan
perjalanan atau bisa juga disebut permulaan
perjalanan.
Kedua, tekad saat berada di dalam perjalanan. Hal ini sifatnya lebih
khusus lagi.
Pada jenis ini seseorang perlu membedakan
antara apa yang menjadi
haknya dan kewajibannya, agar dia tahu apa
yang memang menjadi
bagiannya dan apa yang menjadi
kewajibannya, yaitu muhasabah sebelum
taubat.
Tetapi pengarang
Manazilus-Sa'irin menempatkan taubat sebelum
muhasabah.
Yang perlu diketahui bahwa persinggahan
ini jangan disamakan
dengan persinggahan menurut kenyataan,
dimana seseorang berada di satu
tempat itu lalu meninggalkannya begitu
saja untuk berpindah ke tempat
berikutnya. Tentunya engkau juga tahu
bahwa al-yaqzhah (kesadaran)
harus selalu menyertai dan tidak bisa
ditinggalkan, di mana pun
tempatnya, begitu pula al-bashirah,
al-iradah, al-azm maupun at-taubah.
Seperti wajarnya taubat yang ada di akhir,
maka ia juga harus ada di permulaannya
dan bahkan ia harus ada di mana-mana.
Memang Allah menjadikan
taubat ini sebagai bagian akhir dari
keadaan hamba-hamba-Nya
yang khusus, seperti Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam dan para
shahabat beliau dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Allah befirman
berkaitan dengan perang Tabuk, peperangan terakhir yang mereka
lakukan,
dan sekaligus merupakan perjalanan yang paling berat bagi mereka,
"SesungguhnyaAllah telah menerima taubat Nabi, orang-orang
Muhajirin
dan Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati
segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima
taubat mereka itu." (At-Taubah: 117).
Tiada ulasan:
Catat Ulasan