Sering
ditanyakan kepada kami, “apakah Rasulullah; para Sahabat serta Imam
yang Empat, Tabi’in ; tabi’ut tabi’in bertasawuf?“
Tahukah kita, mengapa mereka ada yang dipanggil sebagai Salafush Sholeh?
Karena
mereka sholeh, baik, berakhlak baik, mereka mempersembahkan diri mereka di
hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri karena malu terhadap rububiyah-Nya
dan merasa cukup dengan sifat qayyum-Nya.
Mereka yakin
bahwa Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan
untuk diri mereka sendiri.
Mereka adalah generasi terbaik yang berserah diri (Islam) kepada Allah.
Mereka adalah generasi terbaik yang berserah diri (Islam) kepada Allah.
Sehingga
mereka mencapai tingkatan muslim yang terbaik yakni Ihsan (muhsin/muhsinin).
Ihsan (kata arab) yang maknanya baik, terbaik.
Kami
berupaya mengikuti/mencontoh para Salafush sholeh. Kami mendalami tasawuf dalam
islam adalah mendalami tentang akhlakul karimah, mendalami upaya agar dapat
“seolah-olah melihatNya”, mendalami tentang ihsan yang bagian dari pokok-pokok
ajaran Islam sebagaimana yang disampaikan oleh malaikat Jibril.
Tentang
Islam (rukun Islam/fiqih), Tentang Iman (rukun Iman/Ushuluddin) , Tentang Ihsan
(akhlak/tasawuf)
Rasulullah
saw berkata,
“Beribadah kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya walaupun anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat anda.” (HR Muslim)
“Beribadah kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya walaupun anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat anda.” (HR Muslim)
Kadang kita
mendengar saudara muslim kita yang memperturutkan hawa nafsunya, sibuk dengan
istilah tasawuf mengatakan,
“Kalau tasawuf
ajaran Rasulullah ?? dari mana asal kata tasawuf ??”
“Apakah Muhammad
Rasulullah saw, pernah bertutur dalam hadist sahih bahwa “Sarana atau ilmu
untuk paham seputar mengenal Allah adalah ilmu Tasawuf”?”
“Apakah Muhammad
Rasulullah saw pernah mengaku sebagai sufi dan pendiri aliran tasawuf??”
Berikut
tulisan yang menarik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dan yang
senada
Syaikh
Al-Buthi menerangkan bahwa istilah tasawuf adalah istilah yang tidak memiliki
asal. Memang ada yang mengatakan bahwa Tasawuf berasal dari kata Shuuf (bulu
domba), Ahlus Shuffah (penghuni Shuffah), Shafaa (jernih), Shaff (barisan) dan
lain-lain. Namun teori-teori itu tidak ada yang tepat menurut beliau
sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Qusyairi sendiri dalam kitabnya. Namun yang
menjadi fokus pembahasan bukanlah itu, yaitu meributkan masalah nama atau
istilah yang takkan pernah ada habisnya, karena setiap orang bisa membuat
istilah sesuka hatinya. Yang menjadi fokus adalah substansinya. Oleh karena
itu, ada sebuah ungkapan yang sudah sangat masyhur di kalangan para ulama dan
santri, “La musyahata fil ishthilah (tidak perlu ribut karena membahas
istilah).”
Dalam dunia
ushul fikih kita mengenal istilah Wajib dan Fardhu, menurut Jumhur Fuqoha
keduanya memiliki arti yang sama, namun menurut Hanafiyah keduanya berbeda.
Dalam dunia Mushtolah Hadis kita mengenal istilah Hadis Mursal yang menurut
ahli hadis artinya adalah hadis yang dinaikkan oleh seorang tabii tanpa
menyebutkan siapa perantaranya kepada Nabi SAW, namun menurut ahli ushul
artinya adalah hadis yang terputus secara mutlak, di mana pun letaknya dan
berapa pun jumlah perawinya, mirip Hadis Munqathi’. Imam Asy-Syafii mengingkari
Istihsan dan mengatakan bahwa “Barangsiapa ber-istihsan maka ia telah membuat
syariat (baru)”, sedangkan Ulama Hanafiyah paling banyak menggunakan Istihsan.
Setelah diselidiki dan diteliti ternyata perbedaan mereka hanya sampai pada tataran
istilah saja (ikhtilaf lafzhi), namun pada substansinya mereka sepakat.
Istihsan yang dimaksud oleh Imam Asy-Syafii bukanlah Istihsan yang selama ini
dipakai oleh Ulama Hanafiyah. Kata Sunnah pun memiliki pengertian yang
bebeda-beda menurut ahli fikih, ushul fikih dan mustholah hadis. Demikianlah
seterusnya, perdebatan dalam masalah istilah takkan pernah menemui titik temu
dan takkan memberikan manfaat yang signifikan.
Demikian
pula dalam masalah Tasawuf. Banyak orang berbondong-bondong mengumandangkan genderang
dan mengibarkan bendera perang terhadap apa yang disebut Tasawuf. Buku-buku
ditulis, pengajian-pengajian digelar, perang opini dikobarkan. Semuanya dengan
satu tujuan, memberangus Tasawuf dari muka bumi. Sementara itu, di sisi lain
berbondong-bondong pula orang yang siap membela mati-matian Tasawuf. Padahal,
banyak di antara mereka yang tidak mengerti dan tidak memahami apa hakikat dari
istilah Tasawuf itu sendiri. Ironis.
Syaikh
Al-Buthi berkata, “Jika Tasawuf yang kalian maksud itu adalah pelanggaran-pelanggaran
terhadap syariat seperti ikhtilath (campur baur) laki-laki dengan perempuan dan
lain-lain, maka aku akan berdiri bersama kalian dalam memerangi Tasawuf. Namun
jika yang kalian perangi adalah perkara-perkara yang memang berasal dari Islam seperti
tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), akhlak dan lain-lain, maka berhati-hatilah!”
Beliau juga
sering mengulang-ulang perkataan ini, “Namailah sesuka kalian: Tasawuf, Tazkiyah, Akhlak atau
yang lainnya selama substansinya sama.”
Ya, ternyata
istilah tidaklah sedemikian penting dibandingkan dengan subtansinya selama
dalam batas-batas yang bisa ditolerir. Syaikh Al-Buthi bahkan menegaskan dalam
ceramahnya, “Saya sengaja berusaha sebisa mungkin untuk tidak menggunakan
istilah tasawuf dalam kitab saya, Syarah Hikam Atho’iyah, demi menjaga perasaan
saudara-saudara kami yang sudah termakan opini bahwa tasawuf bukanlah dari
Islam.”
Namun,
apakah dengan demikian beliau mengingkari inti atau substansi Tasawuf?
Jawabannya seperti yang sudah saya sebutkan di atas. Apapun istilahnya, jika
memang terbukti berupa pelanggaran terhadap syariat maka kita harus berdiri
dalam satu barisan untuk memeranginya. Namun jika hal-hal itu adalah bagian
dari Islam atau bahkan inti ajaran Islam, maka tidak semestinya kita menolaknya.
Jadi, kita
mesti banyak berhati-hati dalam menggunakan istilah sebelum memahami makna
sebenarnya. Jangan sampai kita terjebak dalam perangkap musuh yang sengaja
mengkotak-kotakkan umat Islam dengan cara menciptakan istilah-istilah agar umat
Islam disibukkan membahasnya lalu terlupakan akan tugas yang lebih penting dan
lebih besar manfaatnya daripada itu. Jangan sampai kita terpecah-pecah karena
masalah furu’iyyah sementara kita melupakan prinsip-prinsip agama kita.
Orang-orang
kafir atau orang-orang Yahudi, mereka tahu bahwa jalan menuju kesempurnaan
(ihsan) seorang muslim adalah mendalami tentang ihsan(tasawuf), sehingga mereka
berupaya mencitrakan buruk kepada tasawuf dalam Islam dan sebagian ulama
termakan propaganda tersebut.
Perhatikanlah
bagaimana Orang-orang kafir atau orang-orang yahudi berupaya meruntuhkan akhlak
kaum muslim dengan budaya mereka, pornografi, seks bebas, homoseksual, miras,
narkoba dll.
Hal inilah
yang terjadi di zaman yang dikatakan modernisasi agama dimana ulama-ulama
melupakan tentang tasawuf dalam islam, sehingga dari ulama-ulama seperti itu
lahirlah kaum muslim yang taat beribadah namun tidak berakhlakul karimah.
Jadi
kemerosotan akhlak yang kita temui di negeri kita, boleh jadi karena para ulama
telah melupakan tentang tasawuf dalam Islam atau melupakan tentang ihsan,
melupakan tentang akhlakul karimah
Akhlakul
karimah adalah kesadaran atau perbuatan/perilaku secara sadar dan mengingat
Allah.
Perhatikanlah
mereka yang korupsi, mafia peradilan/hukum atau yudikatif yang tidak menegakkan
keadilan, para penguasa (eksekutif) yang masih kurang peduli dengan nasib
rakyatnya, para legislatif yang sebagian mereka masih belajar tentang etika dan
belajar membedakan antara wang rakyat dengan wang pribadi, belajar bagaimana
mereka mewakili rakyat dengan keadaan rakyat sesungguhnya dan lain lain, tentu
sebagian mereka taat menjalankan ibadah sholat, puasa, zakat bahkan ibadah haji
namun pada hakikatnya mereka tidak berakhlakul karimah. Mereka tidak mengingat
Allah ta’ala ketika mereka hendak melakukan perbuatannya atau mereka tidak
mengingat Allah ta’ala ketika mereka hendak bersikap.
Sekarang
kita dapat pahami bahwa tasawuf adalah tentang akhlak atau tentang Ihsan.
Jadi intinya
bahwa Rasulullah itu bertasawuf karena memang tujuan Rasulullah adalah
menyempurnakan akhlak
Rasulullah
mengatakan “Sesungguhnya
aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Sebagaimana
firman Allah ta’ala yang ertinya,
“Sesungguhnya telah
ada pada (diri) Rasulullah itu uswah hasanah (suri tauladan yang baik) bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (Rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S Al-Ahzab : 21).
Urutannya
adalah Ilmu –; Amal –; Akhlak
Dengan ilmu
kita melakukan amal/perbuatan/ibadah, dengan amal/perbuatan/ibadah yang kita
lakukan terbentuk akhlak.
Inilah yang
diibaratkan sebagai ilmu padi, “merunduk ketika semakin berisi“
Sebagaimana
yang diketahui, bahwa ajaran ahwal (suatu perolehan dengan karunia dari Allah)
dan maqamat (suatu perolehan dengan usaha manusia) yang semuanya itu ditujukan
untuk memperbaiki akhlak.
Sedang
tujuan perbaiki akhlak adalah untuk membersihkan qalbu yang berarti
mengosongkan dari sifat sifat yang tercela (TAKHALLI)
kemudian mengisinya dengan sifat sifat yang terpuji (TAHALLI) yang selanjutnya akan memperoleh kenyataan Tuhan (TAJALLI). Allah ta’ala
bertajalli maka kita akan mencapai muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin) atau
muslim yang dapat seolah-olah melihatNya atau melihat Allah ta’ala dengan hati
/ akhlak yang suci / keimanan.
Sayyidina Ali r.a.
pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah
melihat Tuhan?”
Beliau menjawab,
“Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda
melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak boleh dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”.
Dengan
demikian maka kita dapat paham bahwa jalan untuk mengenal Allah , tidak dapat
ditempuh dengan sekaligus, tetapi adalah sesuai dengan peribadi masing masing
yaitu harus ditempuh secara bertingkat tingkat.
Pada tingkat
untuk memasuki Ilmu Hakekat dan Ilmu Ma’rifat, berarti memasuki suatu jalan
pengetahuan yang bertujuan untuk mengenal sesuatu itu dengan cara bersungguh
sungguh, bahwa siapakah manusia itu, siapakah yang menjadikannya dan siapakah
yang menciptakan sekalian itu.
Tasawwuf
meringkaskan jalan pengetahuan ini dengan berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
MAN ‘ARAFA NAFSAHU
FAQAD ‘ARAFA RABBAHU
(Siapa yang kenal
kenal dirinya akan Mengenal Allah)
Firman Allah
Taala :
“Kami akan
memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga
jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak
cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?“
(QS. Fush Shilat [41]:53 )
Dengan
tulisan ini, kita dapat memahami adalah sebuah keliruan besar telah terjadi
pada ulama-ulama Wahhabi dan penguasa kerajaan dinasti Saudi yang berpemahaman
bahwa muslim yang menjalankan tasawuf / tentang ihsan / berakhlak adalah
telah keluar dari Islam atau telah sesat. Bahkan sebagaimana yang
disampaikan oleh alm Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki
Alhasani bahwa Wahhabi telah memasukkan kedalam kurikulum pendidikan bahwa
kelompok Shuufiyyah (aliran–aliran tashowwuf ) adalah syirik dan keluar dari
agama. Kekeliruan besar yang terjadi di sana adalah karena mereka secara tidak
disadari telah berteman dengan orang-orang yang memang telah dicptakan oleh
Allah Azza wa Jalla untuk mempunyai rasa permusuhan kepada kaum muslim
Firman Allah
ta’ala yang artinya,
“orang-orang yang
paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan
orang-orang Musyrik” ( QS Al Maaidah [5]: 82 ).
Mereka
menjadikan orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik sebagai teman
kepercayaan atau penasehat segala bidang seperti penasehat keamanan, penasehat
ekonomi, penasehat pembangunan, penasehat pengelolaan sumber daya alam bahkan
penasehat kurikulum pengajaran/pendidikan .
Terbuktilah
mereka secara tidak sadar telah bersekutu dengan orang-orang yang memang telah
dicptakan oleh Allah Azza wa Jalla untuk mempunyai rasa permusuhan kepada
kaum muslim
Pada
akhirnya yang harus kita ingat selalu bahwa apapun yang telah terjadi pada para
umara/penguasa dan para ulama di wilayah kerajaan dinasti Saudi adalah kehendak
Allah ta’ala. Bagi kita umat muslim pada umumnya adalah sebagai cobaan. Kita
harus menghadapi cobaan ini dengan perbuatan/sikap yang dicintai oleh Allah Ar
Rahmaan dan Ar Rahiim dalam semangat Ukhuwah Islamiyah.
1 ulasan:
Illahi hanya Engkau yang kutuju dan redha Mu yang ku cari. tak perlulah kita berbahas terlau panjang lebar jika menyebab fikiran menjadi kusut, Segala tohmahan dan perasangka tidak akan menjadi kudis pada sang murid yang ikhlas menuju redha Allah. Teruskan perjalanan selagi kita yakin tidak berlaku penyimpangan dari nawaitu Lillahitaala.
Catat Ulasan