Kalangan dervish diwajibkan mengabdi kepada guru sufi, bahkan terdapat semacam pembekalan dalam penyelenggaraan pertemuan ritual mereka. Kehadiran sang pendiri, yakni Jalaluddin al-Rumi, dianggap benar-benar terjadi di dalam praktik ritual mereka, dan sejumlah dervish memiliki hubungan personal dengannya. Tarian sufi secara resmi dijadikan sebagai bagian dan metode ritual Tarekat Maulawiyah oleh Sultan Walad.
Meskipun
terdapat larangan terhadap musik, bahkan hal ini berlangsung sejak masa awal
Islam, dan masih berlangsung sampai sekarang, namun kalangan sufi banyak yang
menggunakan musik bersama dengan syair-syair keagamaan sebagai sarana menimbulkan
sikap kontemplatif dalam jiwa. Secara khusus, musik digunakan untuk menciptakan
keadaan jiwa dan pikiran yang sesuai untuk pelaksanaan hadhrah atau
tarian suci.
Hal ini
karena aspek esoterik musik diakui kebenarannya oleh kalangan sufi, meskipun dipandang
terlarang oleh kalangan eksoteris (kalangan
yang berpegang pada kenyataan lahiriyah). Tarian dengan menggunakan musik dalam
Tarekat Maulawiyah di kalangan sufi terkenal dengan istilah sama’ yang
dijadikan sebagai sarana pencarian Tuhan atau alat bantu kontemplatif.
Selama
penyelenggaraan tarian (sama’), sebuah
kulit domba berwarna merah diletakkan di atas lantai sebagai simbol kehadiran
Syamsuddin at-Tibrizi, seorang tokoh sufi yang mengilhami Rumi terhadap
kesadaran ketuhanan. Tarian yang memperagakan empat gerakan yang dinamakan
salam berlangsung selama satu jam. Pada akhir tarian tersebut, pir atau guru
spiritual, muncul ke tengah-tengah dervishes.
Getaran
dan instrumen ibarat nafas, atau jiwa yang memberikan kehidupan, lentingan
instrumen tersebut mendatangkan sebuah nostalgia keterpisahan dan keriuhan. Hal
ini berasal dari syair-syair yang dibawakan Rumi. Dan jeritan instrumen untuk
kembali kepada prinsip merupakan master spiritual, yakni Rumi sendiri.
Masalah sama’ merupakan
penyebab utama perbedaan antar tarekat. Ada masalah-masalah rumit, yaitu apakah
“mendengarkan musik” dan “gerakan tari” merupakan ungkapan jujur
keadaan-keadaan mistik ataukah merupakan usaha di luar batas untuk secara
sendiri mencapai keadaan yang hanya dapat dianugerahkan oleh Tuhan.
Tak
dapat disangkal bahwa sama’ merupakan
ungkapan kehidupan mistik Islam yang paling terkenal. Tarian mistik ini dicatat
oleh pengunjung Eropa yang mendatangi biara-biara kaum Maulawi. Tarekat
Maulawiyah adalah satu-satunya tarekat yang sejak awal sampai sekarang masih
menggunakan tarian gerakan berputar, bahkan sama’ menjadi ciri khas tersendiri
bagi penyelenggaraan ritual Tarekat Maulawiyah.
Upacara sama’, biasanya
diadakan pada Jum’at tengah hari sesudah shalat jama’ah. Para darwis terlebih
dahulu memakai pakaian yang khusus; sebuah tenure baju panjang putih tanpa
lengan (destegul) jaket
dengan lengan panjang sebuah ikat pinggang, dan sebuah khirqah hitam,
dipakai sebagai mantel tetapi dicopot sebelum tarian keagamaan dimulai.
Kepala
ditutupi topi tinggi dan bulu yang dililit sekitarnya dengan kain serban.
Topinya, sikkeri, menjadi
tanda khusus untuk anggota Maulawi. Banyak prasasti yang berisi do’a atau restu
dituliskan dalam bentuk topi darwis, dan selalu dikenakan anggota Tarekat
Maulawiyah, baik ketika penyelenggaraan ritual sama’ maupun di luar sama’.
Sama’ diatur dengan
peraturan ketat. Syaikh berdiri di sudut yang paling terhormat di lokasi yang
dijadikan sebagai tempat untuk melakukan tarian, dan para darwis melewati dia
tiga kali dengan cara berputar-putar, setiap kali putaran mereka saling memberi
salam, sampai akhirnya gerakan berputar-putar yang semakin cepat dimulai.
Gerakan ini dilakukan dengan kaki tangan, dengan kecepatan yang semakin
meningkat.
Apabila
seorang darwis menjadi sangat bergairah, seorang sufi lain, yang bertugas
mengatur penyelenggaraan, akan menyentuh perlahan-lahan bahunya agar gerakannya
terkendali. Tarian darwis-darwis adalah salah satu ciri yang paling mengesankan
dalam kehidupan mistik Islâm. Dan musik yang dimulai dengan nyanyian pujian
untuk menghormati nabi (na’ti-i-sarif ditulis
Jalaluddin sendiri) dan berakhir dengan nyanyian pendek penuh semangat,
kadang-kadang dinyanyikan dalam bahasa Turki.
Bagi
Jalaluddin al-Rumi, sama’ adalah
makanan ruhani (seperti zikir) dengan disertai pembacaan syair-syair dan sajak
karyanya. Ungkapan tersebut merupakan bagian sajak terakhir dalam upacara
Tarekat Maulawiyah di Turki. Sajak tersebut diulang berkali-kali. Di mana pun
pencinta menyentuhkan kakinya di tanah sambil menari, terbitlah anti kehidupan
dan kegelapan. Dan bilamana kekasih terucap, orang mati pun mulai menari dengan
kain kafannya.
Rumi
mengumpamakan gerak putar para darwis dengan pembuat anggur yang menginjak buah
anggun sehingga tercipta anggur ruhani. Pencinta menari lebih tinggi ketimbang
bintang-bintang, sebab panggilan sama’ datang
dari surga; ia dapat dimisalkan sebutir debu yang terbang mengelilingi
matahari.
Dengan
demikian, butir debu itu mengalami penyatuan yang ganjil secara terus menerus,
sebab kalau matahani tidak bergerak, ia tidak dapat bergerak. Begitu pula
manusia tidak dapat hidup tanpa berputar mengitari pusat gaya berat ruhani,
yaitu Tuhan. Begitu belenggu jasmani putus oleh Tarian yang berapi-api,
bebaslah jiwa dan sadarlah ia bahwa segenap penciptaan ikut serta dalam-tarian
itu. Angin cinta menyentuh pohon sehingga dahan, kuncup, dan bintang-bintang
mulai bergerak dalam gerak mistik yang meliputi semuanya.
Cinta
yang mendalam bagi musik yang diwarisi para Maulawi dan guru mereka Jalaluddin
al-Rumi telah mengilhami banyak ahli musik klasik dan penggubah-penggubah di
kerajaan Utsmani. Pada kenyataannya, lagu-lagu terbagus dan musik klasik Turki,
seperti yang digubah ‘ltri (abad XVII), digubah oleh seniman-seniman yang
menjadi anggota Tarekat Maulawiyah, atau paling tidak mempunyai hubungan dekat
dengan Tarekat Maulawiyah. Demikian juga halnya dengan ahli-ahli kaligrafi dan
miniaturis, banyak di antara mereka tergabung dengan para Maulawi. Tarekat itu
melengkapi masyarakat Turki dengan beberapa contoh seni muslim terbaik yang
pernah diciptakan.
Begitu
pentingnya nyanyian dan tarian yang diperagakan Rumi dan para pengikutnya dalam
Tarekat Maulawiyah, sehingga dalam suatu kesempatan ia berkata:
Hayatilah, instrumen
kesedihan ini. Sebuah nafas, dan lantaran itu menetes air mata. Dari tempat
tidurnya yang tidak menenangkan, sebuah ketegangan gairah cinta dan derita.
Rahasia nyanyianku tak seorang pun mengenalinya dan tak seorang pun
mendengarnya walau sangat dekat sekalipun. Oh, untuk seorang kawan agar
mengetahui perlambang dan agar seluruh jiwa bercampur dengan jiwaku, hingga
kobaran api cinta tersebut membakarku Hingga secawan anggur cinta mengilhami
diriku. Seharusnyalah engkau mempelajari bagaimana para pecinta terluka
berdarah. Dengarkanlah, hayatilah instrumen ini.
Tarian
yang sering dilakukan oleh pengikut Tarekat Maulawiyah dinamakan muqabalah (berhadap-hadapan).
Istilah ini merupakan sebuah ungkapan terhadap doktrin pengikut Maulawi dimana
jiwa menghadap dan bangkit kepada Yang Maha Nyata. Tarian tersebut bersifat
universal dalam instrumen. Seorang penari memandang dirinya sendiri pada wajah
penari lainnya.
Ibarat
sebuah cermin untuknya, meskipun
bayangan wajah tersebut menjadi wajahnya sendiri namun secara berulang-ulang,
pada akhirnya pribadinya sendiri menjadi tidak nyata sehingga orang lain yang
menjadi dirinya sendiri. Tarian tersebut bergerak semi memutar. Ia merupakan
gambaran sebuah pusat penciptaan. Sebuah proses penurunan qausun nuzul yang
berasal dan Allâh Swt.
Ketika
tarian bergerak ke depan, syaikh masuk dan pancaran yang terjauh dan pusat
pertama membawa para penari berhadapan muka dengan sang guru spiritual. Hal ini
merupakan saat pergantian malam menjadi fajar, matahari terbit, dan merupakan
pusat atas (qausul
uruj) mulai membawa menuju kesadaran. Kemudian penari berputar
ke sisi yang lain, yaitu Tarian seseorang menggambarkan penyempurnaan seluruh
ciptaan kemudian kembali menuju Yang Satu.
Seorang
guru Tarekat Maulawiyah kontemporer bernama Syaikh Sulaiman
Loras mengatakan: “Jika kita tidak sungguh-sungguh dalam mencapai
kesempurnaan batin, maka selamanya kita akan tetap bertahan dalam keadaan kita
sekarang ini, yakni sebagai “binatang yang bercakap”.
Dunia
tidak akan berlangsung tanpa kehadiran guru-guru sufi. Setiap zaman memiliki guru
sufi. Yesus, Buddha, Nabi Muhammad Saw. merupakan guru-guru sufi yang terbesar,
bahkan selain mereka terdapat sejumlah aqthab (jamak: quthub, yakni
seseorang yang menjalankan peran sepenuhnya sebagai sumbu spiritual), manusia
sempurna yang sejati berada di dalam setiap diri kita.
Pada
awalnya, Tarekat Maulawiyah ini mendapat dukungan kuat dan kalangan penguasa
Turki Utsmani dan kalangan seniman. Disebutkan bahwa semenjak 1648 M., pemimpin
Tarekat Maulawiyah mendapat hak istimewa memakaikan pedang kepada seorang
sultan yang baru dilantik. Para sultan nampaknya mendekati tarekat Maulawiyah
untuk menghadapi penganut Tarekat Bektasyi (aliran tarekat yang tertua yang
berpengaruh di Turki) yang mendukung Janissary untuk melawan pemerintahan.
Selain
itu juga untuk menghadapi `ulamâ’ yang mendukung perlakuan istimewa masyarakat
muslim yang lebih dari kaum Zimmi. Sultan Abdul Aziz (1861-1876) dan
sultan Muhammad Rasyad (Muhammad V, memerintah 1909-1918), keduanya sultan
kekhalifahan Utsmani (Ottoman), tercatat sebagai anggota Tarekat Maulawiyah.
Pada 1634 Sultan Murad 1V (1623-1640 M) memberikan kharaj (dana yang
dikumpulkan dari umat Islâm untuk membiayai kegiatan Tarekat Maulawiyah) Di
Konya untuk Tarekat Maulawiyah.
Pelarangan
pada Era Kamal Attarurk
Namun,
akhirnya pada 1925 M., kegiatan Tarekat Maulawiyah di Turki dilarang oleh Kamal
Attaturk, demikian juga segala jenis tarekat, sejak sekularisasi diberlakukan
di negeri ini pada 1928 M. Pada tahap selanjutnya, sejumlah pengikut Tarekat
Maulawiyah kemudian sering menampilkan pertunjukan musik dan tari-tarian mereka
di Barat.
Tetapi,
sejak 1954 M. mereka diperkenankan mengadakan sama’ pada peringatan ulang tahun
wafatnya Jalaluddin al-Rumi pada 17 Desember di Konya. Walaupun tidak dalam
ruang utama, mereka juga mengadakan pertunjukan di luar negeri.
Tarekat
Maulawiyah beserta karya-karya Rumi mempunyai pengaruh terbesar di anak benua
Indo-Pakistan. Tarekat Hisytiyah Nidzamuddin Auliya, misalnya, mendapatkan
pengaruh nyata, ketika Hisyti membolehkan tarian mistik dan cenderung
memberikan ungkapan terhadap jiwa penuh semangat dari sajak-sajak Rumi.
Para
pengikut Maulawi juga terdapat di Syria, Mesir, dan negara-negara lainnya yang
menjadi bagian wilayah kekuasaan Imperium Utsmani. Namun pada zaman sekarang
ini, hanya terdapat beberapa cabang yang tetap aktif yakni di Istambul,
Anatolia, dan Konya, serta belakangan ini juga sudah terdapat di Amerika Utara,
dan Indonesia.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan