Anu Sirwan adalah salah satu Kisra (Kaisar) Persia yang cukup terkenal karena keadilan dan kearifan (kebijaksanaan)nya kepada rakyatnya. Ia hidup jauh sebelum diutusnya Nabi SAW, tetapi kisah-kisah keadilannya cukup terkenal dan menyebar di kalangan masyarakat Arab, walau sebenarnya ia dan rakyatnya adalah penyembah api, yakni beragama Majusi.
Salah satu kisahnya adalah ketika
Anu Sirwan akan melakukan pembangunan untuk meluaskan istananya. Ketika ia
melakukan penggusuran dan pembebasan tanah beberapa orang rakyatnya, ternyata
ada seorang wanita tua dengan gubug reotnya yang menolak untuk menjual.
Berbagai upaya, ancaman dan rayuan, cara halus hingga keras dilakukan tetapi
wanita itu tetap bertahan. Wanita itu berkata, “Saya tidak akan menjual walau
akan dibayar dengan sekeranjang uang emas. Tetapi kalau dia (yakni Kisra Anu
Sirwan) akan menggusurnya, dan dia memang mampu melakukannya, maka terserah
saja!!”
Para pelaksana pembangunan
perluasan istana itu melaporkan hal itu kepada Anu Sirwan, dan berencana
menggusur gubug reot wanita tua itu, karena posisinya memang tepat di
tengah-tengah istana itu, di bagian depan pula. Tetapi Anu Sirwan berkata,
“Jangan lakukan itu, biarkan saja gubug itu di tempatnya, tetapi tetap
laksanakan perluasan pembangunan!!”
Pembangunan terus dilaksanakan,
hanya saja ada pembengkokan untuk menghindari gubug wanita tua. Ketika telah
selesai dan tamu-tamu datang untuk menghadiri undangan Kisra Abu Sirwan dalam
suatu acara di istana, banyak sekali yang berkomentar, “Alangkah indahnya
istana ini jika saja tidak ada bengkoknya (yakni gubug wanita tua itu)!!”
Mendengar komentar-komentar seperti
itu, Anu Sirwan berkata, “Justru dengan kebengkokan itulah perkaranya menjadi
lurus, dan keindahannya semakin sempurna!!”
Walau secara penampilan memang
‘kurang indah’, tetapi itulah memang yang benar dan lurus. Keadaan dan
‘keindahan’-nya menjadi sempurna karena memang tidak ada satu pihakpun, walau
sangat lemah dan tidak berdaya, yang merasa didzalimi dengan sikap sang
penguasa.
Peristiwa yang hampir sama terjadi
ketika Mesir masuk menjadi wilayah Islam setelah terlepas dari Rumawi pada masa
khalifah Umar bin Khaththab. Gubernur Mesir saat itu, Amr bin Ash bermaksud
mendirikan sebuah masjid (yang kini dikenal dengan nama Masjid Amr bin Ash),
tetapi seorang wanita Qibhti beragama Nashrani menolak ketika gubug reotnya
akan dibeli/diganti dengan harga berapapun. Hanya saja Amr bin Ash tetap
memerintahkan untuk menggusur rumah wanita Qibhti itu agar pembangunan
masjidnya segera selesai.
Wanita Qibthi yang merasa didzalimi
oleh tindakan sang gubernur itu berjalan kaki menuju Madinah untuk mengadukan
persoalannya kepada khalifah. Mendengar pengaduan itu, Umar mengambil pecahan
tembikar, dan menulis dengan pedangnya, “Kita lebih berhak (wajib) berbuat
keadilan daripada Kisra Anu Sirwan!!”
Umar memerintahkan wanita Qibhti
itu menyerahkan ‘surat’ pecahan tembikar itu kepada Gubernur Amr bin Ash. Ia
juga memberikan perbekalan yang berlebih kepada wanita beragama Nashrani itu,
agar bisa sampai kembali ke Mesir dengan selamat. Ketika Amr bin Ash menerima
‘surat’ dari Umar itu, ia langsung meletakkan pecahan tembikar tersebut di atas
kepalanya, sambil menangis memohon ampunan kepada Allah. Ia memerintahkan para
pelaksana pembangunan untuk mendirikan kembali gubug wanita Qibhti itu, dan
membelokkan bangunan masjid, sehingga bentuknya membengkong.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan