Abu Ishaq Ibrahim bin Adham bin Manshur adalah seorang sufi, yang sebelumnya adalah putera seorang penguasa (Raja) di wilayah Balkh, termasuk wilayah Khurasan, Persia. Setelah memutuskan untuk meninggalkan kemewahan hidupnya di Balkh, ia memilih hidup zuhud dan berjalan kaki mengarungi padang sahara menuju Makkah. Ia tinggal di sana beberapa waktu lamanya bersama Sufyan Tsauri dan Fudhail bin Iyadh, dan akhirnya pindah ke Syam (Syria) hingga wafatnya pada tahun 161 H atau 778 M.
Ketika tinggal di Makkah,
setiap tahunnya Ibrahim bin Adham mempunyai ‘kebiasaan’ berziarah ke Masjidil
Aqsha untuk berkhalwat, dan i’tikaf semalaman di ruangan atau bagian masjid
yang disebut Qubbatus Shahra. Menurut riwayat, Qubbatus Shahra ini adalah batu
besar yang dijadikan pijakan Nabi SAW dan malaikat Jibril ketika akan naik ke
langit melakukan Mi’raj.
Batu besar (Shahra=batu
karang atau batu besar yang keras) tersebut sempat ikut ‘terbang’ dan naik
mengikuti mereka berdua, tetapi kemudian diketahui oleh malaikat Jibril dan
diperintahkan turun kembali. Dengan terpaksa sang batu turun kembali, tetapi ia
‘ngambek’ tidak mau menyentuh tanah dan ‘menggantung’ beberapa meter tingginya.
Setelah berlalunya waktu, dibangunlah sebuah penyangga sehingga batu besar itu
menjadi semacam kubah di Masjidil Aqsha tersebut. Wallahu A’lam.
Suatu ketika ia berangkat
ke Masjidil Aqsha seperti kebiasaannya. Saat itu ada peraturan bahwa di malam
hari tidak boleh ada yang tinggal atau menginap di dalam masjid, karena malam
hari menjadi ‘bagian’ dari para malaikat untuk beribadah di dalamnya. Karena
itu Abdullah bin Adham harus sembunyi-sembunyi agar tidak dikeluarkan oleh
petugas, dan bisa melakukan amalan istiqomah tahunannya, yakni i’tikaf di Qubbatus
Shahra di malam hari.
Malam telah larut dan
Ibrahim telah lolos dari pengawasan petugas, ia mulai melaksanakan
amalan-amalannya untuk mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah. Para malaikat
mulai datang, dan salah satunya berkata, “Ternyata di dalam masjid ini masih
ada manusia!!”
Tidak ada penjelasan apakah
Ibrahim bin Adham melihat kehadiran para malaikat itu, tetapi ia bisa mendengar
pembicaraannya. Malaikat lainnya berkata, “Ya benar, dia adalah Ibrahim bin
Adham, seorang ahli ibadah yang berasal dari kota Khurasan…”
Malaikat lainnya berkata,
“Ya, dia adalah seorang ahli ibadah yang semua amal ibadahnya langsung naik ke
langit dan diterima setiap harinya!!”
Salah malaikat lainnya
langsung menyahuti, “Ya, memang benar seperti itu, tetapi dalam setahun ini
amal ibadahnya terhenti dan tertahan di langit. Begitu juga dengan doa-doanya,
kini tertunda pengabulannya hanya karena dua biji kurma yang pernah dimakannya
sekitar satu tahun yang lalu!!”
Ibrahim langsung tersentak
kaget dengan perkataan malaikat yang terakhir itu. Konsentrasi dan fokus
amalannya langsung buyar, ia berfikir keras dan mencoba mengingat-ingat tentang
dua butir kurma itu. Kurma bisa dikatakan sebagai makanan pokok sehari-hari di
Makkah dan daerah jazirah Arabia lainnya saat itu, sehingga ia agak kesulitan
untuk mengingat dua butir kurma mana yang menjadi ‘penghalang’ diterimanya amal
ibadah dan doa-doanya dalam setahun ini.
Setelah lama berfikir ia
mulai ingat, suatu kali ia membeli kurma dari seorang lelaki yang sudah sangat
tua. Ketika proses berlangsung dan sudah ‘deal’ harganya, akad jual-beli juga
sudah diucapkan, ada dua butir kurma jatuh di dekat kakinya. Tanpa berfikir
panjang Ibrahim mengambil dan memakannya, karena ia merasa kurma itu bagian
dari yang telah dibeli dan kemudian dibayarnya. Ia berkata dalam hatinya,
“Tentulah dua butir kurma itu yang dimaksudkan oleh malaikat tersebut!! Aku
harus meminta ridho (kerelaan) dari pemiliknya…”
Keesokan harinya Ibrahim
bin Adham langsung kembali ke Makkah. Setelah berhari-hari berjalan kaki
mengarungi padang pasir, ia sampai di Makkah dan langsung ke tempat penjual
kurma yang dimaksudkan. Tetapi lelaki tua yang menjual kurma itu tidak ada,
digantikan oleh seorang pemuda. Ibrahim berkata, “Sekitar setahun yang lalu,
ada seorang penjual kurma yang sudah tua di sini, tolong beritahu aku dimana
dia sekarang berada?”
Sang pemuda berkata, “Dia
adalah ayahku, beliau telah meninggal dunia!!”
Tampak kesedihan yang amat
dalam di wajah Ibrahim, melihat reaksinya itu, sang pemuda berkata, “Apakah yang
telah terjadi antara tuan dengan ayahku sehingga tuan begitu bersedih!!”
Ibrahim menceritakan
peristiwa dua butir kurma yang terjadi setahun yang lalu, dan ia meminta
kehalalannya karena telah terlanjur dimakannya. Sang pemuda tampaknya juga
merasa kaget sekaligus heran dengan sikap Abdullah bin Adham tersebut. Hanya
karena dua butir kurma itu, dampaknya begitu ‘luar biasa’, ia berkata,
“Baiklah, saya memberi ridha (kehalalan) pada tuan atas dua butir kurma itu.
Hanya saja, bukan hanya saya saja ahli waris dari ayah, tetapi ada ibu dan
saudara perempuan saya. Mungkin tuan ingin juga meminta kehalalan dari mereka
berdua!!”
“Baiklah, “ Kata Ibrahim.
Setelah memperoleh
informasi tempat tinggalnya, Ibrahim bin Adham segera menemui mereka, yang
tentu saja tidak berkeberatan menghalalkan dua butir kurma yang terlanjur
dimakan olehnya. Setelah itu Ibrahim bin Adham kembali mengarungi padang pasir
menuju Baitul Maqdis, ia i’tikaf lagi di Qubbatus Shahra, walau dengan
sembunyi-sembunyi seperti sebelumnya. Saat malam telah larut dan malaikat mulai
berdatangan, ia mendengar percakapan mereka. Salah satunya berkata, “Ternyata
di dalam masjid ini masih ada manusia!!”
Malaikat lainnya berkata,
“Dia adalah Ibrahim bin Adham, amal ibadahnya yang setahun itu tertahan di langit,
dan doa-doanya yang tertunda pengabulannya, kini telah diterima oleh Allah
karena ia telah meminta kehalalan dari dua butir kurma yang telah dimakannya
dengan cara tidak benar!!”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan