Muhammad bin Himyar adalah seorang yang saleh dan wara’, hari-harinya lebih banyak diisi dengan puasa sunnah dan shalat malam, tentunya setelah menyempurnakan ibadah fardhunya. Ia juga sangat senang membantu siapa saja yang mengalami kesulitan, sejauh ia mampu melakukannya. Tetapi ternyata tidak semua pihak senang dengan perbuatan baik yang dilakukan seseorang, mungkin karena dengki, persaingan, memusuhi atau karena alasan lainnya, begitu juga yang pernah dialaminya.
Suatu ketika ia berburu di hutan,
tiba-tiba datang seekor ular dan berkata seperti menghiba, “Hai Muhammad bin
Himyar, tolonglah aku, semoga Allah akan menolongmu!!”
Ia sempat terkejut dan heran karena
ular itu berbicara seperti dirinya, tetapi karena permintaannya itu yang tampak
mendesak, ia mengabaikan keheranannya dan jiwa ‘penolong’nya yang lebih tampil.
Ia berkata, “Dari siapakah aku harus menolongmu!!”
Ular itu berkata, “Dari musuhku
yang ingin membunuhku!!”
“Dimanakah musuhmu?” Tanyanya lagi.
“Ia mengejar di belakangku!!” Kata
ular itu lagi.
Ibnu Himyar sempat waspada dengan
berkata, “Dari umat siapakah engkau ini?”
“Umat Nabi Muhammad SAW!!”
Lalu ia membuka serbannya dan
berkata, “Masuklah engkau di sini!!”
Ular itu berkata, “Aku akan dapat
dilihat oleh musuhku itu!!”
Kemudian ia melonggarkan ikat
pinggangnya dan berkata, “Masuklah ke dalam bajuku, engkau akan aman di sana!!”
Ular itu berkata lagi, “Ia masih
akan bisa menemukanku di situ!!”
“Apa yang harus aku lakukan untuk
bisa menolongmu!!”
Ular itu berkata, “Jika memang
ingin menolongku, bukalah mulutmu, dan aku akan bersembunyi di dalam perutmu!!”
Ia berkata, “Aku khawatir engkau
akan membunuhku!!”
Ular itu berkata, “Demi Allah aku
tidak akan membunuhmu, Allah menjadi saksi atas janjiku ini, begitu juga dengan
para malaikat dan para Nabi-Nya, Halamatul Arsyi (malaikat yang menyangga
Arsyi) dan semua penduduk langit!!”
Mendengar janjinya itu, tanpa ragu
lagi Muhammad bin Himyar membuka mulutnya dan masuklah ular itu ke dalam
perutnya. Tidak lama berselang, datang seorang lelaki dengan pedang terhunus
dan berkata, “Apakah engkau melihat musuhku!!”
Ibnu Himyar berkata, “Siapakah
musuhmu itu?”
Ia berkata, “Seekor ular!!”
“Tidak!!” Kata Ibnu Himyar, tetapi
dalam hatinya ia terus menerus mengucap istighfar karena kebohongannya berkata
‘tidak’ itu, walau hal itu yang diperbolehkan, yakni berbohong untuk
menyelamatkan nyawa orang lain atau mahluk lainnya.
Setelah orang bersenjata pedang
terhunus itu berlalu dan tidak terlihat lagi jejak kehadirannya, Ibnu Himyar
berkata, “Wahai ular, keluarlah karena musuhmu telah pergi jauh, sekarang ini
telah aman!!”
Tetapi ia amat terkejut ketika
mendengar ular itu tertawa dan berkata, “Wahai Muhammad, engkau pilih satu di
antara dua hal, apakah aku akan merobek-robek hatimu atau aku akan melobangi
jantungmu, dan aku biarkan engkau (tubuhmu) tanpa ruh!!”
Ia berkata, “Subkhanallah,
dimanakah janji dan sumpahmu itu, begitu cepatnya engkau melupakannya!!”
Lagi-lagi terdengar ular itu
tertawa dan berkata, “Wahai Muhammad, mengapa engkau melupakan permusuhanku
dengan bapakmu, Adam, yang aku telah mengeluarkannya dari surga. Mengapa pula
engkau berbuat baik kepada orang yang curang dan tidak mengenal budi!!”
Tentu saja Muhammad bin Himyar
tidak menyangka bahwa ular itu adalah penjelmaan Iblis ataupun syaitan
terkutuk. Tipikal Rasulullah SAW sebagai Rahmatal lil ‘alamin yang menjadi
acuannya untuk berbuat baik kepada siapa saja termasuk bangsa binatang. Karena
tidak ada pilihan lain maka ia hanya berpasarah diri kepada Allah, dan berkata
kepada ular itu, “Jika engkau memang harus membunuhku, mau apa lagi, mungkin
sudah menjadi jalan dan suratan takdirku untuk mati di tanganmu. Tetapi berilah
waktu untukku menuju bukit itu untuk mengatur dan menyiapkan tempat matiku.”
“Terserah padamu!!” Kata ular di
dalam perutnya itu.
Muhammad bin Himyar berjalan menuju
bukit di maksud, tetapi sambil berjalan mulutnya tidak henti-hentinya
melantunkan doa, layaknya orang sedang bersyair atau bersenandung :
Ya lathif ya lathief, ulthuf bi
luthfikal khofiyyi
Ya lathif, as’aluka bil
qudratil latis-tawaita biha ‘alal arsyi
Falam ya’rifil arsyu aina
mustaqarraka minhu
Illa kafaitani haadzihil hayyaati
Makna dari doanya tersebut adalah :
Ya Lathif ya Lathif (salah satu Asma Allah, Yang Maha Halus/Lembut), berilah
aku karunia-Mu yang samar (lembut) itu, Ya Lathif, dengan kekuasaan-Mu ketika
Engkau meliputi arsyi, sehingga arsyi itupun tidak mengetahui di manakah
Engkau, aku memohon hendaklah Engkau hindarkan aku dari kejahatan ular (dalam
perutku) ini.
Tak henti-hentinya ia melafalkan
doanya itu, sampai ia bertemu dengan seseorang yang sangat harum baunya dan
bersih sekali penampilannya. Lelaki itu mengucap salam, dan setelah dijawab
salamnya, ia berkata lagi, “Wahai saudaraku, mengapa wajahmu tampak berubah
(yakni jadi memucat)?”
Muhammad bin Himyar berkata,
“Karena musuh yang berlaku kejam terhadapku!!”
“Di manakah musuhmu itu,“ Tanya
lelaki itu lagi.
“Di dalam perutku!!”
“Bukalah mulutmu!!”
Ibnu Himyar membuka mulutnya, dan
lelaki itu memasukkan sebuah daun hijau, mirip dengan daun zaitun, sambil berkata,
“Kunyahlah dan telanlah!!”
Ibnu Himyar segera mematuhinya, dan
tidak berapa lama kemudian ia merasa sakit perut, disusul dengan keluarnya
potongan-potongan ular yang berada di perutnya, melalui duburnya. Ia langsung
mengucap syukur kepada Allah, dan sambil memegang tangan lelaki itu ia berkata,
“Wahai Fulan, siapakah engkau ini, yang Allah telah menolongku dengan
perantaraan engkau?”
Lelaki itu tertawa dan berkata,
“Apakah engkau tidak mengenal aku??”
“Tidak!!” Kata Ibnu Himyar.
Ia berkata lagi, “Wahai Muhammad
bin Himyar, ketika terjadi peristiwa antara engkau dan ular itu, hingga
akhirnya engkau berdoa, suara doa para malaikat di langit bergemuruh untuk
memohonkan keselamatan atasmu. Maka Allah berfirman : Demi Kemuliaan dan
Kebesaran-Ku, sungguh Aku telah melihat semuanya. Kemudian Allah memerintahkan
aku pergi ke surga untuk mengambil satu daun hijau, dan memberikannya kepadamu.
Namaku Al Ma’ruf, dan tempatku di langit ke empat!!”
Ibnu Himyar makin banyak mengucap
syukur kepada Allah, karena dari ‘musibah’ yang dialaminya, justru Allah
memberikan karunia dengan mempertemukannya dengan Malaikat Al Ma’ruf dalam
wujud manusia.
Malaikat Al Ma’ruf itu berkata
lagi, “Hai Muhammad bin Himyar, tetaplah engkau berbuat dan berbudi baik,
karena dengan sikapmu itu dapat menghindarkan berbagai kejahatan dan
kebinasaan. Meskipun tidak dibalas (diterima dan ditanggapi) dengan kebaikan
oleh orang yang engkau berbuat baik kepadanya, tetapi tidak akan pernah
disia-siakan oleh Allah SWT!!”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan